Aku berlari memeluk map, berharap Ibu majikan tidak melotot melihatku karena terlambat. Sesekali aku mengusap perut, semoga saja anak ini kuat meski harus sedikit terguncang akibat kelakuan ibunya.
Beberapa menit yang lalu, Bu Mareta menelepon lewat telepon rumah meminta aku membawakan map biru yang ada di meja kerja Pak Zaid. Tumben juga pria itu lupa pada berkas yang katanya penting ini. Alih-alih disuruh pergi ke kantor, aku malah diminta membawa map yang berada di pelukan ini ke sebuah kafe.
Seolah cobaan belum puas menyiksaku pagi ini dengan permintaan mendadak Bu Mareta, taksi yang membawaku malah mogok di pinggir jalan. Beginilah jadinya, aku harus berlari walau jarak kafe tinggal 100 meter lagi.
Kalau begini ceritanya, apa aku sudah bisa dinobatkan sebagai atlet lari jarak pendek? Atlet lari Ibu hamil tepatnya.
Dengan napas ngos-ngosan aku serahkan berkas itu pada Bu Mareta. Untung meja yang mereka duduki didekat pintu masuk, jadi tidak perlu banyak waktu menemukan keberadaan wanita itu dan ... Pak Zaid.
Seolah puas dengan perjuanganku, wanita bergincu merah menyala itu tersenyum sambil memberikan berkas tersebut ke tangan Mbak Maya—sekretaris Pak Zaid.
Weit! Maya ada di sini, Pak Zaid juga. Kalau ada Maya, kenapa harus aku yang diminta membawa berkas ini? Benar-benar, Bu Mareta!
Masih dengan tangan menumpu di lutut yang mulai gemetar, aku meminta izin duduk. Setelah mendapat anggukan dari Bu Mareta, aku langsung menyeret salah satu kursi dan duduk sambil mengatur napas. Duduk di meja yang lain tentunya. Mana mungkin semeja dengan Bu Mareta, Maya, dan Pak Zaidan.
Saat napasku mulai teratur, tidak sengaja aku melirik pada Pak Zaid yang sedang memanggil pelayan. Lelaki itu balas melirikku sejenak sebelum meminta pelayan membawakan pesanannya. Tidak lama kemudian, seorang pelayan membawakan segelas air putih dan cokelat panas ke hadapanku.
"Buat saya, Kak?" Aku menunjuk diri skeptis. Wanita berkuncir kuda itu tersenyum mengangguk sebelum pergi.
Sontak aku mendongak melirik meja di samping. Lagi-lagi mata ini beradu pandang dengan iris legam Tuan Zaid. Pria itu mengangguk sekilas sebelum kembali bicara dengan Mbak Maya.
Jujur, ada perasaan senang mendapati perhatian manis lelaki itu. Meski hanya lewat segelas air putih dan secangkir cokelat panas.
Tampak Mbak Maya berdiri membawa map biru yang membuat napasku nyaris tandas tadi.
Aku hanya diam menatap meja sebelah. Memperlihatkan gelagat senang Bu Mareta yang sejak Mbak Maya pergi, wanita modis itu tidak melunturkan senyum sesenti pun. Berbeda dengan Pak Zaid yang sibuk dengan handphone, entah sedang mengecek apa.
Paling aku sayangkan adalah diriku sendiri. Mengapa saat Mbak Maya pergi, aku tidak menyusul saja dan minta diantarkan ke rumah, atau paling tidak memesan taksi atau gojek. Bodo amatlah sama cokelat panasku yang masih setengah gelas. Sekarang aku terjebak di sini.
Menyaksikan kedatangan Tuan Putri yang rupanya kehadirannyalah yang dinanti hingga membuat senyum di bibir tipis Bu Mareta mengembang sempurna. Mereka bak putri kandung dan ibu kandung, saling cipika-cipiki.
Seumur-umur menikah dengan Pak Zaid, mana pernah aku digituin. Jangankan cium pipi, senyum pun jarang. Sadarlah, Reen! Bu Mareta mana tahu kalau kamu ini istri dari putra sulungnya.
Sesaat aku terpaku pada mata Tuan Zaid yang juga menoleh ke meja di mana aku duduk. Hingga akhirnya kami sama-sama membuang pandang. Namun, hati seorang wanita tidak bisa dicegah dalam rasa penasarannya.
