Si Kian ini enaknya diapain ya? Dirujak aja gitu ya?
Suara nada sambung terdengar beberapa kali hingga akhirnya Pak Anang mengangkat teleponnya. Pak Anang adalah supir pribadinya Laureta. Ia meminta supirnya itu untuk menjemputnya di rumah sakit.Laureta pikir, ia tidak perlu memikirkan tentang Kian lagi. Satu hal yang ia pahami bahwa, ada sesuatu yang pernah terjadi antara Kian dan Helga, Meskipun Kian tidak pernah menceritakan apa pun padanya, tapi ia langsung mengerti dan membiarkan Kian untuk melakukan apa pun yang ia mau.Lebih mudah hidup dengan pikiran bahwa Kian tidak pernah benar-benar mencintainya atau menjadi suami normal pada umumnya. Dengan begitu, ia tidak perlu mengharapkan apa pun dari Kian.Sejujurnya, hatinya pedih dan rasanya ingin mengamuk jika sampai apa yang ia pikirkan itu memang benar. Namun, untuk mencegah hal tersebut terjadi, Laureta memilih untuk diam.Sama seperti saat Erwin mengkhianatinya, mengusirnya. Ia tidak perlu melawan apa pun. Lebih baik ia pergi. Ia bisa mengatasi kesedihannya seorang diri. Ia hany
Reksi menilai reaksi Laureta. Namun, sejak tadi Laureta memang diam dan berniat untuk mendengarkan apa pun yang hendak Reksi katakan padanya. Jadi, Reksi pun melanjutkan kata-katanya.“Dulu kita selalu bersama, aku yang menjadi bayanganmu. Kamu sudah berpacaran dengan Erwin, pergi setiap malam minggu dan memangkas waktu kita bermain hanya demi pria itu. Aku berhasil melewati fase di mana aku harus sendirian di waktu biasanya kita bersama-sama.“Dan ya, akhirnya aku pun berpacaran dengan Theo meski akhirnya putus juga. Dan ya, aku iri melihatmu akan menikah dengan Erwin. Aku akan lebih sendirian lagi. Kemudian tiba-tiba saja sesuatu hal yang buruk menimpamu hingga ayahmu masuk penjara dan tiba-tiba kamu menikah dengan Kian. Kamu memiliki hidup yang lebih hebat lagi.“Memang aku yang salah karena selalu iri padamu. Kamu selalu memiliki segalanya sementara aku tidak. Begitu aku meminta hal yang sudah kamu buang, kamu menentangku begitu rupa. Masa aku tidak boleh berpacaran dengan Erwin?
Tak sedikit pun, Laureta bermaksud untuk memasang senyum palsu. Namun, itulah yang terjadi begitu ia masuk ke dalam kamarnya. Kian ada di sana sedang menonton televisi. Tidak biasanya ia duduk di sofa dengan santai seperti itu.Sepertinya Kian sedang menunggunya pulang. Begitu Laureta masuk ke dalam kamar, Kian langsung menghampirinya dan meremas bahunya.“Dari mana saja kamu?!” bentak Kian.Laureta agak menciut sedikit. Ia melepaskan tangan Kian dari bahunya dengan sopan. “Aku sudah mengirim pesan singkat.”“Kamu hanya memberitahuku seperti itu saja. Aku meneleponmu kenapa tidak diangkat?” protes Kian.“Aku sedang sibuk.”Laureta berjalan menuju ke walk-in closet untuk mengambil kaus usang dan celana pendek untuk tidur. Ia tidak sudi mengenakan lingerie. Setelah itu ia mandi dan berganti pakaian.Usai berpakaian, Laureta langsung membaringkan tubuhnya di kasur. Ia tidak mau berbicara lagi dengan Kian. Namun, suaminya itu langsung duduk di sebelah Laureta dan menarik selimut yang seda
Laureta membuka matanya dan menurunkan selimutnya dari kepala. Lalu ia menoleh pada Kian.“Benarkah?”Jantung Laureta berdegup kencang hingga ia pikir, ia akan mati. Gawat jika sampai Kian tahu dirinya pernah menjalin hubungan dengan Erwin, keponakannya Kian.“Aku tidak pernah mempermasalahkan tentang hal itu. Selama ini aku diam. Jadi, aku harap kamu pun tidak pernah mempermasalahkan tentang masa laluku dengan Helga,” ucap Kian tanpa berani menatap mata Laureta.Hati Laureta mencelos. Apakah ini artinya tidak pernah ada cinta di antara mereka? Semua yang Kian katakan itu hanya kepalsuan belaka? Mulutnya sungguh tak sanggup mengucapkan kalimat apa pun.Namun, beberapa detik kemudian, Kian menyentuh wajahnya dengan tatapan menyesal. “Laura, aku sungguh minta maaf. Aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu.”Laureta menurunkan tangan Kian dan kemudian mengangguk. Hatinya pedih dan semakin lama mulai hilang rasa. Ia telah bodoh karena menyerahkan seluruh hatinya untuk Kian. Namun, ada
