Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.
07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.
Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain.
Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.
Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangkat alat salat dan satu set perhiasan. Aku dan Pak Zaid resmi secara agama.
Oke, untuk OB itu, aku tidak tahu bagaimana ceritanya dia bisa bergabung menjadi saksi hidup pernikahan menyedihkanku. Jelasnya saat aku dibawa ke kamar itu oleh laki-laki suruhan Pak Zaid, OB dengan lap kain tersampir di bahunya sudah berada di ruangan president suite itu.
Sekilas memang tampak mewah, tapi bukankah momen itu sewajarnya berada di tempat sakral? Bukan di tempat yang akan menimbulkan pikiran ambigu orang lain.
Aku menggeleng, mengetuk kepala sendiri di kaca yang menampilkan tetesan hujan dari luar sana.
“Mikir apa sih, Reen! Dek, bunda kudu gimana? Bunda udah mau ngilangin ayahmu dari pikiran bunda, tapi ya, enggak bisa ....”
Aku memonolog, lebih tepatnya mungkin mengajak bicara si jabang bayi. Mengelus perut perlahan mencoba menghalau perasaan tidak enak yang menimbulkan rasa mual.
Ayolah, sudah cukup. Tadi subuh aku nyaris pingsan muntah-muntah di kamar mandi.
Ketukan di pintu membuatku menoleh, malas berjalan ke arah pintu bercat putih.
Sejak dua hari kemarin aku diwanti-wanti agar tidak datang ke acara keluarga terpandang itu. Pak Zaidan sendiri yang kasih doktrin. Jadi dari semalam sudah kuputuskan tidak akan ke luar kamar, bahkan hanya untuk membuka pintu kamar.
Ya, bukan begitu sih, perintahnya. Namun, ya ... ya, sudahlah!
Ketukan yang semula pelan mendadak jadi gedoran. Aku jadi sanksi pintu kayu itu masih kuat menahan brutalnya si pelaku.
“Iya, sebentar!” Aku bahkan nyaris menggeram.
Saat pintu terbuka, wajah dipenuhi cengiran menyebalkan terpampang di sana.
“Ngapain sih, Zein? Kamu mau robohin ini pintu?!”
Kupandangi penampilan pemuda 19 tahun yang baru menyandang status Mahasiswa itu dari ujung kaki sampai kepala.
Pagi ini dia memakai kaos oblong warna putih dengan celana pendek selutut warna krem. Sepatu snicker bermotif hitam putih. Rambutnya yang memang biasa acak-acakan kayak orang baru bangun tidur, tapi anehnya penampilan itu terlalu cocok untuk anak ini.
Dengan penampilan begitu mempesonanya, mau ke mana dia sepagi ini?
“Ngapain nyengir-nyengir?”
“Ye, Mbak kenapa sih, kek orang galau aja! Sensi mulu bawaanya!” Dia mencebik.
Tidak salah lagi!
Tidak tahu saja kamu ya, Zein. Aku begini karena ulah kakakmu.
“Cepetan mau ngapain? Jangan lama-lama di sini, entar pikiran pembantu lain enggak baik soal kita, Zein.”
Peringatku dibalasnya cengiran. Ini anak suka banget ketawa. Meski kelihatan agak gimana, tapi percayalah tidak ada tawa yang lebih mempesona daripada tawa milik Zein.
“Mbak, jalan-jalan, yuk!” Alis tebalnya naik turun seiring kerlingan matanya yang genit.
Jalan-jalan? Hujan-hujan begini?
***
“Jangan bilang-bilang, Mas Zaid ya, kalo kita makan es krim hujan-hujan begini, Mbak.”
Satu jilatan penuh membuat lidahku digerayangi dingin. Rasa manis cokelat berpadu strawberry.
Masya Allah, nikmat mana lagi yang kamu dustakan wahai, Zareen Aishadisti?
“Enggak bakallah, Zein. Tenang aja. Selama kamu kasih jajan buat tutup mulut, mulut mbak ini bakal amanah, kok.”
Pemuda yang duduk di samping berdecak, lirikannya tajam juga ternyata. Hahaha.
