Seharian, Horison bekerja keras dalam usaha menghias kamar bayi, ia juga meminta pelayan di kamar atas memasang tangkapan video agar bisa melihat apa yang mereka kerjakan.Hingga malam hari, Luna kembali dengan wajah bahagia. Senang karena memiliki waktu yang banyak dengan teman-teman sebayanya.Ibu Leonardo itu, terperangah tatkala melihat banyaknya barang bayi di dekat tangga menuju lantai atas.“Ayah, dari mana semua barang-barang ini?” tanya Luna tidak percaya, di depan pintu kamar tamu tidak jauh dari kamar miliknya juga terdapat banyak sekali barang yang serupa.Horison menoleh pada Luna yang terlihat terkejut. “Menurutmu dari mana? Hanya aku saja yang begitu berharap Leo memiliki penerus, rupanya.”Luna terperangah mendengar ucapan mertuanya, “Ayah, Alice bahkan belum memiliki tanda kehamilan, jadi wajar saja jika aku tidak seperti Ayah,” kata Luna sembari melirik semua barang yang ayahnya beli. “Ayah membeli mainan untuk anak lelaki? Bagaimana jika mereka memiliki anak peremp
Matahari mulai naik, cahaya yang terasa hangat sudah masuk ke dalam kamar dengan hiasan yang indah. Leonardo membuka mata pertama kali, merasakan embusan hangat napas wangi seseorang yang berada di hadapannya.Senyumnya terpatri indah membayangkan kegiatan panas mereka semalam.Leonardo memajukan wajahnya, mengecup pelan kelopak mata yang begitu indah seperti berlian. Bibir tipis dengan warna merah yang alami serta wajah putih yang sedikit berisi.“Selamat pagi,” bisik Leo tatkala melihat kelopak mata Alice mulai terbuka dengan perlahan.Alice menarik selimutnya menutupi wajah. Ia begitu malu karena jarak wajah mereka begitu dekat. Ia tidak tahu bagaimana kondisi wajahnya saat ini.“Kenapa menutup wajahmu?” Leonardo menahan selimut yang ditarik turun agar tidak naik lagi.“Aku malu. Wajahku mungkin saja sangat buruk saat ini,” cicit Alice memejamkan mata.“Buka matamu, aku menyukai sinar matamu, Alice,” kata Leo masih menunggu manik indah itu terbuka.“Aku malu,” balasnya, “putar bada
Pelayan wanita yang membersihkan kamar Alice berlari turun dengan jantung berdebar. Untung saja, ia tidak jadi dipecat hari ini. “Astaga, aku sampai lupa memberitahu nona Silvia jika nyonya Delima mencari,” gerutu si pelayan setelah sampai di dapur.Ia mengatur napas, memegang dada dan melirik ke lantai atas lagi, dia memang bersalah karena telah lancang duduk di kursi Alice, bahkan dengan tidak sengaja membuka tutup parfum manjikannya dengan sengaja.“Ada apa? Apa kamu melihat hantu lagi?” tegur teman yang lain, ia melihat tingkah aneh temannya setelah turun dari lantai atas.“Diamlah, aku hampir saja dipecat oleh nona Silvia,” jawabnya dengan wajah memelas, “aku duduk di kursi rias nona Alice.”Temannya menggeleng pelan, sesama pelayan dia juga menyayangkan perbuatan temannya yang begitu lancang. “Lain kali ingat di mana pisisi kita, masih untung nona Silvia tidak memecat dirimu.”“Iya, aku akan perhatian ini. Sudahlah, aku ingin minta bantuanmu, mau tidak?”Si teman yang penasaran
Alice keluar dari kamar mencari keberadaan Leonardo yang tidak terlihat sejak semalam. Alice mengetahui itu karena tengah malam ia terbangun dan tidak mendapati Leo di sebelahnya.Kaki tanpa alas itu keluar dari kamar, menginjak pasir halus dan melangkah ke arah pantai yang masih sangat bersih. Ia melirik ke segala arah, tetapi tak menemukan keberadaan Leonardo di mana pun.“Nona, Anda membutuhkan sesuatu?” Seorang pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat ke arahnya.“Tidak. Aku tidak membutuhkan apa pun,” jawab Alice, “apakah kalian melihat kemana suamiku?”Pria besar yang Alice tahu adalah orang ayahnya mengangguk. “Tuan berada di Paviliun pantai.”Alice mengangguk, ia membiarkan orang ayahnya untuk segera meninggalkan dirinya. Alice membuang napas panjang. Ia berjalan menuju Paviliun dengan langkah cepat ke arah yang dimaksud orang ayahnya. Paviliun itu, dulu tempat ayah dan ibunya bersantai ketika mereka berlibur bersama.Dari kejauhan, Alice bisa melihat sosok tegap
