Sudah bolak-balik aku mengecek handphone, tapi tidak ada pesan atau telepon seperti yang kuharapkan. Paling tidak ada sebait kata maaf dari laki-laki yang membuat malam ini kelam. “Kenapa coba pake segala ngarepin dia telepon? Udah, deh, Reen sadar diri! Ini, kan, malam pengantin mereka.” Mengucapkan kalimat terakhir serasa aku ingin mengoyak lidahku sendiri. Tak sadar menyentak kaki, aku berbalik hendak meninggalkan jendela kamar berharap kali ini bisa tidur setelah hampir empat jam mencoba malah selalu berakhir gelisah. “Mas?!” Baru juga berhenti mengharapkannya, ini orang sudah berdiri di antara remangnya lampu. Dengan sok gagah bersedekap di depanku. “Nga–Ngapain di kamar saya, ya, Pak? Ini udah tengah malem, entar istri bapak nyariin.” Meski getir enggan menyebut status wanita lain yang kini sah untuk suami sendiri, tapi apa dayaku memang? Dalam diam dia mendekat perlahan. Duh, ini orang bikin bulu kudukku merinding, kan. “Ma–Mau apa sih, Pak?” Tanganku terulur malah t
“Ciee ... keramas masih pagi.” Sebelum nasi yang masuk ke perut seperti biasanya, pagi ini aku lebih dulu sarapan dengan berbagai macam godaan dan siul-siulan Bu Mareta. Para geng ART—alias ke tiga pembantu muda—tidak ketinggalan menghangatkan ruang makan pagi ini. Saking hangatnya aku merasa ada bau gosong dari dadaku. “Otw punya cucu, nih, mama!” sahut Bu Mareta lagi. Senang bener kayaknya beliau ini. Iya, Bu sebentar lagi, Ibu akan dapat cucu. Namun, sayangnya dari rahim saya sendiri. Andai aku cukup berani bilang begitu, kira-kira apa yang akan terjadi? Ditendang dari rumah ini atau seret ke liling komplek dan diteriaki wanita tidak benar. Kira-kira opsi mana yang lebih berpotensi? Selesai menata makanan dan menyendokkan lauk pauk ke piring Zein dan Bu Mareta, aku berlalu dari sana. Rasanya mual walau hanya sekadar melirik wajah lelaki yang katanya pagi ini habis keramas. “Yang sabar ya, Dek. Nanti ada waktunya kita hajar ayah kamu bareng-bareng,” monologku sambil mengusap
“Siapa, Mbak?” Pertanyaan sederhana yang nyatanya membuat napasku tercekat. Kerongkongan mendadak kering walau hanya sekadar menjawab pertanyaan Zein. “Mbak, aku nanya, loh!” Aku terperanjat padahal jelas-jelas pria remaja itu hanya menegaskan nadanya, tidak sampai membentak. “Oke, maaf. Mungkin aku berlebihan, lagian ini juga urusan, Mbak bukan ranahku buat ikut campur. Maaf udah bikin, Mbak kaget tadi.” Anak itu menghela napas sebentar. Sambil berkacak pinggang, dia sedikit memutar tubuh agak membelakangiku. Sementara aku? Memilin ujung selimut sambil meliriknya diam-diam. Jika dipikir-pikir harusnya aku tidak takut padanya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. “Tapi, Mbak! Ah, maaf.” Anak itu lagi-lagi membuatku terlonjak. Lalu terdengar helaan napas darinya. “Aku bener-bener enggak habis pikir loh, Mbak. Aku percaya dan sampe sekarang aku masih mau percaya kalo, Mbak itu perempuan baik-baik. Enggak mungkin, Mbak ... Mbak hamil di luar nikah. Itu enggak ada di persepsiku ten
Nyatanya kata 'tidak apa-apa' terlalu menyakitkan untuk diucap. Hati sulit selaras saat justru harapan yang dirapal. Tadinya aku kira Pak Zaid akan berbaik hati mengantar pembantunya ini sampai mobil meninggalkan pekarangan rumah, tapi yang kudapat dia dan istrinya malah berbalik masuk ke rumah usai mengantarku dan Zein sampai pintu depan.Untuk ukuran seorang pembantu biasa, aku memang terlalu banyak maunya.Ck, kesel sendiri lama-lama dengan hati yang labil begini.“Udah kali, Mbak ngeliatin rumahnya kayak kita enggak mo balik aja.”Aku mendelik melirik Zein yang dengan santai menarik tuas persneling hingga mobil perlahan melaju meninggalkan rumah besar kediaman Tuan Zaid. Zein ini walau agak rese, tapi perannya sangat membantu untukku dan ponakannya yang masih bersemayam dalam perut.Masih pukul lima pagi tadi, Zein bahkan sudah muncul dengan mobil untuk menjemputku. Kurang Masha Alah apalagi coba anak ini?“Aku hanya bisa nginap semalam aja ya, Mbak soalnya lusa udah mulai masuk k
