Leonardo terdiam, ia menatap seluruh ruangan yang masih remang. Pembicaraan dengan kakeknya beberapa jam lalu, berhasil membuatnya merasa bersalah.Pria tua itu dengan teliti memeriksa semua tentang dirinya. Bahkan keberangkatan bersama Dara kala itu pun kakeknya ketahui.Leonardo menggenggam besi balkon dengan kuat. Bukan karena memiliki rasa cinta pada Dara hingga ia begitu takut jika ada hal buruk terjadi.Wanita itu—Dara, hanya memiliki dirinya seorang. Lalu, bisakah Leonardo lepas tangan begitu saja?Ada rasa yang salah yang terasa begitu menyakitkan. Di mana dia memposisikan jika Alice menjadi dirinya. Mungkin Alice masih bisa tenang dengan semua yang terjadi, sementara dirinya membayangkan saja rasanya sudah ingin menghancurkan Arsen.Arsen menoleh ke belakang, menatap ranjang yang ditiduri wanita cantik di atasnya. Lekuk tubuh Alice memang begitu menggiurkan, tetapi masih saja ia menyakiti sang istri dengan membiarkan wanita lain memeluknya.Perlahan Leo melangkah ke arah ranj
Seharian, Horison bekerja keras dalam usaha menghias kamar bayi, ia juga meminta pelayan di kamar atas memasang tangkapan video agar bisa melihat apa yang mereka kerjakan.Hingga malam hari, Luna kembali dengan wajah bahagia. Senang karena memiliki waktu yang banyak dengan teman-teman sebayanya.Ibu Leonardo itu, terperangah tatkala melihat banyaknya barang bayi di dekat tangga menuju lantai atas.“Ayah, dari mana semua barang-barang ini?” tanya Luna tidak percaya, di depan pintu kamar tamu tidak jauh dari kamar miliknya juga terdapat banyak sekali barang yang serupa.Horison menoleh pada Luna yang terlihat terkejut. “Menurutmu dari mana? Hanya aku saja yang begitu berharap Leo memiliki penerus, rupanya.”Luna terperangah mendengar ucapan mertuanya, “Ayah, Alice bahkan belum memiliki tanda kehamilan, jadi wajar saja jika aku tidak seperti Ayah,” kata Luna sembari melirik semua barang yang ayahnya beli. “Ayah membeli mainan untuk anak lelaki? Bagaimana jika mereka memiliki anak peremp
Matahari mulai naik, cahaya yang terasa hangat sudah masuk ke dalam kamar dengan hiasan yang indah. Leonardo membuka mata pertama kali, merasakan embusan hangat napas wangi seseorang yang berada di hadapannya.Senyumnya terpatri indah membayangkan kegiatan panas mereka semalam.Leonardo memajukan wajahnya, mengecup pelan kelopak mata yang begitu indah seperti berlian. Bibir tipis dengan warna merah yang alami serta wajah putih yang sedikit berisi.“Selamat pagi,” bisik Leo tatkala melihat kelopak mata Alice mulai terbuka dengan perlahan.Alice menarik selimutnya menutupi wajah. Ia begitu malu karena jarak wajah mereka begitu dekat. Ia tidak tahu bagaimana kondisi wajahnya saat ini.“Kenapa menutup wajahmu?” Leonardo menahan selimut yang ditarik turun agar tidak naik lagi.“Aku malu. Wajahku mungkin saja sangat buruk saat ini,” cicit Alice memejamkan mata.“Buka matamu, aku menyukai sinar matamu, Alice,” kata Leo masih menunggu manik indah itu terbuka.“Aku malu,” balasnya, “putar bada
Pelayan wanita yang membersihkan kamar Alice berlari turun dengan jantung berdebar. Untung saja, ia tidak jadi dipecat hari ini. “Astaga, aku sampai lupa memberitahu nona Silvia jika nyonya Delima mencari,” gerutu si pelayan setelah sampai di dapur.Ia mengatur napas, memegang dada dan melirik ke lantai atas lagi, dia memang bersalah karena telah lancang duduk di kursi Alice, bahkan dengan tidak sengaja membuka tutup parfum manjikannya dengan sengaja.“Ada apa? Apa kamu melihat hantu lagi?” tegur teman yang lain, ia melihat tingkah aneh temannya setelah turun dari lantai atas.“Diamlah, aku hampir saja dipecat oleh nona Silvia,” jawabnya dengan wajah memelas, “aku duduk di kursi rias nona Alice.”Temannya menggeleng pelan, sesama pelayan dia juga menyayangkan perbuatan temannya yang begitu lancang. “Lain kali ingat di mana pisisi kita, masih untung nona Silvia tidak memecat dirimu.”“Iya, aku akan perhatian ini. Sudahlah, aku ingin minta bantuanmu, mau tidak?”Si teman yang penasaran