“Untunh ya, Zein sayang sama, Mbak. Mbak Zareen itu udah aku anggap kayak kakakku sendiri, coba aja kalo orang lain, udah aku pites dari tadi. Jajannya, Mbak enggak sedikit ya, dari tadi!”
Dia mendumel dan itu salah satu kesukaanku kini. Kayaknya anakku suka banget buat omnya sengsara. Haha, pertahankan, Nak!
“Siapa coba yang ngajak jalan-jalan tadi, hmm? Lagian kamu suka-suka aja tuh, diporotin sama mbak.”
Lagi dan lagi, dia mendengkus sebelum menyuapkan es krim dengan sendok kecil.
Melihatnya membuatku terhibur dan tertawa.
Untung kedai es krim ini agak sepi.
Dari balik kaca, kami duduk berdampingan sambil melihat hujan mengguyur jalanan. Setelah naik mobil menuju mall hanya untuk nonton bioskop dan bermain bola juga beberapa permainan anak-anak, kami putuskan pergi ke lantai bawah mall yang terpisah menuju kafe-kafe dan kedai berjejer.
“Kamu kok, enggak datang ke acara akad masmu?”
Pertanyaan yang sejak meninggalkan rumah menggeluti pikiran akhirnya keluar juga.
Pemuda itu terdiam beberapa saat. Sendok es krim kembali ditaruhnya di cup es krim.
Melihat bagaimana dia menatap datar ke luar dinding kaca membuatku mencoba menerka-nerka.
Ini anak jarang pasang tampang serius. Kalau lagi mode begini aku bingung bagaimana cara menghadapi Zein. Dia lebih tertutup dengan perasaannya, kecuali satu rasa yang sejak dulu tertuju pada seorang gadis. Aku jadi lebih suka saat dia merengek curhat padaku ketimbang mimik serius ini.
Zein jadi sulit terbaca.
“Zein ...” panggilku pelan.
Pemuda berkumis tipis itu menoleh, senyumnya kembali mengembang sebelum mengangkat bahu tak acuh.
“Males aja. Entar di sana ketemu sepupu-sepupu yang Neng Pamer! Ck, males banget aku, Mbak. Toh, masih ada resepsinya juga entar malem.”
Keluarga Malik memang keluarga terpandang, menjunjung tinggi nilai sosial. Memasang standar tinggi untuk level mereka. Tidak salah memang Bu Mareta saja penampilannya selalu modis meski berada di rumah.
Mungkin untuk ukuran anak laki-laki seperti Zein itu terlalu mengganggu.
***
“Dari mana?”
“Astaghfirullahal'azim!” Aku mengelus dada, nyaris tumbang ke belakang mendengar suara barinton seseorang. Sontak pandangan terarah ke anak tangga terakhir.
Pak Zaidan masih dengan kemeja putih yang dua kancinh teratas terbuka dan celana hitam duduk di sana. Kedua tangannya menyatu memangku dagu. Tatapan sekelam telaga nyalang menatapku.
Apa lagi kesalahanku kali ini? Coba bilang apa salahku sampai dia mirip Singa yang lagi ngawasin mangsanya.
Dengan dagu sedikit diangkat tinggi, perlahan aku mendekat. Bukan untuk mengantarkan diri, ya. Hanya mau lihat apa yang akan dia lakukan dengan mimik menyeramkan itu.
“Sekarang kamu tuli?” sambarnya tajam, menusuk telingaku hingga aku tidak tahan untuk tidak mendelik kesal.
“Maksud, Bapak apa, sih?! Jangan berbelit-belit, to the point aja, aku enggak ngerti!”
Andai aku hanya pembantu tanpa embel-embel 'istri', seharusnya bukan hanya makian yang kudapat. Namun, juga kata pecat.
Laki-laki itu menghela napas panjang, terdengar berat dan aneh di telingaku. Kemudian dia bangkit, berjalan dengan dua tangan berada di saku celana.
Saliva tertelan gugup mendadak kaki gamang buat tetap berdiri dengan tampang sok menantangnya. Tiba-tiba saja leherku pegal hingga dagu yang tadinya terangkat tinggi, perlahan merunduk dalam.
