Setelah melalui sedikit perdebatan dengan Dante, Samantha akhirnya setuju mengikuti pria itu kembali ke Boston. Dante bersikeras meminta Samantha untuk ikut bersamanya. Bagaimanapun Dante merasa khawatir pada gadis itu. Tepat satu jam yang lalu mereka tiba di kamar hotel tempat Dante menginap sebelumnya. Sebuah kamar dengan tipe presidential suite yang begitu mewah dan luas. Samantha berdiri di depan jendela sambil menikmati cokelat panas dan pemandangan malam kota Boston. Samantha tersenyum puas setelah menyesap cokelat panas terakhirnya. “Pemandangan di sini sungguh indah,” gumamnya dengan mata berbinar. Ponsel Samantha berdering. Namun gadis itu terlalu tenggelam dalam pemandangan indah kota Boston hingga membuatnya tidak menyadarinya. “Apa kamu tidak mendengar? Ponselmu berdering.” Dante mengulurkan lengannya untuk memberikan ponsel Samantha. “Oh, benarkah? Aku tidak mendengarnya … terima kasih."Sebuah panggilan telepon dari Jeremiah terpampang di layar ponselnya. Samantha me
“Apa? Jangan konyol! Aku tidak akan mengizinkanmu jalan-jalan sendirian!” Dante menekankan suaranya. Salah satu alisnya terangkat sementara matanya memandangi Samantha dengan tajam. Tidakkah gadis itu merasa takut setelah apa yang menimpanya di Miami? Samantha mendesah pelan. “Tidak, aku ingin sendirian,” ucapnya bersikeras. Samantha ingin menata kembali pikirannya yang sempat kacau karena pria itu. Dante menggertakkan gigi kuat-kuat. Matanya semakin tajam memandangi gadis di hadapannya itu. “Aku tidak mengizinkan itu,” sahutnya dengan nada yang tidak ingin dibantah. “Jika kamu ingin jalan-jalan, aku akan menemanimu. Tapi jika kamu menolak, maka lupakan tentang jalan-jalan.” Samantha menggigit bagian dalam bibirnya dan merasakan ketegangan mulai membalut ruangan kamar. Ketegangan yang mendadak muncul saat kemarahan Dante mulai berkobar. “Baiklah, kamu menang!” seru Samantha dengan wajah masam. Bagaimanapun Samantha masih belum menemukan sebuah taktik yang bisa membuat Dante bertek
Samantha duduk di tepi jendela kedai sambil menikmati kopi dan cake. Sementara Dante, pria itu sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon di luar sana. Sesekali Samantha memperhatikan pria itu, Dante nampak begitu serius dan juga marah. Dahi Samantha sedikit berkerut. “Ada apa dengannya? Mengapa dia terlihat marah?” gumamnya masih memandangi Dante yang berdiri di luar kedai. Tok! Tok! Samantha hampir terlonjak dari tempat ia duduk saat mendengar suara ketukan pada meja. Dan ketika ia menoleh, ada seorang pria asing duduk di seberangnya. Samantha memandangi pria tersebut dengan wajah datar. Detik berikutnya ia pun membuka suara, “Anda tidak bisa duduk di sana karena itu adalah kursi suamiku, Tuan.” Pria asing itu hampir terbahak mendengar kalimat yang diucapkan Samantha. Ia sudah memperhatikan gadis itu sejak tadi dan ia melihat Samantha datang sendirian. Memang benar Samantha masuk ke kedai kopi ini seorang diri sebab Dante memilih tinggal di luar untuk menerima telepon. Na