Aku kembali menoleh ke meja itu. Meja bundar yang menyajikan pemandangan menyakitkan.
Jemari putih dan terawat Andine meraih lengan Tuan Zaid dan mengusapnya. Gadis yang aku dengar berprofesi sebagai dokter kecantikan itu, seolah berusaha merangkul lengan Tuan Zaid dan berhasil. Apalagi tidak ada penolakan sama sekali dari suamiku itu.
Suami? Haruskah aku menyebutnya suami saat pernikahan kami hanya nyata di atas kertas?
"Kata tante Erika gaunnya udah jadi, Tante. Aku tinggal nyoba. Yang buat, Zaidan juga udah siap katanya."
Oh, jadi mereka mau feeting baju pengantin.
Aku tersenyum menatap cangkir cokelat panas yang masih mengepulkan asap. Jemari bermain di sepanjang bibir gelas.
Jadi begini rasanya patah hati?
26 tahun aku memijak bumi, baru kali ini merasakan sakit yang amat sakit seolah mencekik dan ingin membunuhku perlahan. Skeptis air mata tidak akan jatuh jika sedikit lagi lebih lama di sana.
Akhirnya aku bangkit meninggalkan air dan cokelat panas yang masing-masing masih setengah gelas. Bersama separuh harapan yang tersisa.
Tidak perlu pamitan, toh, mereka juga sudah sibuk dengan kebahagiaan yang sedang tercipta.
Di tengah lalu-lalang orang di trotoar, aku berjalan menatap kosong ke depan. Seolah berjalan tanpa ada tujuan. Menyusuri setapak demi setapak lantai semen ini bagai orang linglung.
Kepala masih di penuhi segala macam ketakutan. Bagaimana jika pernikahan Tuan Zaid dan Andine benar-benar terjadi. Lalu bagaimana dengan nasibku dan anakku?
Suara klakson yang menggema tidak henti membuatku tersentak menoleh ke samping. Sebuah mobil Fortuner putih berhenti tepat di samping.
Siapa sih, ini yang punya mobil? Belagu banget, mentang-mentang mobilnya melambangkan wajah-wajah dollar–eh? Kok, mukanya kayak kenal?
Kepalaku makin menunduk berusaha melihat si pengemudi saat kaca mobil diturunkan. Lelaki dengan kacamata hitam itu tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih dan terselip gingsul.
Kok, kelakuan ini orang kayak kenal aja ya, pake melambai segala.
"Heh! Malah bengong! Mbak!" Kacamata hitamnya dia turunkan, melorot sepanjang garis hidung bangirnya.
Heee, ternyata si adik ipar yang kurang asupan kasih sayang!
"Mbak dari mana mau ke mana? Masuk, yuk! Keburu mobilku digebrek Satpol-PP gara-gara berhenti di pinggir jalan!" ajaknya sedikit berteriak.
Daripada galau di jalan sendirian, mending aku ikut Zein saja. Hitung-hitung bisa naik mobil seharga dollar negera sebelah.
"Makasih ya, Zein." Senyum tersungging melihat Zein yang juga memamerkan senyum menawannya.
Anak ini memang pesonanya sudah muncul sejak dini. Dari foto keluarga yang terpajang di ruang tamu rumah Tuan Zaid, foto kecil dua kakak-beradik itu memang sudah punya aura tampan. Apalagi di usia remaja menginjak dewasa, Zein makin kelihatan gantengnya.
Kalau dibanding Tuan Zaidan sih, aku lebih mending milih Zein, ya. Selain ganteng, si sulung keluarga Malik ini juga penyayang apalagi ke hewan, mana murah senyum. Sama aku saja yang cuman pembantu, dia selalu ramah, kelewat ramah malah.
Didekat Zein, aku merasa punya teman dan adik yang tulus sama aku.
"Sorry ya, Mbak, tapi ini enggak gratis," katanya dengan wajah tengil andalan. Sudah bisa ditebak ini, dia mau apa.
"Jadi mau apa?" Aku meliriknya malas sambil setengah badan bersandar ke jendela mobil, menatapnya yang makin tersenyum lebar.
“Tahu, kan, Zein, mbakmu ini cuman rakyat jelata. Jadi jangan pake mental pemerasmu, ya!” Aku mewanti-wanti bahkan tidak segan berucap ketus yang dibalas gelak tawanya.
