Malam harinya, saat Samantha tengah duduk menikmati lemon cake, pintu kamar tiba-tiba dibuka dengan sedikit kasar oleh seseorang. Samantha hampir menjatuhkan lemon cake di tangannya, lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati Dante berdiri dengan wajah merah padam. Dante mendatangi Samantha yang tercengang menatapnya. Pria itu nampak dipenuhi amarah. Dan Samantha tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. “Dante—” “Mengapa tidak memberi tahuku soal kejadian tadi siang? Aku dengar ibuku menampar dan menjambakmu. Apa itu benar?” tanya pria itu dengan suara parau. Samantha meletakkan lemon cake yang belum sempat ia makan ke atas piring. Sebelum makanan manis itu terjatuh dari tangannya, lebih baik Samantha kembalikan saja ke tempatnya. Samantha menatapnya ragu. “Apa Jenny yang memberi tahumu?” Dante memasang wajah serius. “Jawab aku, Samantha. Apa semua itu benar?” tanyanya dengan nada menuntut. Samantha merasa ragu untuk memberi jawaban. Namun di sisi lain gadis itu yakin bahwa Dante
Dante masuk ke dalam rumah dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Pria berusia tiga puluh enam tahun itu baru saja kembali setelah berlari pagi. Dante pergi ke dapur untuk mengambil minum. Namun di tengah jalan, Dante berpapasan dengan ibunya yang hendak ke halaman belakang. “Bu, bisakah kita bicara sebentar?” tanya pria itu. Margareth menahan langkah. “Ya! Kamu ingin bicara soal apa, putraku?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada suara lembut. Dante bergumam panjang, kemudian melangkah mendekati sang ibu. “Sebenarnya aku ingin membicarakan soal Samantha. Bisakah Ibu berhenti menjadikan istriku sasaran kemarahan Ibu? Aku memohon dengan tulus padamu, Bu. Berhenti menyakiti istriku.” Margareth tersenyum kaku. “Apa maksudmu, Dante?” tanyanya seolah tidak mengerti. Margareth tidak tahu jika sebenarnya Dante sudah mengetahui kejadian di ruang tengah kemarin. Dante memandang ibunya dengan tatapan lelah. “Aku yakin Ibu mengerti maksudku."Dante tahu jika sekarang Margareth han
Saat ini Samantha dan Dante sedang dalam perjalanan menuju salah satu perpustakaan umum di kota ini. Dante tahu Samantha adalah gadis yang sederhana, namun ia tidak mengira bahwa Samantha akan memilih perpustakaan umum sebagai tempat kencan mereka.Dante tersenyum tipis melihat Samantha yang nampak senang. Sedari tadi gadis itu terus tersenyum dengan mata berbinar. Hingga tak lama kemudian, keduanya berhasil tiba di perpustakaan.Samantha berjalan masuk ke dalam perpustakaan dengan senyuman yang mengembang dua kali lipat dari sebelumnya. Sementara Dante, pria itu mengekor di belakang dengan wajah kelewat santai."Buku apa yang ingin kamu baca?" tanya Dante.Samantha segera berbalik menghadap Dante, kemudian meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Pssttt! Tolong kecilkan suaramu," ucapnya berbisik.Dante memutar bola mata ke atas, lalu mengulangi pertanyaannya kembali. "Oh, sial! Baiklah. Jadi, buku apa yang ingin kamu baca?" tanya pria itu dengan nada suara lebih rendah dari sebelumny
Setelah kencan di perpustakaan—meskipun hanya Dante yang benar-benar membaca karena Samantha tertidur cukup pulas—keduanya memutuskan untuk makan siang di restoran. Setelah membuka matanya beberapa saat lalu, Samantha mendapati perutnya terasa begitu lapar. Bahkan Dante dapat mendengar suara keroncongan berasal dari perut gadis itu. Tadi pagi Samantha mengisi perutnya hanya dengan selembar roti tawar. Dante membelokkan mobilnya ke sebuah restoran Italia yang cukup terkenal. Sebelumnya Samantha sempat menyampaikan keinginannya makan siang dengan spaghetti dan pizza pada pria itu. Dan Dante dengan senang hati mengabulkan keinginan tersebut. “Oh, sepertinya ponselku bergetar,” ucap Samantha lalu merogoh tas untuk meraih ponselnya. Gadis itu kembali menutup pintu mobil yang sempat dibuka. Dante pun melakukan hal serupa kemudian menunggu Samantha yang menerima telepon dari seseorang.“Apa? Rumah sakit? Baiklah, aku akan segera ke sana!” pekik Samantha setelah beberapa saat berbincang.
