Beranda / Pernikahan / Istri Status Pembantu / Bab 6 : Tak Lagi Sama

Share

Bab 6 : Tak Lagi Sama

Penulis: Shafitri D
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Selesai dengan urusan memasak, aku sedikit merenggangkan otot-otot. Ah, ini pinggang nyeri lagi. Sakitnya baru agak berkurang kalau sudah kuusap-usap. Apalagi kalau sampai bayangin Tuan Zaid yang mengusap di sana, pasti nyerinya jadi makin cepat hilang.

Efek Tuan Zaid seajaib itu malah. Nalarku saja sampe dibuat buntu hanya untuk memecahkan misteri nyeri pinggang dengan membayangkan Tuan Zaid yang mengelus di sana. Korelasinya aneh memang.

“Sudah, Nak Zareen. Astaga, Nak istirahat saja, ini juga masaknya udah kelar. Udah ya, Nak, ini biar saya saja yang kerjain.”

Ketawa boleh tidak, sih? Lihat ekspresi memelas Mpok Yanti bikin gemes. Selalu kayak gini kalau beliau lihat aku ambil pekerjaan rumah yang sebenarnya sudah seharusnya aku kerjakan. Selain sebagai istri—diam-diam—tapi aku juga masih berstatus ART di rumah ini, sama posisinya dengan para pembantu Tuan Zaid.

“Iya, Mpok, iya. Ini aku mau cuci tangan aja, kok,” kataku sambil terkekeh membasuh tangan di wastafel usai diberi sabun. 

“Habisnya, Nak Zareen ini bandel banget, loh. Kalo sampe bapak tahu kamu kerja sekeras ini, yakin pasti nanti bapak marah-marah.”

Ah, masa? Bukannya selama ini dia tidak peduli pada apa pun yang aku lakukan, ya? Ck, sok banget.

“Bapak cuman lagi capek aja sama kerjaan itu, Mpok makanya marah-marah. Lagian, siapa saya dia mau marah cuman karena saya masak sarapan.”

Senyum tersungging, miris. Emang bener, 'kan.

Dari belakang terdengar helaan napas. “Kan, Nak Zareen pacar diam-diamnya, bapak. Iya, 'kan.”

Itu pernyataan, ya, aku sadar betul bagaimana Mpok Yanti melihat kedekatan kami. Bagaimana kadang kala dia menyaksikan sendiri saat Tuan Zaid main sosor mencium kening bahkan pipiku entah itu di meja makan, ruang tamu atau di beberapa tempat di sudut rumah ini. Berbeda lagi dengan penilaian pekerja lain di rumah ini.

“Nak!” Sentuhan di bahu membuatku tersentak, gegas mematikan kran air dan berbalik sambil tersenyum pada wanita bertubuh kurus itu.

“Aku udah selesai, Mpok. Aku izin ke taman belakang, ya, Mpok.”

Wanita yang sebentar lagi memasuki usia kepala lima itu, mengangguk sambil tersenyum. Tanpa buang waktu, sebelum diintrogasi, langkah lebih dulu ngacir ke pintu belakang yang berada di ruang tengah. Namun, belum mencapai pintu sebuah tangan kekar lebih dulu mencekal, menarikku masuk ke kamar.

Mataku sempat melotot melihat siapa pemilik tangan putih berurat itu. Bahkan saat dengan satu kakinya mendorong pintu dan menguncinya, aku seperti kehabisan napas.

Mau apalagi dia? Belum puas apa semalam mempertontonkan aksi romansanya? Apa sekarang dia mau bilang kalau undangan pernikahan sudah dicetak? Harus banget ya, lapor ke aku? Biar apa coba?! 

Ha?! Coba bilang, biar apa?!

“Kenapa semalam bilang begitu?”

“Ha?”

Suer, aku cengo dengar pertanyaan ini orang yang tidak pernah bisa selesai. Bisa tidak sih, dia itu kalo ngomong diselesaikan dulu, jangan yang keluar malah pertanyaan rangkuman. Ini otak butuh mencerna, kalo cuman rangkuman tidak jelas yang keluar mana bisa otakku nyampe.

“Mamanya Andine.”

