Luna mengepalkan tangan kuat. Ia menatap Dara yang seolah menantang dirinya dengan berani. Wanita lembut itu, sekarang terlihat sudah menunjukkan wajah aslinya.“Kamu gila, Dara,” kata Luna akhirnya setelah mereka berdua saling menatap sengit.“Aku gila karena anak Tante yang tidak memberikan kepastian,” jawab Dara, “kamu bahkan sudah merencanakan pernikahan indah, tetapi apa? Mertuamu yang menyebalkan itu, merusak semuanya.”Luna mengepalkan tangan lagi, tidak terima dengan hinaan yang mertuanya terima, “Apa kamu tidak ingat, masa itu adalah masa di mana kalian masih sangat kecil, kalian bahkan belum pantas merasakan–”“Aku lantas merasakannya, Tante,” potong Dara, “aku tetap ingin menikah dengan Leo apa pun yang terjadi, tidak peduli jika wanita gila itu menangis darah karena tidak terima.”“Dara, jaga ucapanmu!” bentak Luna, “kamu tidak akan selamat jika ketahuan oleh orang-orang yang menjaganya.”“Tubuh Dara terlihat bergetar, mengingat orang-orang yang menjaganya Alice sedikit me
Silvia berdiri dan mendekat ke arah Alice, memperhatikan kakaknya dari atas sampai bawah. “Kak, kamu terlihat sangat berbeda dengan pakaian ini.”Alice melirik ke arah Leo, tersenyum kecil dan berkata, “Aku suka memakai ini dalam rumah.”Silvia mengangguk kecil, merasa aneh, tetapi ia tidak bisa membahas itu saat ini.“Kak, ada yang ingin bicara padamu,” kata Silvia melirik ke arah Leo, “boleh?”Leonardo mengusap kepala sang istri dan meminta mereka berbicara terlebih dahulu. Silvia melihat ada kecanggungan, tetapi tak ia hiraukan karena urusannya jauh lebih penting.Alice membawa adiknya ke halaman belakang rumah, saat mereka berdua tiba, beberapa pelayan yang melihat Alice langsung undur pamit. Mereka tahu, tak boleh menyakiti mendengar apa pun yang tuan rumah bicarakan.“Bagaimana keadaan ayah?”“Ayah baik. Aku … Kak, ingin menanyakan soal wanita yang bernama Vita, dia mengatakan jika kalian berteman,” kata Silvia tidak sabar mendengar penjelasan Alice.Dalam hal ini, Alice merasa
Arsen menoleh tatkala mendengar derap langkah sepatu mendekat ke arahnya. Ia mematung tatkala mendapati Silvia tersenyum begitu lembut.Arsen yang merasa ada yang salah hanya mengerutkan kening tak mengerti.“Hai, Arsen,” sapa Silvia, “senang bertemu denganmu di sini,” lanjut Silvia masih menampakkan senyumnya yang manis.“Kamu di sini?” tanya Arsen bingung.“Kenapa? Ini rumahku?” jawab Silvia tahu kebingungan Arsen yang mungkin saja mengira akan bertemu dengan kakaknya.“Ah, iya. Maksudku. Bukannya kamu di kantor? Kamu sakit?”Silvia mengangguk. “Aku merasa kepalaku sedikit sakit jadi, aku memutuskan pulang,” jawabnya berbohong.“Oh, baiklah. Aku ingin bertemu dengan–”“Siapa? Kamu tidak ingin bertemu denganku? Kenapa selalu menghindar Arsen?” potong Silvia melihat gerak-gerik Arsen yang seperti tidak betah dekat dengannya.“Aku sudah mengira jika kamu berubah pikiran denganku, tetapi tetap saja kamu mencoba menghindar,” sambung Silvia sudah mengira jika Arsen akhirnya memilih bersa
