"Zareen, tolong vas ini pindahin ke pojok sana aja, ya. Biar lebih enak diliatnya."
Aku hanya tersenyum seraya mengangguk pelan mendengar instruksi Ibu majikan. Gegas mengerjakan perintah wanita berambut sebahu dengan pakaian modis ala-ala ibu sosialita itu.
Entah ada angin apa Ibu Mareta datang bertamu ke rumah Pak Zaid—majikanku. Menyebutnya majikan membuat seulas senyum getir tersungging rapuh.
Sekuat tenaga aku mengangkat vas ... yang mungkin lebih tepat kalau disebut guci. Besarnya saja nyaris menyamai besar tubuhku. Atau mungkin memang aku yang terlalu ceking.
Napas berat aku embuskan karena wadah berbentuk menyerupai gerabah yang berisi tanah dan bunga itu hanya bergeser sedikit. Kuusap dahi yang mulai berkeringat sebelum kembali mengangkat benda berbahan keramik itu.
Kenapa orang kaya suka sekali mengoleksi barang merepotkan seperti ini? Bukankah pot berbahan plastik yang dijual di pasaran lebih mudah dan praktis? Harganya juga jelas lebih hemat di kantong.
Eh, tapi apa mereka mau sibuk cuman untuk menghitung berapa harga sebuah pot?
"Kalau enggak kuat itu, jangan sok!"
"Eh!"
"Makanya, punya badan itu jangan cungkring-cungkring banget, Mbak."
Astaga anak ini! Aku hanya bisa menghela napas sambil geleng-geleng.
Seolah bukan apa-apa, dia dengan mudah memindahkan vas berukuran cukup besar itu ke pojok teras dekat jendela. Lalu berbalik berjalan mendekat sambil menepuk-nepuk kedua tangannya.
"Makasih ya, Zein."
"Zein yang tampan dan baik hati. Harusnya ditambahin itu, Mbak," sambungnya tengil. Mana mengerling lagi.
Kalau tidak ingat ada orang tuanya di sini, sudah aku pukul pakai kemoceng kepalanya.
"Terserah kamulah, Zein. Sebahagianya Zein aja."
Aku berbalik masuk ke rumah. Pekerjaan di dapur belum selesai. Namun, masih pagi, Ibu Tuan rumah sudah menyuruh menata kembali teras belakang. Bukan cuman itu, taman belakang juga diminta dirapikan. Daun-daun yang kering harus digunting habis, pun bunga.
Pagi-pagi aku sudah merangkap jadi tukang kebun. Sangat kusayangkan cuti mendadak Pak Anton kemarin karena istrinya mau melahirkan. Jadinya aku yang tadinya hanya ART, mengurus bagian dalam rumah jadi harus merangkak menjamah pekerjaan lelaki nyaris setengah baya itu.
Usai mencuci tangan hingga siku dengan sabun, gegas aku melanjutkan memotong sayur yang sempat tertunda. Rencananya mau buat sup ayam. Mumpung hari ini Pak Zaid tidak berangkat ke kantor.
"Zareen!"
"Astagfirullah–awwss!" Aku terlonjak berakhir meringis. Jari telunjuk perih saat darah merambah ke bawang yang sedang kupotong.
"Sini!"
Tarikan kasar di jari membuat tubuhku menghadapnya seketika. Aku memaku melihat pria berkaos hitam itu berdecih menarik jemariku ke wastafel.
Air yang mengalir mengenai luka membuatku menggigit bibir bawah menahan ringisan. Lalu tanpa bicara, dia menyeretku ke meja makan dan duduk di sana. Kubiarkan dia melakukan apa pun pada jariku sesuka hati. Toh, dilarang juga percuma.
"Lain kali hati-hati."
Aku hanya bergumam sekali, lalu beranjak dari kursi usai dia mengobati jari telunjukku. Padahal cuman keiris sedikit, kan, tidak usah selebay itu. Namun, cekalan di lengan membuat langkah terhenti dan sekali lagi, mata kami beradu.
"Tolong buatkan minum, ibu dan bapak—"
"Iya, Pak Zaidan! Akan saya buatkan. Permisi!"