Oke, itu clue dan otakku lagi loading cari memori semalam. Apa saja kira-kira yang kami bicarakan semalam. Kalimat apa yang kali ini dia permasalahkan. Entah kata yang mana yang membuat jiawa bossinya terungging, eh, tersinggung. Sampai typo, kan, yang keluar dari mulutku, habisnya memikirkan arti dari pertanyaan pria di depan ini bikin kepala mumet.

“Kamu mau pergi? Kenapa?”

Bentar, ini otak masih loading agak lambat nyambungnya.

Percakapan dengan mamanya Andine, pergi, aku yang ....

Jangan-jangan maksudnya ... dia tidak anggap itu serius, 'kan?

Mendadak aku menatap tak percaya pada pria pemimpin perusahaan ternama yang berdiri di depanku sekarang. Apa cuman segini hebatnya pemikiran seorang pemimpin perusahaan yang telah berhasil mengeluarkan puluhan bahkan mungkin ratusan merek produk itu?

“Mas—”

“Coba saja lakukan itu dan kamu lihat sendiri apa akibatnya, Zareen!” Dia mendesis syarat ancaman.

Tatapan pria itu menghunus tajam, bak sebilah pedang menghunus merobek jantungku yang menggila sejak merasakan terpaan embusan napasnya di wajah.

Gemeletuk gigi pria itu malah mengobarkan api di dadaku. Dengan tatapan nyalang dan berkaca, aku seolah menantangnya.

Daguku terangkat tinggi dengan mata nyalang tak mau kalah untuk kali ini.

“Mau sampai kapan, Mas begini terus? Kekang aku, buat aku seolah-olah budak yang berjalan di bawah kaki majikannya. Aku juga manusia kalo, Mas lupa! Aku butuh kebebasan, bahkan aku ... aku butuh ketenangan.”

Nada yang sempat berapi, berubah memelan di akhir kalimat. Seolah sadar dengan apa yang baru saja kulakukan, pandangan seketika tertunduk menatap ubin lantai yang terasa dingin menusuk di telapak kaki kali ini.

“Aku juga butuh kebebasan, enggak melulu ikut apa mau, Mas. Sedangkan, Mas sendiri enak-enakan di luar sana, bebas jalan dengan siapa pun, bertemu siapa pun, bahkan ... bahkan, Mas bebas suapin siapa pun itu. Mas, juga sudah mau menikah, apa aku enggak bisa ngerasain kebebasan sama seperti yang, Mas nikmatin selama ini?” Selama pernikahan kita? Pada setiap detik delapan bulan yang terlewati?

Kini secuil keberanian berhasil membuat kepala terangkat. Saling memandang dengan tatapan berlawanan makna. 

Sebelum akhirnya pria itu mengakhiri kontak, membuang muka ke samping hingga terdengar helaan nafasnya yang berat.

“Kebebasan seperti apa yang kamu mau?”

Mengapa pertanyaan itu seolah menohokku. Malah napas tercekat di kerongkongan kala mendengar ucapan barusan.

Tanganku terkepal kuat menahan diri sekuat mungkin. Sayangnya, lidahku selalu berkhianat.

“Aku juga pengen bebas jalan sama siapa pun! Bercerita pada siapa pun, bertemu orang baru, menjalin sebuah hubungan baik, dan ... dan aku juga mau disuapi oleh orang yang benar-benar menganggapku istimewa!”

Dih, kok, jadi drama sih, Reen? Sejak kapan aku kepengen hal tidak penting begini. Namun, mengingat lagi bagaimana adegan suap-suapan semalam ... itu–itu sangat mengganggu.

Wajahku menoleh ke samping. Melirih, “Mas juga lakuin itu, suapin dia di depanku.”

Tidak ada jawaban, tidak ada elakkan. Hanya bunyi sandal rumahan yang melangkah menjauh terdengar di tengah sunyi lautan emosi. 

Aku tertunduk, menangis sambil sesekali terkekeh pelan. Lucu, ya. Masa sekolah, di-bully seperti apa pun tidak akan membuatku segoyah ini. Segala kesakitan dari caci maki yang mereka beri tidak akan sampai seberharga itu membuat air mataku luluh hingga membanjir seperti saat ini.

