“Apa yang Kak Alca ingin jelaskan. Semua sudah jelas.” Ale memilih melewati Alca. Alca segera berbalik untuk mengejar Ale lagi. Menghadang Ale yang berjalan. “Apa yang dilihat terkadang tidak sama dengan yang terjadi, Al. Maka dengarkan aku dulu.” Alca mencoba meyakinkan Ale. Hanya cara ini yang bisa dilakukan. “Baiklah, aku akan dengarkan.” Ale berbalik. Memilih untuk duduk di sofa yang berada di ruang keluarga. Dia menunggu Alca untuk menceritakan semuanya. Alca bersyukur Ale mau mendengarkannya. Paling tidak mendengar penjelasannya dapat membuat Ale memaafkannya. Dengan segera Alca duduk di sofa yang berada di ruang keluarga. Berhadapan dengan Ale.“Al, aku memang memiliki kekasih ketika menikah denganmu. Bahkan jauh sebelum menikah denganmu. Gadis itu bernama Zira. Kami menjalin hubungan sejak lama. Saat itu aku sudah menolak pernikahan kita karena aku memiliki kekasih, tetapi mama memaksa. Saat mengetahui kamu menolak menikah denganku, aku terbawa emosi dan memutuskan meni
Sejak awal Dima tidak pernah keluar dari hati Ale sama sekali, dan tidak akan pernah keluar dari hatinya. Harusnya Alca tahu itu tanpa meminta sekali pun. Lagi pula posisinya berbeda. Zira nyata, sedangkan Dima tidak nyata. Dima sudah pergi untuk selamanya, sedangkan Zira masih ada. Wanita mana yang bisa melihat orang yang dicintai bersama wanita lain. Satu hal lagi. Sekalipun Dima berdampingan dengan Alca di dalam hatinya, tetap saja mereka tidak akan bersaing. Berbeda dengan dirinya dan Zira yang berdampingan. Pastinya akan ada persaingan untuk mendapatkan sepenuhnya hati Alca. “Jika Kak Alca meminta aku mengeluarkan Dima, lebih baik Kak Alca tidak perlu mengeluarkan Zira dari hati Kak Alca. Biarkan aku yang keluar dari hati Kak Alca.” Ale segera masuk ke kamarnya. Kemudian menatap rapat. Alca mengusap wajahnya. Dia merutuki kesalahannya ketika mengatakan hal itu pada Ale. Sejak awal harusnya dia tahu jika Alca tidak akan pernah mengeluarkan Dima dari hatinya. Dia sendiri yang m
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Alca khawatir. Di saat saling diam seperti ini justru membuat Ale bingung harus menjawab ucapan Alca atau tidak. “Tidak apa-apa, hanya dia menendang cukup kencang,” jawab Ale. Karena sang anak yang menendang cukup kencang memang membuat Ale tiba-tiba terkejut. Sampai-sampai mengaduh sakit. Mendengar penjelasan Ale, membuat Alca mengalihkan pandangan pada perut Ale. “Sayang, kenapa kamu menendang?” tanya Alca seraya membelai perut Ale. Seolah bicara dengan anak yang berada di perut Ale. “Sebentar lagi papa dan mama akan melihatmu. Jadi jangan buat mama kesskitan.” Alca terus membelai perut Ale. Sedikit membungkukkan tubuhnya, dia mendaratkan kecupan di perut Ale. Apa yang dilakukan Alca itu jelas membuat Ale merasa terharu. Alca begitu menyayangi anaknya. Namun, jika melihat apa yang dilakukan Alca, rasanya tidak percaya Alca akan tega melakukan itu semua. “Dia tidak akan menendang kencang lagi.” Alca menatap Ale. Meyakinkan Ale. Rasanya Ale ingin ter
“Aku ingin kamu tidur pulas agar cukup tidur.” Alca menjawab santai. Ale membulatkan matanya. Terkejut dengan yang dikatakan Alca. Tidak terpikir olehnya sama sekali. Alca akan melakukan hal itu.“Aku akan tidur sendiri saja.” Ale menolak yang ditawarkan Alca. “Kata mama, aku harus memijatmu agar kamu lebih rileks. Jadi aku akan tetap di sini untuk membantumu.” Alca segera menarik kursi di depan meja rias. Membawanya ke samping tempat tidur. Ale merasa geram. Jelas-jelas dirinya sedang kesal dengan Alca, bisa-bisanya pria itu dengan tenangnya mau memijat. “Jika Kak Alca mau aku rileks, lebih baik Kak Alca keluar saja. Aku yakin, aku akan tidur lebih nyenyak.” Ale menatap tajam pada Alca. Dia tentu saja tidak akan mau menerima perhatian Alca. Yang ada nanti Ale semakin sulit untuk melepaskan Alca. Yang ada nanti hatinya akan terluka kembali.Mendapati jawaban itu membuat Alca sedikit terluka. Beginilah rasanya dicintai, tetapi ditolak. Ini adalah kali pertama Alca merasakannya. “A
