Alice terbelalak tatkala melihat siapa yang sudah berada di pintu apartemennya. Pria dengan wajah tampan dan rupawan menatapnya dengan tatapan dingin.“L-leon, kamu–”Alice terkejut tatkala Leonardo langsung mendorong dan menahannya di dinding. Deru napasnya memburu karena terlalu terkejut.Tanpa basa-basi Leonardo langsung membekap bibir manis sang istri, tidak memberi napas barang sedikit pun.“Sudah aku katakan, aku tidak akan membiarkanmu pergi, Alice Amelia,” kata Leonardo dengan suara dalam setelah melepas ciumannya.“Le-leon, aku–”Lagi-lagi Leonardo membekap bibir manis istrinya, tidak membiarkan Alice menjelaskan apa pun sebelum dirinya merasa puas.“Aku tidak ingin mendengarkan dirimu lagi, aku tidak akan biarkan kamu terus merusak otak dan hatiku,” katanya dengan tatapan penuh kerinduan.Leonardo menyeringai tajam, ia membawa Alice dalam gendongannya dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang diyakini adalah kamar sang istri.Alice terlempar dengan kerasnya di atas ranjang,
Di rumah mewah bernuansa klasik. Pria dengan wajah masih terlihat tampan itu menutup telepon dengan membuang napas lelah. Beberapa tidak hari tidak melihat putrinya membuatnya penasaran di mana Alice bersembunyi.“Di mana kak Amelia, Ayah?” tanya Silvia yang berada di dalam ruang kerja ayahnya. Gadis manis itu memang sengaja menanyakan di mana keberadaan kakaknya pada sang ayah.“Di apartemen milik ibunya,” jawab Oscar tenang. Silvia tersenyum kecil, ia bahkan tidak tahu di mana apartment itu. Juga tidak tahu di mana harta lain ayahnya yang masih tersembunyi.Bodoh? Itulah yang dia dan ibunya sandang. Mereka tidak tahu di mana kekayaan Oscar atas nama ibu Alice yang lain.Oscar meminta Silvia duduk di dekatnya, putri dan istrinya ini memang terkesan lebih menurut dibandingkan Alice putrinya.“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Oscar serius.“Semua berjalan baik, Ayah. Beberapa hari ke depan, aku juga akan ke luar kota untuk memeriksa kantor yang di sana,” lapor Silvia senang dengan kesibu
“Kamu tidak makan?” Leo menggantung sendok di dekat mulutnya. Ia menatap Alice yang tidak menyentuh sendok nasi sedikit pun.“Makan saja. Aku sudah makan lebih dahulu,” jawab Alice masih enggan menatap mata suaminya. Takut luluh dan dia kembali menjadi wanita bodoh.Leonardo meletakkan sendoknya lagi dan mendorong piringnya kesamping. Ia meraih tangan Alice dan menganggapnya erat.“Masih marah padaku?”Alice tersenyum getir, haruskan dia mengatakan jika dia baik-baik saja? Haruskah dia mengatakan jika dia bahagia mengetahui suaminya bermalam dengan wanita lain? Apakah Leo tidak memikirkan bagaimana hancurnya harinya?Menghela napas berat, Alice menggeleng. “Marah untuk apa? Aku sudah menyadari semua jadi jangan khawatirkan apa pun.”Wajah Leo mengetat. Bagaimana dia akan bicarakan ini pada Alice. Wanita di hadapannya terlalu keras kepala dan susah untuk dibuat mengerti. Leonardo berdiri dari duduknya. Ia berjalan ke arah sofa dan meraih jas miliknya. “Melihat itu, Alice lantas berdi
“Selamat pagi, Leo.” Dara memasuki ruangan dengan senyum yang ramah. Sejak semalam dia sudah memikirkan banyak cara untuk membuat Leo kembali menerima dirinya. Sudah satu Minggu terakhir dan pria yang dicintainya tidak mau bersikap baik lagi.“Selamat pagi juga, Nona Dara,” balas Bram yang ternyata ada di dalam ruangan. Dara menoleh dan mendapati pria dengan penampilan selalu rapi, menatapnya dengan tatapan seperti biasa—misterius.“Selamat pagi, Pak Bram. Saya tidak mengira jika Anda ada di dalam,” kata Dara membalas sapaan Bram. Kemudian menoleh pada Leo yang masih sibuk dengan pekerjaannya di atas meja.“Saya dan Pak Leo sedang membahas soal liburan jadi—”“Kalian akan berlibur? Kebetulan sekali saya ingin ikut,” kata Dara cepat memotong ucapan Bram. Wanita itu begitu antusiasnya membahas soal liburan, mengira jika dengan ini dia dan Leo bisa saling dekat lagi.Bram melirik ke arah Leo yang tidak terganggu sedikit pun. Ia tahu jika bosnya tengah fokus pada sesuatu. Bram mendekat,