“Aku apaan, sih!” Berkat lengan baju, air mata sempat terhenti dari pelupuk. Wajah yang sembap sedikit mengering. Senyumku kembali terbit. Namun, semua hanya sesaat sebelum sakit luar biasa mendera pinggang.

Tangisku makin menjadi seraya berjalan pelan menuju ranjang. Berbaring di tengah empuknya kasur dan menyelimuti diri di balik selimut. Berharap hanya dengan mengelus pinggang dan mewakili rasa sakitnya melalui tangis, semua penderitaan ini akan menghilang. 

Bayangan wajah tersenyum Kak Faisal yang tersenyum terakhir kali saat menggenggam tanganku semakin menambah tumpukan pasir di dada. Bahkan saat aku memukul dada berharap pasir-pasir itu berkurang, tapi yang ada aku malah terbatuk hanyut dalam tangis.

Teringat sore itu saat murotal Masjid saling bersahutan penanda akan tiba waktu salat, aku yang baru pulang dari Supermarket bingung melihat banyak kemurungan warga di jalan raya yang bahkan beberapa kendaraan berhenti. Gegas menuju ke lokasi sambil menenteng belanjaan. Mencoba menerobos kerumunan yang akhirnya terhenti pada satu titik.

Saat itu juga, dunia seolah runtuh menghujami kepalaku. Sakit berdentum hingga suara riuh sekitar dan sahutan Ambulance berdengung di telinga. Langkah tertatih menuju sebuah tubuh yang tergolek di jalan, bahkan tidak aku hiraukan lagi belanjaan yang jatuh dan beberapa isinya menggelinding di aspal.

“Ka–Kak ....”

Tenggorokan tercekat, gegas kurebut pelan kepala lemah itu dari rengkuhan seseorang. Pandanganku kabur oleh bulir bening yang berdesakkan ingin keluar.

“Areen ... apa pun yang terjadi, kamu harus kuat. Kakak enggak pernah ragu dan kecewa dengan kehebatan adik aku.” Suara Kak Faisal melemah, bergetar bahkan terbata seiring napasnya tersendat-sendat.

Aku menggeleng kuat merengkuh kepalanya. Menghujani kening yang berlumur darah dengan kecupan.

“Enggak, jangan ngomong dulu. Kakak harus diobatin, kita ke rumah sakit dulu, ya.”

Tanganku gemetar menyentuh tangannya yang masih terdapat bekas pasir dan debu semen. Tangan hebat itu terasa kasar di genggaman. Priaku, priaku satu-satunya justru tersenyum hangat. Pandangannya yang sendu dan redup, tidak berbinar seperti biasanya kini beralih pada pria yang berjongkok di sampingnya yang sejak tadi menelepon entah siapa.

Gurat cemas itu kentara di wajahnya yang makin mengerut kala tangan kanan Kak Faisal terangkat dan menggenggam tangan pria tersebut.

“Saya hanya mau kamu pegang amanah ini. Saya ... saya percayakan adik saya padamu. Tolong jaga dia, dia enggak punya siapa-siapa lagi selain saya. Dan setelah ini, dia enggak akan punya siapa-siapa lagi.”

“Enggak! Aku punya, Kak Faisal! Enggak ada yang enggak punya siapa-siapa! Aku punya! Kak Faisal punyanya Areen! Zareen enggak sendiri, ada, Kakak!” Aku meraung memeluk kepalanya yang tergolek berlumur darah. Deras cairan merah mengalir dari balik kepala pria itu.

Percayalah, tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini setelah kematian Ayah dan ibuku selain setitik air mata di ujung mata Kak Faisal. Hingga senyum terakhirnya bersama ucapan terindah yang bak sebuah pesan manis untukku.

“Berbahagialah, Zareen bahkan jika itu harus kamu nikmati sendiri.”

Senja kala itu menjadi cahaya jingga paling sendu sepanjang masa dalam hidupku. Penutup ceritaku bersama Kak Faisal untuk selamanya. Sebuah akhir yang membukakan lembaran baru.

Sebuah amanah yang akhirnya membawakan keputusan sepihak Tuan Zaidan untuk menikahiku. Aku tidak pernah tahu dan tidak ingin mencari tahu mengapa sore itu dia sampai berada di lokasi. 