Dante membanting ponsel Samantha ke atas sofa sementara wajahnya berubah menjadi merah padam. Kemarahan Dante meledak-ledak sesaat setelah melihat foto telanjang Samantha yang dikirim oleh seseorang. “Jelaskan padaku soal foto yang baru saja kulihat tadi! Apa kamu tahu siapa pengirimnya?” tanya pria itu dengan suara parau. Ia memandangi Samantha yang duduk dengan wajah pucat. Samantha meraih ponselnya lalu memegangi benda tersebut dengan kepala menunduk. Ia tidak berani menatap langsung mata Dante. Samantha merasa sangat malu hingga kehilangan muka. “Jawab aku, Samantha! Kenapa diam saja seperti gadis bodoh!” bentak pria itu.Samantha refleks memejamkan mata saat Dante berteriak padanya. Mengapa Dante meluapkan kemarahannya pada Samantha? Sadarkah pria itu bahwa di sini Samantha-lah yang menjadi korbannya? “Kamu tidak mendadak jadi bisu ‘kan, Samantha?! Cepat jelaskan padaku kenapa kamu berfoto tanpa busana!” Rasanya Dante hampir menggila. Ia menuntut jawaban dari Samantha namun g
Keesokan harinya, Samantha kembali ke kediaman keluarga Adams setelah beberapa hari mengikuti Dante melakukan perjalanan bisnis di Boston. Kedatangannya disambut oleh Margareth dengan wajah angkuh. “Ke mana saja kamu, hah?!” teriak Margareth penuh kemarahan. Samantha meneguk saliva dengan sedikit payah saat bertatapan dengan Margareth yang melotot sambil berkacak pinggang di samping tangga. Detik berikutnya gadis itu langsung menundukkan kepala serta menurunkan nada suaranya. “Maaf, Bu. Aku—” “Sudahlah! Jangan banyak alasan! Aku benci seseorang yang berbohong dan suka membuat alasan!” tukas Margareth. Samantha mengembuskan napas pelan. Margareth bahkan belum mendengar penjelasan Samantha, tetapi ia sudah menuding gadis itu berbohong dan membuat alasan. “Ada apa ini? Mengapa Ibu berteriak?” tanya Dante yang baru saja masuk. Margareth sedikit tersentak saat mendengar suara putranya. Dengan sangat cepat wanita paruh baya itu merubah ekspresinya yang semula masam menjadi tersenyum s
“Permisi, aku ingin mengambil pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams,” ucap Samantha di meja kasir. Dua puluh menit yang lalu gadis itu mendapat perintah dari ibu mertuanya untuk mengambil kue pesanannya di Lilian’s Bakery. Wanita paruh baya itu mengatakan jika hari ini ia akan kedatangan tamu spesial di rumah. Samantha tidak berpikiran macam-macam ketika Margareth memerintahkan dirinya untuk mengambil kue. Meski sebenarnya ia bisa menyuruh salah seorang ART, namun Samantha tidak ingin membuat keributan dengan menolak perintah ibu mertuanya itu. “Maafkan aku, Nona. Tapi pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams sudah diantar sepuluh menit yang lalu.” Kedua mata Samantha sontak melebar. “Apa? Sudah diantar? Tapi, orang yang bersangkutan menyuruhku …,” tiba-tiba Samantha menyadari jika Margareth mungkin sedang mempermainkannya, “baiklah kalau begitu, permisi.” Samantha melangkah keluar dari Lilian’s Bakery dengan perasaan kecewa. Samantha sungguh tak habis pikir dengan ting
Samantha meninggalkan ruang tengah sambil memegangi pipi kanannya yang terasa berdenyut karena ditampar. Gadis itu tidak menangis, tetapi hatinya merasa sangat kecewa. Samantha tidak berharap Margareth akan membelanya. Tentu saja itu adalah hal paling mustahil untuk terjadi. Namun Samantha tidak mengira wanita paruh baya itu akan menghina sekaligus menamparnya. “Nyonya Muda ….” Samantha sedikit tersentak saat Rora menghadangnya dan refleks menurunkan tangannya yang memegangi pipi. Samantha tidak menjawab. Gadis itu hanya memandangi Rora yang berdiri dengan wajah khawatir di hadapannya. Rora mengamati pipi Samantha yang terlihat merah. “Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya Muda?” tanyanya penuh simpati. Samantha cukup terkejut mendengar pertanyaan Rora. “Apa kamu melihatnya?” Rora mengangguk pelan. Setelah Samantha merebut paksa nampan di tangannya, Rora mengikuti gadis itu hingga ke ruang tengah. Alasan Rora melakukan hal tersebut adalah karena ia ingin mengambil kembali nampan yan
