Kakiku terayun sambil menjilati ujung sendok es krim dengan brand yang terkenal dari Negara sebelah. Es krim yang berbentuk tempat bekal yang selalu bikin aku mikir puluhan kali untuk membelinya.
Lagi asik-asiknya menikmati es krim, pandanganku tidak sengaja melirik ke salah satu kafe di dekat kami duduk. Mata memicing menatap seorang gadis berambut sepunggung yang berdiri menyamping bersama seorang pria. Kayak kenal, tapi di mana?
Kelihatan dari raut wajah tegang keduanya, sepertinya mereka lagi terlibat masalah.
Tidak mau ambil pusing, aku kembali fokus ke es krim di tangan sebelum perhatianku kembali terenggut saat tidak sengaja menatap ke arah di mana wanita dan pria tadi berada. Tampak wanita itu berusaha mengejar si pria yang melangkah cepat meninggalkan kafe. Wanita itu berusaha meraih lengan si pria, tapi justru genggamannya dihentak kuat hingga wanita itu terhempas. Bagian tubuh sebelah kanannya menghantam dinding mall dan berakhir tubuh ringkih itu jatuh terduduk dengan tangan kanan sebagai penyangga.
Aku hendak berdiri melihat kejadian tidak terduga itu, tapi kerumunan masa lebih dulu menghentikan. Napasku terembus lega melihat gadis itu dibantu oleh beberapa orang.
"Kenapa, Mbak?"
Aku menoleh pada Zein yang duduk di samping sebelum menggeleng. Lalu kembali menikmati es krim sambil mengayunkan kaki membuat kaki kanan dan kiri yang terbalut sepatu saling bertubrukan pelan.
"Seneng, enggak?"
"Banget!"
"Enak?"
"Iya, dong!"
"Mau nambah lagi?"
"Mau bangeeet!"
Aku mengangguk semangat banget rasanya. Apalagi AC di sekeliling mall sangat sejuk. Kalau tadi aku tetap maksa beli es krim di taman atau di pinggir jalan, mungkin aku sudah mengeluh dan merengek pulang pada Zein. Untung Zein langsung mutar mobil dan berhenti di gedung berlantai lima ini.
Bukannya sombong ya, tapi Bandung lagi panas-panasnya terumata sekarang matahari lagi tinggi-tingginya. Apalagi aku yang hamil ini, entah kenapa sangat mudah sensitif pada temperatur di sekitar. Bukan berarti aku nanti akan semakin menyusahkan Zein dengan merengek tidak jelas padanya. Ditraktir es krim saja sudah syukur.
Zein yang duduk di samping, menggeleng.
"Untung ya, Mbak, aku ini bukan anak orang sembarangan. Kalau enggak, kita udah diusir pramuniaga tadi!"
Aku cuman cengengesan mendengar gerutuan Zein. Teringat tadi saat aku menarik tangannya ke beberapa restoran dan stand makanan. Bukan hanya bakso dan gado-gado, nyaris semua makanan yang belum pernah aku makan dan sangat ingin aku coba, aku cicipi tadi. Alhasil saat sampai di Restoran bercorak Jepang dengan menu andalan khas dari negara itu, Zein panik melihat isi dompetnya yang kosong melompong saat ditagih untuk bayar.
Tapi, oh, tapi ... kalian ingat, kan, siapa Zein Attaya Malik? Dengan sekali embusan napas, jari putihnya secara ajaib menarik kartu ATM berwarna gold dari dompet seiring ekspresi wajahnya yang kembali tenang memahat senyum manisnya.
Ah, Zein memang yang terbaik!
"Habis ini mau ke mana lagi?"
Satu alisku terangkat meliriknya. "Emang masih betah mbak kuras?"
Dia tergelak bahkan sampai memegangi perut. "Duh, Mbak! Kalau, Mbak cewek lain, aku mana ikhlas! Tapi enggak papalah, ya, itung-itung nyicil kasih nafkah buat calon istri."