Di sebuah bar kecil, wanita dengan rambut sebahu terlihat tertunduk menahan diri, botol di tangan kiri dipegang erat.Riuhnya suara musik juga dengan lampu temarang yang berhasil menghilangkan sedikit kegundahan hatinya.“Wanita itu, dia telah merebut kekasihku, priaku dan orang yang seharusnya menjadi milikku,” gumamnya masih dengan nada kebencian.“Aku membencinya, dia wanita kaya yang sombong,” sambungnya lagi merasa bahwa dirinya tak ada apa-apanya dibandingkan Alice.Dara merasa kalah, merasa rendah karena dirinya bukan wanita kaya dan dicampakkan karena ketidakberdayaan.“Dia menggunakan kekayaan dan kekuasaan untuk merebut Leo dariku. Dia wanita jahat!” pekiknya dengan amarah yang membuncah.Dadanya begitu sesak, membayangkan kehangatan yang mereka berdua lakukan di pulau sana. Dara yakin, Alice menggunakan berbagai cara agar Leo bertekuk lutut padanya.“Tidak. Aku tidak akan menyerah. Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku. Sejak awal, Leo adalah milikku, hanya m
“Bagaimana? Apakah kamu suka hadiahnya?” Leonardo memeluk wanitanya dari belakang. Menatap wajah cantik yang tengah tersenyum dari pantulan cermin besar.Alice memegang kalung berlian di lehernya, terlihat berkilau dan sangat cantik. “Tentu saja. Ini adalah hadiah pertama darimu, aku sangat menyukainya.”Alice meringis tatkala Leo mencubit pelan pinggangnya. “Aku tahu bersalah, tetapi jangan terlalu sering mengingatnya, aku semakin merasa kecil.”“Ah, baiklah. Maafkan aku tuan Leon. Sekarang, katakan padaku, apakah aku terlihat lebih menarik dari sebelumnya?” tanya Alice menatap suaminya dari pantulan cermin. Wajah tampan Leo yang begitu rupawan. Pantas jika ada wanita lain yang begitu tergila-gila pada suaminya.“Kamu selalu cantik walaupun tak mengenakan riasan. Akan tetapi jika berhias seperti ini, aku justru semakin takut. Takut jika dua pria yang selama ini mengekor padamu semakin jatuh cinta,” sindir Leo mengingat tentang Arsen dan juga Edgar.“Keduanya memang tampan, tetapi aku
Di atas pasir putih, dengan taburan kelopak mawar berwarna merah terang, juga dengan hiasan lilin yang menyala berbentuk hati, Alice dan Leonardo berdansa di tengahnya.“Terima kasih karena memberi kesempatan kedua untukku,” ucap Leo berbisik di telinga sang istri.“Heum, berjanjilah, selesaikan urusanmu dengan Dara atau kita tidak perlu bersama–”“Aku akan selesaikan semuanya. Kamu juga harus berjanji, jangan terlalu dekat dengan Arsen, aku tidak menyukainya,” balas Leo tidak mau kalah.“Hem, kita mulai dari awal. Hanya aku dan kamu, tidak ada Dara maupun Arsen,” sambung Alice dengan senyum yang tak bisa disembunyikan. Harapannya, kini telah terwujud, Leo membalas cintanya dan itu berkat kesabaran.Keduanya menikmati kebersamaan berdua, beberapa lilin mereka bahkan sudah padam karena tiupan angin pantai. Alice dan Leo masih saling berdansa, menukar setiap rasa yang ada di dalam hati.“Bagaimana kalau kita masuk, aku sudah tidak tahan dengan dinginnya,” kata Alice pada Leo yang masih
Di dalam ruangan dengan warna coklat gelap. Seorang pria dengan wajah tak kalah tampan dari Leonardo menatap lekat pada wanita yang saat ini berdiri menatapnya dengan tatapan marah.Bram melangkah mendekat seiring dengan langkah kaki Dara yang mundur ke belakang. Wanita itu, menelan ludah kasar membayangkan kembali malam panas yang pernah terjadi.“Kenapa mundur, Nona.” Bram menarik tangan Dara lembut ke arahnya, membentur dadanya yang bidang.“Pak Bram. Jaga sikap Anda, ya.” Dara menyentak tangan Bram dan mundur menjauh.Bram mendengus kasar, berbalik dan melangkahkan kaki ke arah kursi miliknya. Pria itu dengan gagahnya duduk kemudian memakai kembali kacamata yang tadi dilepas.“Selamat karena Anda sudah kembali bekerja, Nona,” kata Bram kembali pada sikap awalnya. Ia menatap ramah pada Dara seolah tak pernah terjadi hal mendebarkan pada kerjanya.Dara membenarkan rambutnya kemudian berdehem. “Pak, saya ingin bertanya mengapa surat pengunduran diri saya Anda tolak?”Bram masih menat