Samantha terus dipaksa berlutut meminta maaf kepada Clara Johnson oleh ibu mertuanya sendiri. Demi Tuhan, Samantha merasa sangat keberatan jika harus berlutut. Namun Margareth terus mendesak hingga gadis itu tidak mempunyai pilihan. “Cepat berlutut, Samantha! Apa lagi yang kamu tunggu?!” bentak Margareth. Seluruh wajah Samantha berubah menjadi merah sementara matanya berkaca-kaca. Ketika lutut gadis itu hampir mencapai lantai untuk berlutut, teriakan seseorang menahan aksinya. “Apa yang kamu lakukan, kakak ipar? Cepat bediri!” Jennifer Adams berlari menghampiri Samantha, lalu membantu gadis itu untuk berdiri. Jennifer tidak tahu kejadian apa yang terjadi sebelum ia datang. Namun jika dilihat bagaimana keadaannya, sesuatu yang tidak menyenangkan pasti baru saja terjadi. Jennifer memandangi ibunya dengan wajah masam dan berkata, “Mengapa Ibu menyuruh kakak ipar berlutut? Dante tidak akan menyukai hal ini jika dia mengetahuinya, Bu!” Margareth mendengus kasar. “Pria itu tidak akan t
Malam harinya, Dante dan Samantha datang ke kediaman keluarga Adams untuk memenuhi undangan makan malam Margareth. Meski sebenarnya Dante merasa tidak berminat—Dante masih curiga pada sikap ibunya yang berubah secara mendadak. Namun pria itu tidak bisa menolak keinginan Samantha yang tampak antusias ingin datang. "Ayolah, Honey. Jangan pasang wajah seperti itu. Tersenyumlah.” Samantha merengek ketika melihat ekspresi Dante yang terlihat kaku. Dante menghela napas pelan, kemudian berusaha menyunggingkan kedua sudut bibirnya ke atas. Meski jelas sekali Dante tampak terpaksa, tetapi Samantha tidak ingin berargumen. Setidaknya Dante masih bersedia datang dan saat ini pria itu sedang tersenyum. Orang pertama yang menyambut kedatangan mereka tentu saja Jennifer Adams. Wanita berambut pirang itu terlihat antusias dengan menghamburkan diri memeluk Samantha. “Rasanya sepi tidak ada kalian di rumah ini. Bagaimana kehidupan pernikahan di kediaman sendiri? Pasti sangat menyenangkan, bukan? Kal
Setelah sepakat untuk memulai kembali hubungan mereka, satu minggu kemudian Dante lantas mengajak Samantha untuk keluar dari kediaman keluarga Adams. Keduanya pindah ke griya tawang yang Dante beli beberapa bulan lalu. Tidak ada yang ingin Dante lakukan selain ingin terus bersama dan menghabiskan waktunya dengan istrinya yang cantik itu. Sebenarnya Dante ingin langsung mengajak Samantha pindah ke griya tawang setelah ia membelinya. Namun ada beberapa ketidakyakinan tersirat di dalam hatinya kala itu. Tetapi kali ini Dante sangat yakin untuk melakukannya dan ia bersumpah tidak akan melepaskan Samantha dari hidupnya. Saat ini Dante masih terlelap di atas tempat tidur mereka yang berukuran king size itu. Dan ketika sinar mentari yang memaksa masuk di celah jendela tak sengaja mengenai kelopak matanya, Dante menggeliat sebentar lalu membuka mata. Ditengoknya ke samping kiri dan ia tidak menemukan Samantha di sana. “Honey …,” seru Dante dengan suara parau. “Hey, di mana kamu?” Karena ti