Calon istri isi dompetmu penuh, Zein! Emang udah siap dijotos Mas Zaid-mu, kamu mau persunting istrinya?
Eh, ya, iya, Mas Zaid mana peduli, ya. His, bodo amatlah, pusing!
Pandanganku beralih ke depan, bingung mau respon apa candaannya. "Terserah kamulah, Zein!"
Dia ketawa lagi. Malas meladeni, aku kembali memasukkan sesendok es krim ke mulut. Sayang, Zein lebih gesit mencondongkan wajahnya. Detik itu juga es krim di sendok raip dilahapnya.
Aku meliriknya sinis sambil mendengkus. "Enggak sopan banget ya, kamu, Zein!"
"Santai kali, Mbak. Btw, manis, ya. Semanis senyuman, Mbak." Dia terbahak seolah tidak malu jadi tontonan pengunjung mall lain.
Secara kami duduk di luar tokoh, di bangku panjang berbahan besi. Kayaknya daripada malu, Zein malah betah-betah saja. Wajah tampan Zein cukup menjelaskan teori kalau "Orang tampan mah, bebas".
Aku cuman bisa mendelik membuang muka sebelum kembali memasukkan sendok es krim ke mulut. Rasa dingin dan sangat amat enak itu perlahan mendinginkan hati yang nyaris terbakar karena kelakuan Zein.
Sayang banget kayaknya aku keluar bareng Zein. Aku pikir dia berhenti betingkah. Namun, ucapannya yang bernada godaan membuatku tersedak.
"Btw, Mbak, makan di sendok yang sama bukannya disebut ciuman enggak langsung, ya?"
"Zein, Astaghfirullah!"
***
"Apa lihat-lihat?!" ketusku sebelum turun dari mobil.
Jangan kira aku sudah tidak marah, ya. Oh, dendam ini masih membara. Malu dilihatin orang di mall, tidak main-main. Sampai rasanya aku pengen tenggelamin Zein ke dasar Palung Tangkuban Perahu!
Dari belakang, Zein masih mengoceh. Anak baru gede itu, gencar menggoda. Tepatnya mengejek mungkin.
"Mbak—"
"Dari mana?"
Kakiku beku di depan pintu saat benda bercat putih itu disentak kasar memperlihatkan seorang pria dengan tubuh tegapnya. Mendadak lidah kelu dan bibir kaku ingin berucap kala wajah datar Mas Zaid menguarkan aura dingin yang berbeda.
Oke, kali ini aku hanya bisa menunduk memilin jemari.
"Oh, ini, Mas. Aku habis nemenin bumil satu ini jalan-jalan–duh, Mbak!" Kekehan jahil Zein terhenti sedetik siku melayang ke perutnya. Dia meringis sambil mengangkat dua jari saat mendapati pelototan dariku. "Becanda, elah! Ya, kali juga, mbakku yang cantik ini hamidun enggak ada lakinya. Ye, 'kan, Mas?"
Sontak tatapanku beralih pada Mas Zaid yang melirikku sebentar sebelum membuang muka dan menyingkir dari pintu. Masih dengan tampang datar tidak terbaca, dia membuka pintu lebih lebar masih sambil berdiri di depan daun pintu. Bahkan punggungnya pun menempel di sana.
"Masuk!"
Aku melirik Zein yang menggaruk tengkuk sebelum melangkah dan disusul oleh pemuda itu. Bukannya tidak tahu sopan santun, aku hanya mendadak takut menghadapi aura dingin Mas Zaid yang kali ini nyaris membuatku beku berdiri. Bahkan aku tidak peduli lagi saat di belakang terdengar Zein berusaha menjelaskan bahwa kami hanya keluar sebentar.
Telingaku yang terpasang siap mendengar lebih banyak dengan langkah sedikit dipelan-pelankan. Diam-diam berharap lelaki di belakang sana bertanya lebih lanjut. Biar aku bisa tahu kalau dia juga mengkhawatirkan aku yang pergi tanpa izin darinya. Namun, aku lupa kata pepatah.
