“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Bram pada Dara yang terlihat sangat kesal setelah keluar dari toilet.“Pak Bram tidak perlu tahu,” jawabnya ketus. Hatinya begitu sakit atas ucapan Alice padanya, wanita itu berani sekali membuatnya gemetar seperti ini.Bram melihat ke belakang, mencari penyebab Dara yang mendadak pucat, “Kamu bertemu hantu?”Dara menoleh cepat. Bibirnya menyeringai tipis. “Ya, hantu perempuan. Pak Bram jika berani melakukan kesalahan, saya pastikan Anda langsung dipecat.”Alis Bram terlihat mengkerut, kemudian dia berdecak dan menatap Dara kembali, “Pergi ke pusat pembelanjaan, bos memintamu mencari ini di sana.”Baram menyerahkan kertas selembar yang berisi banyak sekali list yang Leo inginkan. Ia membaca dengan teliti dan tahu jika semua itu untuk Alice.“Aku tidak bisa. Pak Bram tidak lihat pekerjaanku sangat banyak?” tolaknya keras.“Kamu berani menolak perintah nona Dara? Ini bos langsung perintahkan,” kata Bram merasa gemas sendiri.“Saya tidak bisa. Saya–” Dara
Beberapa saat keduanya terdiam bersama. Alice masih dengan posisi membelakangi Leonardo, pun dengan Leo yang terlihat memunggungi sang istri dengan kedua tangan berada di kaca lift.Alice menelan ludah, menghela napas serta mengatur detakan jantungnya yang kian memburu.“Aku tidak mau tahu. Hari ini kamu harus kembali ke rumah,” kata Leonardo, ia tidak menoleh tetapi dapat melihat Alice yang melirik padanya melalui pantulan cermin.Leonardo membalik diri tatkala pintu lift terbuka. Di luar sudah ada beberapa karyawan yang menatap mereka dengan tatapan ragu.Leo meraih tangan istrinya, membawa Alice keluar melewati yang lain. Pria itu, seolah ingin menunjukkan sekali lagi jika dirinya hanya mencintai Alice seorang.“Lepaskan tanganku. Aku bisa jalan sendiri,” ucap Alice mencoba melepas tangannya, tetapi tangan Leo terlalu kuat mencekalnya.Leo menghentikan langkah dan menoleh, menatap Alice dengan sorot mata tajam, seolah tidak akan melepaskannya begitu saja. "Kamu benar-benar ingin p
“Sebenarnya, apa yang ingin kamu bicarakan, Alice? Kenapa selalu saja mengungkit masalah Dara, Dara dan Dara,” kata Leo mulai merasa gusar dan frustasi.Mereka berdua selalu saja membahas soal yang sudah-sudah dan itu sangat melelahkan.Alice membuang napas lelah, “Aku lelah, Leon. Biarkan aku kembali dulu.” Alice susah melangkah ingin meninggalkan Leonardo, tetapi dengan cepat, pria itu, menahan tangan istrinya dan mengangkatnya.“Leon,” ucap Alice begitu terkejut, dia sudah berada di atas panggung Leon dengan tubuh yang kepalanya berada di bawah.“Diam atau aku akan membuatmu semakin menderita,” ancam Leonardo tidak sungguh-sungguh.Sampai di depan dinding besar, Leonardo mendorong dengan pelan hingga pintu terbuka. Alice mendongak dan melihat sisi lain dari ruang kerja suaminya. Ini pertama kali, selama mereka menikah. Sungguh miris.Leonardo menurunkan Alice dengan pelan, lalu menutup pintu dengan sekali tekan. Melihat itu, Alice langsung waspada. Ia tahu apa yang akan terjadi de
Mobil mewah milik Leonardo membelah jalan, dengan sapuan gerimis yang mulai turun menghiasi kaca. Hening menyelimuti mereka, dengan Alice yang terus membuang enggan menatap suaminya. Leonardo melirik sekilas ke arahnya, ingin menjangkau, tetapi Alice tetap kukuh dengan sikapnya. Matanya tertuju keluar jendela, terpaku pada setiap titik hujan yang jatuh. Menghela napas pelan, Leo terus melanjutkan perjalanan mereka, tidak peduli jika Alice akan semakin membenci dirinya.Alice yang merasa bahwa semua sia-sia, ini menegakkan tubuhnya. Ia lelah jika harus selalu mendebat Leonardo. Namun, lagi-lagi sebuah benda kecil membuatnya tertawa miris.“Kenapa memaksa diri, Leon,” katanya membuat Leonardo semakin bingung padanya, “tadi pita rambut sekarang sebuah lipstik merah muda.”Leonardo menatap ke arah pandang Alice. Di sana terdapat lipstik merah muda milik seseorang. Leonardo mengerutkan kening karena seingatnya, pagi tadi, benda itu tidak ada di sana.“Buang saja,” kata Leonardo singkat,
