“Kamu tidak apa-apa?” tanya Alca khawatir. Di saat saling diam seperti ini justru membuat Ale bingung harus menjawab ucapan Alca atau tidak. “Tidak apa-apa, hanya dia menendang cukup kencang,” jawab Ale. Karena sang anak yang menendang cukup kencang memang membuat Ale tiba-tiba terkejut. Sampai-sampai mengaduh sakit. Mendengar penjelasan Ale, membuat Alca mengalihkan pandangan pada perut Ale. “Sayang, kenapa kamu menendang?” tanya Alca seraya membelai perut Ale. Seolah bicara dengan anak yang berada di perut Ale. “Sebentar lagi papa dan mama akan melihatmu. Jadi jangan buat mama kesskitan.” Alca terus membelai perut Ale. Sedikit membungkukkan tubuhnya, dia mendaratkan kecupan di perut Ale. Apa yang dilakukan Alca itu jelas membuat Ale merasa terharu. Alca begitu menyayangi anaknya. Namun, jika melihat apa yang dilakukan Alca, rasanya tidak percaya Alca akan tega melakukan itu semua. “Dia tidak akan menendang kencang lagi.” Alca menatap Ale. Meyakinkan Ale. Rasanya Ale ingin ter
“Aku ingin kamu tidur pulas agar cukup tidur.” Alca menjawab santai. Ale membulatkan matanya. Terkejut dengan yang dikatakan Alca. Tidak terpikir olehnya sama sekali. Alca akan melakukan hal itu.“Aku akan tidur sendiri saja.” Ale menolak yang ditawarkan Alca. “Kata mama, aku harus memijatmu agar kamu lebih rileks. Jadi aku akan tetap di sini untuk membantumu.” Alca segera menarik kursi di depan meja rias. Membawanya ke samping tempat tidur. Ale merasa geram. Jelas-jelas dirinya sedang kesal dengan Alca, bisa-bisanya pria itu dengan tenangnya mau memijat. “Jika Kak Alca mau aku rileks, lebih baik Kak Alca keluar saja. Aku yakin, aku akan tidur lebih nyenyak.” Ale menatap tajam pada Alca. Dia tentu saja tidak akan mau menerima perhatian Alca. Yang ada nanti Ale semakin sulit untuk melepaskan Alca. Yang ada nanti hatinya akan terluka kembali.Mendapati jawaban itu membuat Alca sedikit terluka. Beginilah rasanya dicintai, tetapi ditolak. Ini adalah kali pertama Alca merasakannya. “A
Alca segera membuatkan coklat hangat untuk Ale. Kemudian membawanya ke ruang makan dan meletakkannya di atas meja di mana Ale duduk. “Minumlah.” Alca menyodorkan cangkir berisi coklat hangat. “Terima kasih.” Ale meraih cangkir tersebut. Aroma manis dari coklat membuatnya merasa begitu lebih tenang. Saat mengangkat cangkir dan menyesap coklat, Ale merasa manis pahit dari coklat. Walaupun rasanya perpaduan manis dan pahit, tetap saja terasa nikmat. “Terkadang hidup seperti rasa coklat. Manis, tetapi sedikit memberikan sensasi pahit.” Alca mengomentari coklat yang sedang diminum.Ale yang menikmati coklatnya, hanya melirik saja. “Hidup tidak selalu manis saja, pasti ada pahitnya sedikit. Tergantung bagaimana cara menikmati.” Alca melanjutkan kembali. “Dulu aku pikir menikah denganmu adalah sebuah paksaan. Terasa begitu menyebalkan sekali. Namun, lambat laun perasan itu berubah. Rasa benci yang ada perlahan sirna. Yang perlahan berganti rasa cinta yang begitu besarnya. Dari rasa p
BAle memutar tubuhnya ke arah samping. Embusan napas halus terasa tepat di depannya. Tiba-tiba saja Ale merasakan tangan merengkuh pinggangnya. Ale membuka matanya untuk tahu siapa yang ada di depannya itu. Alangkah terkejutnya ketika mendapati jika itu adalah Alca. Suaminya itu ternyata tidur di kamarnya. Sejenak Ale memikirkan jika semalam Alca memijatnya. Rasa kantuk yang dirasakannya membuat Ale tidak ingat apa pun. Ale memandangi Alca. Ini kali pertama Alca tidur di kamarnya. Lebih tepatnya kamar Dima dan dirinya. Rasanya sedikit aneh bagi Ale. Mengingat bayangan Dima masih ada di pikirannya. Jika dulu saat membuka mata ada Dima, kini semua berubah. Saat membuka mata ada Alca di depannya. ‘Apa aku akan benar-benar menempatkan Kak Alca berdampingan dengan Dima?’ tanya Ale pada dirinya. Ale merasa masih aneh saja ketika Alca hadir di hidupnya. Serasa ada yang berbeda. Memandangi wajah Alca yang begitu pulas, mengingatkan Ale pada sesuatu. ‘Pantas aku tidur pulas,’ batinnya A