Pak, aku boleh mundur saja tidak? Auramu terlalu gelap untuk aku yang hanya abu-abu ini.
Tengkuk bagai ditiup angin kencang. Dingin, merinding, bahkan tubuh nyaris menggigil saat suara sepasang sandal rumahan berhenti menapak tepat di depanku.
“Jam berapa sekarang?”
Suaranya masih sedingin Antarktika, seberat ton batu.
“Empat.”
Oke sekarang aku paham di mana letak salahku.
“Suamimu sedang tidak berada di rumah dan kamu keluyuran tanpa izin. Apa kamu sadar posisimu, Zareen Aishadisti!”
Suara bariton yang seolah membelah langit-langit ruang tamu itu sontak membuatku tersentak, sontak menatapnya. Mata nanap melihatnya yang mengeraskan rahang.
“Maaf, saya salah,” kataku kemudian setelah berhasil berkedip. “Tapi saya enggak pernah lupa dengan posisi saya sebagai pembantu di rumah ini, Bapak Zaidan Arkana Malik yang terhormat!”
Entah karena melihatku yang berani menatapnya tak kalah nyalang atau dia terkesiap karena kata-kataku yang penuh penekanan, lelaki itu mengendurkan mimiknya yang keras. Laki-laki dengan alis agak tebal menghela napas, satu tangannya mencoba meraihku.
Refleks aku mundur selangkah, masih dengan menatapnya tajam. Entah bagaimana dadaku sampai sepanas ini, bahkan rasanya mengalir hingga kepala.
“Saya juga enggak lupa kalo suami saya lagi ada di luar buat nikahin perempuan lain. Karena tahu posisi suami saya, makanya saya tahu diri buat enggak hubungi dia dan ganggu acara sakralnya. Saya cukup tahu diri kok, Pak dan sadar betul di mana posisi saya!”
Luapkan semua, Reen. Biar dia tahu juga gimana perasaanmu jangan kira cuman dia saja yang mau menang di sini.
“Kalau enggak ada lagi yang mau, Bapak ingetin, saya permisi. Soalnya pembantu ini masih ada kerjaan. Permisi, Pak Zaid!”
Gigiku gemeletuk berjalan menjauh. Tidak sedikit pun sudi menoleh ke belakang. Tangan yang terkepal kuat ingin kulayangkan ke wajah yang hanya diam saja itu.
Kamu juga kepengen ya, Nak nonjok muka ngeselin bapakmu? Iya? Kita satu sama, Sayang, kamu memang anak Bunda.
Bersambung
Selesai menyetrika dan melipat pakaian, aku memasukkan semua baju-baju itu ke lemari setelah tadi sempat merapikan kamar majikan—jangan lupa kalau aku masih marah dan panggilan itu layak untuk kami karena baru sore tadi dia ingatkan aku tentang status yang seolah melempar arang ke wajahku.Aku memang terlalu tidak tahu diri. Sukanya melampaui batas. Sekarang apa? Aku bahkan tidak sanggup menampakkan wajah di hadapan Pak Zaidan setelah dengan angkuh menantangnya. Untung aku tidak dipecat dan dicerai.“Aiiiis ....” Menggeleng kepala keras kucoba membuang semua ingatan sore tadi.Opsi terakhir yang mungkin akan dilakukan Pak Zaidan suatu saat nanti membuatku menghela napas. Bahu merosot ke bawah. Sepertinya aku memang melampaui batas. Namun, jujur api yang berkobar di dada belum juga padam meski sadar aku juga salah.“Seharusnya aku meminta maaf setulus-tulusnya, kenapa malah emosi? Emang enggak tahu diri kamu itu, Reen!” decakku sambil menghentakkan kaki sekali.Sebelum akhirnya aku d