Pemuda itu menggeleng, melirikku sebentar dengan senyuman.
“Enggak, kok! Cuman ....”
"Lamarin, Marsya buat aku!"
What?!
***
Tawanya masih menggema memenuhi ruang makan. Sambil memakan kentang yang kugoreng tadi, dia mengerling-ngerling jahil sambil tertawa.
Dih, keselek baru tahu dia!
"Muka, Mbak lucu banget tadi. Syok berat keknya."
Bosan mendengar dia yang terus tergelak, akhirnya aku tinggalkan ke dapur. Lebih baik membersihkan sisa kekacauan tadi gara-gara permintaan mendadak Zein yang pengen dibuatkan kentang goreng. Mana maunya dia juga ikut bantu memasak. Bukannya membantu, yang ada anak itu mengacaukan dapur dengan perkakas dapur yang berhamburan di pantry dan wastafel akibat perbuatannya yang main asal ambil barang.
Tadi diminta ambil garam saja, diambilnya gula. Mana pake tumpah lagi ke lantai.
Sambil mendengkus pelan, aku melap meja pantry. Setelah beres semua pekerjaan, aku kembali ke ruang makan. Enak saja Zein makan kentang goreng sendirian setelah habis-habisan bikin aku kerja keras gara-gara permintaannya itu.
Baru sampai di ambang pintu, langkahku sudah memaku. Mendadak mood menguap begitu saja. Kaki urung lanjut melangkah, akhirnya kuputuskan berbalik ke dapur. Sayang, suara barinton Zein lebih dulu menangkap pergerakanku.
"Mbak! Ini kentang gorengnya tinggal dikit, loh, dimakan sama, Mas Zaid."
Kupaksakan senyum meski hambar rasanya. "Makan aja, mbak mau ke kamar. Capek, badan mbak agak pegel mungkin butuh istirahat."
"Oh, ya, udah. Ini buat Zein, ya." Jari telunjuk Zein mengarah pada wadah kentang goreng.
Aku mengangguk, lalu pergi dari sana. Enggan rasanya berlama-lama mendapati Tuan Zaid mencuri pandang.
Bukannya sok, aku hanya ... entah perasaan apa ini. Jelasnya pikiran masih memaku pada kejadian di kafe tadi.
Bagaimana mesranya Andine menggandeng lengan Tuan Zaid dan dibiarkan begitu saja olehnya. Mereka memang pasangan serasi. Satunya si ahli waris kerajaan bisnis Malik dan satu lagi seorang dokter cantik yang anggun. Di tengah kesempurnaan itu, tidak mungkin ada aku yang hanya Upik abu ini.
Usai mengunci pintu dan mengganti daster agar lebih nyaman saat tidur, aku perlahan berbaring. Lembut kuusap perut yang masih rata sambil menerawang ke langit kamar.
Entah kenapa aku ingin sekali menangis. Kubiarkan air mata merambat walau tidak tahu alasannya. Membiarkan semua sesak di dada melebur dalam tangisan. Mengizinkan dinding kamar yang sunyi menjadi pendengar isak kecil ini.
"Kuat ya, Nak biar mama juga bisa kuat."
Kenapa perasaan ini selalu tidak bisa sinkron dengan pikiranku? Sejak awal sudah tahu pernikahan ini tidak memiliki harapan apa pun. Aku pun tidak mau berharap, tapi mengapa semakin ke sini, semakin sulit melepas kata rela.
Lelah menangis, perlahan mata tertutup bersama kesadaran yang mulai mengambang. Berharap setelah bangun nanti, semua akan baik-baik saja.
Biarkan aku berharap kali ini, walau hanya dalam mimpi.
***
Sayup-sayup suara azan terdengar membuat mata yang tadinya hanya mengerjap-ngerjap, kini mulai terbuka. Perlahan aku bergerak hendak bangun, tetapi seketika terhenti. Masih dalam posisi siku menumpu di kasur, kulirik ke bawah.
Sebuah lengan melingkar erat di sana.
Tanpa melirik ke belakang pun, aku sudah tahu siapa pelakunya. Wangi citrus yang tadinya sempat aku impikan dalam tidur terlalu menguar dari arah belakang bersama embusan napas tenang di leherku. Aku jadi merinding sendiri merasakan terpaan napas lelaki itu.
