“Kamu ada di mana?”Kian mengirimi Laureta pesan singkat. Ia baru saja selesai mandi dan membuka ponselnya. Segera saja ia membalas pesan itu.“Aku masih di tempat fitnes. Ada apa, Kian? Kamu mau menyusul ke sini?”Ternyata Kian sedang daring. Ia pun segera membalas pesan Laureta.“Baiklah. Aku akan menyusulmu sekarang,” jawab Kian.Laureta melebarkan matanya. Ia tidak menyangka jika Kian akan datang ke tempat ini. Ia pun bergegas untuk mengeringkan rambutnya. Marisa baru saja keluar dari kamar mandi. Ia sedang menyisir rambutnya di sebelah Laureta.“Kak, sepertinya aku akan pergi lebih dulu,” kata Laureta.“Oh ya?”“Iya. Kian akan menyusul ke sini.”“Ah, dia posesif sekali. Dia pasti takut jika aku melakukan sesuatu padamu.” Marisa terkekeh.Laureta pun ikut tertawa pelan. Kemudian tawanya langsung terhenti begitu Helga menghampiri mereka.Helga mengenakan gaun biru muda tanpa lengan dengan rok yang lebar. Lalu ia memadankannya dengan rompi berwarna krem, berbahan tweed. Ia tampak sa
Helga jatuh terkulai lemas ke lantai. Marisa terkejut sambil berseru memanggil nama Helga. Kian bergerak cepat. Ia menahan tubuh Helga supaya kepalanya tidak sampai terbentur ke lantai. Kian begitu khawatir dan ketakutan melihat Helga yang pucat dan lemas seperti itu. Ia sampai lupa jika di sebelahnya ada Laureta, istrinya. Segera saja Kian menggendong Helga. Tak peduli meski tubuhnya berat, ia harus segera membawanya ke rumah sakit. Kian berjalan cepat menuju ke parkiran yang kebetulan berada di pintu luar yang tidak jauh dari tempat fitnes di lantai atas. Marisa berjalan cepat di sebelahnya dan membantunya membukakan pintu mobil. “Aku akan mengikuti mobilmu!” seru Marisa. “Bawa Helga langsung ke rumah sakit!” “Oke!” Begitu Kian masuk ke dalam mobil, ia menyalakan mesin dan langsung menginjak gas. Hatinya benar-benar kalut. Dulu sekali Helga pernah pingsan dan hidungnya mimisan. Dokter bilang, Helga memiliki penyakit yang serius, tapi Helga tidak pernah mau memberitahunya. Kian
Suara nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya Pak Anang mengangkat teleponnya. Pak Anang adalah supir pribadinya Laureta. Ia meminta supirnya itu untuk menjemputnya di rumah sakit.Laureta pikir, ia tidak perlu memikirkan tentang Kian lagi. Satu hal yang ia pahami bahwa, ada sesuatu yang pernah terjadi antara Kian dan Helga, Meskipun Kian tidak pernah menceritakan apa pun padanya, tapi ia langsung mengerti dan membiarkan Kian untuk melakukan apa pun yang ia mau.Lebih mudah hidup dengan pikiran bahwa Kian tidak pernah benar-benar mencintainya atau menjadi suami normal pada umumnya. Dengan begitu, ia tidak perlu mengharapkan apa pun dari Kian.Sejujurnya, hatinya pedih dan rasanya ingin mengamuk jika sampai apa yang ia pikirkan itu memang benar. Namun, untuk mencegah hal tersebut terjadi, Laureta memilih untuk diam.Sama seperti saat Erwin mengkhianatinya, mengusirnya. Ia tidak perlu melawan apa pun. Lebih baik ia pergi. Ia bisa mengatasi kesedihannya seorang diri. Ia hany
Reksi menilai reaksi Laureta. Namun, sejak tadi Laureta memang diam dan berniat untuk mendengarkan apa pun yang hendak Reksi katakan padanya. Jadi, Reksi pun melanjutkan kata-katanya.“Dulu kita selalu bersama, aku yang menjadi bayanganmu. Kamu sudah berpacaran dengan Erwin, pergi setiap malam minggu dan memangkas waktu kita bermain hanya demi pria itu. Aku berhasil melewati fase di mana aku harus sendirian di waktu biasanya kita bersama-sama.“Dan ya, akhirnya aku pun berpacaran dengan Theo meski akhirnya putus juga. Dan ya, aku iri melihatmu akan menikah dengan Erwin. Aku akan lebih sendirian lagi. Kemudian tiba-tiba saja sesuatu hal yang buruk menimpamu hingga ayahmu masuk penjara dan tiba-tiba kamu menikah dengan Kian. Kamu memiliki hidup yang lebih hebat lagi.“Memang aku yang salah karena selalu iri padamu. Kamu selalu memiliki segalanya sementara aku tidak. Begitu aku meminta hal yang sudah kamu buang, kamu menentangku begitu rupa. Masa aku tidak boleh berpacaran dengan Erwin?