Alice terkejut hingga membuat tubuhnya bergetar. Ia mengepalkan tangan, menggenggam erat gaun miliknya. Melihat itu, Leonardo menghela napas pelan, “Aku bersalah. Akan tetapi bisakah kita tidak membahas ini terus?”Sudut bibir Alice berkedut, ia menatap Leonardo dengan serius, “Aku mencoba melupakan semuanya, Leon. Tetapi, bayangan bagaimana kamu memeluk Dara, menciumnya dengan sayang, bagaimana aku bisa melupakan itu? Coba katakan padaku, bagaimana?” tanya Alice dengan suara yang terdengar bergetar.“Kalian pernah tidur bersama, lalu kembali melakukan itu setelah kita menikah, bisakah aku melupakan itu?” Menghela napas panjang, Alice berdiri dan berjalan mendekat ke arah suaminya yang membeku dengan kata-katanya. “Aku sangat mencintaimu, Leon. Aku memaafkan semua yang pernah kamu lakukan padaku, tetapi kenapa kali ini aku merasa ragu, kamu … kamu terlihat lebih menganggap Dara dibandingkan aku.”“Alice …,” ucap Leo lirih.“Aku mendengar dan melihat semuanya di ruang kerjamu. Aku m
Leonardo duduk di bangku, menatap kedua wanita yang disayanginya tengah dalam perdebatan baru. Jika dulu, mereka berdua bertengkar, kali ini mereka masih bertengkar karena kebaikan bersama. “Dengarkan saja ibu, Alice,” putus Leonardo menengahi keduanya.Luna yang mendapatkan pembelaan dari putranya lantas mendekat dan memeluk Leo.“Dengar putraku pun mendukung apa yang aku ucapkan. Sekarang jangan keras kepala lagi,” kata Luna.Alice menghela napas, “Baiklah, kalau begitu, siapa yang akan memasak?”Luna meminta para pelayan yang biasa mereka liburkan di dapur kembali melakukan pekerjaan seperti biasa. Semua jelas senang karena mendapatkan kesempatan itu. “Kalian berdua buatkan kami makan malam yang enak. Mulai sekarang, Alice tidak akan membantu kalian jadi, jangan ada yang bermalas-malasan.”Leo melirik istrinya yang memasang wajah biasa saja. Seolah apa yang dilakukan mertuanya sedikit berlebihan.“Baik Nyonya. Kami akan melakukan yang terbaik lagi.”Luna membawa Leo dan Alice ke
Pagi hari di kediaman Leonardo, wanita yang baru saja selesai dengan dirinya sendiri tiu, turu. Ke lantai bawah dengan tergesa. Bagun tidur, Alice sudah tidak menemuka Leo di dalam kamar. Bahkan suaminya itu sudah tidak ada di dalam kamar pribadinya.“Nyonya, Anda ingin sarapan sekarang?” tanya pelayan kada Alice yang baru menampakkan kaki di lantai dasar.Alice menoleh dengan senyuman ramah seperti biasa. “Nanti saja. Di mana Leo?”“Tuan sudah berangkat beberapa menit yang lalu, Nyonya,” jawabnya.“Kenapa dia tidak membangunkan aku?” gumam Alice, ia melirik ke arah pelayan wanita di hadapannya, “terima kasih, ya. Aku akan ke dapur beberapa menit lagi.”Si pelayan wanita pamit undur diri. Sementara Alice melangkah jenarah taman belakang. Sudah beberapa hari ia tidak melihat tanaman ibu mertuanya yang pernah dirawat dengan sepenuh hati.“Ibu, di sini?” Alice mendekat dan berdiri di sebelah Luna yang tengah menyiram tanaman miliknya.“Lalu aku di mana? Aku harus merawat mereka agar tumb
Keluar dari lift, Leonardo berlari tergesa, jantungnya berdebar karena begitu khawatir. Karena sudah menghapal kode pintu Dara, ia langsung masuk dan menutupnya dengan segera.Di dalam ruangan itu, Leo tidak melihat siapa pun selain siluet wanita tengah terbaring di sofa dengan berselimut kain tebal.Leo melangkah lebar, berdiri di depan Dara yang meringkuk dengan wajah pucat. Leo berjongkok dan memegang dahi Dara untuk memeriksa suhu dari Sekretarisnya.“Astaga, kenapa tidak langsung ke rumah sakit, Dara?” ucap Leo dengan nada marah.“Pak, jangan memarahi saya. Saya … saya sakit.” Dara semakin mengeratkan selimutnya. Leo yang tidak sabar langsung membawa Dara dalam gendongan. Mereka harus segera ke rumah sakit dengan segera. “Pak, Anda ingin bawa saya kemana?”“Diamlah, sudah aku katakan sebelumnya, jika sakit tolong cepat kerumah sakit,” omel Leonardo merasa suhu badan Dara semakin meningkat.Dara terkekeh, ia mengalungkan tangannya di leher Leonardo, menenggelamkan kepala pada da