Alca segera membuatkan coklat hangat untuk Ale. Kemudian membawanya ke ruang makan dan meletakkannya di atas meja di mana Ale duduk. “Minumlah.” Alca menyodorkan cangkir berisi coklat hangat. “Terima kasih.” Ale meraih cangkir tersebut. Aroma manis dari coklat membuatnya merasa begitu lebih tenang. Saat mengangkat cangkir dan menyesap coklat, Ale merasa manis pahit dari coklat. Walaupun rasanya perpaduan manis dan pahit, tetap saja terasa nikmat. “Terkadang hidup seperti rasa coklat. Manis, tetapi sedikit memberikan sensasi pahit.” Alca mengomentari coklat yang sedang diminum.Ale yang menikmati coklatnya, hanya melirik saja. “Hidup tidak selalu manis saja, pasti ada pahitnya sedikit. Tergantung bagaimana cara menikmati.” Alca melanjutkan kembali. “Dulu aku pikir menikah denganmu adalah sebuah paksaan. Terasa begitu menyebalkan sekali. Namun, lambat laun perasan itu berubah. Rasa benci yang ada perlahan sirna. Yang perlahan berganti rasa cinta yang begitu besarnya. Dari rasa p
BAle memutar tubuhnya ke arah samping. Embusan napas halus terasa tepat di depannya. Tiba-tiba saja Ale merasakan tangan merengkuh pinggangnya. Ale membuka matanya untuk tahu siapa yang ada di depannya itu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati jika itu adalah Alca. Suaminya itu ternyata tidur di kamarnya. Sejenak Ale memikirkan jika semalam Alca memijatnya. Rasa kantuk yang dirasakannya membuat Ale tidak ingat apa pun. Ale memandangi Alca. Ini kali pertama Alca tidur di kamarnya. Lebih tepatnya kamar Dima dan dirinya. Rasanya sedikit aneh bagi Ale. Mengingat bayangan Dima masih ada di pikirannya. Jika dulu saat membuka mata ada Dima, kini semua berubah. Saat membuka mata ada Alca di depannya. ‘Apa aku akan benar-benar menempatkan Kak Alca berdampingan dengan Dima?’ tanya Ale pada dirinya. Ale merasa masih aneh saja ketika Alca hadir di hidupnya. Serasa ada yang berbeda. Memandangi wajah Alca yang begitu pulas, mengingatkan Ale pada sesuatu. ‘Pantas aku tidur pulas,’ batinnya A
“Al, terima kasih sudah memberikan aku kesempatan.” Alca memegangi pipi Ale. Dia merasa bersyukur Ale mau menerimanya kembali. “Masih banyak keraguan di hatiku. Jadi aku harap Kak Ale dapat membuat Keraguan itu hilang.” Ale menatap Alca.Ale mengangguk. “Apa Kak Alca tidak pergi ke kantor?” tanya Ale. Alca masih di tempat tidur. Seolah tidak berniat untuk bangun dari tempat tidur. “Aku malas.” Alca meraih pinggang Ale. Menariknya untuk lebih mendekatkan padanya. Ale masih merasa canggung ketika Alca mendekatinya. Alca mendekatkan wajahnya ke arah Ale. Berusaha meraih bibir manis Ale.“Maaf, Kak.” Tiba-tiba Ale menghentikan aksi Alca. Dia menundukkan kepalanya. Masih belum siap untuk melakukan hal itu. Alca sadar jika Ale pasti masih merasa canggung dengannya. Dia paham dengan itu. “Tidak apa-apa.” Alca tidak akan memaksa jika memang Ale tidak mau. Sedikit canggung memang, tetapi perlahan pastinya akan lebih baik. “Aku akan mandi dulu. Setelah itu berangkat bekerja.” Alca ber
Akhirnya Ale dan Alca pergi ke puncak untuk menikmati liburan mereka. Ale cukup antusias karena sejak hubungannya dengan Alca renggang. Baru kali ini Ale menikmati waktu berdua. Mereka berangkat siang. Karena semalam, mereka berdua pulang larut malam.Sepanjang perjalanan Ale menikmati pemandangan yang dilewati saat sampai di daerah puncak, sengaja Alca mematikan pendingin mobil. Kemudian membuka kaca mobil. Membiarkan udara masuk ke dalam. Udara yang begitu segar membuat Ale merasa senang sekali. Karena udara begitu sejuk. Mungkin karena banyaknya pepohonan jadi membuat udara begitu bersih dan sejuk. Ale membiarkan udara pegunungan menerpanya. Rambutnya yang panjang berterangan. Ale membiarkan itu karena dia lebih suka ketika udara sejuk dapat dinikmati. Melihat Ale yang menikmati udara sejuk, membuat Alca ikut senang. Karena senyum tipis tertarik di sudut bibir Ale. Mobil sampai di vila yang dipesan Alca. Saat keluar, Ale disuguhkan dengan pemandangan indah kota yang terlihat d