Sebelum memutuskan bangun, aku lebih dulu menyingkirkan lengan itu perlahan. Kemudian berlalu ke kamar mandi. Entah sudah berapa lama aku tidur, tahu-tahunya sudah Zuhur.
Usai mandi dan salat di kamar, Mas Zaid tetap teduh dalam tidurnya. Tadinya ingin aku bangunkan, tapi bayang-bayang kebersamaan pria itu dengan Andine selalu berhasil memukul telak langkahku mendekati pria yang tidur di ranjang.
Kali ini, egoku menang.
Aku melangkah meninggalkan kamar. Kalau bisa, sakit di hati juga aku tinggalkan di sana. Bersama dengan sosok penyebab bilur itu menganga.
Niat ingin memakan sesuatu agar mood balik lagi, ternyata tidak direstui Sang Pemilik Semesta. Di meja makan, aku justru mendapati tontonan gratis. Di mana dua tokoh sedang memerankan adegan manis antara calon ibu mertua dan calon menantu.
Kenapa akhir-akhir ini, Ibu Mareta suka sekali bertamu ke rumah Pak Zaid?
Ah, sudahlah! Toh, bukan urusanku.
Langkah yang mulai berpacu mantap dan hendak meraih kotak susu cokelat di kulkas, terpaksa terhenti kala mendengar suara intruksi dari belakang.
"Zareen, tolong ambilkan susu kotak di kulkas, ya. Yang cokelat."
Kutatap nanar satu susu kotak yang berdiri di antara jajaran minuman kaleng dan botol. Satu-satunya susu kotak rasa cokelat.
"Zareen!"
Suara Bu Mareta menyadarkanku dari aksi melow melihat susu kotak itu, sebelum mengangguk dan meraihnya. Mengulurkan minuman segar yang nyaris membuat air liurku menetes saat memandangnya di kulkas tadi, seperti mengikhlaskan Mas Zaid untuk wanita itu.
Kemarin aku dipaksa buat belajar mengikhlaskan Pak Zaid, sekarang susu cokelat, lalu apa lagi besok?
"Makasih, ya."
Ingin aku mendengkus sambil berteriak menarik kembali kotak susu itu. Namun, yang bisa terealisasikan hanya helaan napas sebelum mengangguk berbalik keluar dari dapur.
Dalam hati aku merutuk. Kenapa hanya melihat wajah Andine dengan senyum anggunnya tadi, aku sudah merasa kalah? Aura wanita itu terlalu berlebihan untuk ukuran seorang gadis.
"Kenapa sih, itu bibir manyun mirip paruh bebek?"
Satu lagi cobaanku.
"Kesel sama kamu!" jawabku asal sebelum lalu hendak ke taman belakang. Namun, suara bass Zein lebih dulu menghentikan langkah yang sudah berdiri di ambang pintu.
"Lah, padahal tadi, Mbak sendiri yang kasih kentang gorengnya buat aku semua. Kok, sekarang baru nuntut?"
Alisku terangkat tanpa berbalik ke belakang. Ini anak kenapa malah bahas kentang goreng? Detik berikutnya senyum sinisku tersungging, gegas berbalik menatapnya dengan muka didatar-datarin.
"Aku marah, ya! Marah banget! Pokoknya kamu harus tebus itu, kalo enggak, mbak ngambek mogok bicara sama kamu!" ketusku sambil membuang muka dan bersedekap dada.
Aktingku sudah meyakinkan belum, ya? Dengan ekor mata, aku berusaha mencuri pandang pada Zein.
Pemuda yang sebentar lagi masuk perguruan tinggi itu, tampak menggaruk kepala bagian belakang.
"Ya–Ya, udah. Mbak mau apa?"
Seketika jiwa jahatku tertawa dalam hati. Enaknya minta apa, ya?
"Dek, kamu mau apa sama Om Zein? Es krim? Oke!" Kuurungkan niat yang hendak mengelus perut, bahaya ada Zein di sini.
Daguku terangkat sedikit tinggi sebelum menyahut, "Es krim!"
"Cuman itu? Oke!"
Mendengarnya membuatku mendengkus. Enak saja! Songong banget dia, sebelas dua belaslah sama kakaknya.