“Al, terima kasih sudah memberikan aku kesempatan.” Alca memegangi pipi Ale. Dia merasa bersyukur Ale mau menerimanya kembali. “Masih banyak keraguan di hatiku. Jadi aku harap Kak Ale dapat membuat Keraguan itu hilang.” Ale menatap Alca.Ale mengangguk. “Apa Kak Alca tidak pergi ke kantor?” tanya Ale. Alca masih di tempat tidur. Seolah tidak berniat untuk bangun dari tempat tidur. “Aku malas.” Alca meraih pinggang Ale. Menariknya untuk lebih mendekatkan padanya. Ale masih merasa canggung ketika Alca mendekatinya. Alca mendekatkan wajahnya ke arah Ale. Berusaha meraih bibir manis Ale.“Maaf, Kak.” Tiba-tiba Ale menghentikan aksi Alca. Dia menundukkan kepalanya. Masih belum siap untuk melakukan hal itu. Alca sadar jika Ale pasti masih merasa canggung dengannya. Dia paham dengan itu. “Tidak apa-apa.” Alca tidak akan memaksa jika memang Ale tidak mau. Sedikit canggung memang, tetapi perlahan pastinya akan lebih baik. “Aku akan mandi dulu. Setelah itu berangkat bekerja.” Alca ber
Akhirnya Ale dan Alca pergi ke puncak untuk menikmati liburan mereka. Ale cukup antusias karena sejak hubungannya dengan Alca renggang. Baru kali ini Ale menikmati waktu berdua. Mereka berangkat siang. Karena semalam, mereka berdua pulang larut malam.Sepanjang perjalanan Ale menikmati pemandangan yang dilewati saat sampai di daerah puncak, sengaja Alca mematikan pendingin mobil. Kemudian membuka kaca mobil. Membiarkan udara masuk ke dalam. Udara yang begitu segar membuat Ale merasa senang sekali. Karena udara begitu sejuk. Mungkin karena banyaknya pepohonan jadi membuat udara begitu bersih dan sejuk. Ale membiarkan udara pegunungan menerpanya. Rambutnya yang panjang berterangan. Ale membiarkan itu karena dia lebih suka ketika udara sejuk dapat dinikmati. Melihat Ale yang menikmati udara sejuk, membuat Alca ikut senang. Karena senyum tipis tertarik di sudut bibir Ale. Mobil sampai di vila yang dipesan Alca. Saat keluar, Ale disuguhkan dengan pemandangan indah kota yang terlihat d
Mendapati permintaan itu membuat Ale terdiam. Dia cukup bingung harus mengambil ponsel Alca di kantung celana. “Al, tolong.” Alca memanggil sang istri. “Iya.” Ale segera berdiri dan mendekat ke arah Alca. Kemudian tangannya merogoh kantung celana tersebut. Mengambil ponsel Alca.Saat tangan Ale meraba paha Alca, tiba-tiba Alca merasakan hal lain. Desiran aneh menghampirinya. Ternyata pilihannya untuk meminta Ale mengambil ponsel ternyata salah. Beruntung Ale tak melakukannya terlalu lama. Jadi dengan segera Ale memberikan pada Alca. “Ini.” Ale memberikan tanpa melihat siapa yang menghubungi Alca. “Siapa yang menghubungi?” tanya Alca. Ale mengalihkan pandangan pada ponsel suaminya. Dilihatnya nama Mama Arriel terpampang di layar ponsel Ale. “Mama.” Ale menunjukkan layar ponsel Alca. Alca melihat jika sang mama yang menghubungi. Jadi jelas baginya tidak perlu menyembunyikan apa pun dari Ale. “Angkat saja,” pinta Alca. Mendapati permintaan itu Ale segera mengangkat sambungan te
Malam semakin larut. Udara semakin dingin. Setelah tadi makan malam, Ale dan Alca menikmati langit malam sambil bercerita di taman belakang. Melihat sang istri yang kedinginan membuat Alca melepaskan jaket yang dipakainya. “Terima kasih, Kak.” Ale tersenyum. “Sama-sama.” Alca senang bisa melihat senyum Ale terus. Alca meraih tangan Ale. Menggenggamnya erat. Dia ingin terus bersama dengan Ale. Rasa cintanya pada Ale sudah tidak terbendung lagi. Ale melihat tangan Alca yang menggenggam erat tangannya. Ada rasa bahagia menyelimuti hatinya.“Aku ingin kita bisa bahagia setelah ini semua.” Ale menyelipkan sebuah harapan ketika tangan mereka saling menggenggam.“Tentu saja. Semua akan terwujud. Aku janji.” Alca menatap Ale untuk meyakinkan Ale. Tangannya meraih wajah sang istri seraya membelai lembut. Sebuah kecupan hangat mendarat di dahi Ale. Kecupan itu ungkapan tulus dari Alca. “Aku janji akan membuatmu bahagia.” Alca menatap Ale penuh dengan keyakinan. Ale mengangguk. Dia tentu