Dara menarik tangannya, lalu tersenyum lembut. Ia menarik tangan Leo dan membawanya duduk di kursi. “Duduklah, Pak. Saya sudah siapkan ini untuk Anda.”Leo menghela napas berat, ia menatap semua makanan yang Dara buat. Semua makanan kesukaannya.Wanita dengan rambut sebahu itu pun ikut duduk di sebelah Leo, meraih piring dan juga menyendok nasi ke dalamnya.“Anda harus mencobanya, Pak. Saya tahu ini adalah kesukaan Anda semua.”Leo mencegah tangan Dara yang siap menyendok sayur ke dalam piringnya. Wanita itu menoleh dengan kening mengkerut.“Jangan seperti ini lagi, Dara.” Leo meletakkan sendok yang Dara pegang kemudian meminta Dara memperhatikan dirinya.“Pak, saya hanya–”“Hai, selamat malam.”Leo melepaskan tangan Dara dengan cepat tatkala mendengar suara seseorang sudah berada di belakangnya. Pun dengan Dara yang menelan ludah terkejut karena tak mengira Alice akan turun.Leo berdiri dengan cepat dan berbalik ke arah istrinya yang sudah terlihat lebih segar. Ia tidak melihat ada t
Luna mengepalkan tangan kuat. Ia menatap Dara yang seolah menantang dirinya dengan berani. Wanita lembut itu, sekarang terlihat sudah menunjukkan wajah aslinya.“Kamu gila, Dara,” kata Luna akhirnya setelah mereka berdua saling menatap sengit.“Aku gila karena anak Tante yang tidak memberikan kepastian,” jawab Dara, “kamu bahkan sudah merencanakan pernikahan indah, tetapi apa? Mertuamu yang menyebalkan itu, merusak semuanya.”Luna mengepalkan tangan lagi, tidak terima dengan hinaan yang mertuanya terima, “Apa kamu tidak ingat, masa itu adalah masa di mana kalian masih sangat kecil, kalian bahkan belum pantas merasakan–”“Aku lantas merasakannya, Tante,” potong Dara, “aku tetap ingin menikah dengan Leo apa pun yang terjadi, tidak peduli jika wanita gila itu menangis darah karena tidak terima.”“Dara, jaga ucapanmu!” bentak Luna, “kamu tidak akan selamat jika ketahuan oleh orang-orang yang menjaganya.”“Tubuh Dara terlihat bergetar, mengingat orang-orang yang menjaganya Alice sedikit me
Silvia berdiri dan mendekat ke arah Alice, memperhatikan kakaknya dari atas sampai bawah. “Kak, kamu terlihat sangat berbeda dengan pakaian ini.”Alice melirik ke arah Leo, tersenyum kecil dan berkata, “Aku suka memakai ini dalam rumah.”Silvia mengangguk kecil, merasa aneh, tetapi ia tidak bisa membahas itu saat ini.“Kak, ada yang ingin bicara padamu,” kata Silvia melirik ke arah Leo, “boleh?”Leonardo mengusap kepala sang istri dan meminta mereka berbicara terlebih dahulu. Silvia melihat ada kecanggungan, tetapi tak ia hiraukan karena urusannya jauh lebih penting.Alice membawa adiknya ke halaman belakang rumah, saat mereka berdua tiba, beberapa pelayan yang melihat Alice langsung undur pamit. Mereka tahu, tak boleh menyakiti mendengar apa pun yang tuan rumah bicarakan.“Bagaimana keadaan ayah?”“Ayah baik. Aku … Kak, ingin menanyakan soal wanita yang bernama Vita, dia mengatakan jika kalian berteman,” kata Silvia tidak sabar mendengar penjelasan Alice.Dalam hal ini, Alice merasa
Arsen menoleh tatkala mendengar derap langkah sepatu mendekat ke arahnya. Ia mematung tatkala mendapati Silvia tersenyum begitu lembut.Arsen yang merasa ada yang salah hanya mengerutkan kening tak mengerti.“Hai, Arsen,” sapa Silvia, “senang bertemu denganmu di sini,” lanjut Silvia masih menampakkan senyumnya yang manis.“Kamu di sini?” tanya Arsen bingung.“Kenapa? Ini rumahku?” jawab Silvia tahu kebingungan Arsen yang mungkin saja mengira akan bertemu dengan kakaknya.“Ah, iya. Maksudku. Bukannya kamu di kantor? Kamu sakit?”Silvia mengangguk. “Aku merasa kepalaku sedikit sakit jadi, aku memutuskan pulang,” jawabnya berbohong.“Oh, baiklah. Aku ingin bertemu dengan–”“Siapa? Kamu tidak ingin bertemu denganku? Kenapa selalu menghindar Arsen?” potong Silvia melihat gerak-gerik Arsen yang seperti tidak betah dekat dengannya.“Aku sudah mengira jika kamu berubah pikiran denganku, tetapi tetap saja kamu mencoba menghindar,” sambung Silvia sudah mengira jika Arsen akhirnya memilih bersa
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,