"Gado-gado, bakso beranak, rujak, sama susu kotak boleh juga!" sahutku cepat sambil menghitung jari.
Zein meringis pelan, lalu meraih dompet di saku belakang celana kainnya. Lelaki itu menunduk sebentar menatap isi dompetnya yang membuatku jadi kepo dan sedikit melirik. Dari tampangnya sudah ketahuan nih, nelangsa.
Baru tahu rasa, 'kan! Siapa suruh nantangin ibu hamil!
"Ya, udah, deh. Aku ambil jaket dulu di atas. Mbak juga, pake celana panjang di balik daster, sama jaket juga!" selorohnya sebelum beranjak pergi.
Aku cuman senyam-senyum lihat punggung Zein yang berlalu. Perlahan aku menyentuh perut sambil mengusapnya.
"Seneng, enggak, Nak udah bikin dompet ommu melarat?" Aku terkekeh pelan mendengar ucapanku sendiri.
Tadinya mau aku luruskan, tapi tidak jadi, deh. Lumayan bisa penuhi keninginan dedek bayi yang tiba-tiba pengen kerjain omnya sekaligus pengen ditraktir sama om Zein. Hihi.
Bersambung
Kakiku terayun sambil menjilati ujung sendok es krim dengan brand yang terkenal dari Negara sebelah. Es krim yang berbentuk tempat bekal yang selalu bikin aku mikir puluhan kali untuk membelinya. Lagi asik-asiknya menikmati es krim, pandanganku tidak sengaja melirik ke salah satu kafe di dekat kami duduk. Mata memicing menatap seorang gadis berambut sepunggung yang berdiri menyamping bersama seorang pria. Kayak kenal, tapi di mana? Kelihatan dari raut wajah tegang keduanya, sepertinya mereka lagi terlibat masalah. Tidak mau ambil pusing, aku kembali fokus ke es krim di tangan sebelum perhatianku kembali terenggut saat tidak sengaja menatap ke arah di mana wanita dan pria tadi berada. Tampak wanita itu berusaha mengejar si pria yang melangkah cepat meninggalkan kafe. Wanita itu berusaha meraih lengan si pria, tapi justru genggamannya dihentak kuat hingga wanita itu terhempas. Bagian tubuh sebelah kanannya menghantam dinding mall dan berakhir tubuh ringkih itu jatuh terduduk dengan t
Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau. Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap! "Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali. Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja. Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah. Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya. Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid. Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dar
Selesai dengan urusan memasak, aku sedikit merenggangkan otot-otot. Ah, ini pinggang nyeri lagi. Sakitnya baru agak berkurang kalau sudah kuusap-usap. Apalagi kalau sampai bayangin Tuan Zaid yang mengusap di sana, pasti nyerinya jadi makin cepat hilang. Efek Tuan Zaid seajaib itu malah. Nalarku saja sampe dibuat buntu hanya untuk memecahkan misteri nyeri pinggang dengan membayangkan Tuan Zaid yang mengelus di sana. Korelasinya aneh memang. “Sudah, Nak Zareen. Astaga, Nak istirahat saja, ini juga masaknya udah kelar. Udah ya, Nak, ini biar saya saja yang kerjain.” Ketawa boleh tidak, sih? Lihat ekspresi memelas Mpok Yanti bikin gemes. Selalu kayak gini kalau beliau lihat aku ambil pekerjaan rumah yang sebenarnya sudah seharusnya aku kerjakan. Selain sebagai istri—diam-diam—tapi aku juga masih berstatus ART di rumah ini, sama posisinya dengan para pembantu Tuan Zaid. “Iya, Mpok, iya. Ini aku mau cuci tangan aja, kok,” kataku sambil terkekeh membasuh tangan di wastafel usai diberi sab