Ekspetasi terkadang tidak sesuai realita. Akhirnya hanya kecewa yang kupetik saat mendengar balasan Mas Zaid.
"Lain kali pergi minta izin. Zareen banyak pekerjaan di belakang."
Senyumku kecut melangkah ke arah dapur. Mas Zaid memang paling bisa soal memperingatiku di mana posisiku yang sebenarnya.
Bersambung
Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau. Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap! "Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali. Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja. Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah. Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya. Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid. Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dar
Selesai dengan urusan memasak, aku sedikit merenggangkan otot-otot. Ah, ini pinggang nyeri lagi. Sakitnya baru agak berkurang kalau sudah kuusap-usap. Apalagi kalau sampai bayangin Tuan Zaid yang mengusap di sana, pasti nyerinya jadi makin cepat hilang. Efek Tuan Zaid seajaib itu malah. Nalarku saja sampe dibuat buntu hanya untuk memecahkan misteri nyeri pinggang dengan membayangkan Tuan Zaid yang mengelus di sana. Korelasinya aneh memang. “Sudah, Nak Zareen. Astaga, Nak istirahat saja, ini juga masaknya udah kelar. Udah ya, Nak, ini biar saya saja yang kerjain.” Ketawa boleh tidak, sih? Lihat ekspresi memelas Mpok Yanti bikin gemes. Selalu kayak gini kalau beliau lihat aku ambil pekerjaan rumah yang sebenarnya sudah seharusnya aku kerjakan. Selain sebagai istri—diam-diam—tapi aku juga masih berstatus ART di rumah ini, sama posisinya dengan para pembantu Tuan Zaid. “Iya, Mpok, iya. Ini aku mau cuci tangan aja, kok,” kataku sambil terkekeh membasuh tangan di wastafel usai diberi sab
Senyumku tersungging melihat tatanan makanan di taperware. Potongan sosis, ikan, dan sayuran yang dibentuk membuat sebuah wajah yang sedang tersenyum. Sebelum senyum itu pudar seiring kenyataan menghantam. Mungkin ini akan jadi hari terakhir aku mengirimkan bekal makan siang untuk Pak Zaid, sebelum status pria itu akan berganti besok. Waktu memang tidak main-main kalau soal memberi luka. Namun, aku belum lupa kalau hanya waktu juga yang bisa menyembuhkan walau tidak seutuhnya ampuh. “Wah, enak sekali, loh, Reen masakannya. Yang ini, buat mpok aja, ya.” Mpok Yanti nyengir yang kubalas anggukan sambil tersenyum. Semoga masakanku seenak yang dibilang Mpok Yanti. Takut gitu ngecewain lidah suami. Eh, masih bisa, kan, aku sebut dia suami? Lagi-lagi napas terhela panjang. Capek juga ya, lama-lama kalau berdiri tegak seolah sedang baik-baik saja. “Ck, jangan drama deh, Reen! Udah, ah! Jangan nangis, awas aja kalo sampe ini air mata jatoh!” Aku mendumel mendongak menatap langit-langit d
Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain. Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangk
Selesai menyetrika dan melipat pakaian, aku memasukkan semua baju-baju itu ke lemari setelah tadi sempat merapikan kamar majikan—jangan lupa kalau aku masih marah dan panggilan itu layak untuk kami karena baru sore tadi dia ingatkan aku tentang status yang seolah melempar arang ke wajahku.Aku memang terlalu tidak tahu diri. Sukanya melampaui batas. Sekarang apa? Aku bahkan tidak sanggup menampakkan wajah di hadapan Pak Zaidan setelah dengan angkuh menantangnya. Untung aku tidak dipecat dan dicerai.“Aiiiis ....” Menggeleng kepala keras kucoba membuang semua ingatan sore tadi.Opsi terakhir yang mungkin akan dilakukan Pak Zaidan suatu saat nanti membuatku menghela napas. Bahu merosot ke bawah. Sepertinya aku memang melampaui batas. Namun, jujur api yang berkobar di dada belum juga padam meski sadar aku juga salah.“Seharusnya aku meminta maaf setulus-tulusnya, kenapa malah emosi? Emang enggak tahu diri kamu itu, Reen!” decakku sambil menghentakkan kaki sekali.Sebelum akhirnya aku d
Apa yang aku lakukan di sini?Pertanyaan yang mungkin sudah ribuan kali aku rengekan dalam kepala. Kalau tahu akan berakhir di sini, lebih baik tadi aku benar-benar lompat dari mobil. Zein benar-benar ... harus kuapakan anak satu itu?!“Kenapa sih, Mbak daritadi melotot mulu sama aku?” Pemuda bertampang tak berdosa itu malah berlagak korban.“Kenapa kita ke sini? Kamu bilang mo ke party, ini bukan party namanya! Kamu ngerjain mbak, ya! Nyebelin kamu, Zein!” Kuhajar lengannya menggunakan tas secara brutal biar saja dia memekik kesakitan atau kami jadi pusat perhatian.Tunggu, pusat perhatian? Gegas kualihkan pandangan, menyapu ke seluruh lobby. Haha, luar biasa sekali kamu, Zareen. Selamat, jadi tontonan gratis pengunjung hotel!Kepalaku langsung menunduk, tapi masih sempat juga pukul bahu Zein menggunakan tas. Biar saja dia meringis begitu, siapa suruh menjebakku.Aku pikir tadi dia mengajak ke acara kampus atau reunian sekolahnya atau apalah itu. Tidak sampai kepikiran anak rese sa
“Ya, anggap aja, Mbak Cinderella-nya.”Cinderella apaan, Zein? Lagian mana ada Cinderella yang dinikah siri, mana punya madu lagi.Tidak mau semakin malu, kuinjak kaki anak itu sambil melotot memberi isyarat agar dia diam. Dia cuman meringis merintih padaku yang sama sekali tidak kupedulikan. Walau nyatanya hati sakit penuh lebam, mata ini tetap beralih ke podium. Rasanya macam memakan buah simalakama. Meladeni Zein bikin sakit kepala, memilih menyimak acara malah menambah sakit hati.Napasku terhela pelan akhirnya. Mencoba tegar di tengah rapuhnya atma.Di depan sana, Mas Zaid tampak mengenggam satu tangan Andine. Wajah pria itu memang datar-datar saja, tapi segaris senyum tipis dan tatapan matanya yang tak berpaling sedikit pun dari wajah sang istri sudah cukup menggambarkan bahwa betapa laki-laki itu menganggumi istri sahnya itu.When you hold me in the streetAlunan musik mengiringi suara merdu yang nyaris membuatku menjatuhkan bening kristal. Gegas aku mendongak, mengepalkan ta
Sudah bolak-balik aku mengecek handphone, tapi tidak ada pesan atau telepon seperti yang kuharapkan. Paling tidak ada sebait kata maaf dari laki-laki yang membuat malam ini kelam. “Kenapa coba pake segala ngarepin dia telepon? Udah, deh, Reen sadar diri! Ini, kan, malam pengantin mereka.” Mengucapkan kalimat terakhir serasa aku ingin mengoyak lidahku sendiri. Tak sadar menyentak kaki, aku berbalik hendak meninggalkan jendela kamar berharap kali ini bisa tidur setelah hampir empat jam mencoba malah selalu berakhir gelisah. “Mas?!” Baru juga berhenti mengharapkannya, ini orang sudah berdiri di antara remangnya lampu. Dengan sok gagah bersedekap di depanku. “Nga–Ngapain di kamar saya, ya, Pak? Ini udah tengah malem, entar istri bapak nyariin.” Meski getir enggan menyebut status wanita lain yang kini sah untuk suami sendiri, tapi apa dayaku memang? Dalam diam dia mendekat perlahan. Duh, ini orang bikin bulu kudukku merinding, kan. “Ma–Mau apa sih, Pak?” Tanganku terulur malah t