Wajahku masih tertekuk menatap wajah tenang Pak Zaid. Bak tak ada dosa, dia duduk bersandar di ranjang sambil bermain handphone. Semalam aku masih tidur bareng Bibi, tapi karena kehadiran lelaki itu membuat kami diberikan kamar milik Agung untuk ditempati. “Bapak, ini maksudnya apa coba?! Sengaja ya, mau bikin aku kena masalah?!” Akhirnya keluar juga semua kesal di hati. Sudah satu jam lalu aku dongkol pada lelaki itu. Baru sekarang punya kesempatan mengeluarkan uneg-uneg dan kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Kalau perlu aku ngamuk juga hadapin ketenangan di wajah kelewat ganteng itu. “Emang kamu ngerasa gitu?” Apa-apaan itu?! Dengan satu alis terangkat dan kedua lengan dilipat di dada berlagak sok cool, dia seolah tidak sadar kalau beberapa menit yang lalu nyaris membuatku diusir oleh Bibi. Setelah dia membeberkan fakta status kami, Bibi langsung syok dan memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Beruntung setidaknya lelaki itu tidak lari dari tanggung jawab. Pak
Kutatap lamat-lamat wajah itu, rasanya lidahku hambar menyentuh mi yang masih mengepulkan asapnya. Pesan dari Andeen masih berputar di kepala seolah menggorogoti seluruh rasa penasaranku. “Kenapa?” Suara bariton Pak Zaid menyentakku dari lamunan. Lelaki itu mengangkat satu alis seraya melirik ke arah mangkuk mi yang sejak tadi ternyata hanya kuaduk tanpa memakannya. Menghela napas pelan, perlahan kudorong sedikit ke depan mangkuk yang isinya masih utuh. “Enggak selera,” komentarku seraya menggeleng. Pria dengan alis tebal memayung itu mendengkus sebelum berdiri pergi ke kamar. Melihat tingkahnya membuat perasaan bersalah menyerangku. Menatap nanar dua mangkuk mi yang belum tersentuh, perlahan aku meraih kembali mangkuk mi yang sudah susah payah dimasak sama Pak Zaid. Baru sesendok mi dan kuah kucicipi, lengan sudah dicekal saat satu sendok lagi hendak kembali masuk ke mulut. Sontak aku mendongak, mengernyit mendapati Pak Zaid sudah berdiri di samping dengan celana pendeknya te
Aku tidak tahu apa masalah lelaki itu. Dari pagi diam dan memilih menyendiri di kamar, hanya beranjak saat azan berkumandang atau ketika dipanggil makan. Awalnya aku tidak mau ambil pusing. Lagian hampir seharian juga aku sibuk membantu di rumah Bibi dan baru kembali lagi saat Magrib tadi. “Pak!” Kucoba beranikan diri memulai obrolan dengan Pak Zaid. Laki-laki dengan celana selutut dan kaos hitam itu bergumam. Tatapannya masih lurus, fokus, melotot malah ke HP-nya. Pengen aku banting saja itu barang. Gemas juga lama-lama. “Mas Zaidan!” Kali ini bukan hanya Pak Zaid yang tersentak, tapi aku juga. Berdeham sebentar, kucoba menurunkan volume suara. “Bapak enggak mendadak budeg, 'kan? Aku manggil loh, dari tadi!” Pria itu berdecak, lalu pandangannya kembali ke handphone. Jadi aku beneran dicuekin, nih? Satu alisku benar-benar terangkat. Ini salahku di mana, sih? Tiba-tiba saja dimusuhi begini. Perasaan kami baik-baik saja tadi pagi, bahkan sempat bekerja sama membersihkan rumah, per
“Mas ... Andine hamil?”Lelaki itu menatapku datar, entah bagian mana dari pertanyaanku yang mengundang masamnya wajah itu.“Kenapa tanya begitu? Itu bukuran urusanmu.”Harusnya aku sudah bisa menerka dengan jawaban lelaki itu. Namun, bukan hanya di luar ekspetasi, tapi ucapannya sukses membuatku tertampar.Kayaknya memang aku harus lebih belajar lagi buat tahu diri.Perlahan aku bergerak pelan, keluar dari dekapannya yang menyisakan rasa tidak rela di hati. Agak ngeri melihat ruangan yang gelap ditemani bising hujan, kuputuskan memejamkan mata usai berbalik memunggungi pria itu.Aku capek, entah bagaimana rasanya badan ini dua kali lebih lelah dan itu baru terasa usai melepaskan diri dari pelukan Pak Zaid. “Maaf ya, Pak udah lancang,” lirihku pelan sebelum berusaha masuk ke alam mimpi.***Acara tujuh malamnya almarhum Paman dihadiri banyak tetangga dan keluarga besar dari Bibi dan Paman. Tahlilan kali ini agak dibuat besar membuatku dan para tetangga yang datang membantu bekerja cu
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g