Tak sedikit pun, Laureta bermaksud untuk memasang senyum palsu. Namun, itulah yang terjadi begitu ia masuk ke dalam kamarnya. Kian ada di sana sedang menonton televisi. Tidak biasanya ia duduk di sofa dengan santai seperti itu.Sepertinya Kian sedang menunggunya pulang. Begitu Laureta masuk ke dalam kamar, Kian langsung menghampirinya dan meremas bahunya.“Dari mana saja kamu?!” bentak Kian.Laureta agak menciut sedikit. Ia melepaskan tangan Kian dari bahunya dengan sopan. “Aku sudah mengirim pesan singkat.”“Kamu hanya memberitahuku seperti itu saja. Aku meneleponmu kenapa tidak diangkat?” protes Kian.“Aku sedang sibuk.”Laureta berjalan menuju ke walk-in closet untuk mengambil kaus usang dan celana pendek untuk tidur. Ia tidak sudi mengenakan lingerie. Setelah itu ia mandi dan berganti pakaian.Usai berpakaian, Laureta langsung membaringkan tubuhnya di kasur. Ia tidak mau berbicara lagi dengan Kian. Namun, suaminya itu langsung duduk di sebelah Laureta dan menarik selimut yang seda
Laureta membuka matanya dan menurunkan selimutnya dari kepala. Lalu ia menoleh pada Kian.“Benarkah?”Jantung Laureta berdegup kencang hingga ia pikir, ia akan mati. Gawat jika sampai Kian tahu dirinya pernah menjalin hubungan dengan Erwin, keponakannya Kian.“Aku tidak pernah mempermasalahkan tentang hal itu. Selama ini aku diam. Jadi, aku harap kamu pun tidak pernah mempermasalahkan tentang masa laluku dengan Helga,” ucap Kian tanpa berani menatap mata Laureta.Hati Laureta mencelos. Apakah ini artinya tidak pernah ada cinta di antara mereka? Semua yang Kian katakan itu hanya kepalsuan belaka? Mulutnya sungguh tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun.Namun, beberapa detik kemudian, Kian menyentuh wajahnya dengan tatapan menyesal. “Laura, aku sungguh minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu.”Laureta menurunkan tangan Kian dan kemudian mengangguk. Hatinya pedih dan semakin lama mulai hilang rasa. Ia telah bodoh karena menyerahkan seluruh hatinya untuk Kian. Namun, ada
Laureta pergi ke sebuah toko obat yang ada di mall, lalu membeli beberapa buah alat tes kehamilan. Suatu saat, ia pasti membutuhkannya.Sore itu, Laureta pulang dan terkejut ketika melihat Kian yang sudah ada di rumahnya terlebih dahulu. Di ruang tamu, ia sedang mengobrol seru dengan Adinda berdua.“Laura!” seru Kian. “Akhirnya, kamu pulang. Kamu sudah makan belum, Sayang?”Laureta terkejut melihat sikap Kian yang tiba-tiba perhatian padanya. “A-aku ….”Sebenarnya, Laureta belum makan malam, tapi ia sedang tidak selera. Kian menghampirinya dan merangkulnya dengan sayang.“Kamu belum makan ya? Ayo kita makan sama-sama! Aku sengaja menunggumu pulang supaya kita bisa makan bersama.”Adinda menghampiri mereka. “Sepertinya aku harus pulang. Mataku bisa sakit melihat kemesraan kalian berdua.” Ia terkekeh, lalu mengedipkan matanya pada Laureta.Sungguh, Laureta tidak paham dengan semua ini. Ia merasa jika Kian hanya bersandiwara di depan adiknya. Entah apa tujuannya, tapi yang pasti Laureta
Butuh waktu dua bulan untuk mempersiapkan perjalanan wisata keluarga Aleandro ke London. Marisa jelas yang paling sibuk di antara semuanya. Alasan Marisa memilih bulan Desember ini karena semuanya sudah libur. Semua orang sudah saling mencocokkan waktu yang pas.Setiap hari, udara jadi semakin dingin karena hujan terus menerus. Suasana natal mulai terasa di mana-mana.Clara sudah memasang pohon natal di ruang kerja Kian. Sekretarisnya itu tersenyum saat Kian memasuki ruangan. Ia baru saja menggantungkan lonceng di pohon yang bagian bawah.“Wah! Kamu sudah memasang pohon natal?” tanya Kian.“Iya, Pak.”Clara pun menegakkan tubuhnya. Kian mengangguk sambil melihat hasil kerjanya yang indah. Meski Kian tahu jika sekretarisnya itu menaruh perasaan padanya dan telah membuat Laureta sakit hati karena perkataannya, tapi Kian tidak bisa memecat wanita itu.Semua urusan pekerjaan masih aman terkendali. Laureta hanya tidak perlu sering-sering bertemu dengannya di kantor supaya istrinya itu tida