Apa yang aku lakukan di sini?Pertanyaan yang mungkin sudah ribuan kali aku rengekan dalam kepala. Kalau tahu akan berakhir di sini, lebih baik tadi aku benar-benar lompat dari mobil. Zein benar-benar ... harus kuapakan anak satu itu?!“Kenapa sih, Mbak daritadi melotot mulu sama aku?” Pemuda bertampang tak berdosa itu malah berlagak korban.“Kenapa kita ke sini? Kamu bilang mo ke party, ini bukan party namanya! Kamu ngerjain mbak, ya! Nyebelin kamu, Zein!” Kuhajar lengannya menggunakan tas secara brutal biar saja dia memekik kesakitan atau kami jadi pusat perhatian.Tunggu, pusat perhatian? Gegas kualihkan pandangan, menyapu ke seluruh lobby. Haha, luar biasa sekali kamu, Zareen. Selamat, jadi tontonan gratis pengunjung hotel!Kepalaku langsung menunduk, tapi masih sempat juga pukul bahu Zein menggunakan tas. Biar saja dia meringis begitu, siapa suruh menjebakku.Aku pikir tadi dia mengajak ke acara kampus atau reunian sekolahnya atau apalah itu. Tidak sampai kepikiran anak rese sa
“Ya, anggap aja, Mbak Cinderella-nya.”Cinderella apaan, Zein? Lagian mana ada Cinderella yang dinikah siri, mana punya madu lagi.Tidak mau semakin malu, kuinjak kaki anak itu sambil melotot memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman meringis merintih padaku yang sama sekali tidak kupedulikan. Walau nyatanya hati sakit penuh lebam, mata ini tetap beralih ke podium. Rasanya macam memakan buah simalakama. Meladeni Zein bikin sakit kepala, memilih menyimak acara malah menambah sakit hati.Napasku terhela pelan akhirnya. Mencoba tegar di tengah rapuhnya atma.Di depan sana, Mas Zaid tampak mengenggam satu tangan Andine. Wajah pria itu memang datar-datar saja, tapi segaris senyum tipis dan tatapan matanya yang tak berpaling sedikit pun dari wajah sang istri sudah cukup menggambarkan bahwa betapa laki-laki itu menganggumi istri sahnya itu.When you hold me in the streetAlunan musik mengiringi suara merdu yang nyaris membuatku menjatuhkan bening kristal. Gegas aku mendongak, mengepalkan ta
Sudah bolak-balik aku mengecek handphone, tapi tidak ada pesan atau telepon seperti yang kuharapkan. Paling tidak ada sebait kata maaf dari laki-laki yang membuat malam ini kelam. “Kenapa coba pake segala ngarepin dia telepon? Udah, deh, Reen sadar diri! Ini, kan, malam pengantin mereka.” Mengucapkan kalimat terakhir serasa aku ingin mengoyak lidahku sendiri. Tak sadar menyentak kaki, aku berbalik hendak meninggalkan jendela kamar berharap kali ini bisa tidur setelah hampir empat jam mencoba malah selalu berakhir gelisah. “Mas?!” Baru juga berhenti mengharapkannya, ini orang sudah berdiri di antara remangnya lampu. Dengan sok gagah bersedekap di depanku. “Nga–Ngapain di kamar saya, ya, Pak? Ini udah tengah malem, entar istri bapak nyariin.” Meski getir enggan menyebut status wanita lain yang kini sah untuk suami sendiri, tapi apa dayaku memang? Dalam diam dia mendekat perlahan. Duh, ini orang bikin bulu kudukku merinding, kan. “Ma–Mau apa sih, Pak?” Tanganku terulur malah t
“Ciee ... keramas masih pagi.” Sebelum nasi yang masuk ke perut seperti biasanya, pagi ini aku lebih dulu sarapan dengan berbagai macam godaan dan siul-siulan Bu Mareta. Para geng ART—alias ke tiga pembantu muda—tidak ketinggalan menghangatkan ruang makan pagi ini. Saking hangatnya aku merasa ada bau gosong dari dadaku. “Otw punya cucu, nih, mama!” sahut Bu Mareta lagi. Senang bener kayaknya beliau ini. Iya, Bu sebentar lagi, Ibu akan dapat cucu. Namun, sayangnya dari rahim saya sendiri. Andai aku cukup berani bilang begitu, kira-kira apa yang akan terjadi? Ditendang dari rumah ini atau seret ke liling komplek dan diteriaki wanita tidak benar. Kira-kira opsi mana yang lebih berpotensi? Selesai menata makanan dan menyendokkan lauk pauk ke piring Zein dan Bu Mareta, aku berlalu dari sana. Rasanya mual walau hanya sekadar melirik wajah lelaki yang katanya pagi ini habis keramas. “Yang sabar ya, Dek. Nanti ada waktunya kita hajar ayah kamu bareng-bareng,” monologku sambil mengusap