Dara memalingkan wajah, seluruh ingatannya telah pulih, ia tahu dan ingat jelas apa yang terjadi, tetapi kenapa pria yang membawanya kini berubah?“Nona Dara, Anda tidak ingin berterima kasih pada saya?” Bram duduk dengan kaki menyilang, menatap punggung kecil milik Dara.“Kenapa bukan pak Leo yang menjaga saya. Kenapa harus Anda pak Bram?”Bram terkekeh kecil, membayangkan wajah Arsen semalam seperti hiburan untuknya. Mendengar tawa mengejek dari Bram, Dara menoleh dengan tatapan sengit.“Apakah ini sangat lucu? Saya ingat semalam pak Leo yang membawa saya.”Bram berdehem untuk menghentikan tawanya, “Saya mengingat wajah pak Arsen, percayalah nona yang menjaga Anda sejak awal bukan pak Leo melainkan pak Arsen,” jelas Bram semakin membuat Dara terperangah.“Pak Arsen? Bagaimana mungkin, semalam saya ingat jika itu adalah pak Leo,” ucap Dara semakin merasa pusing. Bagaimana bisa Leo berubah menjadi Arsen.Bram mengedikkan bahu, ia mengeluarkan ponsel dan memperlihatkan gambar Arsen yan
Alice dan Leo saling pandang, pun dengan Laila yang hanya berdecak mendengar permintaan kakaknya.“Apa maksudmu, Damian?” tanya Laila semakin jengah.“Aku tidak mungkin mengekor padamu, aku juga ingin memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan,” katanya.“Tidak ada yang menjagamu sebaik aku, Laila. Sejak kita kecil, aku yang–”“Tapi sekarang aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku, lagipula di sana ada Ayah Arsen.” Laila berdiri dengan kesalnya.“Terserah jika kalian tidak mendukung, aku akan tetap bersekolah di tempat yang aku inginkan,” ujarnya, “dan Ayah tidak boleh menarik kesepakatan kita.”“Laila duduk dulu, Nak.” Alice menepuk pelan sebelah sisi tempatnya.“Tidak Ibu. Tidak sebelum Damian berpikir waras.”Setelah mengatakan itu, Laila meninggalkan ruangan dengan kekesalan pada Damian.“Dia gila,” geramnya dengan nada yang kesal.Sementara itu, Clara yang melihat kakak perempuannya menuju kamar, segera mengikuti. Rasanya sangat berat berpisah meski mereka berdua jarang sekali terli
“Selamat pagi.” Laila datang lebih cepat, memotong ucapan Alice yang tengah memeluk putri bungsunya.“Selamat pagi, Sayang.” Leonardo menyambut putri sulungnya, kemudian meminta Laila untuk duduk di sebelahnya.Melihat itu, Clara mengerucutkan bibir, “Ayah, jangan terlalu memanjakan kakak, dia sudah–”“Clara lebih baik kamu diam, berikan susu yang kamu buatkan tadi untukku.” Laila meraih selembar roti dan mengolesi dengan selesai cokelat.“Baiklah.” Clara memeluk ibunya singkat kemudian memberikan susu yang dibuatnya pada Laila.“Sekarang berikan nilai untukku. Aku yakin ini rasanya seratus,” kata Clara.Laila meraih gelas susu miliknya, kemudian meneguknya hingga setengah. “Enak, aku rasa ini adalah bakatmu.”Clara mengerucutkan bibir, “Bakatku banyak Kak. Hanya saja, aku tidak ingin menunjukkan pada orang lain,” katanya dengan bangga.“Oh aku sangat kagum padamu. Duduklah, aku ingin memberikan hadiah lain.” Laila meletakkan gelas yang sudah kosong kemudian merogoh kantong celana mil
