Tiba di gedung tinggi, Alice masuk seorang diri. Sementara Edgar, ia langsung membawa mobil mewahnya melaju dengan kecepatan sedang. Pria muda itu, memiliki janji lain yang tidak bisa ditundanya.“Saya ingin bertemu dengan pak Leo, apakah beliau ada di ruangannya?” tanya Alice pada resepsionis.Kedua wanita cantik di sana terperangah menatap kecantikan Alice dari dekat, terlihat seperti boneka hidup yang bersinar.“Maaf Nyonya, tetapi Pak Leo baru saja keluar dalam pertemuan,” jawab salah satu diantara mereka, menunduk merasa tidak enak.Alice berdecak, andai saja dia menerima panggilan Leo tadi, ia tidak perlu serepot ini.“Kira-kira kembali berapa jam lagi?” Alice masih mencoba menunggu.“Sekitar dua jam lagi, Nyonya. Anda bisa menunggu di ruangan pak Leo jika ingin,” balas mereka sopan. “Tidak perlu. Aku kembali saja.” Alice berbalik dan sudah siap ingin menelepon supir, tetapi Bram segera tiba dengan langkah yang lebar.“Nyonya, Anda di sini?” tanya Bram tidak tahu jika Alice ber
Leo mengusap wajah setelah mendengar apa yang Bram beritahu. Alice tahu kemana dirinya dan itu sangat memalukan. Berulang kali, ia meyakinkan, tetapi berulang kali juga dia memberi bukti bahwa dirinya tidak bisa lepas dari Dara.“Aku akan kembali beberapa menit lagi.” Leonardo mematikan ponselnya dan meletakkan di samping duduknya. Pria itu, menghembuskan napas berulang kali. Setelah merasa tenang, berulah ia meminta supir untuk membawanya kembali ke kantor. Leo akan menenangkan diri juga membuat narasi agar alasannya bisa diterima oleh Alice.Ia pun akan meminta Bram untuk bersiap selama kepergiannya berlibur.Tiba di gedung miliknya, Leonardo langsung masuk dengan langkah yang lebar. Ia ingin mendengar sekali lagi apa yang Bram jelaskan tadi padanya. “Bram, masuk ke ruanganku!” pinta Leo pada Bram yang kebetulan keluar dari ruangannya.Bram menutup pintu dan mengekor di belakang bosnya, wajah tegang Leonardo sudah dipastikan terjadi sesuatu yang tidak baik sebelumnya.“Duduk dulu
Di dalam ruangan dengan cat berwarna coklat muda. Leonardo membelakangi ibunya, menatap para pekerja yang tengah membersihkan pekarangan mereka seperti biasa.“Itu hanya akal-akalan Dara saja, Bu. Jangan diambil pusing,” jaga Leo setelah mendengar semua ancaman Dari pada ibunya.Luna mendekat, berdiri di sebelah Leo yang bersedekap dada. “Ibu tahu, dia hanya mengancam, tetapi tetap saja, ibu akan khawatir. Bagaimana jika tuan Oscar tahu dan marah pada kita?”Leo berbalik, menoleh pada ibunya yang terlihat sangat gusar. “Ibu, itu tidak akan terjadi. Lagipula, ayah mertuaku tahu mana yang bisa dianggap serius dan tidak. Apa yang akan Dara sebarkan juga bukan barang bukti yang kuat, itu hanya masa kecil kami.”Luna menggeleng kuat. “Kamu salah Leo. Wanita itu memiliki satu foto kalian saat bersama di–”Luna tidak bisa melanjutkan perkataannya, ia begitu malu dan juga marah pada dirinya sendiri. Sejujurnya, ini terjadi karena keinginannya yang meminta Dara mendekati Leo.“Aku akan mengur
Leonardo terdiam, ia menatap seluruh ruangan yang masih remang. Pembicaraan dengan kakeknya beberapa jam lalu, berhasil membuatnya merasa bersalah.Pria tua itu dengan teliti memeriksa semua tentang dirinya. Bahkan keberangkatan bersama Dara kala itu pun kakeknya ketahui.Leonardo menggenggam besi balkon dengan kuat. Bukan karena memiliki rasa cinta pada Dara hingga ia begitu takut jika ada hal buruk terjadi.Wanita itu—Dara, hanya memiliki dirinya seorang. Lalu, bisakah Leonardo lepas tangan begitu saja?Ada rasa yang salah yang terasa begitu menyakitkan. Di mana dia memposisikan jika Alice menjadi dirinya. Mungkin Alice masih bisa tenang dengan semua yang terjadi, sementara dirinya membayangkan saja rasanya sudah ingin menghancurkan Arsen.Arsen menoleh ke belakang, menatap ranjang yang ditiduri wanita cantik di atasnya. Lekuk tubuh Alice memang begitu menggiurkan, tetapi masih saja ia menyakiti sang istri dengan membiarkan wanita lain memeluknya.Perlahan Leo melangkah ke arah ranj
