Hari itu juga, mobilnya sudah bisa dibawa pulang karena unitnya sudah siap. Sepertinya Kian sudah memprediksi jika Laureta akan memilih SUV itu dengan warna merah yang sesuai dengan karakter Laureta. Jadi, pihak delaer mobil pun telah mempersiapkan segalanya.Meski Laureta sudah tahu akan diberikan mobil, pihak dealer tetap menyiapkan pita yang sangat besar di mobil itu sebagai simbol kado. Laureta menutup mulutnya sambil menatap mobil itu dengan mata berbinar-binar.“Kamu suka?” tanya Kian.“Suka sekali!” pekik Laureta yang menahan diri untuk tidak menjerit.Laureta masuk ke dalam mobil, mencoba duduk di balik kemudi. Ia menggerak-gerakkan setirnya dan mencoba mendengar suara derum mobilnya yang terdengar sangat keren.Ia benar-benar terkesima. Senyumnya mengembang sembari tangan dan kakinya gemetar. Hari itu juga, Kian membawa mobil baru Laureta. Sementara mobilnya dijemput oleh supir untuk diantar pulang ke rumah.“Nanti plastiknya harus dilepas,” ujar Kian yang tampak risih meliha
Laureta mendengarkan dengan saksama. Ia mengunyah makanannya lebih santai. Berbeda dengan Kian yang memang sejak awal selalu bersikap santai dan anggun. Ia tak pernah terusik dengan keadaan di sekitarnya.“Apanya yang berubah?” tanya Laureta sambil mengunyah makanannya.“Kamu membuatku merasa dicintai,” ungkap Kian dengan suaranya yang dalam dan ngebass.Laureta terdiam sejenak sementara dalam hatinya ia semakin mengagumi pria tampan di hadapannya ini. Di usianya yang matang, Kian tampak sangat luar biasa dan percaya atau tidak, pria itu adalah suaminya.“Aku pikir,” lanjut Kian. “aku akan melewati hari-hariku dengan penuh tekanan. Aku berencana akan tidur terpisah denganmu, memperbanyak jam kerja. Aku akan membuat jadwal dengan dokter kandungan dan hanya akan melakukan hubungan denganmu saat kamu masa subur saja. Setelah kamu melahirkan, aku akan menunggu sampai anaknya berusia satu tahun, lalu kita akan berpisah.”Laureta tercengang mendengar pengakuan Kian. Terasa sekarang betapa d
Sudah cukup lama Laureta tidak pernah datang ke tempat fitnes lagi. Selama ini, ia hanya olahraga tipis-tipis saja. Ia masih rutin push up dan peregangan. Namun, mengangkat beban sepertinya badannya bisa kaget lagi.Marisa terlalu rajin hingga menunggu Laureta tepat di depan pintu kamar sebelum sarapan. Kian menatap adiknya sambil menautkan alisnya.“Ada apa kamu ke sini pagi-pagi?” tanya Kian.“Oh, apa Tata belum memberitahumu jika aku akan mengajaknya fitnes pagi ini?” Marisa memasang wajah polos.“Sudah, aku sudah memberitahunya,” ujar Laureta yang kemudian maju. Ia sudah menenteng tas olahraganya. Beberapa pakaian olahraganya masih baru dan belum tersentuh sama sekali, begitu pula sepatunya.“Aku pikir, kamu tidak akan menjemput Laura sampai ke depan kamar,” gumam Kian.Marisa terkekeh, lalu ia menggandeng tangan Laureta. “Ayo, Kakak Ipar. Kita langsung berangkat. Kita sarapan setelah olahraga ya.”“Apa tidak masalah? Nanti papa ….”“Tidak apa-apa. Kita kan tidak setiap hari seper
“Yang bisa sit up sampai seratus kali, dia pemenangnya,” ucap Laureta.“Apa?!” seru Marisa. “Seratus? Nanti perutku bisa pegal. Jangan seratus ya. Lima puluh saja.”Laureta terkekeh. “Baiklah kalau begitu. Sampai lima puluh ya.”“Oke!” seru Marisa semangat.Hanya Helga yang diam saja, tapi ia seperti yang mengikuti aba-aba Laureta dan mereka sama-sama sit up bersama. Tanpa disangka, Helga cukup jago sit up. Gerakan Helga sangat bagus dan seimbang, berbeda dengan Marisa yang sepertinya agak kepayahan.Kecepatan gerakan Laureta dan Helga nyaris sama. Mulut mereka sama-sama menghitung. Bagi Laureta, sit up lima puluh kali bukan masalah. Marisa sudah tumbang lebih dulu sampai di angka dua puluh lima.Sementara, Laureta dan Helga masih terus menghitung. Helga tidak mau menyerah, ia terus sit up tanpa lelah. Laureta juga tidak mau kalah. Ia terus bergerak.Begitu angka mencapai lima puluh, terlalu sulit untuk menentukan siapa yang lebih dulu mencapai lima puluh karena mereka bergerak bersam