Majikan yang baru dua bulan mempekerjakanku, pria yang menolong Kak Faisal meski kebaikannya harus menerima penolakan dari Yang Maha Kuasa. 

Entah apa yang ada di kepalanya, dia justru menjagaku dengan cara yang berbeda. Dia meminangku, menjadikan aku istri tanpa status hukum yang jelas.

Dinding kamar seolah telinga yang sedang mendengarkan aku yang bercerita melalui tangis. Meraung di balik selimut sembari mengelus pinggang yang sesekali memijatnya pelan. Menikmati sendiri rasa sakit dan memori kelam beberapa bulan yang lalu.

Hingga sebuah rengkuhan dari belakang dan usapan di pinggang membuat persendianku lemas. Perlahan rasa linu yang amat menyiksa tadi mulai meluap seiring elusan disertai pijatan lembut.

“Bagaimana rasanya, Reen melihatku menyuapi Andine?” bisiknya tepat di samping telingaku.

Tega sekali dia, jadi dia memang sengaja? Anda memang picik, Zaidan Arkana Malik!

Kecupannya di bahu dan elusan di pinggang memang sedikit mengurangi nyeri di pinggang dan beberapa bagian tubuhku, tapi tidak dengan sakit di hati.

“Begitu juga yang saya rasakan saat melihatmu disuapi oleh Zein.”

Disuapi? Oleh Zein?

Alisku mengerut tajam mencoba menerka arah ucapan pria ini. Sesaat setelah memori dapat diputar balik, aku nyaris berbalik kalau saja lengan kekar itu tidak menahan pinggulku.

Napas hangatnya terasa menerpa punggung yang aku yakin tidak tertutup daster. Dia tidak tahu apa, napasnya itu bikin aku kegelian?

“Jadi, Mas balas dendam?”

Baiklah, aku ikuti permainannya. Jangan salahkan aku kalau sampai nekat berbuat lebih kali ini.

“Tidak panggil saya 'Bapak' atau 'Tuan' lagi, hmm?” Pria itu menelusupkan wajahnya ke punggungku, mendusel pelan di sana.

Aku sedang marah, sumpah! Malah rasa kecewa itu seakan memerintahkan tangan ini agar mencakar wajah sok tampan Tuan Zaid. Namun, kalau mendadak begini sikapnya, aku mana punya daya?

“Tuan Zaid ... geli.” Meski sudah berusaha menggerakkan bahu, menggeliat tidak nyaman, tapi ini manusia satu tetap betah dengan posisinya.

Mana makin anteng dia dengan mendusel di punggungku yang kegelian. Tuan Zaid hanya menggumam seolah protesku barusan cuman angin lalu.

Mau marah, tapi lagi, aku mana sanggup kalo dia semanja ini?!

Ya Allah, Reen ... itu hati lemah banget, sih!

Mataku berkaca menahan semua gejolak yang berperang hebat di dalam sini. Rasanya pengen marah, tapi di waktu bersamaan Tuan Zaid sukses menenangkan atma yang terbakar api cemburu sejak melihat aksi suap-menyuapnya dengan Andine. 

Iya, aku mengaku cemburu. Memangnya istri mana yang tidak cemburu kalau di depan mata sendiri melihat suaminya menyuapi perempuan lain yang notabene 'calon istri barunya'. Baru calon itu loh, bagaimana nanti kalau mereka beneran jadi dan tinggal di rumah ini. Mungkin, paru-paruku bisa kering terkuras luka.

“Dua Minggu lagi,” bisiknya yang disusul helaan napas berat.

Apa coba maksudnya? Ada yang paham? Sumpah, aku lagi tidak mood buat mengkaji ulang ucapan pria yang lagi modus-modusnya meluk dari belakang.

Bayangkan bagaimana dongkolnya hati setelah semalam lihat suami suapin cewek lain—calon istri baru lagi—dan sekarang dengan tampang tanpa dosa bak bayi baru lahir, dia malah enak-enakkan meluk. Apa tidak terlalu kelihatan tidak tahu diri banget, ya?

“Masih belum ya, Ai?” Tangannya mengusap perut rataku yang menguarkan sesansi aneh dari dalam sana.

