“Apa? Jangan konyol! Aku tidak akan mengizinkanmu jalan-jalan sendirian!” Dante menekankan suaranya. Salah satu alisnya terangkat sementara matanya memandangi Samantha dengan tajam. Tidakkah gadis itu merasa takut setelah apa yang menimpanya di Miami? Samantha mendesah pelan. “Tidak, aku ingin sendirian,” ucapnya bersikeras. Samantha ingin menata kembali pikirannya yang sempat kacau karena pria itu. Dante menggertakkan gigi kuat-kuat. Matanya semakin tajam memandangi gadis di hadapannya itu. “Aku tidak mengizinkan itu,” sahutnya dengan nada yang tidak ingin dibantah. “Jika kamu ingin jalan-jalan, aku akan menemanimu. Tapi jika kamu menolak, maka lupakan tentang jalan-jalan.” Samantha menggigit bagian dalam bibirnya dan merasakan ketegangan mulai membalut ruangan kamar. Ketegangan yang mendadak muncul saat kemarahan Dante mulai berkobar. “Baiklah, kamu menang!” seru Samantha dengan wajah masam. Bagaimanapun Samantha masih belum menemukan sebuah taktik yang bisa membuat Dante bertek
Samantha duduk di tepi jendela kedai sambil menikmati kopi dan cake. Sementara Dante, pria itu sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon di luar sana. Sesekali Samantha memperhatikan pria itu, Dante nampak begitu serius dan juga marah. Dahi Samantha sedikit berkerut. “Ada apa dengannya? Mengapa dia terlihat marah?” gumamnya masih memandangi Dante yang berdiri di luar kedai. Tok! Tok! Samantha hampir terlonjak dari tempat ia duduk saat mendengar suara ketukan pada meja. Dan ketika ia menoleh, ada seorang pria asing duduk di seberangnya. Samantha memandangi pria tersebut dengan wajah datar. Detik berikutnya ia pun membuka suara, “Anda tidak bisa duduk di sana karena itu adalah kursi suamiku, Tuan.” Pria asing itu hampir terbahak mendengar kalimat yang diucapkan Samantha. Ia sudah memperhatikan gadis itu sejak tadi dan ia melihat Samantha datang sendirian. Memang benar Samantha masuk ke kedai kopi ini seorang diri sebab Dante memilih tinggal di luar untuk menerima telepon. Na
Dante membanting ponsel Samantha ke atas sofa sementara wajahnya berubah menjadi merah padam. Kemarahan Dante meledak-ledak sesaat setelah melihat foto telanjang Samantha yang dikirim oleh seseorang. “Jelaskan padaku soal foto yang baru saja kulihat tadi! Apa kamu tahu siapa pengirimnya?” tanya pria itu dengan suara parau. Ia memandangi Samantha yang duduk dengan wajah pucat. Samantha meraih ponselnya lalu memegangi benda tersebut dengan kepala menunduk. Ia tidak berani menatap langsung mata Dante. Samantha merasa sangat malu hingga kehilangan muka. “Jawab aku, Samantha! Kenapa diam saja seperti gadis bodoh!” bentak pria itu.Samantha refleks memejamkan mata saat Dante berteriak padanya. Mengapa Dante meluapkan kemarahannya pada Samantha? Sadarkah pria itu bahwa di sini Samantha-lah yang menjadi korbannya? “Kamu tidak mendadak jadi bisu ‘kan, Samantha?! Cepat jelaskan padaku kenapa kamu berfoto tanpa busana!” Rasanya Dante hampir menggila. Ia menuntut jawaban dari Samantha namun g
Keesokan harinya, Samantha kembali ke kediaman keluarga Adams setelah beberapa hari mengikuti Dante melakukan perjalanan bisnis di Boston. Kedatangannya disambut oleh Margareth dengan wajah angkuh. “Ke mana saja kamu, hah?!” teriak Margareth penuh kemarahan. Samantha meneguk saliva dengan sedikit payah saat bertatapan dengan Margareth yang melotot sambil berkacak pinggang di samping tangga. Detik berikutnya gadis itu langsung menundukkan kepala serta menurunkan nada suaranya. “Maaf, Bu. Aku—” “Sudahlah! Jangan banyak alasan! Aku benci seseorang yang berbohong dan suka membuat alasan!” tukas Margareth. Samantha mengembuskan napas pelan. Margareth bahkan belum mendengar penjelasan Samantha, tetapi ia sudah menuding gadis itu berbohong dan membuat alasan. “Ada apa ini? Mengapa Ibu berteriak?” tanya Dante yang baru saja masuk. Margareth sedikit tersentak saat mendengar suara putranya. Dengan sangat cepat wanita paruh baya itu merubah ekspresinya yang semula masam menjadi tersenyum s