"Aku minta maaf karena tidak mengundangmu, Nyonya Kathleen. Tapi, pernikahan kami digelar secara pribadi," ucap Samantha sambil menundukkan sedikit kepala.Ya! Wanita yang tadi menyapanya adalah Nyonya Kathleen. Jika ada yang lupa siapa wanita itu, Nyonya Kathleen adalah tuan tanah yang sebelumnya mengusir Samantha dari rumah yang ia sewa. Samantha sungguh tidak menduga akan bertemu wanita itu di sini. Meski tidak menaruh dendam sama sekali, namun Samantha tidak pernah melupakan perlakuan apa yang pernah diterimanya dari Nyonya Kathleen."Suamimu tampan juga. Dan sepertinya dia bukan orang biasa. Suamimu pasti kaya, 'kan? Dasar gadis nakal! Ternyata kamu sangat pandai memilih pasangan," goda Nyonya Kathleen berbisik di telinga Samantha.Samantha menegang di kursinya mendengar ucapan Nyonya Kathleen. Bukankah kata-kata wanita itu sedikit lancang? Dulu hubungan mereka hanyalah sebatas penyewa dan tuan tanah, namun dari ucapan Nyonya Kathleen barusan seolah mereka sangatlah dekat."Ergh,
Samantha terperangah memandangi Dante setelah mendengar permintaan konyol pria itu."A-apa? Menciummu?" tanya Samantha melongo.Apa Dante sudah gila? Kenapa pria itu tiba-tiba meminta Samantha menciumnya?"Ayolah, kamu tidak ingin melakukannya?" tanya pria itu begitu santai. Seolah permintaannya pada Samantha adalah sesuatu yang biasa baginya.Salah satu alis Samantha terangkat ke atas. "Tentu tidak!" sahutnya tanpa ragu."Kalau begitu, bagaimana jika aku yang menciummu?"Samantha mengerjapkan mata beberapa kali. Gadis itu tampak berpikir hingga sepersekian detik lamanya. Bahkan tanpa sadar Samantha sudah menggigit bibir bawahnya dengan lembut. Samantha tidak dapat mengelak jika ciuman Dante terasa begitu memabukkan.'Oh, astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan?' Samantha mengerang dalam hati kemudian membuyarkan pikiran konyolnya. Gadis itu tidak percaya, bisa-bisanya ia memikirkan hal tersebut."Tidak!" tolak gadis itu."Bagaimana jika aku memaksa?"Samantha meneguk saliva dengan s
Beberapa hari kemudian, Samantha memutuskan bersantai di tepi kolam renang kediaman keluarga Adams sambil memikirkan nasibnya dan nasib adiknya. Sekarang gadis itu resmi menjadi seorang pengangguran dengan jumlah tabungan yang sangat sedikit.Setelah dipecat oleh Emily beberapa waktu lalu, Samantha sudah berusaha mencari pekerjaan baru. Namun entah mengapa hal tersebut tidak semudah yang Samantha bayangkan.Tidak ada satupun yang mau mempekerjakan Samantha. Seolah ada seseorang yang sengaja menghalangi, tetapi Samantha tidak punya cukup bukti untuk membenarkan pemikirannya tersebut."Astaga, kenapa gerah sekali?" gumam gadis itu sambil mengibaskan telapak tangan di depan wajah.Samantha hendak beranjak, namun kedatangan Jennifer Adams membuat gadis itu tertahan."Kakak ipar. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Jennifer dengan balutan bikini.Samantha bergumam pelan, kemudian tersenyum menatap Jennifer. "Uhm, aku hanya sedang bersantai di sini. Apa kamu ingin berenang?""Aku merasa sa
Samantha tersenyum senang menatap lembar kontrak kerja yang baru saja ditandatanganinya. Sekarang ia tidak perlu khawatir lagi pada nasibnya dan Elnathan sebab ia sudah memiliki mata pencarian. Samantha memandangi Jennifer dengan mata berbinar. "Aku sungguh berterima kasih padamu, Jen! Terima kasih karena memberiku pekerjaan ini," serunya begitu senang.Samantha benar-benar bersyukur karena Jennifer mempekerjakan dirinya. Terlebih, Jennifer memberinya gaji dua kali lipat lebih banyak daripada saat ia bekerja dengan Emily. Samantha berpikir Jennifer mungkin malaikat penyelamat yang dikirim Tuhan untuknya."Tidak perlu sungkan. Aku juga senang karena bisa bekerja denganmu, kakak ipar," sahut Jennifer tersenyum simpul.Setelah peragaan Leocadia beberapa waktu lalu, Jennifer merasa sangat puas dengan kinerja Samantha. Jennifer juga melihat adanya peluang kesuksesan pada gadis itu. Ia yakin Samantha akan menjadi seorang model dengan karir yang cemerlang di masa depan."Aku merasa semua pak