Mobil mewah milik Leonardo membelah jalan, dengan sapuan gerimis yang mulai turun menghiasi kaca. Hening menyelimuti mereka, dengan Alice yang terus membuang enggan menatap suaminya. Leonardo melirik sekilas ke arahnya, ingin menjangkau, tetapi Alice tetap kukuh dengan sikapnya. Matanya tertuju keluar jendela, terpaku pada setiap titik hujan yang jatuh. Menghela napas pelan, Leo terus melanjutkan perjalanan mereka, tidak peduli jika Alice akan semakin membenci dirinya.Alice yang merasa bahwa semua sia-sia, ini menegakkan tubuhnya. Ia lelah jika harus selalu mendebat Leonardo. Namun, lagi-lagi sebuah benda kecil membuatnya tertawa miris.“Kenapa memaksa diri, Leon,” katanya membuat Leonardo semakin bingung padanya, “tadi pita rambut sekarang sebuah lipstik merah muda.”Leonardo menatap ke arah pandang Alice. Di sana terdapat lipstik merah muda milik seseorang. Leonardo mengerutkan kening karena seingatnya, pagi tadi, benda itu tidak ada di sana.“Buang saja,” kata Leonardo singkat,
Dara menarik tangannya, lalu tersenyum lembut. Ia menarik tangan Leo dan membawanya duduk di kursi. “Duduklah, Pak. Saya sudah siapkan ini untuk Anda.”Leo menghela napas berat, ia menatap semua makanan yang Dara buat. Semua makanan kesukaannya.Wanita dengan rambut sebahu itu pun ikut duduk di sebelah Leo, meraih piring dan juga menyendok nasi ke dalamnya.“Anda harus mencobanya, Pak. Saya tahu ini adalah kesukaan Anda semua.”Leo mencegah tangan Dara yang siap menyendok sayur ke dalam piringnya. Wanita itu menoleh dengan kening mengkerut.“Jangan seperti ini lagi, Dara.” Leo meletakkan sendok yang Dara pegang kemudian meminta Dara memperhatikan dirinya.“Pak, saya hanya–”“Hai, selamat malam.”Leo melepaskan tangan Dara dengan cepat tatkala mendengar suara seseorang sudah berada di belakangnya. Pun dengan Dara yang menelan ludah terkejut karena tak mengira Alice akan turun.Leo berdiri dengan cepat dan berbalik ke arah istrinya yang sudah terlihat lebih segar. Ia tidak melihat ada t
Luna mengepalkan tangan kuat. Ia menatap Dara yang seolah menantang dirinya dengan berani. Wanita lembut itu, sekarang terlihat sudah menunjukkan wajah aslinya.“Kamu gila, Dara,” kata Luna akhirnya setelah mereka berdua saling menatap sengit.“Aku gila karena anak Tante yang tidak memberikan kepastian,” jawab Dara, “kamu bahkan sudah merencanakan pernikahan indah, tetapi apa? Mertuamu yang menyebalkan itu, merusak semuanya.”Luna mengepalkan tangan lagi, tidak terima dengan hinaan yang mertuanya terima, “Apa kamu tidak ingat, masa itu adalah masa di mana kalian masih sangat kecil, kalian bahkan belum pantas merasakan–”“Aku lantas merasakannya, Tante,” potong Dara, “aku tetap ingin menikah dengan Leo apa pun yang terjadi, tidak peduli jika wanita gila itu menangis darah karena tidak terima.”“Dara, jaga ucapanmu!” bentak Luna, “kamu tidak akan selamat jika ketahuan oleh orang-orang yang menjaganya.”“Tubuh Dara terlihat bergetar, mengingat orang-orang yang menjaganya Alice sedikit me
Silvia berdiri dan mendekat ke arah Alice, memperhatikan kakaknya dari atas sampai bawah. “Kak, kamu terlihat sangat berbeda dengan pakaian ini.”Alice melirik ke arah Leo, tersenyum kecil dan berkata, “Aku suka memakai ini dalam rumah.”Silvia mengangguk kecil, merasa aneh, tetapi ia tidak bisa membahas itu saat ini.“Kak, ada yang ingin bicara padamu,” kata Silvia melirik ke arah Leo, “boleh?”Leonardo mengusap kepala sang istri dan meminta mereka berbicara terlebih dahulu. Silvia melihat ada kecanggungan, tetapi tak ia hiraukan karena urusannya jauh lebih penting.Alice membawa adiknya ke halaman belakang rumah, saat mereka berdua tiba, beberapa pelayan yang melihat Alice langsung undur pamit. Mereka tahu, tak boleh menyakiti mendengar apa pun yang tuan rumah bicarakan.“Bagaimana keadaan ayah?”“Ayah baik. Aku … Kak, ingin menanyakan soal wanita yang bernama Vita, dia mengatakan jika kalian berteman,” kata Silvia tidak sabar mendengar penjelasan Alice.Dalam hal ini, Alice merasa