Alice keluar dari kamar mencari keberadaan Leonardo yang tidak terlihat sejak semalam. Alice mengetahui itu karena tengah malam ia terbangun dan tidak mendapati Leo di sebelahnya.Kaki tanpa alas itu keluar dari kamar, menginjak pasir halus dan melangkah ke arah pantai yang masih sangat bersih. Ia melirik ke segala arah, tetapi tak menemukan keberadaan Leonardo di mana pun.“Nona, Anda membutuhkan sesuatu?” Seorang pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat ke arahnya.“Tidak. Aku tidak membutuhkan apa pun,” jawab Alice, “apakah kalian melihat kemana suamiku?”Pria besar yang Alice tahu adalah orang ayahnya mengangguk. “Tuan berada di Paviliun pantai.”Alice mengangguk, ia membiarkan orang ayahnya untuk segera meninggalkan dirinya. Alice membuang napas panjang. Ia berjalan menuju Paviliun dengan langkah cepat ke arah yang dimaksud orang ayahnya. Paviliun itu, dulu tempat ayah dan ibunya bersantai ketika mereka berlibur bersama.Dari kejauhan, Alice bisa melihat sosok tegap
Di sebuah bar kecil, wanita dengan rambut sebahu terlihat tertunduk menahan diri, botol di tangan kiri dipegang erat.Riuhnya suara musik juga dengan lampu temarang yang berhasil menghilangkan sedikit kegundahan hatinya.“Wanita itu, dia telah merebut kekasihku, priaku dan orang yang seharusnya menjadi milikku,” gumamnya masih dengan nada kebencian.“Aku membencinya, dia wanita kaya yang sombong,” sambungnya lagi merasa bahwa dirinya tak ada apa-apanya dibandingkan Alice.Dara merasa kalah, merasa rendah karena dirinya bukan wanita kaya dan dicampakkan karena ketidakberdayaan.“Dia menggunakan kekayaan dan kekuasaan untuk merebut Leo dariku. Dia wanita jahat!” pekiknya dengan amarah yang membuncah.Dadanya begitu sesak, membayangkan kehangatan yang mereka berdua lakukan di pulau sana. Dara yakin, Alice menggunakan berbagai cara agar Leo bertekuk lutut padanya.“Tidak. Aku tidak akan menyerah. Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku. Sejak awal, Leo adalah milikku, hanya m
“Bagaimana? Apakah kamu suka hadiahnya?” Leonardo memeluk wanitanya dari belakang. Menatap wajah cantik yang tengah tersenyum dari pantulan cermin besar.Alice memegang kalung berlian di lehernya, terlihat berkilau dan sangat cantik. “Tentu saja. Ini adalah hadiah pertama darimu, aku sangat menyukainya.”Alice meringis tatkala Leo mencubit pelan pinggangnya. “Aku tahu bersalah, tetapi jangan terlalu sering mengingatnya, aku semakin merasa kecil.”“Ah, baiklah. Maafkan aku tuan Leon. Sekarang, katakan padaku, apakah aku terlihat lebih menarik dari sebelumnya?” tanya Alice menatap suaminya dari pantulan cermin. Wajah tampan Leo yang begitu rupawan. Pantas jika ada wanita lain yang begitu tergila-gila pada suaminya.“Kamu selalu cantik walaupun tak mengenakan riasan. Akan tetapi jika berhias seperti ini, aku justru semakin takut. Takut jika dua pria yang selama ini mengekor padamu semakin jatuh cinta,” sindir Leo mengingat tentang Arsen dan juga Edgar.“Keduanya memang tampan, tetapi aku