“Permisi, aku ingin mengambil pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams,” ucap Samantha di meja kasir. Dua puluh menit yang lalu gadis itu mendapat perintah dari ibu mertuanya untuk mengambil kue pesanannya di Lilian’s Bakery. Wanita paruh baya itu mengatakan jika hari ini ia akan kedatangan tamu spesial di rumah. Samantha tidak berpikiran macam-macam ketika Margareth memerintahkan dirinya untuk mengambil kue. Meski sebenarnya ia bisa menyuruh salah seorang ART, namun Samantha tidak ingin membuat keributan dengan menolak perintah ibu mertuanya itu. “Maafkan aku, Nona. Tapi pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams sudah diantar sepuluh menit yang lalu.” Kedua mata Samantha sontak melebar. “Apa? Sudah diantar? Tapi, orang yang bersangkutan menyuruhku …,” tiba-tiba Samantha menyadari jika Margareth mungkin sedang mempermainkannya, “baiklah kalau begitu, permisi.” Samantha melangkah keluar dari Lilian’s Bakery dengan perasaan kecewa. Samantha sungguh tak habis pikir dengan ting
Samantha meninggalkan ruang tengah sambil memegangi pipi kanannya yang terasa berdenyut karena ditampar. Gadis itu tidak menangis, tetapi hatinya merasa sangat kecewa. Samantha tidak berharap Margareth akan membelanya. Tentu saja itu adalah hal paling mustahil untuk terjadi. Namun Samantha tidak mengira wanita paruh baya itu akan menghina sekaligus menamparnya. “Nyonya Muda ….” Samantha sedikit tersentak saat Rora menghadangnya dan refleks menurunkan tangannya yang memegangi pipi. Samantha tidak menjawab. Gadis itu hanya memandangi Rora yang berdiri dengan wajah khawatir di hadapannya. Rora mengamati pipi Samantha yang terlihat merah. “Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya Muda?” tanyanya penuh simpati. Samantha cukup terkejut mendengar pertanyaan Rora. “Apa kamu melihatnya?” Rora mengangguk pelan. Setelah Samantha merebut paksa nampan di tangannya, Rora mengikuti gadis itu hingga ke ruang tengah. Alasan Rora melakukan hal tersebut adalah karena ia ingin mengambil kembali nampan yan
Samantha terus dipaksa berlutut meminta maaf kepada Clara Johnson oleh ibu mertuanya sendiri. Demi Tuhan, Samantha merasa sangat keberatan jika harus berlutut. Namun Margareth terus mendesak hingga gadis itu tidak mempunyai pilihan. “Cepat berlutut, Samantha! Apa lagi yang kamu tunggu?!” bentak Margareth. Seluruh wajah Samantha berubah menjadi merah sementara matanya berkaca-kaca. Ketika lutut gadis itu hampir mencapai lantai untuk berlutut, teriakan seseorang menahan aksinya. “Apa yang kamu lakukan, kakak ipar? Cepat bediri!” Jennifer Adams berlari menghampiri Samantha, lalu membantu gadis itu untuk berdiri. Jennifer tidak tahu kejadian apa yang terjadi sebelum ia datang. Namun jika dilihat bagaimana keadaannya, sesuatu yang tidak menyenangkan pasti baru saja terjadi. Jennifer memandangi ibunya dengan wajah masam dan berkata, “Mengapa Ibu menyuruh kakak ipar berlutut? Dante tidak akan menyukai hal ini jika dia mengetahuinya, Bu!” Margareth mendengus kasar. “Pria itu tidak akan t
Malam harinya, saat Samantha tengah duduk menikmati lemon cake, pintu kamar tiba-tiba dibuka dengan sedikit kasar oleh seseorang. Samantha hampir menjatuhkan lemon cake di tangannya, lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati Dante berdiri dengan wajah merah padam. Dante mendatangi Samantha yang tercengang menatapnya. Pria itu nampak dipenuhi amarah. Dan Samantha tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. “Dante—” “Mengapa tidak memberi tahuku soal kejadian tadi siang? Aku dengar ibuku menampar dan menjambakmu. Apa itu benar?” tanya pria itu dengan suara parau. Samantha meletakkan lemon cake yang belum sempat ia makan ke atas piring. Sebelum makanan manis itu terjatuh dari tangannya, lebih baik Samantha kembalikan saja ke tempatnya. Samantha menatapnya ragu. “Apa Jenny yang memberi tahumu?” Dante memasang wajah serius. “Jawab aku, Samantha. Apa semua itu benar?” tanyanya dengan nada menuntut. Samantha merasa ragu untuk memberi jawaban. Namun di sisi lain gadis itu yakin bahwa Dante