Samantha terus dipaksa berlutut meminta maaf kepada Clara Johnson oleh ibu mertuanya sendiri. Demi Tuhan, Samantha merasa sangat keberatan jika harus berlutut. Namun Margareth terus mendesak hingga gadis itu tidak mempunyai pilihan. “Cepat berlutut, Samantha! Apa lagi yang kamu tunggu?!” bentak Margareth. Seluruh wajah Samantha berubah menjadi merah sementara matanya berkaca-kaca. Ketika lutut gadis itu hampir mencapai lantai untuk berlutut, teriakan seseorang menahan aksinya. “Apa yang kamu lakukan, kakak ipar? Cepat bediri!” Jennifer Adams berlari menghampiri Samantha, lalu membantu gadis itu untuk berdiri. Jennifer tidak tahu kejadian apa yang terjadi sebelum ia datang. Namun jika dilihat bagaimana keadaannya, sesuatu yang tidak menyenangkan pasti baru saja terjadi. Jennifer memandangi ibunya dengan wajah masam dan berkata, “Mengapa Ibu menyuruh kakak ipar berlutut? Dante tidak akan menyukai hal ini jika dia mengetahuinya, Bu!” Margareth mendengus kasar. “Pria itu tidak akan t
Malam harinya, saat Samantha tengah duduk menikmati lemon cake, pintu kamar tiba-tiba dibuka dengan sedikit kasar oleh seseorang. Samantha hampir menjatuhkan lemon cake di tangannya, lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati Dante berdiri dengan wajah merah padam. Dante mendatangi Samantha yang tercengang menatapnya. Pria itu nampak dipenuhi amarah. Dan Samantha tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. “Dante—” “Mengapa tidak memberi tahuku soal kejadian tadi siang? Aku dengar ibuku menampar dan menjambakmu. Apa itu benar?” tanya pria itu dengan suara parau. Samantha meletakkan lemon cake yang belum sempat ia makan ke atas piring. Sebelum makanan manis itu terjatuh dari tangannya, lebih baik Samantha kembalikan saja ke tempatnya. Samantha menatapnya ragu. “Apa Jenny yang memberi tahumu?” Dante memasang wajah serius. “Jawab aku, Samantha. Apa semua itu benar?” tanyanya dengan nada menuntut. Samantha merasa ragu untuk memberi jawaban. Namun di sisi lain gadis itu yakin bahwa Dante
Dante masuk ke dalam rumah dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Pria berusia tiga puluh enam tahun itu baru saja kembali setelah berlari pagi. Dante pergi ke dapur untuk mengambil minum. Namun di tengah jalan, Dante berpapasan dengan ibunya yang hendak ke halaman belakang. “Bu, bisakah kita bicara sebentar?” tanya pria itu. Margareth menahan langkah. “Ya! Kamu ingin bicara soal apa, putraku?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada suara lembut. Dante bergumam panjang, kemudian melangkah mendekati sang ibu. “Sebenarnya aku ingin membicarakan soal Samantha. Bisakah Ibu berhenti menjadikan istriku sasaran kemarahan Ibu? Aku memohon dengan tulus padamu, Bu. Berhenti menyakiti istriku.” Margareth tersenyum kaku. “Apa maksudmu, Dante?” tanyanya seolah tidak mengerti. Margareth tidak tahu jika sebenarnya Dante sudah mengetahui kejadian di ruang tengah kemarin. Dante memandang ibunya dengan tatapan lelah. “Aku yakin Ibu mengerti maksudku."Dante tahu jika sekarang Margareth han
Saat ini Samantha dan Dante sedang dalam perjalanan menuju salah satu perpustakaan umum di kota ini. Dante tahu Samantha adalah gadis yang sederhana, namun ia tidak mengira bahwa Samantha akan memilih perpustakaan umum sebagai tempat kencan mereka.Dante tersenyum tipis melihat Samantha yang nampak senang. Sedari tadi gadis itu terus tersenyum dengan mata berbinar. Hingga tak lama kemudian, keduanya berhasil tiba di perpustakaan.Samantha berjalan masuk ke dalam perpustakaan dengan senyuman yang mengembang dua kali lipat dari sebelumnya. Sementara Dante, pria itu mengekor di belakang dengan wajah kelewat santai."Buku apa yang ingin kamu baca?" tanya Dante.Samantha segera berbalik menghadap Dante, kemudian meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Pssttt! Tolong kecilkan suaramu," ucapnya berbisik.Dante memutar bola mata ke atas, lalu mengulangi pertanyaannya kembali. "Oh, sial! Baiklah. Jadi, buku apa yang ingin kamu baca?" tanya pria itu dengan nada suara lebih rendah dari sebelumny
Setelah kencan di perpustakaan—meskipun hanya Dante yang benar-benar membaca karena Samantha tertidur cukup pulas—keduanya memutuskan untuk makan siang di restoran. Setelah membuka matanya beberapa saat lalu, Samantha mendapati perutnya terasa begitu lapar. Bahkan Dante dapat mendengar suara keroncongan berasal dari perut gadis itu. Tadi pagi Samantha mengisi perutnya hanya dengan selembar roti tawar. Dante membelokkan mobilnya ke sebuah restoran Italia yang cukup terkenal. Sebelumnya Samantha sempat menyampaikan keinginannya makan siang dengan spaghetti dan pizza pada pria itu. Dan Dante dengan senang hati mengabulkan keinginan tersebut. “Oh, sepertinya ponselku bergetar,” ucap Samantha lalu merogoh tas untuk meraih ponselnya. Gadis itu kembali menutup pintu mobil yang sempat dibuka. Dante pun melakukan hal serupa kemudian menunggu Samantha yang menerima telepon dari seseorang.“Apa? Rumah sakit? Baiklah, aku akan segera ke sana!” pekik Samantha setelah beberapa saat berbincang.