Di atas pasir putih, dengan taburan kelopak mawar berwarna merah terang, juga dengan hiasan lilin yang menyala berbentuk hati, Alice dan Leonardo berdansa di tengahnya.“Terima kasih karena memberi kesempatan kedua untukku,” ucap Leo berbisik di telinga sang istri.“Heum, berjanjilah, selesaikan urusanmu dengan Dara atau kita tidak perlu bersama–”“Aku akan selesaikan semuanya. Kamu juga harus berjanji, jangan terlalu dekat dengan Arsen, aku tidak menyukainya,” balas Leo tidak mau kalah.“Hem, kita mulai dari awal. Hanya aku dan kamu, tidak ada Dara maupun Arsen,” sambung Alice dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Harapannya, kini telah terwujud, Leo membalas cintanya dan itu berkat kesabaran.Keduanya menikmati kebersamaan berdua, beberapa lilin mereka bahkan sudah padam karena tiupan angin pantai. Alice dan Leo masih saling berdansa, menukar setiap rasa yang ada di dalam hati.“Bagaimana kalau kita masuk, aku sudah tidak tahan dengan dinginnya,” kata Alice pada Leo yang masih
Di bawah pohon yang rindang, empat kepala tengah berbaring menghadap ke atas. Di sekeliling mereka rumput hijau yang berbunga tumbuh subur semakin menambah keindahan.“Jadi, kalian tidak ingin jujur kepada Ibu?” tanya Alice mencoba mengulik apa yang terjadi. Damian dan Laila saling lirik, “Ibu, kami tidak merahasiakan apa pun darimu,” kilah Damian menolong adiknya.“Benarkah? Kenapa ibu mereka jika kalian berdua mulai menyembunyikan sesuatu, ya.” Alice membalik tubuhnya seperti tengkurap, menatap ketiga orang di hadapannya masih berbaring menatap ke langit biru. “Ayah, tolong beritahu ibu,” bujuk Laila berkata lembut.Baru saja Arsen akan bersuara, Alice langsung berdehem, “Jangan meminta tolong pada Ayahmu. Dia masih Ibu hukum karena kesalahan yang lain,” tukas Alice memicing tajam.Damian dan Laila terkekeh bersama, "Ayah, kali ini, kami tidak bisa menolong," kata Damian, ia menarik adiknya dan bermain bersama.Mendengus pelan, Damian dan Alice pun ikut bangkit dari tidurnya.“Ka
Di sebuah ruangan yang gelap. Seorang pria tengah duduk dengan kedua tangan menutup wajah. Bayangan sang istri terus berputar di dalam benaknya. “Bahkan dia tidak ingin membalas pelukanku dariku,” gumamnya memecah keheningan malam. “Di mana dia menyimpan anak-anakku. Wanita itu …,” geramnya menyadari jika tadi ia tak melihat dua anak yang Bram ungkapkan padanya.Leonardo menoleh tatkala mendengar suara ketukan pintu, ia melangkah malas ke arah sumber suara. Membuka pintu dan menemukan pelayan perempuan berdiri di sana.“Katakan!” serunya malas. Cahaya dari luar menerangi kamarnya yang masih gelap. Hal yang selalu Leo lakukan selama kepergian istrinya.“Saya sudah meminta nona Dara seperti yang Anda perintahkan, tetapi beliau memutuskan untuk tetap tinggal di luar rumah, Tuan,” lapornya.Leonardo mendengus kasar, “Biarkan saja. Kalian lebih baik tidur karena besok pagi Alisa dan beberapa tukang akan datang,” kata Leo, “siapkan apa saja yang seharusnya kalian siapkan,” sambungnya lagi
Mendengus kasar, Leo menarik Alice masuk ke dalam mobilnya, mengabaikan panggilan dari supir istrinya yang terlihat khawatir.“Lepaskan aku!” sentak Alice lagi, ia mencoba keluar, tetapi Leo mengunci pintu mobil dengan cepat.“Leon, tolong biarkan aku pergi,” katanya dengan tatapan memelas. Ia tidak bisa pulang terlambat malam ini.“Tidak akan! Aku tidak akan melepaskan dirimu lagi, Alice! Tidak akan!” balas Leo dengan nada marah.Berdecak, Alice berpikir cepat, kedua anaknya bisa marah jika dia tak kembali lebih awal malam ini. Namun, bagaimana cara membicarakan ini pada Leon? Pria di sebelahnya tak boleh mengetahui keberadaan mereka berdua.Leo yang melihat istrinya tengah gelisah, hanya menyeringai, ia tahu jika Alice tengah dilanda kekhawatiran yang dalam saat ini.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkan aku lagi, Alice. Jadi jangan harap kamu bisa lepas dariku,” desis Leo dengan suara yang berat.“Leon jangan bercanda. Aku tidak bisa ikut denganmu malam ini,” katanya memelas.