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Di mana sih, map cokelat itu?!” Ruang kerja Pak Zaidan sudah kuacak-acak. Nyaris sejam aku memeriksa setiap berkas yang tertata di lemari, laci, hingga meja kerja pria itu. Namun, map cokelat yang kemarin dibawa oleh Dimas tidak berada di mana pun.“Huuu ....”Helaan napas panjang kukeluarkan begitu duduk di sofa. Sekali lagi, kuperhatikan setiap sudut ruangan. Benar-benar tidak ada celah, semuanya sudah kuperiksa bahkan dua kali ditelusuri. Namun, hasilnya nihil.“Sepertinya, pak Zaidan naruh map itu di tempat lain. Tapi, di mana? Masa iya, di kamarnya?” Memasuki kamar Pak Zaidan agak sulit. Semuanya jadi sulit begitu Andine menjadi istri pria itu. Tidak sembarang pembantu bisa masuk ke sana. Setelah Andine menjadi Nyonya rumah, hanya Mpok Yanti yang dipercakayan membersihkan kamar utama.Namun, apa iya map itu disimpan di kamar mereka?“Sebenarnya, ini ada apa sih? Kenapa mendadak penuh teka-teki begini?” Pening di kepala membuatku bersandar sembari memijat kening sesaat.Apa isi
Ketukan pintu membuatku terpaksa beranjak dari kasur meski kantuk benar-benae tidak bisa ditahan lagi. Begitu pintu terbuka, kantuk tadi mendadak meluap terganti amarah yang siap meledak.“Kenapa dikunci?” Tanpa menunggu jawaban, pria yang memakai piyama biru masuk begitu saja. Wajar dia heran karena biasanya aku tidak akan mengunci pintu kamar sebab kebiasaannya muncul di kamar saat aku masih terlelap.Tidak ada lagi percakapan, aku pun malas menanggapi. Usai mengunci pintu, aku kembali berbaring dengan posisi memunggunginya.“Kamu kenapa?”Sumpah demi apa pun! Aku harap, Bapak diam! Jangan sampai aku mengamuk di saat semua orang sedang tidur dan akhirnya menimbulkan keributan.Ingin kuteriaki kalimat itu di depan wajahnya. Namun, aku lebih memilih diam. Berharap dia pun diam dan aku tidak terpancing karena kalau sampai terjadi, sudah pasti perang mulut tidak terhindarkan. “Reen, saya lagi ngomong.”Mata kututup rapat-rapat, berharap kantuk menenggelamkan aku dalam tidur panjang hi
Foto USG di tangan kuusap pelan sebelum beralih ke perut. Kandungan yang memasuki bulan ke lima membuat perutku yang hanya menonjol sedikit kian membesar. Ada perasaan resah menghantui.Bagaimana kalau kehamilanku akhirnya diendus oleh keluarga Pak Zaid, atau bahkan oleh pria itu sendiri?Bagaimana reaksi Ibu Mareta? Bagaimana dengan Pak Zaid? Sudah pasti dua orang itu akan malu luar biasa. Keturunan Malik berada dalam kandungan seorang Pembantu, sosok perempuan miskin sebatang kara. Tidak ada yang bisa kubanggakan hanya untuk membela diri bahwa aku juga layak mempertahankan keturunan keluarga terhormat ini. “Memangnya kamu siapa, Reen? Cuman pembantu, gak berpindidikan. Ijazah terakhir juga cuman ijazah SMA. Upik abu!” Di depan cermin besar yang memperlihatkan bayangan diri dari ujung kepala hingga ujung kaki, aku merutuk diri.Biar sadar sesadar-sadarnya, emang harus didikte satu per satu dulu segala kurang dalam diri yang tidak akan pernah bisa disandingkan dengan segala kesempurna
