“Permisi, aku ingin mengambil pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams,” ucap Samantha di meja kasir. Dua puluh menit yang lalu gadis itu mendapat perintah dari ibu mertuanya untuk mengambil kue pesanannya di Lilian’s Bakery. Wanita paruh baya itu mengatakan jika hari ini ia akan kedatangan tamu spesial di rumah. Samantha tidak berpikiran macam-macam ketika Margareth memerintahkan dirinya untuk mengambil kue. Meski sebenarnya ia bisa menyuruh salah seorang ART, namun Samantha tidak ingin membuat keributan dengan menolak perintah ibu mertuanya itu. “Maafkan aku, Nona. Tapi pesanan kue atas nama Nyonya Margareth Adams sudah diantar sepuluh menit yang lalu.” Kedua mata Samantha sontak melebar. “Apa? Sudah diantar? Tapi, orang yang bersangkutan menyuruhku …,” tiba-tiba Samantha menyadari jika Margareth mungkin sedang mempermainkannya, “baiklah kalau begitu, permisi.” Samantha melangkah keluar dari Lilian’s Bakery dengan perasaan kecewa. Samantha sungguh tak habis pikir dengan ting
Samantha meninggalkan ruang tengah sambil memegangi pipi kanannya yang terasa berdenyut karena ditampar. Gadis itu tidak menangis, tetapi hatinya merasa sangat kecewa. Samantha tidak berharap Margareth akan membelanya. Tentu saja itu adalah hal paling mustahil untuk terjadi. Namun Samantha tidak mengira wanita paruh baya itu akan menghina sekaligus menamparnya. “Nyonya Muda ….” Samantha sedikit tersentak saat Rora menghadangnya dan refleks menurunkan tangannya yang memegangi pipi. Samantha tidak menjawab. Gadis itu hanya memandangi Rora yang berdiri dengan wajah khawatir di hadapannya. Rora mengamati pipi Samantha yang terlihat merah. “Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya Muda?” tanyanya penuh simpati. Samantha cukup terkejut mendengar pertanyaan Rora. “Apa kamu melihatnya?” Rora mengangguk pelan. Setelah Samantha merebut paksa nampan di tangannya, Rora mengikuti gadis itu hingga ke ruang tengah. Alasan Rora melakukan hal tersebut adalah karena ia ingin mengambil kembali nampan yan
Samantha terus dipaksa berlutut meminta maaf kepada Clara Johnson oleh ibu mertuanya sendiri. Demi Tuhan, Samantha merasa sangat keberatan jika harus berlutut. Namun Margareth terus mendesak hingga gadis itu tidak mempunyai pilihan. “Cepat berlutut, Samantha! Apa lagi yang kamu tunggu?!” bentak Margareth. Seluruh wajah Samantha berubah menjadi merah sementara matanya berkaca-kaca. Ketika lutut gadis itu hampir mencapai lantai untuk berlutut, teriakan seseorang menahan aksinya. “Apa yang kamu lakukan, kakak ipar? Cepat bediri!” Jennifer Adams berlari menghampiri Samantha, lalu membantu gadis itu untuk berdiri. Jennifer tidak tahu kejadian apa yang terjadi sebelum ia datang. Namun jika dilihat bagaimana keadaannya, sesuatu yang tidak menyenangkan pasti baru saja terjadi. Jennifer memandangi ibunya dengan wajah masam dan berkata, “Mengapa Ibu menyuruh kakak ipar berlutut? Dante tidak akan menyukai hal ini jika dia mengetahuinya, Bu!” Margareth mendengus kasar. “Pria itu tidak akan t
Malam harinya, saat Samantha tengah duduk menikmati lemon cake, pintu kamar tiba-tiba dibuka dengan sedikit kasar oleh seseorang. Samantha hampir menjatuhkan lemon cake di tangannya, lalu menoleh ke arah pintu dan mendapati Dante berdiri dengan wajah merah padam. Dante mendatangi Samantha yang tercengang menatapnya. Pria itu nampak dipenuhi amarah. Dan Samantha tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. “Dante—” “Mengapa tidak memberi tahuku soal kejadian tadi siang? Aku dengar ibuku menampar dan menjambakmu. Apa itu benar?” tanya pria itu dengan suara parau. Samantha meletakkan lemon cake yang belum sempat ia makan ke atas piring. Sebelum makanan manis itu terjatuh dari tangannya, lebih baik Samantha kembalikan saja ke tempatnya. Samantha menatapnya ragu. “Apa Jenny yang memberi tahumu?” Dante memasang wajah serius. “Jawab aku, Samantha. Apa semua itu benar?” tanyanya dengan nada menuntut. Samantha merasa ragu untuk memberi jawaban. Namun di sisi lain gadis itu yakin bahwa Dante