Arsen menoleh tatkala mendengar derap langkah sepatu mendekat ke arahnya. Ia mematung tatkala mendapati Silvia tersenyum begitu lembut.Arsen yang merasa ada yang salah hanya mengerutkan kening tak mengerti.“Hai, Arsen,” sapa Silvia, “senang bertemu denganmu di sini,” lanjut Silvia masih menampakkan senyumnya yang manis.“Kamu di sini?” tanya Arsen bingung.“Kenapa? Ini rumahku?” jawab Silvia tahu kebingungan Arsen yang mungkin saja mengira akan bertemu dengan kakaknya.“Ah, iya. Maksudku. Bukannya kamu di kantor? Kamu sakit?”Silvia mengangguk. “Aku merasa kepalaku sedikit sakit jadi, aku memutuskan pulang,” jawabnya berbohong.“Oh, baiklah. Aku ingin bertemu dengan–”“Siapa? Kamu tidak ingin bertemu denganku? Kenapa selalu menghindar Arsen?” potong Silvia melihat gerak-gerik Arsen yang seperti tidak betah dekat dengannya.“Aku sudah mengira jika kamu berubah pikiran denganku, tetapi tetap saja kamu mencoba menghindar,” sambung Silvia sudah mengira jika Arsen akhirnya memilih bersa
Alice terkejut hingga membuat tubuhnya bergetar. Ia mengepalkan tangan, menggenggam erat gaun miliknya. Melihat itu, Leonardo menghela napas pelan, “Aku bersalah. Akan tetapi bisakah kita tidak membahas ini terus?”Sudut bibir Alice berkedut, ia menatap Leonardo dengan serius, “Aku mencoba melupakan semuanya, Leon. Tetapi, bayangan bagaimana kamu memeluk Dara, menciumnya dengan sayang, bagaimana aku bisa melupakan itu? Coba katakan padaku, bagaimana?” tanya Alice dengan suara yang terdengar bergetar.“Kalian pernah tidur bersama, lalu kembali melakukan itu setelah kita menikah, bisakah aku melupakan itu?” Menghela napas panjang, Alice berdiri dan berjalan mendekat ke arah suaminya yang membeku dengan kata-katanya. “Aku sangat mencintaimu, Leon. Aku memaafkan semua yang pernah kamu lakukan padaku, tetapi kenapa kali ini aku merasa ragu, kamu … kamu terlihat lebih menganggap Dara dibandingkan aku.”“Alice …,” ucap Leo lirih.“Aku mendengar dan melihat semuanya di ruang kerjamu. Aku m
Leonardo duduk di bangku, menatap kedua wanita yang disayanginya tengah dalam perdebatan baru. Jika dulu, mereka berdua bertengkar, kali ini mereka masih bertengkar karena kebaikan bersama. “Dengarkan saja ibu, Alice,” putus Leonardo menengahi keduanya.Luna yang mendapatkan pembelaan dari putranya lantas mendekat dan memeluk Leo.“Dengar putraku pun mendukung apa yang aku ucapkan. Sekarang jangan keras kepala lagi,” kata Luna.Alice menghela napas, “Baiklah, kalau begitu, siapa yang akan memasak?”Luna meminta para pelayan yang biasa mereka liburkan di dapur kembali melakukan pekerjaan seperti biasa. Semua jelas senang karena mendapatkan kesempatan itu. “Kalian berdua buatkan kami makan malam yang enak. Mulai sekarang, Alice tidak akan membantu kalian jadi, jangan ada yang bermalas-malasan.”Leo melirik istrinya yang memasang wajah biasa saja. Seolah apa yang dilakukan mertuanya sedikit berlebihan.“Baik Nyonya. Kami akan melakukan yang terbaik lagi.”Luna membawa Leo dan Alice ke
Pagi hari di kediaman Leonardo, wanita yang baru saja selesai dengan dirinya sendiri tiu, turu. Ke lantai bawah dengan tergesa. Bagun tidur, Alice sudah tidak menemuka Leo di dalam kamar. Bahkan suaminya itu sudah tidak ada di dalam kamar pribadinya.“Nyonya, Anda ingin sarapan sekarang?” tanya pelayan kada Alice yang baru menampakkan kaki di lantai dasar.Alice menoleh dengan senyuman ramah seperti biasa. “Nanti saja. Di mana Leo?”“Tuan sudah berangkat beberapa menit yang lalu, Nyonya,” jawabnya.“Kenapa dia tidak membangunkan aku?” gumam Alice, ia melirik ke arah pelayan wanita di hadapannya, “terima kasih, ya. Aku akan ke dapur beberapa menit lagi.”Si pelayan wanita pamit undur diri. Sementara Alice melangkah jenarah taman belakang. Sudah beberapa hari ia tidak melihat tanaman ibu mertuanya yang pernah dirawat dengan sepenuh hati.“Ibu, di sini?” Alice mendekat dan berdiri di sebelah Luna yang tengah menyiram tanaman miliknya.“Lalu aku di mana? Aku harus merawat mereka agar tumb