Dante memutuskan untuk mengantar Samantha pulang ke kediamannya alih-alih mengajak gadis itu ke kediaman keluarga Adams. Satu alasan yang Dante pikirkan adalah karena ingin Samantha menenangkan diri dan beristirahat dengan nyaman tanpa ada yang menganggu. Hingga saat ini gadis itu masih tampak syok dan begitu sedih karena insiden penculikan yang didalangi oleh sahabatnya sendiri.Samantha tak banyak berbicara. Dante juga tak banyak melontarkan pertanyaan pada gadis itu. Sekarang keduanya sedang berpelukan di atas ranjang dengan berbalutkan keheningan.“Aku tidak mengerti mengapa Jere melakukan hal semacam itu. Untuk apa dia menculikku?” Samantha keheranan. Keheningan yang semula membalut ruangan tersebut langsung pecah ketika pertanyaan tersebut terlontar dari mulut gadis itu.Dante meneguk saliva dengan sedikit payah. Sejujurnya Dante sudah mengetahui jika keluarga Sinclair telah jatuh bangkrut. Dan alasan Jeremiah menculik Samantha adalah karena pria itu memerlukan banyak uang.Dant
Dante tiba di Panti Asuhan Mida empat jam setelah menerima informasi lokasi dari Jeremiah. Seperti yang pria itu inginkan, Dante datang seorang diri dengan membawa dua buah tas berukuran besar. Dante berjalan sambil mengamati area sekitar, kewaspadaan memenuhi diri pria itu.“Cih! Dasar berengsek. Dia pasti memilih tempat ini setelah menyurvei berkali-kali,” geram Dante.Lokasi yang dipilih Jeremiah sangat jauh dari keramaian. Dante bahkan harus menyetir selama berjam-jam agar tiba di tempat ini. Panti asuhan ini seperti bangunan terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan, tidak akan ada yang datang menolong meski seseorang berteriak dengan lantang di tempat ini.Dante terus berjalan hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan tempat Samantha disandera. Dengan kemarahan yang berkobar di dalam dirinya, Dante menendang pintu di depannya itu dan bergegas masuk ke dalam.“Samantha!” teriak pria itu ketika melihat wanita pujaannya tepat di depan mata.Tepat di depannya, Samantha duduk
Keesokan malamnya, Dante kembali mampir ke area kediaman Samantha seperti yang biasa ia lakukan. Namun ada yang aneh kali ini, kediaman gadis itu tampak gelap gulita. Dante sudah berada di sana selama sepuluh menit dan tak ada tanda-tanda keberadaan Samantha di sana. “Apa mungkin dia belum pulang?” gumam Dante curiga. Dante ingat Jennifer memberi tahunya bahwa hari ini Samantha pulang lebih awal. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Lalu, ke mana perginya gadis itu? Setelah bergulat dengan beberapa macam dugaan, Dante memutuskan untuk turun dari mobil dan memeriksa langsung gadis itu di kediamannya. Dante mengetuk pintu hingga beberapa kali sambil memanggil nama Samantha. Namun tidak ada jawaban sama sekali dari gadis itu. Dante semakin gelisah. Dengan cekatan salah satu tangannya meraih ponsel dan menghubungi seseorang dari daftar kontak. Tapi lagi-lagi Dante harus melontarkan sumpah serapah sebab panggilannya tidak berhasil tersambung. “Sial!” umpat Dante kesal. S
Masa kini …. Setelah semua kekacauan yang terjadi, Dante memutuskan untuk mengembalikan rumah yang sempat ia rampas dari Samantha dulu dan memberikan hak milik pada gadis itu. Setiap hari sebelum dan setelah pulang bekerja Dante selalu menyempatkan diri untuk mampir. Tentu saja ia hanya bisa berdiri dari kejauhan dan mengawasi gadis itu sambil berharap keajaiban. Samantha masih tidak bersedia—atau bahkan sudah tidak sudi—untuk bertemu dengannya. Dante sadar tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membela diri sekarang. Ia jelas salah dan sekarang ia harus menerima hukumannya. Memikirkan perjanjian mereka akan berakhir dalam beberapa bulan jelas menambah ketakutan di hati Dante. Sebelumnya ia dengan percaya diri dapat mempertahankan Samantha di sisinya. Namun keadaan menjadi terbalik dalam sehari, sekarang Dante tidak yakin ia akan berhasil melakukannya. “Samantha, maafkan aku,” gumam Dante pelan. Tatapan matanya sama sekali tak lepas dari jendela kamar Samantha yang lampunya masih men