Dante masuk ke dalam rumah dengan keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Pria berusia tiga puluh enam tahun itu baru saja kembali setelah berlari pagi. Dante pergi ke dapur untuk mengambil minum. Namun di tengah jalan, Dante berpapasan dengan ibunya yang hendak ke halaman belakang. “Bu, bisakah kita bicara sebentar?” tanya pria itu. Margareth menahan langkah. “Ya! Kamu ingin bicara soal apa, putraku?” tanya wanita paruh baya itu dengan nada suara lembut. Dante bergumam panjang, kemudian melangkah mendekati sang ibu. “Sebenarnya aku ingin membicarakan soal Samantha. Bisakah Ibu berhenti menjadikan istriku sasaran kemarahan Ibu? Aku memohon dengan tulus padamu, Bu. Berhenti menyakiti istriku.” Margareth tersenyum kaku. “Apa maksudmu, Dante?” tanyanya seolah tidak mengerti. Margareth tidak tahu jika sebenarnya Dante sudah mengetahui kejadian di ruang tengah kemarin. Dante memandang ibunya dengan tatapan lelah. “Aku yakin Ibu mengerti maksudku."Dante tahu jika sekarang Margareth han
Saat ini Samantha dan Dante sedang dalam perjalanan menuju salah satu perpustakaan umum di kota ini. Dante tahu Samantha adalah gadis yang sederhana, namun ia tidak mengira bahwa Samantha akan memilih perpustakaan umum sebagai tempat kencan mereka.Dante tersenyum tipis melihat Samantha yang nampak senang. Sedari tadi gadis itu terus tersenyum dengan mata berbinar. Hingga tak lama kemudian, keduanya berhasil tiba di perpustakaan.Samantha berjalan masuk ke dalam perpustakaan dengan senyuman yang mengembang dua kali lipat dari sebelumnya. Sementara Dante, pria itu mengekor di belakang dengan wajah kelewat santai."Buku apa yang ingin kamu baca?" tanya Dante.Samantha segera berbalik menghadap Dante, kemudian meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Pssttt! Tolong kecilkan suaramu," ucapnya berbisik.Dante memutar bola mata ke atas, lalu mengulangi pertanyaannya kembali. "Oh, sial! Baiklah. Jadi, buku apa yang ingin kamu baca?" tanya pria itu dengan nada suara lebih rendah dari sebelumny
Setelah kencan di perpustakaan—meskipun hanya Dante yang benar-benar membaca karena Samantha tertidur cukup pulas—keduanya memutuskan untuk makan siang di restoran. Setelah membuka matanya beberapa saat lalu, Samantha mendapati perutnya terasa begitu lapar. Bahkan Dante dapat mendengar suara keroncongan berasal dari perut gadis itu. Tadi pagi Samantha mengisi perutnya hanya dengan selembar roti tawar. Dante membelokkan mobilnya ke sebuah restoran Italia yang cukup terkenal. Sebelumnya Samantha sempat menyampaikan keinginannya makan siang dengan spaghetti dan pizza pada pria itu. Dan Dante dengan senang hati mengabulkan keinginan tersebut. “Oh, sepertinya ponselku bergetar,” ucap Samantha lalu merogoh tas untuk meraih ponselnya. Gadis itu kembali menutup pintu mobil yang sempat dibuka. Dante pun melakukan hal serupa kemudian menunggu Samantha yang menerima telepon dari seseorang.“Apa? Rumah sakit? Baiklah, aku akan segera ke sana!” pekik Samantha setelah beberapa saat berbincang.
"Aku minta maaf karena tidak mengundangmu, Nyonya Kathleen. Tapi, pernikahan kami digelar secara pribadi," ucap Samantha sambil menundukkan sedikit kepala.Ya! Wanita yang tadi menyapanya adalah Nyonya Kathleen. Jika ada yang lupa siapa wanita itu, Nyonya Kathleen adalah tuan tanah yang sebelumnya mengusir Samantha dari rumah yang ia sewa. Samantha sungguh tidak menduga akan bertemu wanita itu di sini. Meski tidak menaruh dendam sama sekali, namun Samantha tidak pernah melupakan perlakuan apa yang pernah diterimanya dari Nyonya Kathleen."Suamimu tampan juga. Dan sepertinya dia bukan orang biasa. Suamimu pasti kaya, 'kan? Dasar gadis nakal! Ternyata kamu sangat pandai memilih pasangan," goda Nyonya Kathleen berbisik di telinga Samantha.Samantha menegang di kursinya mendengar ucapan Nyonya Kathleen. Bukankah kata-kata wanita itu sedikit lancang? Dulu hubungan mereka hanyalah sebatas penyewa dan tuan tanah, namun dari ucapan Nyonya Kathleen barusan seolah mereka sangatlah dekat."Ergh,