Ah, rasanya sudah lama ini kuping tidak dengar panggilan itu. Teringat saat awal menikah, dia memanggilku berbeda. Tiba-tiba saja begitu, entah kesambet apa. Padahal aku masih ingat betul saat zaman sekolah, jangankan sebut namaku, boro-boro dia mau repot manggil dengan panggilan semanis itu.

'Ai—Aisha—' yang diambilnya dari nama tengahku. Zareen Aishadisti. 

Karena panggilan—yang mungkin tidak disengaja itu—membuat Tuan Zaid sontak salah tingkah menggaruk pelipisnya pelan. Kalau diingat lagi, itu adalah ekspresi tergemas milik seorang Zaidan Arkana Malik.

“Kenapa belum?”

Alisku makin menukik mendengarnya kayak orang mabuk lagi meracau tidak jelas. Dari tadi menggumam aneh.

Ya, memang sih, Tuan Zaid suka berbuat aneh. Bertingkah semaunya.

Embusan napasnya terasa terhela panjang di ceruk leher membuatku meringis menahan geli. Tuan Zaid dari tadi kenapa sebenarnya?

“Selama proses pernikahan nanti, saya mau kamu tidak keluar kamar! Saya akan minta, mpok Yanti buat cari alasan ke mama.”

Oh, jadi itu maksudnya. Mau pamer ceritanya. Mau menegaskan lagi kalau dia terganggu kalau muka jelataku ini muncul di pernikahan mewahnya nanti. 

Ck, tenang saja, Mas. Jangankan hadir, bertahan di tengah kamu dan istri 'sahmu' itu pun aku tidak yakin bisa. 

Tidak ambil pusing dengan tingkah dan segala peringatannya, aku menggumam sebagai balasan. Mending tidur, dapat mimpi enak, bukan air mata dan dengar ocehan rianya mengenai pernikahan yang akan digelar di hotel berbintang.

Ada yang beda kali ini saat dia mengecup keningku. Rasanya hambar, tidak lagi sama.

Bersambung 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bagus kau mampus aja dg drama mu njing. udah tau cuman dihadikan babu merangkap istri simpanan tapi g juga nyadar diri. 26 th umur mu tapi cara berpikir otak mu lebih rendah dari babu. pintar nhomong sendiri dlm hati tapi tetap juga jiwa babu mu yg dominan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Istri Status Pembantu   Bab 7 : Jatah Unlimited

    Senyumku tersungging melihat tatanan makanan di taperware. Potongan sosis, ikan, dan sayuran yang dibentuk membuat sebuah wajah yang sedang tersenyum. Sebelum senyum itu pudar seiring kenyataan menghantam. Mungkin ini akan jadi hari terakhir aku mengirimkan bekal makan siang untuk Pak Zaid, sebelum status pria itu akan berganti besok. Waktu memang tidak main-main kalau soal memberi luka. Namun, aku belum lupa kalau hanya waktu juga yang bisa menyembuhkan walau tidak seutuhnya ampuh. “Wah, enak sekali, loh, Reen masakannya. Yang ini, buat mpok aja, ya.” Mpok Yanti nyengir yang kubalas anggukan sambil tersenyum. Semoga masakanku seenak yang dibilang Mpok Yanti. Takut gitu ngecewain lidah suami. Eh, masih bisa, kan, aku sebut dia suami? Lagi-lagi napas terhela panjang. Capek juga ya, lama-lama kalau berdiri tegak seolah sedang baik-baik saja. “Ck, jangan drama deh, Reen! Udah, ah! Jangan nangis, awas aja kalo sampe ini air mata jatoh!” Aku mendumel mendongak menatap langit-langit d

  • Istri Status Pembantu   Bab 8 : Posisi Sebenarnya

    Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain. Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangk

  • Istri Status Pembantu   Bab 9 : Tidakkah Kamu Tahu?