Selesai Zuhur, tepatnya tepat di jam satu, Andine mengajakku ke mall. Ajakan yang saat ini sedang kusesali.“Maaf, Mbak, apa ini enggak kebanyakan, ya?" Tanganku sudah pegal rasanya menenteng tas belanjaan yang sudah penuh di kanan dan kiri.Sementara, wanita berjilbab putih dengan kardigan biru disertai baju dan celana kulot berwana putih, malah masih tampak semangat ke sana ke mari. Dari toko satu ke toko lainnya. Entah untuk mencari satu benda saja atau bahkan keluar tanpa membeli apa pun.Apa di kehamilannya yang sekarang, dia tidak merasakan lelah?Kakiku bahkan terasa pegal, beberapa kali rasanya aku ingin duduk sejenak. “Sabar ya, Reen. Dikit lagi, aku masih cari sepatu yang cocok.” Senyumnya memang meneduhkan, tapi tidak dengan tingkahnya untuk kali ini.Dengan riang dia memasuki toko sepatu yang lain lagi. Aku bahkan tidak mengerti dengan ucapannya barusan. Bagaimana dia bisa tahu kalau anaknya nanti cocok dengan sepatu yang dipilihnya atau tidak? Sementara, sang jabang bay
“Enggak, Mau, Zaid, maunya disuapin.”Rengekan manja menggelitik indra pendengaranku. “Hmm.”Sebenarnya aku tidak ada niatan untuk melirik, tapi mata ini entah kenapa sampai juga pada meja makan yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku yang sedang mengepel bagian dapur, harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Kalau tidak, siap-siap saja hati kian panas.Perempuan mana coba yang tidak panas hati melihat suami tengah suap-suapan dengan wanita lain? Ya, meski Andine juga istri Pak Zaidan, tapi kan ....Ah, sudahlah.“Zareen!” Mendengar nama dipanggil, aku sontak mendongak. “Sini!”Ayunan tangan Andine memanggilku mendekat. Terpaksa pel dan ember kutinggalkan sejenak.“Kenapa, Mbak? Perlu sesuatu?” tanyaku, berusaha sekuat mungkin menahan diri agar tidak melirik ke samping Andine duduk.“Gini, Reen. Nanti agak sorean, aku mau belanja keperluan bayi, kemungkinan belanjaanku enggak sedikit. Jadi aku butuh bantuan kamu. Bisa, kan?” Wanita berjilbab segitiga krem itu te
“Tidak! Terima kasih,” tolakku tanpa pikir dua kali. Pria Chinese dengan mata sipitnya hanya tersenyum. Tak lagi memaksa.“Yah, jadi aku ditolak lagi, nih. Okelah, Nona, kali ini mungkin kamu menolakku, tapi mungkin di lain waktu kamu sendiri yang akan datang padaku.” Senyumnya, percaya diri sekali.Aku balas tersenyum. “Semoga Anda enggak kecewa dengan harapan Anda sendiri, ya.”Si 'tukang katering' itu malah terbahak. Mengundang banyak pasang mata. Termasuk Zein yang akhirnya mendekat.“Sayang, enggak mau berdansa?” Mataku nyaris copot melotot pada Zein. Pemuda yang sudah mengulurkan tangan kanannya itu, melirik sekilas pada pria Chinese di depanku.“Oh, punya orang, toh. Haha, maaf, maaf.” Gilang terbahak sembari mengangkat kedua tangan ke udara. “Maaf, Bung, enggak bermaksud ganggu. Kenalkan, saya Gilang, Zhan Gilang!”Zein menerima uluran tangan Gilang setelah sempat mendengkus keras. Lagi-lagi Gilang tertawa, kemudian berucap untuk terakhir kali sebelum pergi menjauh. “Jaga g