Alice masih ke dalam ruang makan dan benar saja, semua sudah disiapkan dengan sangat baik. Clara yang melihat wajah takjub ibunya pun ikut merasa bahagia.“Bagaimana? Aku sangat membanggakan bukan?” tanyanya pada sang ibu.“Benar Clara yang melakukan ini sendiri?” Alice menoleh pada putrinya yang langsung terdiam dengan bibir tersenyum kecil.“Senangnya, Clara dibantu oleh kak Laila,” akunya, “tapi karena dia kelelahan dan mengantuk, kakak kembali ke kamar.”Alice menaikkan alis, kemudian mengangguk paham. “Ya sudah, tapi setidaknya, Clara sudah membuktikan jika putri ibu sudah sangat hebat.”Clara mengangguk senang. “Tolong beritahu kakek ya, Bu. Aku ingin kakek mendengar hal baik tentangku.”“Baiklah, jika kakek bertanya, Ibu akan memberitahu jika cucunya yang cantik ini sudah besar.”Clara memeluk ibunya. “Ibu aku sangat menyayangimu. Aku yakin karena itulah ayah sangat mencintaimu.”Alice terkekeh, “Ya sudah, sekarang duduk dulu, Ibu akan buatkan sarapan untuk kita semua.”“Aku ak
Alice menghela napas panjang untuk meredam semuanya. Tidak ada yang bisa mengetahui takdir kedepannya. Damian masih terlalu muda, sementara Sera, gadis kecil itu juga masih seusia Clara yang mungkin tidak mengerti dengan situasi ini.“Semoga saja, Damian mendapatkan yang terbaik,” putus Alice akhirnya.Leo mengangguk meski rasanya ada yang aneh. Rasa sakit yang Alice rasakan sepertinya terlalu besar, hingga sang istri belum bisa memaafkan apa yang telah terjadi.“Kamu benar, Damian masih terlalu muda. Kita bisa lebih tenang karena Bram juga telah meninggalkan kota bersama putrinya.Setelah mereka membahas semuanya, Alice memutuskan untuk tidak membahas ini lagi. Ia bahkan meminta Laila untuk tidak membantu Damian melupakan perasaannya yang diyakini hanya rasa sesaat.“Tidurlah, aku masih ada banyak pekerjaan di bawah,” kata Leo akhirnya, hingga saat ini ia belum menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi Bram di kantor.“Maafkan aku. Aku seharusnya tidak terlalu keras sehingga
Malam hari, Alice yang masih merasa curiga pada Dara dan Leo memutuskan untuk tidur lebih cepat. Ia tahu usianya tidak lagi muda seperti dulu. Jadi, tidur adalah pilihan yang lebih tepat.Sementara itu, Leo yang tahu dengan kecemburuan istrinya hanya tersenyum kecil, merasa bersalah, tetapi ia bisa buktikan jika dirinya dan Dara tak ada hal yang harus dicurigai.“Aku sudah katakan padamu, kedatangannya adalah untuk berterima kasih karena tidak menghalangi Bram keluar dari perusahan,” jelas Leo pelan di telinga sang istri.“Mereka memutuskan untuk meninggalkan kota ini, jadi Bram sudah mengundur diri,” sambungnya.“Kenapa harus bertemu? Bukankah Bram bisa mewakili, Kenapa harus datang padaku, bukankah sama saja dia ingin mengulang kejadian yang telah lalu?” balas Alice akhirnya. Wanita itu membuka mata, tak menoleh tetapi masih menunggu suaminya menjawab pertanyaannya.“Sera yang memaksa untuk datang dan kebetulan dia–”“Apakah setelah melihatnya kembali hatimu masih bergetar? Dia bah
Bram mengangkat wajah, menatap wanita seksi yang melangkah ke arahnya. Wanita dengan rambut panjang bergelombang serta bibir merah yang menggoda.“Tidak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?” Bram meletakkan ponsel di atas meja, lalu berpindah ke sofa single.Si wanita terkekeh, ia mendekat dan duduk di hadapan Bram dengan gaya sensual.“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sabar menunjukkan hasil karya saya, karena itulah lupa untuk mengetuk.” Mendengus kasar, Bram meraih dikumen yang sudah ada di atas meja. “Mulai besok, bawa langsung ke ruangan pak Leo, dia akan memeriksa tugasmu hingga–”“Tidak Pak. Saya tidak akan mempertaruhkan diri saya. Lebih baik bertanya dulu pada Pak Bram setelah itu ke ruangan pak Leo,” terangnya.“Della–”“Saya tidak mau Pak. Pak Leo terlalu kaku untuk saya, lagipula anak-anaknya sudah pernah salah paham pada saya,” keluhnya tak ingin mendapat masalah.Bram menghela napas, ia memeriksa kerjaan Della, setelah merasa bahwa semua sudah benar, ia kembali memberikan pad