Laureta pergi ke sebuah toko obat yang ada di mall, lalu membeli beberapa buah alat tes kehamilan. Suatu saat, ia pasti membutuhkannya.Sore itu, Laureta pulang dan terkejut ketika melihat Kian yang sudah ada di rumahnya terlebih dahulu. Di ruang tamu, ia sedang mengobrol seru dengan Adinda berdua.“Laura!” seru Kian. “Akhirnya, kamu pulang. Kamu sudah makan belum, Sayang?”Laureta terkejut melihat sikap Kian yang tiba-tiba perhatian padanya. “A-aku ….”Sebenarnya, Laureta belum makan malam, tapi ia sedang tidak selera. Kian menghampirinya dan merangkulnya dengan sayang.“Kamu belum makan ya? Ayo kita makan sama-sama! Aku sengaja menunggumu pulang supaya kita bisa makan bersama.”Adinda menghampiri mereka. “Sepertinya aku harus pulang. Mataku bisa sakit melihat kemesraan kalian berdua.” Ia terkekeh, lalu mengedipkan matanya pada Laureta.Sungguh, Laureta tidak paham dengan semua ini. Ia merasa jika Kian hanya bersandiwara di depan adiknya. Entah apa tujuannya, tapi yang pasti Laureta
Butuh waktu dua bulan untuk mempersiapkan perjalanan wisata keluarga Aleandro ke London. Marisa jelas yang paling sibuk di antara semuanya. Alasan Marisa memilih bulan Desember ini karena semuanya sudah libur. Semua orang sudah saling mencocokkan waktu yang pas.Setiap hari, udara jadi semakin dingin karena hujan terus menerus. Suasana natal mulai terasa di mana-mana.Clara sudah memasang pohon natal di ruang kerja Kian. Sekretarisnya itu tersenyum saat Kian memasuki ruangan. Ia baru saja menggantungkan lonceng di pohon yang bagian bawah.“Wah! Kamu sudah memasang pohon natal?” tanya Kian.“Iya, Pak.”Clara pun menegakkan tubuhnya. Kian mengangguk sambil melihat hasil kerjanya yang indah. Meski Kian tahu jika sekretarisnya itu menaruh perasaan padanya dan telah membuat Laureta sakit hati karena perkataannya, tapi Kian tidak bisa memecat wanita itu.Semua urusan pekerjaan masih aman terkendali. Laureta hanya tidak perlu sering-sering bertemu dengannya di kantor supaya istrinya itu tida
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kian yang langkahnya terhenti begitu melihat Helga duduk di sana seorang diri.Helga tersenyum. Wajahnya terlihat agak pucat. Tidak biasanya, wanita itu kini tidak mengenakan riasan di wajahnya. Meski begitu, ia justru terlihat sangat cantik.Kian teringat saat dulu ia pernah tidur bersama Helga dan terbangun di pagi, melihat wajahnya yang polos tanpa riasan. Helga persis terlihat sama seperti waktu itu.Wanita itu menghampiri Kian dan kemudian memeluknya. Ia menyandarkan wajahnya di dada Kian. Seandainya ia bisa menjauhkan Helga dari tubuhnya, ia akan melakukannya dengan tega. Namun, melihat kondisinya yang seperti ini, Kian justru ingin memeluknya dengan erat.Hanya saja, ia tidak balas memeluknya begitu saja. Ada terlalu banyak mata yang melihatnya. Jadi, terpaksa Kian pun melepaskan pelukan Helga.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Kian yang berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan kekhawatirannya.“Aku sudah baikan. Aku hanya perlu banyak istir
Ucapan Helga seminggu yang lalu masih terus mengusik Kian. Ia yakin sekali jika terjadi sesuatu pada wanita itu, tapi Kian memilih untuk tidak banyak bertanya. Jika ia sampai tahu yang sebenarnya dan ternyata itu adalah sesuatu hal yang buruk, maka ia mungkin akan langsung jatuh lagi ke pelukan wanita itu.Kian sekuat tenaga untuk tetap bertahan bersama Laureta, istrinya yang kini bersikap berbeda setelah kejadian di rumah sakit itu. Andai saja Laureta mengetahui lebih banyak lagi tentang Kian dan Helga, mungkin Laureta akan langsung meninggalkannya.“Menurutmu, apa pakaianku sudah cukup segini?” tanya Laureta sambil menunjukkan isi kopernya pada Kian.“Ya, aku rasa sudah cukup. Kalau sampai ada yang kurang, nanti kita beli saja di sana,” kata Kian kalem.Laureta mengangguk. “Baiklah. Kamu kan sudah pernah ke sana. Memangnya udaranya bisa lebih dingin dari kulkas?”Kian terkekeh. “Ya, bisa jadi. Kamu harus membawa vitamin dan jangan makan sembarangan supaya tidak sampai sakit.”“Oke.”