“Beri aku 500 dolar,” kata Silvia pada sang kakak. Wanita bermata indah itu berdecak karena gaun miliknya kini tidak bisa dikenakan lagi.Tidak sampai lima menit, ponsel mahal milik Silvia mengeluarkan bunyi notifikasi. Wanita cantik itu lantas menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya.“Wah, uangku langsung masuk,” decak Alisa dengan mata berbinar pada nominal yang masuk di ponselnya. Ia mendapatkan nilai lebih.“Gunakan dengan baik. Itu karena kamu sudah menyelamatkan hidupku tadi,” seloroh Leo senang karena akhirnya terbebas dari Lucas dan putrinya.“Ya. Aku berharap Kakak tidak menjatuhkan hati padanya. Lihatlah, tubuhnya sangat kurus dan … riasannya sangat mencolok.”“Alisa,” tegur Leo lembut, tetapi penuh ketegasan, ia tidak ingin adiknya menjadi terbiasa membicarakan keburukan orang lain.“Ya. Baiklah!”Lisa menyandarkan punggung di sandaran mobil, mengingat kembali apa yang dilihatnya di pesta tadi. Ia melirik kakaknya yang tengah serius menatap foto wanita hamil di layar
“Sudahlah Kak, jangan lagi membahas ini,” kata Alisa jengah. Setiap bertemu kakaknya yang dibahas adalah pertunangan yang sudah terlanjur terjadi.Leo mendengus, “Semoga kamu dan dia bahagia,” kata Leo mendoakan, ia tidak ingin adiknya menyesal karena terpaksa memilih jalan lain.“Aku bahagia. Lagipula, aku bukan wanita bodoh yang harus menunggu pria tidak peka seperti dia,” sindir Alisa pada Bram yang sudah berada di dalam ruangannya.Alisa menghela napas pelan, “Ada apa Kakak memanggilku?”Mendesah dengan jawaban adiknya, “Aku ingin kamu membantuku mencari model kamar anak yang lucu. Aku–”“Kakak ingin mengadopsi anak? Tidak boleh, Kak!” potong Alisa cepat.“Ibu tidak akan suka, lagipula, kamu bisa menikah dan dapatkan anak dengan mudah,” papar Alisa lagi. Sudah lima tahun, ini bukan waktu yang sebentar untuk menahan rindu, ia yakin kakaknya sangat kesepian dan menderita selama ini.“Jaga ucapanmu. Patuhi saja, besok kamu libur, datang kerumah dan minta tukang untuk menyelesaikan se
Leo kembali ke rumahnya dengan rasa malu yang besar. Ayah mertuanya menguliti dirinya dengan begitu santai. “Ayah memang benar, aku memang tidak bisa mengambil keputusan dengan benar,” gumamnya.“Aku senang karena akhirnya ayah menjagamu, Alice. Akan tetapi, tetap saja aku khawatir, siapa yang mengurus makanmu ketika kamu malas untuk bergerak?”Leonardo menghempaskan diri di atas sofa, menutup wajah dengan tangan kekar. Penyesalan yang teramat besar dan mendalam, ia tahu istrinya baik-baik saja, tetapi tak memiliki kekuatan untuk berjumpa bahkan melihat wajahnya.Leonardo mendesah, ia menatap foto yang berada di dinding, foto—Alice dengan senyum indah ketika mereka liburan. “Apakah kamu tidak merindukanku, sudah dua malam dan kita tidak saling memeluk, Sayang,” gumamnya merasa dunianya hancur.Beralih dari tempatnya, Leonardo masuk ke dalam bilik ruangannya, ruangan yang memisahkan dirinya dan Alice dalam jangka waktu yang lama. Bilik yang membuatnya banyak menyesal karena tak banya
