“Selamat pagi, Leo.” Dara memasuki ruangan dengan senyum yang ramah. Sejak semalam dia sudah memikirkan banyak cara untuk membuat Leo kembali menerima dirinya. Sudah satu Minggu terakhir dan pria yang dicintainya tidak mau bersikap baik lagi.“Selamat pagi juga, Nona Dara,” balas Bram yang ternyata ada di dalam ruangan. Dara menoleh dan mendapati pria dengan penampilan selalu rapi, menatapnya dengan tatapan seperti biasa—misterius.“Selamat pagi, Pak Bram. Saya tidak mengira jika Anda ada di dalam,” kata Dara membalas sapaan Bram. Kemudian menoleh pada Leo yang masih sibuk dengan pekerjaannya di atas meja.“Saya dan Pak Leo sedang membahas soal liburan jadi—”“Kalian akan berlibur? Kebetulan sekali saya ingin ikut,” kata Dara cepat memotong ucapan Bram. Wanita itu begitu antusiasnya membahas soal liburan, mengira jika dengan ini dia dan Leo bisa saling dekat lagi.Bram melirik ke arah Leo yang tidak terganggu sedikit pun. Ia tahu jika bosnya tengah fokus pada sesuatu. Bram mendekat,
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Bram pada Dara yang terlihat sangat kesal setelah keluar dari toilet.“Pak Bram tidak perlu tahu,” jawabnya ketus. Hatinya begitu sakit atas ucapan Alice padanya, wanita itu berani sekali membuatnya gemetar seperti ini.Bram melihat ke belakang, mencari penyebab Dara yang mendadak pucat, “Kamu bertemu hantu?”Dara menoleh cepat. Bibirnya menyeringai tipis. “Ya, hantu perempuan. Pak Bram jika berani melakukan kesalahan, saya pastikan Anda langsung dipecat.”Alis Bram terlihat mengkerut, kemudian dia berdecak dan menatap Dara kembali, “Pergi ke pusat pembelanjaan, bos memintamu mencari ini di sana.”Baram menyerahkan kertas selembar yang berisi banyak sekali list yang Leo inginkan. Ia membaca dengan teliti dan tahu jika semua itu untuk Alice.“Aku tidak bisa. Pak Bram tidak lihat pekerjaanku sangat banyak?” tolaknya keras.“Kamu berani menolak perintah nona Dara? Ini bos langsung perintahkan,” kata Bram merasa gemas sendiri.“Saya tidak bisa. Saya–” Dara
Beberapa saat keduanya terdiam bersama. Alice masih dengan posisi membelakangi Leonardo, pun dengan Leo yang terlihat memunggungi sang istri dengan kedua tangan berada di kaca lift.Alice menelan ludah, menghela napas serta mengatur detakan jantungnya yang kian memburu.“Aku tidak mau tahu. Hari ini kamu harus kembali ke rumah,” kata Leonardo, ia tidak menoleh tetapi dapat melihat Alice yang melirik padanya melalui pantulan cermin.Leonardo membalik diri tatkala pintu lift terbuka. Di luar sudah ada beberapa karyawan yang menatap mereka dengan tatapan ragu.Leo meraih tangan istrinya, membawa Alice keluar melewati yang lain. Pria itu, seolah ingin menunjukkan sekali lagi jika dirinya hanya mencintai Alice seorang.“Lepaskan tanganku. Aku bisa jalan sendiri,” ucap Alice mencoba melepas tangannya, tetapi tangan Leo terlalu kuat mencekalnya.Leo menghentikan langkah dan menoleh, menatap Alice dengan sorot mata tajam, seolah tidak akan melepaskannya begitu saja. "Kamu benar-benar ingin p
“Sebenarnya, apa yang ingin kamu bicarakan, Alice? Kenapa selalu saja mengungkit masalah Dara, Dara dan Dara,” kata Leo mulai merasa gusar dan frustasi.Mereka berdua selalu saja membahas soal yang sudah-sudah dan itu sangat melelahkan.Alice membuang napas lelah, “Aku lelah, Leon. Biarkan aku kembali dulu.” Alice susah melangkah ingin meninggalkan Leonardo, tetapi dengan cepat, pria itu, menahan tangan istrinya dan mengangkatnya.“Leon,” ucap Alice begitu terkejut, dia sudah berada di atas panggung Leon dengan tubuh yang kepalanya berada di bawah.“Diam atau aku akan membuatmu semakin menderita,” ancam Leonardo tidak sungguh-sungguh.Sampai di depan dinding besar, Leonardo mendorong dengan pelan hingga pintu terbuka. Alice mendongak dan melihat sisi lain dari ruang kerja suaminya. Ini pertama kali, selama mereka menikah. Sungguh miris.Leonardo menurunkan Alice dengan pelan, lalu menutup pintu dengan sekali tekan. Melihat itu, Alice langsung waspada. Ia tahu apa yang akan terjadi de