Beberapa hari setelah acara peragaan busana ....Dante membaca dengan serius laporan pemeriksaan latar belakang yang ia terima dari Jasper. Tidak ada satu baris kalimat pun yang lolos dari kedua mata Dante. Pria itu membaca semuanya tanpa terkecuali.“Jadi namanya Samantha Rayne,” ucap Dante seraya mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya.“Nama yang indah. Tidak salah orang tuanya memberi nama Samantha, selaras dengan wajahnya yang juga indah.” Jasper menjawab dengan santai.Dante hanya tersenyum tipis saat mendengar jawaban Jasper. Kedua matanya masih sibuk memindai baris kata yang tertuang di dalam laporan hingga sebuah kalimat berhasil membuatnya tersenyum lega. Sebuah kalimat yang menyatakan jika Samantha Rayne adalah seorang gadis lajang.“Oke, kurasa mudah untukmu membuatnya terlibat denganku. Kamu bisa menjadikan adiknya sebagai umpan.” Dante menutup laporan latar belakang Samantha kemudian memasukkannya ke dalam laci meja kerjanya.“Aku sudah memikirkannya. Ini akan menjadi
Acara peragaan busana Jennifer Adams. Beberapa bulan yang lalu ….“Aku sudah menemukan calon pengantinku.” Kalimat itu meluncur dengan mudah dari mulut Dante.“Benarkah? Apa aku mengenalnya?” Jasper hampir tidak percaya saat mendengar kalimat itu dari Dante.“Tidak, kamu tidak mengenalnya. Bahkan aku pun tidak,” Dante menjawab tanpa menatap Jasper yang duduk menganga di sampingnya, “tapi kita akan segera mengenalnya,” lanjutnya kemudian menunjuk seorang gadis yang berdiri di depan mereka dengan dagunya.Jasper sontak mengarahkan matanya ke arah di mana dagu Dante menunjuk. Meski tidak terlalu yakin apakah gadis dengan balutan gaun pengantin itu adalah yang Dante maksud, Jasper hanya mengeluarkan satu kalimat. “Mengapa dia?” tanyanya.“Entahlah. Aku hanya merasa dia akan mudah dihadapi.” Bahkan Dante sendiri tidak terlalu yakin mengapa ia memilih gadis itu sebagai calon pengantinnya. Hanya saja instingnya mengatakan jika semuanya akan berjalan dengan mudah jika memilih gadis itu.Dante
Dante tidak dapat mempertahankan Samantha meski ia telah memohon pada gadis itu berkali-kali. Sekarang Dante harus menerima kenyataan jika Samantha telah membencinya. Gadis itu tidak ingin melihatnya lagi.“Aku tahu ini adalah hukuman. Tapi rasanya sangat menyakitkan untuk menerima kenyataan bahwa Samantha telah membenciku. Dia tidak ingin melihatku lagi, Jasper.” Dante memijat pelipisnya kemudian mendesah kasar.Di seberangnya, Jasper yang sedari tadi hanya diam menyimak ikut mendesah. “Aku minta maaf karena situasinya menjadi kacau seperti ini, Dante,” kata pria itu terdengar menyesal. Seolah kekacauan ini terjadi karena ulahnya.Dante menggelengkan kepala. “Ini bukan salahmu. Jelas sekali bukan salahmu, kawan,” sahutnya dengan suara lemah.Tidak ada alasan bagi Dante untuk menyalahkan Jasper. Dante bukan seorang pemuda berusia enam belas tahun lagi. Usianya sebentar lagi akan menginjak angka tiga puluh tujuh, tentu saja Dante tidak akan bersikap kekanakan untuk menjadikan Jasper se