“Kamu ada di mana?”Kian mengirimi Laureta pesan singkat. Ia baru saja selesai mandi dan membuka ponselnya. Segera saja ia membalas pesan itu.“Aku masih di tempat fitnes. Ada apa, Kian? Kamu mau menyusul ke sini?”Ternyata Kian sedang daring. Ia pun segera membalas pesan Laureta.“Baiklah. Aku akan menyusulmu sekarang,” jawab Kian.Laureta melebarkan matanya. Ia tidak menyangka jika Kian akan datang ke tempat ini. Ia pun bergegas untuk mengeringkan rambutnya. Marisa baru saja keluar dari kamar mandi. Ia sedang menyisir rambutnya di sebelah Laureta.“Kak, sepertinya aku akan pergi lebih dulu,” kata Laureta.“Oh ya?”“Iya. Kian akan menyusul ke sini.”“Ah, dia posesif sekali. Dia pasti takut jika aku melakukan sesuatu padamu.” Marisa terkekeh.Laureta pun ikut tertawa pelan. Kemudian tawanya langsung terhenti begitu Helga menghampiri mereka.Helga mengenakan gaun biru muda tanpa lengan dengan rok yang lebar. Lalu ia memadankannya dengan rompi berwarna krem, berbahan tweed. Ia tampak sa
Helga jatuh terkulai lemas ke lantai. Marisa terkejut sambil berseru memanggil nama Helga. Kian bergerak cepat. Ia menahan tubuh Helga supaya kepalanya tidak sampai terbentur ke lantai. Kian begitu khawatir dan ketakutan melihat Helga yang pucat dan lemas seperti itu. Ia sampai lupa jika di sebelahnya ada Laureta, istrinya. Segera saja Kian menggendong Helga. Tak peduli meski tubuhnya berat, ia harus segera membawanya ke rumah sakit. Kian berjalan cepat menuju ke parkiran yang kebetulan berada di pintu luar yang tidak jauh dari tempat fitnes di lantai atas. Marisa berjalan cepat di sebelahnya dan membantunya membukakan pintu mobil. “Aku akan mengikuti mobilmu!” seru Marisa. “Bawa Helga langsung ke rumah sakit!” “Oke!” Begitu Kian masuk ke dalam mobil, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak gas. Hatinya benar-benar kalut. Dulu sekali Helga pernah pingsan dan hidungnya mimisan. Dokter bilang, Helga memiliki penyakit yang serius, tapi Helga tidak pernah mau memberitahunya. Kian
Suara nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya Pak Anang mengangkat teleponnya. Pak Anang adalah supir pribadinya Laureta. Ia meminta supirnya itu untuk menjemputnya di rumah sakit.Laureta pikir, ia tidak perlu memikirkan tentang Kian lagi. Satu hal yang ia pahami bahwa, ada sesuatu yang pernah terjadi antara Kian dan Helga, Meskipun Kian tidak pernah menceritakan apa pun padanya, tapi ia langsung mengerti dan membiarkan Kian untuk melakukan apa pun yang ia mau.Lebih mudah hidup dengan pikiran bahwa Kian tidak pernah benar-benar mencintainya atau menjadi suami normal pada umumnya. Dengan begitu, ia tidak perlu mengharapkan apa pun dari Kian.Sejujurnya, hatinya pedih dan rasanya ingin mengamuk jika sampai apa yang ia pikirkan itu memang benar. Namun, untuk mencegah hal tersebut terjadi, Laureta memilih untuk diam.Sama seperti saat Erwin mengkhianatinya, mengusirnya. Ia tidak perlu melawan apa pun. Lebih baik ia pergi. Ia bisa mengatasi kesedihannya seorang diri. Ia hany
Reksi menilai reaksi Laureta. Namun, sejak tadi Laureta memang diam dan berniat untuk mendengarkan apa pun yang hendak Reksi katakan padanya. Jadi, Reksi pun melanjutkan kata-katanya.“Dulu kita selalu bersama, aku yang menjadi bayanganmu. Kamu sudah berpacaran dengan Erwin, pergi setiap malam minggu dan memangkas waktu kita bermain hanya demi pria itu. Aku berhasil melewati fase di mana aku harus sendirian di waktu biasanya kita bersama-sama.“Dan ya, akhirnya aku pun berpacaran dengan Theo meski akhirnya putus juga. Dan ya, aku iri melihatmu akan menikah dengan Erwin. Aku akan lebih sendirian lagi. Kemudian tiba-tiba saja sesuatu hal yang buruk menimpamu hingga ayahmu masuk penjara dan tiba-tiba kamu menikah dengan Kian. Kamu memiliki hidup yang lebih hebat lagi.“Memang aku yang salah karena selalu iri padamu. Kamu selalu memiliki segalanya sementara aku tidak. Begitu aku meminta hal yang sudah kamu buang, kamu menentangku begitu rupa. Masa aku tidak boleh berpacaran dengan Erwin?