Lancang sekali mulutku memotong ucapannya. Namun, dada ... aku merasa aneh. Rasanya tubuh panas terbakar hanya mendengar kalimat formalnya.
Apa dia bermaksud menegaskan posisiku di sini? Asal dia tahu saja, tanpa dia sindir pun aku tahu diri. Sangat malah!
Aku menggeleng sedikit menggebrak pantry. Buru-buru menghalau air mata yang tidak tahu dirinya jatuh tanpa dikumando.
"Jangan gini dong, Reen. Biasanya, kan, kamu kuat."
Kepalaku tertunduk, menggeleng berulang kali mencoba menghalau perasaan itu lagi. Namun, semakin ditampik, bahu makin bergetar seiring isakan menyesakkan tertahan di kerongkongan.
Setelah puas meluapkan segala sakit, gegas aku ke kamar mandi yang ada di dapur kotor. Mencuci muka di sana, semoga tidak ada jejak kerapuhan di wajah. Kemudian, gegas menyiapkan cemilan dan minuman.
Tak lupa kusuguhkan seulas senyum dengan kepala menegak sebelum memasuki ruang tamu.
Rasa percaya diri yang susah payah dipupuk perlahan luntur seiring langkah memelan melihat banyaknya orang di ruang tamu. Bukan keramaian itu yang mematahkan semangat yang nyaris hidup. Namun, senyum seorang wanita yang duduk di samping Pak Zaidan.
Otak blank membaca keadaan hanya karena tawa anggun wanita dengan dress biru selutut itu. Bahkan saat gelas sudah berpindah ke meja, aku masih diam berdiri di sisi meja. Menatap nanar dua manusia yang sedang berbincang yang membuat si wanita sesekali tertawa.
Dua orang itu, bersikap seolah dunia hanya diisi oleh mereka.
"Mbak, ngapain?"
Suara desis Zein menyentakku ke bumi. Aku hanya mengerjap menatap pemuda berusia 19 tahun itu, lalu menggeleng pelan sebelum berbalik memeluk nampan.
"Kalo mereka sudah akrab begini, kita bisa langsung bahas pertunangan ya, enggak, Mit?"
Sontak langkah memelan mendengar seruan Ibu Mareta. Kepala mendadak pening luar biasa mendengar ucapan itu. Perutku macam diaduk setelah mendengar kelanjutannya.
"Iya, diliat-liat juga, Zaid dan Andine cocok banget."
Tubuhku limbung diambang dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang santai. Semua terlihat berputar saat aku berusaha menopang tubuh dengan sebelah tangan menumpu di dinding.
"Kalo udah secocok ini, mending langsung dinikahin aja mereka!"
Gelak tawa bahagia itu menggema mengisi ruangan. Aku ikut tersenyum mendengarnya sebelum bunyi nyaring dari benturan nampan dan lantai mengakhiri pertahanan tubuhku yang amat lemas.
***
Sakit luar biasa menusuk kepala membuatku kembali memejamkan mata sebelum akhirnya perlahan membuka kembali. Bau obat-obatan membuat kernyitan terukir di kening. Gegas pandangan menyapu ke segala arah.
Ruangan bercat putih dengan sofa di sudut ruangan menjadi hal pertama yang kulihat sebelum netra terhenti pada sosok yang duduk di sofa. Lelaki dengan kaos hitam yang tengah menunduk seraya menyugar rambut sambil sesekali menghela napas.
Kenapa dia terlihat seolah sangat frustasi?
Aku berdeham beberapa kali karena merasa haus. Kerongkongan terasa kering. Melihat gelas berisi air di nakas, tangan bergerak pelan ingin meraih. Namun, sebuah tangan lebih dulu menggenggamnya.
"Kubantu."
Mau menolak, tapi apa daya? Sekadar menengok ke samping saja, mata masih sedikit berkunang.
Dibantu olehnya aku duduk bersandar. Apa kondisiku seserius itu sampai harus diinfus?
"Enggak akan lama, hanya sebentar."
Aku belum paham sepenuhnya sama ucapan pria itu. Namun, usapan ibu jarinya di tanganku yang tertancap selang infus, cukup membuat nyaman.
Perlahan mata kembali terpejam. Kepala masih pusing. Ditambah melihatnya berada di sini. Entah ke mana yang lain. Setidaknya, Ibu Mareta tidak akan mengizinkannya berada di sini. Seharusnya.