Leo membuang napas, menatap tumpukan berkas yang Bram bawa untuknya. Sementara, hatinya masih gelisah karena Alice belum ditemukan.Ia meraih ponselnya yang terletak tidak jauh dari tumpukan, masih berharap ada kabar baik untuk menemukan keberadaan istrinya.Dalam keheningan dan kekacauan pikirannya, ia menekan nomor seseorang, berharap kali ini ia mendapatkan informasi yang lebih akurat.“Halo, Silvia,” katanya setelah wanita di belahan sana menerima cepat panggilan darinya.“[Halo, kakak ipar, tidak biasanya menelepon, ada apa?]” jawab Silvia langsung tanpa basa-basi.“Alice. Sejak pagi dia belum kembali, apakah dia menemuimu?”Beberapa saat hening, mengantarkan rasa khawatir semakin membesar, “Kak, sudah beberapa hari aku tidak bertemu Kak Amelia,” jawab Silvia, “saat ini aku berada di kediaman ibuku, jadi kami belum bertemu sama sekali.”Semakin gelisah dan rapuh, harus bagaimana sekarang? Tidak seorang pun mengetahui keberadaan istrinya. Tidak ibu mertuanya bahkan adik iparnya.“
Seorang wanita paruh baya sedikit berlari ke arah ruang tamu setelah mendapat laporan dari pelayan.Ia begitu terkejut karena belum beberapa hari tinggal di rumah ini, sudah beberapa tamu yang mendatangi dirinya.Leonardo menoleh dan langsung berdiri. Ia terpaku melihat wanita yang pernah ditemui kini terlihat lebih cantik dan segar.“Nyonya, senang bertemu lagi denganmu,” kata Leo masih belum terbiasa.Amanda mendekat dengan senyum ramah. “Panggil aku Ibu. Kamu menikahi putriku,” ujarnya masih ramah.“Ibu, maafkan aku,” ucap Leo menyesal.Amanda mengangguk meminta Leo duduk meski ia merasa sedikit aneh. “Kamu sendiri, di mana Alice?” Leonardo terpaku, tak menyangka jika pernyataan itu akan keluar. Menelan saliva, “Ibu, sebenarnya tujuanku datang untuk mencari Alice,” kata Leo berterus terang, “dia meninggalkan rumah dan belum kembali.”Terkejut, tetapi Amanda mencoba untuk tenang, ia bisa melihat bagaimana ke khawatiran Leonardo atas kepergian putrinya.“Sudah mencari di rumah ayah
Leo mengendarai kembali mobil miliknya dengan kecepatan penuh. Pria itu, tak mementingkan keselamatan agar lebih cepat sampai dan menemukan Alice—istrinya.“Aku tidak akan membiarkan Arsen mengambil kesempatan atas keterpurukan istriku. Tidak akan,” katanya dengan tatapan marah.Karena terlalu laju membawa mobilnya, pria yang tengah gelisah itu, hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti dipinggir jalan. Suara decitan terdengar memekakkan telinga pengedara yang lain.Tak ada waktu untuk meminta maaf, Leo dengan cepat melajukan mobil ke arah kediaman Arsen. Pria itu, menang yang paling memungkinkan mendekati istrinya.Sesampainya di kediaman Arsen, Leo melihat mobil pria yang menjadi rivalnya dalam cinta itu melaju ke arah berlawanan. Terlihat terburu dan mencurigakan.“Sial. Apakah dia tahu aku akan datang,” kata Leo, ia menghidupkan lagi mesin mobil menyusul Arsen yang terlihat terburu-buru.Seperti terlihat saling kejar, tetapi jelas Arsen tidak tahu jika dirinya diikuti dar