“Ada apa dengan wajahmu?” tanya Bram pada Dara yang terlihat sangat kesal setelah keluar dari toilet.“Pak Bram tidak perlu tahu,” jawabnya ketus. Hatinya begitu sakit atas ucapan Alice padanya, wanita itu berani sekali membuatnya gemetar seperti ini.Bram melihat ke belakang, mencari penyebab Dara yang mendadak pucat, “Kamu bertemu hantu?”Dara menoleh cepat. Bibirnya menyeringai tipis. “Ya, hantu perempuan. Pak Bram jika berani melakukan kesalahan, saya pastikan Anda langsung dipecat.”Alis Bram terlihat mengkerut, kemudian dia berdecak dan menatap Dara kembali, “Pergi ke pusat pembelanjaan, bos memintamu mencari ini di sana.”Baram menyerahkan kertas selembar yang berisi banyak sekali list yang Leo inginkan. Ia membaca dengan teliti dan tahu jika semua itu untuk Alice.“Aku tidak bisa. Pak Bram tidak lihat pekerjaanku sangat banyak?” tolaknya keras.“Kamu berani menolak perintah nona Dara? Ini bos langsung perintahkan,” kata Bram merasa gemas sendiri.“Saya tidak bisa. Saya–” Dara
Beberapa saat keduanya terdiam bersama. Alice masih dengan posisi membelakangi Leonardo, pun dengan Leo yang terlihat memunggungi sang istri dengan kedua tangan berada di kaca lift.Alice menelan ludah, menghela napas serta mengatur detakan jantungnya yang kian memburu.“Aku tidak mau tahu. Hari ini kamu harus kembali ke rumah,” kata Leonardo, ia tidak menoleh tetapi dapat melihat Alice yang melirik padanya melalui pantulan cermin.Leonardo membalik diri tatkala pintu lift terbuka. Di luar sudah ada beberapa karyawan yang menatap mereka dengan tatapan ragu.Leo meraih tangan istrinya, membawa Alice keluar melewati yang lain. Pria itu, seolah ingin menunjukkan sekali lagi jika dirinya hanya mencintai Alice seorang.“Lepaskan tanganku. Aku bisa jalan sendiri,” ucap Alice mencoba melepas tangannya, tetapi tangan Leo terlalu kuat mencekalnya.Leo menghentikan langkah dan menoleh, menatap Alice dengan sorot mata tajam, seolah tidak akan melepaskannya begitu saja. "Kamu benar-benar ingin p
“Sebenarnya, apa yang ingin kamu bicarakan, Alice? Kenapa selalu saja mengungkit masalah Dara, Dara dan Dara,” kata Leo mulai merasa gusar dan frustasi.Mereka berdua selalu saja membahas soal yang sudah-sudah dan itu sangat melelahkan.Alice membuang napas lelah, “Aku lelah, Leon. Biarkan aku kembali dulu.” Alice susah melangkah ingin meninggalkan Leonardo, tetapi dengan cepat, pria itu, menahan tangan istrinya dan mengangkatnya.“Leon,” ucap Alice begitu terkejut, dia sudah berada di atas panggung Leon dengan tubuh yang kepalanya berada di bawah.“Diam atau aku akan membuatmu semakin menderita,” ancam Leonardo tidak sungguh-sungguh.Sampai di depan dinding besar, Leonardo mendorong dengan pelan hingga pintu terbuka. Alice mendongak dan melihat sisi lain dari ruang kerja suaminya. Ini pertama kali, selama mereka menikah. Sungguh miris.Leonardo menurunkan Alice dengan pelan, lalu menutup pintu dengan sekali tekan. Melihat itu, Alice langsung waspada. Ia tahu apa yang akan terjadi de
Mobil mewah milik Leonardo membelah jalan, dengan sapuan gerimis yang mulai turun menghiasi kaca. Hening menyelimuti mereka, dengan Alice yang terus membuang enggan menatap suaminya. Leonardo melirik sekilas ke arahnya, ingin menjangkau, tetapi Alice tetap kukuh dengan sikapnya. Matanya tertuju keluar jendela, terpaku pada setiap titik hujan yang jatuh. Menghela napas pelan, Leo terus melanjutkan perjalanan mereka, tidak peduli jika Alice akan semakin membenci dirinya.Alice yang merasa bahwa semua sia-sia, ini menegakkan tubuhnya. Ia lelah jika harus selalu mendebat Leonardo. Namun, lagi-lagi sebuah benda kecil membuatnya tertawa miris.“Kenapa memaksa diri, Leon,” katanya membuat Leonardo semakin bingung padanya, “tadi pita rambut sekarang sebuah lipstik merah muda.”Leonardo menatap ke arah pandang Alice. Di sana terdapat lipstik merah muda milik seseorang. Leonardo mengerutkan kening karena seingatnya, pagi tadi, benda itu tidak ada di sana.“Buang saja,” kata Leonardo singkat,