Senyumku tersungging melihat tatanan makanan di taperware. Potongan sosis, ikan, dan sayuran yang dibentuk membuat sebuah wajah yang sedang tersenyum. Sebelum senyum itu pudar seiring kenyataan menghantam. Mungkin ini akan jadi hari terakhir aku mengirimkan bekal makan siang untuk Pak Zaid, sebelum status pria itu akan berganti besok. Waktu memang tidak main-main kalau soal memberi luka. Namun, aku belum lupa kalau hanya waktu juga yang bisa menyembuhkan walau tidak seutuhnya ampuh. “Wah, enak sekali, loh, Reen masakannya. Yang ini, buat mpok aja, ya.” Mpok Yanti nyengir yang kubalas anggukan sambil tersenyum. Semoga masakanku seenak yang dibilang Mpok Yanti. Takut gitu ngecewain lidah suami. Eh, masih bisa, kan, aku sebut dia suami? Lagi-lagi napas terhela panjang. Capek juga ya, lama-lama kalau berdiri tegak seolah sedang baik-baik saja. “Ck, jangan drama deh, Reen! Udah, ah! Jangan nangis, awas aja kalo sampe ini air mata jatoh!” Aku mendumel mendongak menatap langit-langit d
Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain. Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangk
Selesai menyetrika dan melipat pakaian, aku memasukkan semua baju-baju itu ke lemari setelah tadi sempat merapikan kamar majikan—jangan lupa kalau aku masih marah dan panggilan itu layak untuk kami karena baru sore tadi dia ingatkan aku tentang status yang seolah melempar arang ke wajahku.Aku memang terlalu tidak tahu diri. Sukanya melampaui batas. Sekarang apa? Aku bahkan tidak sanggup menampakkan wajah di hadapan Pak Zaidan setelah dengan angkuh menantangnya. Untung aku tidak dipecat dan dicerai.“Aiiiis ....” Menggeleng kepala keras kucoba membuang semua ingatan sore tadi.Opsi terakhir yang mungkin akan dilakukan Pak Zaidan suatu saat nanti membuatku menghela napas. Bahu merosot ke bawah. Sepertinya aku memang melampaui batas. Namun, jujur api yang berkobar di dada belum juga padam meski sadar aku juga salah.“Seharusnya aku meminta maaf setulus-tulusnya, kenapa malah emosi? Emang enggak tahu diri kamu itu, Reen!” decakku sambil menghentakkan kaki sekali.Sebelum akhirnya aku d
Apa yang aku lakukan di sini?Pertanyaan yang mungkin sudah ribuan kali aku rengekan dalam kepala. Kalau tahu akan berakhir di sini, lebih baik tadi aku benar-benar lompat dari mobil. Zein benar-benar ... harus kuapakan anak satu itu?!“Kenapa sih, Mbak daritadi melotot mulu sama aku?” Pemuda bertampang tak berdosa itu malah berlagak korban.“Kenapa kita ke sini? Kamu bilang mo ke party, ini bukan party namanya! Kamu ngerjain mbak, ya! Nyebelin kamu, Zein!” Kuhajar lengannya menggunakan tas secara brutal biar saja dia memekik kesakitan atau kami jadi pusat perhatian.Tunggu, pusat perhatian? Gegas kualihkan pandangan, menyapu ke seluruh lobby. Haha, luar biasa sekali kamu, Zareen. Selamat, jadi tontonan gratis pengunjung hotel!Kepalaku langsung menunduk, tapi masih sempat juga pukul bahu Zein menggunakan tas. Biar saja dia meringis begitu, siapa suruh menjebakku.Aku pikir tadi dia mengajak ke acara kampus atau reunian sekolahnya atau apalah itu. Tidak sampai kepikiran anak rese sa
“Ya, anggap aja, Mbak Cinderella-nya.”Cinderella apaan, Zein? Lagian mana ada Cinderella yang dinikah siri, mana punya madu lagi.Tidak mau semakin malu, kuinjak kaki anak itu sambil melotot memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman meringis merintih padaku yang sama sekali tidak kupedulikan. Walau nyatanya hati sakit penuh lebam, mata ini tetap beralih ke podium. Rasanya macam memakan buah simalakama. Meladeni Zein bikin sakit kepala, memilih menyimak acara malah menambah sakit hati.Napasku terhela pelan akhirnya. Mencoba tegar di tengah rapuhnya atma.Di depan sana, Mas Zaid tampak mengenggam satu tangan Andine. Wajah pria itu memang datar-datar saja, tapi segaris senyum tipis dan tatapan matanya yang tak berpaling sedikit pun dari wajah sang istri sudah cukup menggambarkan bahwa betapa laki-laki itu menganggumi istri sahnya itu.When you hold me in the streetAlunan musik mengiringi suara merdu yang nyaris membuatku menjatuhkan bening kristal. Gegas aku mendongak, mengepalkan ta
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g