"Kenapa belum?"
Mendengar gumaman lirih, sontak mata kembali terbuka. Aku menoleh ke samping, menatapnya dengan alis mengernyit.
Tatapan yang biasanya tajam, kini sayu menyiratkan sesuatu yang sama sekali tidak kupahami.
"Bapak, mau menikah lagi?"
Mulut, tidak bisakah kamu singkron sama kepalaku, jangan hatiku!
Dia diam. Sudah dapat ditebak. Cukup sadar diri saja, aku ini siapa?
Hanya pembantu rumah tangga.
"Iya."
Terima kasih sudah mau jujur. Setidaknya, aku tidak perlu memupuk harapan hanya untuk memanen sakitnya.
Pandanganku menyapu ke jendela ruangan yang terbuka. Aku rasa, pria ini memesankan kamar terbaik. Buktinya tidak ada pasien lain selain aku di sini. Sejuknya AC juga sudah cukup menjelaskan.
"Zareen."
Meski enggan menoleh, tapi aku harus melakukannya. Tata krama antara seorang pembantu pada majikannya harus tetap terjaga, 'kan?
"Saya—"
"Saya siap, Bapak ceraikan!" Duh, kebiasaan memotong ucapannya. Semoga, Pak Zaidan yang terhormat tidak mengamuk setelah ini.
Bosan rasanya melihat wajah pria itu yang hanya diam bak orang bodoh, aku kembali menatap jendela yang tampak kosong. Sama kosongnya dengan hatiku saat ini.
"Kita hanya perlu berusaha."
Usaha macam apa? Seingatku, cuman aku yang menganggap pernikahan ini nyata.
"Saya dan Andine dijodohkan—"
"Kalau maksud, Bapak mau poligami, saya juga enggak keberatan."
Zareen, semoga setelah ini kamu tidak disuruh pulang jalan kaki karena mulut lancangmu itu!
Aku merutuk, walau tahu yang keluar hanyalah bentuk rasa kecewa yang perlu disalurkan. Lagipula, kenapa aku harus bereaksi seperti ini?
Memangnya apa yang bisa diharapkan dari pernikahan siri? Pernikahan yang disembunyikan rapat-rapat seolah sebuah aib. Sebuah hubungan yang hanya dilandaskan tanggung jawab atas penebusan rasa bersalah.
Kenapa dadaku mendadak sesak? Mata mulai panas. Ya Tuhan, jangan sampai aku menangis di hadapannya.
Terdengar helaan napas berat pria itu. Sesaat waktu seolah terjeda. Kami betah membisu menikmati keheningan ruang berbau obat-obatan.
Suara handphone mengakhiri kebisuan yang sempat mencekikku. Lelaki itu bangkit, lalu terdengar helaan napas darinya setelah mengakhiri panggilan telepon.
"Reen, saya pergi sebentar. Sebelum infusmu habis, saya janji sudah berada di sini."
Peduli amat dia mau datang lagi atau tidak.
Aku masih betah menyaksikan tarian gorden yang diterpa angin sepoi dari luar. Malas menggerakkan kepala sekadar menoleh ke arahnya.
Usapan di kepalaku yang tertutup jilbab, penutup dari acara pamitannya. Hingga bunyi pintu yang tertutup mengakhiri acara sok tegarku.
Dalam balutan sunyi, aku terisak meremas sprai brankar. Kenapa hidupku seperti ini?
"Bu, Pak, kenapa dunia isinya penderitaan semua? Enggak ada ya, bahagia barang sedikit aja buat Areen."
Aku mengadu kesakitan meski tahu, mereka yang ingin dijadikan tempat mencurahkan telah tiada.
"Kak, kenapa enggak bawa aku sekalian, sih? Capek banget, Kak," racauku lirih, menumpahkan segala kesakitan sambil meremas baju bagian dada.
Hingga semua tangis tumpah ruah, aku termangu menatap kosong langit ruangan. Derit pintu bersamaan sapaan seseorang mengalihkan atensi.
Dokter dan seorang perawat mengecek keadaanku sebelum memberitahukan fakta yang detik itu juga meruntuhkan tembok yang tadinya mulai kurangkai kembali.