    Selesai menyetrika dan melipat pakaian, aku memasukkan semua baju-baju itu ke lemari setelah tadi sempat merapikan kamar majikan—jangan lupa kalau aku masih marah dan panggilan itu layak untuk kami karena baru sore tadi dia ingatkan aku tentang status yang seolah melempar arang ke wajahku.Aku memang terlalu tidak tahu diri. Sukanya melampaui batas. Sekarang apa? Aku bahkan tidak sanggup menampakkan wajah di hadapan Pak Zaidan setelah dengan angkuh menantangnya. Untung aku tidak dipecat dan dicerai.“Aiiiis ....” Menggeleng kepala keras kucoba membuang semua ingatan sore tadi.Opsi terakhir yang mungkin akan dilakukan Pak Zaidan suatu saat nanti membuatku menghela napas. Bahu merosot ke bawah. Sepertinya aku memang melampaui batas. Namun, jujur api yang berkobar di dada belum juga padam meski sadar aku juga salah.“Seharusnya aku meminta maaf setulus-tulusnya, kenapa malah emosi? Emang enggak tahu diri kamu itu, Reen!” decakku sambil menghentakkan kaki sekali.Sebelum akhirnya aku d

  • Istri Status Pembantu   Bab 10 : Cinderella Versi Upik Abu

    Apa yang aku lakukan di sini?Pertanyaan yang mungkin sudah ribuan kali aku rengekan dalam kepala. Kalau tahu akan berakhir di sini, lebih baik tadi aku benar-benar lompat dari mobil. Zein benar-benar ... harus kuapakan anak satu itu?!“Kenapa sih, Mbak daritadi melotot mulu sama aku?” Pemuda bertampang tak berdosa itu malah berlagak korban.“Kenapa kita ke sini? Kamu bilang mo ke party, ini bukan party namanya! Kamu ngerjain mbak, ya! Nyebelin kamu, Zein!” Kuhajar lengannya menggunakan tas secara brutal biar saja dia memekik kesakitan atau kami jadi pusat perhatian.Tunggu, pusat perhatian? Gegas kualihkan pandangan, menyapu ke seluruh lobby. Haha, luar biasa sekali kamu, Zareen. Selamat, jadi tontonan gratis pengunjung hotel!Kepalaku langsung menunduk, tapi masih sempat juga pukul bahu Zein menggunakan tas. Biar saja dia meringis begitu, siapa suruh menjebakku.Aku pikir tadi dia mengajak ke acara kampus atau reunian sekolahnya atau apalah itu. Tidak sampai kepikiran anak rese sa

  • Istri Status Pembantu   Bab 11 : Cause I'm Yours

    “Ya, anggap aja, Mbak Cinderella-nya.”Cinderella apaan, Zein? Lagian mana ada Cinderella yang dinikah siri, mana punya madu lagi.Tidak mau semakin malu, kuinjak kaki anak itu sambil melotot memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman meringis merintih padaku yang sama sekali tidak kupedulikan. Walau nyatanya hati sakit penuh lebam, mata ini tetap beralih ke podium. Rasanya macam memakan buah simalakama. Meladeni Zein bikin sakit kepala, memilih menyimak acara malah menambah sakit hati.Napasku terhela pelan akhirnya. Mencoba tegar di tengah rapuhnya atma.Di depan sana, Mas Zaid tampak mengenggam satu tangan Andine. Wajah pria itu memang datar-datar saja, tapi segaris senyum tipis dan tatapan matanya yang tak berpaling sedikit pun dari wajah sang istri sudah cukup menggambarkan bahwa betapa laki-laki itu menganggumi istri sahnya itu.When you hold me in the streetAlunan musik mengiringi suara merdu yang nyaris membuatku menjatuhkan bening kristal. Gegas aku mendongak, mengepalkan ta

  • Istri Status Pembantu   Bab 12 : Aku Ini Istri Sah!