"Aku minta maaf karena tidak mengundangmu, Nyonya Kathleen. Tapi, pernikahan kami digelar secara pribadi," ucap Samantha sambil menundukkan sedikit kepala.Ya! Wanita yang tadi menyapanya adalah Nyonya Kathleen. Jika ada yang lupa siapa wanita itu, Nyonya Kathleen adalah tuan tanah yang sebelumnya mengusir Samantha dari rumah yang ia sewa. Samantha sungguh tidak menduga akan bertemu wanita itu di sini. Meski tidak menaruh dendam sama sekali, namun Samantha tidak pernah melupakan perlakuan apa yang pernah diterimanya dari Nyonya Kathleen."Suamimu tampan juga. Dan sepertinya dia bukan orang biasa. Suamimu pasti kaya, 'kan? Dasar gadis nakal! Ternyata kamu sangat pandai memilih pasangan," goda Nyonya Kathleen berbisik di telinga Samantha.Samantha menegang di kursinya mendengar ucapan Nyonya Kathleen. Bukankah kata-kata wanita itu sedikit lancang? Dulu hubungan mereka hanyalah sebatas penyewa dan tuan tanah, namun dari ucapan Nyonya Kathleen barusan seolah mereka sangatlah dekat."Ergh,
Samantha terperangah memandangi Dante setelah mendengar permintaan konyol pria itu."A-apa? Menciummu?" tanya Samantha melongo.Apa Dante sudah gila? Kenapa pria itu tiba-tiba meminta Samantha menciumnya?"Ayolah, kamu tidak ingin melakukannya?" tanya pria itu begitu santai. Seolah permintaannya pada Samantha adalah sesuatu yang biasa baginya.Salah satu alis Samantha terangkat ke atas. "Tentu tidak!" sahutnya tanpa ragu."Kalau begitu, bagaimana jika aku yang menciummu?"Samantha mengerjapkan mata beberapa kali. Gadis itu tampak berpikir hingga sepersekian detik lamanya. Bahkan tanpa sadar Samantha sudah menggigit bibir bawahnya dengan lembut. Samantha tidak dapat mengelak jika ciuman Dante terasa begitu memabukkan.'Oh, astaga! Apa yang baru saja aku pikirkan?' Samantha mengerang dalam hati kemudian membuyarkan pikiran konyolnya. Gadis itu tidak percaya, bisa-bisanya ia memikirkan hal tersebut."Tidak!" tolak gadis itu."Bagaimana jika aku memaksa?"Samantha meneguk saliva dengan s
Beberapa hari kemudian, Samantha memutuskan bersantai di tepi kolam renang kediaman keluarga Adams sambil memikirkan nasibnya dan nasib adiknya. Sekarang gadis itu resmi menjadi seorang pengangguran dengan jumlah tabungan yang sangat sedikit.Setelah dipecat oleh Emily beberapa waktu lalu, Samantha sudah berusaha mencari pekerjaan baru. Namun entah mengapa hal tersebut tidak semudah yang Samantha bayangkan.Tidak ada satupun yang mau mempekerjakan Samantha. Seolah ada seseorang yang sengaja menghalangi, tetapi Samantha tidak punya cukup bukti untuk membenarkan pemikirannya tersebut."Astaga, kenapa gerah sekali?" gumam gadis itu sambil mengibaskan telapak tangan di depan wajah.Samantha hendak beranjak, namun kedatangan Jennifer Adams membuat gadis itu tertahan."Kakak ipar. Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Jennifer dengan balutan bikini.Samantha bergumam pelan, kemudian tersenyum menatap Jennifer. "Uhm, aku hanya sedang bersantai di sini. Apa kamu ingin berenang?""Aku merasa sa
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se