“Siapa, Mbak?” Pertanyaan sederhana yang nyatanya membuat napasku tercekat. Kerongkongan mendadak kering walau hanya sekadar menjawab pertanyaan Zein. “Mbak, aku nanya, loh!” Aku terperanjat padahal jelas-jelas pria remaja itu hanya menegaskan nadanya, tidak sampai membentak. “Oke, maaf. Mungkin aku berlebihan, lagian ini juga urusan, Mbak bukan ranahku buat ikut campur. Maaf udah bikin, Mbak kaget tadi.” Anak itu menghela napas sebentar. Sambil berkacak pinggang, dia sedikit memutar tubuh agak membelakangiku. Sementara aku? Memilin ujung selimut sambil meliriknya diam-diam. Jika dipikir-pikir harusnya aku tidak takut padanya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. “Tapi, Mbak! Ah, maaf.” Anak itu lagi-lagi membuatku terlonjak. Lalu terdengar helaan napas darinya. “Aku bener-bener enggak habis pikir loh, Mbak. Aku percaya dan sampe sekarang aku masih mau percaya kalo, Mbak itu perempuan baik-baik. Enggak mungkin, Mbak ... Mbak hamil di luar nikah. Itu enggak ada di persepsiku ten
Nyatanya kata 'tidak apa-apa' terlalu menyakitkan untuk diucap. Hati sulit selaras saat justru harapan yang dirapal. Tadinya aku kira Pak Zaid akan berbaik hati mengantar pembantunya ini sampai mobil meninggalkan pekarangan rumah, tapi yang kudapat dia dan istrinya malah berbalik masuk ke rumah usai mengantarku dan Zein sampai pintu depan.Untuk ukuran seorang pembantu biasa, aku memang terlalu banyak maunya.Ck, kesel sendiri lama-lama dengan hati yang labil begini.“Udah kali, Mbak ngeliatin rumahnya kayak kita enggak mo balik aja.”Aku mendelik melirik Zein yang dengan santai menarik tuas persneling hingga mobil perlahan melaju meninggalkan rumah besar kediaman Tuan Zaid. Zein ini walau agak rese, tapi perannya sangat membantu untukku dan ponakannya yang masih bersemayam dalam perut.Masih pukul lima pagi tadi, Zein bahkan sudah muncul dengan mobil untuk menjemputku. Kurang Masha Alah apalagi coba anak ini?“Aku hanya bisa nginap semalam aja ya, Mbak soalnya lusa udah mulai masuk k
Wajahku masih tertekuk menatap wajah tenang Pak Zaid. Bak tak ada dosa, dia duduk bersandar di ranjang sambil bermain handphone. Semalam aku masih tidur bareng Bibi, tapi karena kehadiran lelaki itu membuat kami diberikan kamar milik Agung untuk ditempati. “Bapak, ini maksudnya apa coba?! Sengaja ya, mau bikin aku kena masalah?!” Akhirnya keluar juga semua kesal di hati. Sudah satu jam lalu aku dongkol pada lelaki itu. Baru sekarang punya kesempatan mengeluarkan uneg-uneg dan kesempatan ini tidak akan aku sia-siakan. Kalau perlu aku ngamuk juga hadapin ketenangan di wajah kelewat ganteng itu. “Emang kamu ngerasa gitu?” Apa-apaan itu?! Dengan satu alis terangkat dan kedua lengan dilipat di dada berlagak sok cool, dia seolah tidak sadar kalau beberapa menit yang lalu nyaris membuatku diusir oleh Bibi. Setelah dia membeberkan fakta status kami, Bibi langsung syok dan memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Beruntung setidaknya lelaki itu tidak lari dari tanggung jawab. Pak
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g