Mobil mewah milik Leonardo membelah jalan, dengan sapuan gerimis yang mulai turun menghiasi kaca. Hening menyelimuti mereka, dengan Alice yang terus membuang enggan menatap suaminya. Leonardo melirik sekilas ke arahnya, ingin menjangkau, tetapi Alice tetap kukuh dengan sikapnya. Matanya tertuju keluar jendela, terpaku pada setiap titik hujan yang jatuh. Menghela napas pelan, Leo terus melanjutkan perjalanan mereka, tidak peduli jika Alice akan semakin membenci dirinya.Alice yang merasa bahwa semua sia-sia, ini menegakkan tubuhnya. Ia lelah jika harus selalu mendebat Leonardo. Namun, lagi-lagi sebuah benda kecil membuatnya tertawa miris.“Kenapa memaksa diri, Leon,” katanya membuat Leonardo semakin bingung padanya, “tadi pita rambut sekarang sebuah lipstik merah muda.”Leonardo menatap ke arah pandang Alice. Di sana terdapat lipstik merah muda milik seseorang. Leonardo mengerutkan kening karena seingatnya, pagi tadi, benda itu tidak ada di sana.“Buang saja,” kata Leonardo singkat,
Dara menarik tangannya, lalu tersenyum lembut. Ia menarik tangan Leo dan membawanya duduk di kursi. “Duduklah, Pak. Saya sudah siapkan ini untuk Anda.”Leo menghela napas berat, ia menatap semua makanan yang Dara buat. Semua makanan kesukaannya.Wanita dengan rambut sebahu itu pun ikut duduk di sebelah Leo, meraih piring dan juga menyendok nasi ke dalamnya.“Anda harus mencobanya, Pak. Saya tahu ini adalah kesukaan Anda semua.”Leo mencegah tangan Dara yang siap menyendok sayur ke dalam piringnya. Wanita itu menoleh dengan kening mengkerut.“Jangan seperti ini lagi, Dara.” Leo meletakkan sendok yang Dara pegang kemudian meminta Dara memperhatikan dirinya.“Pak, saya hanya–”“Hai, selamat malam.”Leo melepaskan tangan Dara dengan cepat tatkala mendengar suara seseorang sudah berada di belakangnya. Pun dengan Dara yang menelan ludah terkejut karena tak mengira Alice akan turun.Leo berdiri dengan cepat dan berbalik ke arah istrinya yang sudah terlihat lebih segar. Ia tidak melihat ada t
Luna mengepalkan tangan kuat. Ia menatap Dara yang seolah menantang dirinya dengan berani. Wanita lembut itu, sekarang terlihat sudah menunjukkan wajah aslinya.“Kamu gila, Dara,” kata Luna akhirnya setelah mereka berdua saling menatap sengit.“Aku gila karena anak Tante yang tidak memberikan kepastian,” jawab Dara, “kamu bahkan sudah merencanakan pernikahan indah, tetapi apa? Mertuamu yang menyebalkan itu, merusak semuanya.”Luna mengepalkan tangan lagi, tidak terima dengan hinaan yang mertuanya terima, “Apa kamu tidak ingat, masa itu adalah masa di mana kalian masih sangat kecil, kalian bahkan belum pantas merasakan–”“Aku lantas merasakannya, Tante,” potong Dara, “aku tetap ingin menikah dengan Leo apa pun yang terjadi, tidak peduli jika wanita gila itu menangis darah karena tidak terima.”“Dara, jaga ucapanmu!” bentak Luna, “kamu tidak akan selamat jika ketahuan oleh orang-orang yang menjaganya.”“Tubuh Dara terlihat bergetar, mengingat orang-orang yang menjaganya Alice sedikit me
Silvia berdiri dan mendekat ke arah Alice, memperhatikan kakaknya dari atas sampai bawah. “Kak, kamu terlihat sangat berbeda dengan pakaian ini.”Alice melirik ke arah Leo, tersenyum kecil dan berkata, “Aku suka memakai ini dalam rumah.”Silvia mengangguk kecil, merasa aneh, tetapi ia tidak bisa membahas itu saat ini.“Kak, ada yang ingin bicara padamu,” kata Silvia melirik ke arah Leo, “boleh?”Leonardo mengusap kepala sang istri dan meminta mereka berbicara terlebih dahulu. Silvia melihat ada kecanggungan, tetapi tak ia hiraukan karena urusannya jauh lebih penting.Alice membawa adiknya ke halaman belakang rumah, saat mereka berdua tiba, beberapa pelayan yang melihat Alice langsung undur pamit. Mereka tahu, tak boleh menyakiti mendengar apa pun yang tuan rumah bicarakan.“Bagaimana keadaan ayah?”“Ayah baik. Aku … Kak, ingin menanyakan soal wanita yang bernama Vita, dia mengatakan jika kalian berteman,” kata Silvia tidak sabar mendengar penjelasan Alice.Dalam hal ini, Alice merasa