    Sudah bolak-balik aku mengecek handphone, tapi tidak ada pesan atau telepon seperti yang kuharapkan. Paling tidak ada sebait kata maaf dari laki-laki yang membuat malam ini kelam. “Kenapa coba pake segala ngarepin dia telepon? Udah, deh, Reen sadar diri! Ini, kan, malam pengantin mereka.” Mengucapkan kalimat terakhir serasa aku ingin mengoyak lidahku sendiri. Tak sadar menyentak kaki, aku berbalik hendak meninggalkan jendela kamar berharap kali ini bisa tidur setelah hampir empat jam mencoba malah selalu berakhir gelisah. “Mas?!” Baru juga berhenti mengharapkannya, ini orang sudah berdiri di antara remangnya lampu. Dengan sok gagah bersedekap di depanku. “Nga–Ngapain di kamar saya, ya, Pak? Ini udah tengah malem, entar istri bapak nyariin.” Meski getir enggan menyebut status wanita lain yang kini sah untuk suami sendiri, tapi apa dayaku memang? Dalam diam dia mendekat perlahan. Duh, ini orang bikin bulu kudukku merinding, kan. “Ma–Mau apa sih, Pak?” Tanganku terulur malah t

  • Istri Status Pembantu   Bab 13 : Tolong Jangan Buat Aku Bimbang

    “Ciee ... keramas masih pagi.” Sebelum nasi yang masuk ke perut seperti biasanya, pagi ini aku lebih dulu sarapan dengan berbagai macam godaan dan siul-siulan Bu Mareta. Para geng ART—alias ke tiga pembantu muda—tidak ketinggalan menghangatkan ruang makan pagi ini. Saking hangatnya aku merasa ada bau gosong dari dadaku. “Otw punya cucu, nih, mama!” sahut Bu Mareta lagi. Senang bener kayaknya beliau ini. Iya, Bu sebentar lagi, Ibu akan dapat cucu. Namun, sayangnya dari rahim saya sendiri. Andai aku cukup berani bilang begitu, kira-kira apa yang akan terjadi? Ditendang dari rumah ini atau seret ke liling komplek dan diteriaki wanita tidak benar. Kira-kira opsi mana yang lebih berpotensi? Selesai menata makanan dan menyendokkan lauk pauk ke piring Zein dan Bu Mareta, aku berlalu dari sana. Rasanya mual walau hanya sekadar melirik wajah lelaki yang katanya pagi ini habis keramas. “Yang sabar ya, Dek. Nanti ada waktunya kita hajar ayah kamu bareng-bareng,” monologku sambil mengusap

  • Istri Status Pembantu   Bab 14 : Berhenti Saja, Boleh?

    “Siapa, Mbak?” Pertanyaan sederhana yang nyatanya membuat napasku tercekat. Kerongkongan mendadak kering walau hanya sekadar menjawab pertanyaan Zein. “Mbak, aku nanya, loh!” Aku terperanjat padahal jelas-jelas pria remaja itu hanya menegaskan nadanya, tidak sampai membentak. “Oke, maaf. Mungkin aku berlebihan, lagian ini juga urusan, Mbak bukan ranahku buat ikut campur. Maaf udah bikin, Mbak kaget tadi.” Anak itu menghela napas sebentar. Sambil berkacak pinggang, dia sedikit memutar tubuh agak membelakangiku. Sementara aku? Memilin ujung selimut sambil meliriknya diam-diam. Jika dipikir-pikir harusnya aku tidak takut padanya, tapi yang terjadi malah sebaliknya. “Tapi, Mbak! Ah, maaf.” Anak itu lagi-lagi membuatku terlonjak. Lalu terdengar helaan napas darinya. “Aku bener-bener enggak habis pikir loh, Mbak. Aku percaya dan sampe sekarang aku masih mau percaya kalo, Mbak itu perempuan baik-baik. Enggak mungkin, Mbak ... Mbak hamil di luar nikah. Itu enggak ada di persepsiku ten

Bab terbaru

  • Istri Status Pembantu   43. Putriku, Reina

    “Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!

  • Istri Status Pembantu   42. Tangisan Pertama si Bayi

    “Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.

  • Istri Status Pembantu   41. Kini Lembaran Baru

    “Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“

  • Istri Status Pembantu   40. Teka-Teki

    “Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi

  • Istri Status Pembantu   39. Rahasia Lagi?

    Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi

  • Istri Status Pembantu   38. Dan Aku Benci

    Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna

  • Istri Status Pembantu   37. Kecewa

    Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay

  • Istri Status Pembantu   Bab 36 : Masa Lalu Zaidan

    “Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te

  • Istri Status Pembantu   Bab 35 : Boleh Tidak, Kalau Aku Bilang Aku Cemburu?

    “Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g

DMCA.com Protection Status