Seharian, Horison bekerja keras dalam usaha menghias kamar bayi, ia juga meminta pelayan di kamar atas memasang tangkapan video agar bisa melihat apa yang mereka kerjakan.Hingga malam hari, Luna kembali dengan wajah bahagia. Senang karena memiliki waktu yang banyak dengan teman-teman sebayanya.Ibu Leonardo itu, terperangah tatkala melihat banyaknya barang bayi di dekat tangga menuju lantai atas.“Ayah, dari mana semua barang-barang ini?” tanya Luna tidak percaya, di depan pintu kamar tamu tidak jauh dari kamar miliknya juga terdapat banyak sekali barang yang serupa.Horison menoleh pada Luna yang terlihat terkejut. “Menurutmu dari mana? Hanya aku saja yang begitu berharap Leo memiliki penerus, rupanya.”Luna terperangah mendengar ucapan mertuanya, “Ayah, Alice bahkan belum memiliki tanda kehamilan, jadi wajar saja jika aku tidak seperti Ayah,” kata Luna sembari melirik semua barang yang ayahnya beli. “Ayah membeli mainan untuk anak lelaki? Bagaimana jika mereka memiliki anak peremp
Matahari mulai naik, cahaya yang terasa hangat sudah masuk ke dalam kamar dengan hiasan yang indah. Leonardo membuka mata pertama kali, merasakan embusan hangat napas wangi seseorang yang berada di hadapannya.Senyumnya terpatri indah membayangkan kegiatan panas mereka semalam.Leonardo memajukan wajahnya, mengecup pelan kelopak mata yang begitu indah seperti berlian. Bibir tipis dengan warna merah yang alami serta wajah putih yang sedikit berisi.“Selamat pagi,” bisik Leo tatkala melihat kelopak mata Alice mulai terbuka dengan perlahan.Alice menarik selimutnya menutupi wajah. Ia begitu malu karena jarak wajah mereka begitu dekat. Ia tidak tahu bagaimana kondisi wajahnya saat ini.“Kenapa menutup wajahmu?” Leonardo menahan selimut yang ditarik turun agar tidak naik lagi.“Aku malu. Wajahku mungkin saja sangat buruk saat ini,” cicit Alice memejamkan mata.“Buka matamu, aku menyukai sinar matamu, Alice,” kata Leo masih menunggu manik indah itu terbuka.“Aku malu,” balasnya, “putar bada
Pelayan wanita yang membersihkan kamar Alice berlari turun dengan jantung berdebar. Untung saja, ia tidak jadi dipecat hari ini. “Astaga, aku sampai lupa memberitahu nona Silvia jika nyonya Delima mencari,” gerutu si pelayan setelah sampai di dapur.Ia mengatur napas, memegang dada dan melirik ke lantai atas lagi, dia memang bersalah karena telah lancang duduk di kursi Alice, bahkan dengan tidak sengaja membuka tutup parfum manjikannya dengan sengaja.“Ada apa? Apa kamu melihat hantu lagi?” tegur teman yang lain, ia melihat tingkah aneh temannya setelah turun dari lantai atas.“Diamlah, aku hampir saja dipecat oleh nona Silvia,” jawabnya dengan wajah memelas, “aku duduk di kursi rias nona Alice.”Temannya menggeleng pelan, sesama pelayan dia juga menyayangkan perbuatan temannya yang begitu lancang. “Lain kali ingat di mana pisisi kita, masih untung nona Silvia tidak memecat dirimu.”“Iya, aku akan perhatian ini. Sudahlah, aku ingin minta bantuanmu, mau tidak?”Si teman yang penasaran
Alice keluar dari kamar mencari keberadaan Leonardo yang tidak terlihat sejak semalam. Alice mengetahui itu karena tengah malam ia terbangun dan tidak mendapati Leo di sebelahnya.Kaki tanpa alas itu keluar dari kamar, menginjak pasir halus dan melangkah ke arah pantai yang masih sangat bersih. Ia melirik ke segala arah, tetapi tak menemukan keberadaan Leonardo di mana pun.“Nona, Anda membutuhkan sesuatu?” Seorang pria berbadan besar dengan kaca mata hitam mendekat ke arahnya.“Tidak. Aku tidak membutuhkan apa pun,” jawab Alice, “apakah kalian melihat kemana suamiku?”Pria besar yang Alice tahu adalah orang ayahnya mengangguk. “Tuan berada di Paviliun pantai.”Alice mengangguk, ia membiarkan orang ayahnya untuk segera meninggalkan dirinya. Alice membuang napas panjang. Ia berjalan menuju Paviliun dengan langkah cepat ke arah yang dimaksud orang ayahnya. Paviliun itu, dulu tempat ayah dan ibunya bersantai ketika mereka berlibur bersama.Dari kejauhan, Alice bisa melihat sosok tegap