"Hamil muda sangat rentan, Bu. Jadi saya harap, Anda bisa menjaga kondisi, ya. Jangan capek-capek, hindari pekerjaan berat, apalagi angkat-angkat berat. Asupan nutrisi juga mohon diperhatikan ya, Bu."
Ya Rabbi, otakku masih merespon lamban setiap kata yang terucap dari bibir wanita berjilbab itu.
"Suami, Ibu ke mana, ya? Saya mau menyampaikan hasil lab, atau, Ibu mau memberikannya sendiri ke suami Ibu?"
Suara Dokter yang perkiraan usianya di kepala tiga itu, masih mengalun lambat di pendengaranku. Hingga lambaian tangannya membuyarkan tinggi khayal.
"Maaf, Ibu. Ibu, dengar saya?"
"Saya hamil, Dok?"
Dokter mengangguk sambil tersenyum.
"Iya, Bu!"
Bersambung
Kuremas kertas di tangan, berkali-kali mengusap perut yang masih rata. Hamil dua Minggu dan aku tidak menyadarinya? Taksi online yang sempat kupesan membawa kesadaran yang sempat mengambang kembali ke raga. Gegas aku membayar upah taksi, lalu turun setelah mobil sampai di kediaman Pak Zaidan. Rumah tampak kosong saat salam yang kuberi hanya dibalas kebisuan. Rumah minimalis dengan dua lantai itu, seolah mengabarkan padaku bahwa penghuninya sedang berada di luar. Entah urusan apa yang membawa Pak Zaidan pergi meninggalkan aku sendirian di rumah sakit. Mungkin ini jawaban dari kebingungan yang sempat menggorogotiku tadi. Buru-buru aku masuk ke kamar yang terdapat di sisi tangga. Menaruh hasil pemeriksaan yang sudah diremas membentuk bulatan masuk ke kotak perhiasan. Perhiasan yang dulunya menjadi mas kawin yang hingga kini belum pernah kupakai. Cincin pernikahan pun sengaja aku lepas agar tidak memancik api curiga orang-orang. Kotak perhiasan berwarna kuning keemasan itu, aku letakk
Aku berlari memeluk map, berharap Ibu majikan tidak melotot melihatku karena terlambat. Sesekali aku mengusap perut, semoga saja anak ini kuat meski harus sedikit terguncang akibat kelakuan ibunya. Beberapa menit yang lalu, Bu Mareta menelepon lewat telepon rumah meminta aku membawakan map biru yang ada di meja kerja Pak Zaid. Tumben juga pria itu lupa pada berkas yang katanya penting ini. Alih-alih disuruh pergi ke kantor, aku malah diminta membawa map yang berada di pelukan ini ke sebuah kafe. Seolah cobaan belum puas menyiksaku pagi ini dengan permintaan mendadak Bu Mareta, taksi yang membawaku malah mogok di pinggir jalan. Beginilah jadinya, aku harus berlari walau jarak kafe tinggal 100 meter lagi. Kalau begini ceritanya, apa aku sudah bisa dinobatkan sebagai atlet lari jarak pendek? Atlet lari Ibu hamil tepatnya. Dengan napas ngos-ngosan aku serahkan berkas itu pada Bu Mareta. Untung meja yang mereka duduki didekat pintu masuk, jadi tidak perlu banyak waktu menemukan keber
Kakiku terayun sambil menjilati ujung sendok es krim dengan brand yang terkenal dari Negara sebelah. Es krim yang berbentuk tempat bekal yang selalu bikin aku mikir puluhan kali untuk membelinya. Lagi asik-asiknya menikmati es krim, pandanganku tidak sengaja melirik ke salah satu kafe di dekat kami duduk. Mata memicing menatap seorang gadis berambut sepunggung yang berdiri menyamping bersama seorang pria. Kayak kenal, tapi di mana? Kelihatan dari raut wajah tegang keduanya, sepertinya mereka lagi terlibat masalah. Tidak mau ambil pusing, aku kembali fokus ke es krim di tangan sebelum perhatianku kembali terenggut saat tidak sengaja menatap ke arah di mana wanita dan pria tadi berada. Tampak wanita itu berusaha mengejar si pria yang melangkah cepat meninggalkan kafe. Wanita itu berusaha meraih lengan si pria, tapi justru genggamannya dihentak kuat hingga wanita itu terhempas. Bagian tubuh sebelah kanannya menghantam dinding mall dan berakhir tubuh ringkih itu jatuh terduduk dengan t
Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau. Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap! "Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali. Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja. Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah. Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya. Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid. Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dar
Selesai dengan urusan memasak, aku sedikit merenggangkan otot-otot. Ah, ini pinggang nyeri lagi. Sakitnya baru agak berkurang kalau sudah kuusap-usap. Apalagi kalau sampai bayangin Tuan Zaid yang mengusap di sana, pasti nyerinya jadi makin cepat hilang. Efek Tuan Zaid seajaib itu malah. Nalarku saja sampe dibuat buntu hanya untuk memecahkan misteri nyeri pinggang dengan membayangkan Tuan Zaid yang mengelus di sana. Korelasinya aneh memang. “Sudah, Nak Zareen. Astaga, Nak istirahat saja, ini juga masaknya udah kelar. Udah ya, Nak, ini biar saya saja yang kerjain.” Ketawa boleh tidak, sih? Lihat ekspresi memelas Mpok Yanti bikin gemes. Selalu kayak gini kalau beliau lihat aku ambil pekerjaan rumah yang sebenarnya sudah seharusnya aku kerjakan. Selain sebagai istri—diam-diam—tapi aku juga masih berstatus ART di rumah ini, sama posisinya dengan para pembantu Tuan Zaid. “Iya, Mpok, iya. Ini aku mau cuci tangan aja, kok,” kataku sambil terkekeh membasuh tangan di wastafel usai diberi sab
Senyumku tersungging melihat tatanan makanan di taperware. Potongan sosis, ikan, dan sayuran yang dibentuk membuat sebuah wajah yang sedang tersenyum. Sebelum senyum itu pudar seiring kenyataan menghantam. Mungkin ini akan jadi hari terakhir aku mengirimkan bekal makan siang untuk Pak Zaid, sebelum status pria itu akan berganti besok. Waktu memang tidak main-main kalau soal memberi luka. Namun, aku belum lupa kalau hanya waktu juga yang bisa menyembuhkan walau tidak seutuhnya ampuh. “Wah, enak sekali, loh, Reen masakannya. Yang ini, buat mpok aja, ya.” Mpok Yanti nyengir yang kubalas anggukan sambil tersenyum. Semoga masakanku seenak yang dibilang Mpok Yanti. Takut gitu ngecewain lidah suami. Eh, masih bisa, kan, aku sebut dia suami? Lagi-lagi napas terhela panjang. Capek juga ya, lama-lama kalau berdiri tegak seolah sedang baik-baik saja. “Ck, jangan drama deh, Reen! Udah, ah! Jangan nangis, awas aja kalo sampe ini air mata jatoh!” Aku mendumel mendongak menatap langit-langit d
Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain. Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangk
Selesai menyetrika dan melipat pakaian, aku memasukkan semua baju-baju itu ke lemari setelah tadi sempat merapikan kamar majikan—jangan lupa kalau aku masih marah dan panggilan itu layak untuk kami karena baru sore tadi dia ingatkan aku tentang status yang seolah melempar arang ke wajahku.Aku memang terlalu tidak tahu diri. Sukanya melampaui batas. Sekarang apa? Aku bahkan tidak sanggup menampakkan wajah di hadapan Pak Zaidan setelah dengan angkuh menantangnya. Untung aku tidak dipecat dan dicerai.“Aiiiis ....” Menggeleng kepala keras kucoba membuang semua ingatan sore tadi.Opsi terakhir yang mungkin akan dilakukan Pak Zaidan suatu saat nanti membuatku menghela napas. Bahu merosot ke bawah. Sepertinya aku memang melampaui batas. Namun, jujur api yang berkobar di dada belum juga padam meski sadar aku juga salah.“Seharusnya aku meminta maaf setulus-tulusnya, kenapa malah emosi? Emang enggak tahu diri kamu itu, Reen!” decakku sambil menghentakkan kaki sekali.Sebelum akhirnya aku d
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g