Sera terdiam, ia tak melanjutkan makannya. Ia lebih memilih mendengarkan pertengkaran orang tuanya.Ia membuang napas kasar dan berdiri meninggalkan Dara dan Bram yang masih berdebat tentang Alice.“Seharusnya aku tidak merusak pestaku sendiri,” gumamnya dengan wajah lesu.Ia keluar dari resto dan duduk di bangku taman, gadis kecil itu menunduk dengan wajah sedih.“Kamu di sini?” Suara seseorang membuatnya menoleh. Sera terlihat mengingat seseorang yang berada di sebelahnya.Ia langsung berdiri tatkala mengingat dengan benar. “Maafkan aku.” Sera hendak meninggalkan tempat, tetapi Damian mencegahnya, “Sera … apakah namamu Sera?”Sera menoleh dengan tatapan tidak suka, “Bukan. Jangan mendekatiku. Aku tidak mau berdekatan dengan keluarga Clara.”“Clara? Kamu mengenal adikku?” Sera mendengus kecil, “Tentu saja, Clara temanku,” katanya duduk lagi di bangku, “tapi aku tidak ingin berteman dengannya lagi.”Alisa Damian menukik tajam, “Apakah adikku membuat ulah? Dia mengganggumu?”Sera men
Leonardo terdiam, ia menatap wajah istrinya yang semakin cantik meski anak-anak mereka telah menjadi remaja.Tangan kekar itu mengulur, mengusap lembut lengan sang istri lembut. “Dia adalah Sera.”“Apakah dia kerabat Bram? Aku merasa tidak asing dengan tatapan mata gadis itu, seperti aku pernah melihat tatapan itu sebelumnya,” kata Alice, “apakah aku salah jika aku merasa gadis kecil itu seperti tidak menyukaiku?”Leonardo memasang wajah datar, ia menatap istrinya dengan tatapan hangat, “Iya, dia adalah kerabat dari Bram,” katanya, “dan tatapan itu, bukan tatapan tidak suka, jangan berpikir terlalu jauh, ya.”Alice menggeleng. “Ya, aku harap salah menilai. Apakah dia anak dari saudara Bram? Atau–”“Dia adalah anak Bram,” jawab Leo segera.“Anak? Bram sudah menikah?” tanya Alice, ia bahkan hak pernah mendengar jika asisten suaminya menikah. Selama ini, mereka mengenal Bram sebagai praibaik, lalu sejak kapan Bram menikah dengan anak sebesar itu?“Tidak menikah, mereka memutuskan untuk t
“Aku akan memikirkan ini dengan segera,” kata Bram pada akhirnya.Dara mengangguk. “Terima kasih, aku hanya ingin Sera baik-baik saja dan jauh dari mereka.”Dara teringat sesuatu. Ia menatap Bram dengan rasa khawatiran yang semakin mencuat. “Bram, bukankah kamu pergi menjemput pak Leo? Kamu tidak memberitahu siapa Sera padanya kan?” tanyanya serius.Bram terdiam, ia memaksa untuk tersenyum, “Dara, aku–”“Jangan katakan jika pak Leo sudah tahu siapa Sera, Bram?” Dara semakin khawatir, ia mencoba percaya pada Bram sepenuhnya.“Pak Leo sudah tahu,” jawabnya tanpa menoleh, pria itu sebenarnya lebih khawatir pada Alice, apalagi tatapannya tadi seolah sudah mengetahui semuanya.“Ba-bagaimana kamu bisa memberitahunya, Bram?” pekik Dara tertahan, takut jika Sera mendengar obrolan mereka.“Jika pak Leo tahu, istrinya sudah pasti–” Dara terdiam lagi, ia menatap Bram semakin lamat, “apakah kamu membawa Sera ke rumahnya? Kamu pergi membawa anakku mengantarnya ke rumah?”Leo membuang napas kasar,