Dwiki tersenyum kelu, seraya menatap Windraya. Sesaat kemudian, pria itu mengalihkan perhatian pada Ranum yang masih terbaring. “Saya sudah mengatakan pada Ranum tadi. Dia tidak perlu mengembalikan uang itu,” ucapnya.
“Kenapa begitu?” Windraya menautkan alis. “Uang tiga puluh juta tidak terlalu besar untukku. Pendapatan bersih per hari dari perusahaanku lebih dari itu.”
Dwiki kembali tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Saya menganggap uang itu sebagai hadiah perkenalan dengan Ranum,” ucapnya, menanggapi Windraya yang langsung mengalihkan perhatian pada sang istri.
Windraya tak pernah merasa cemburu. Namun, kali ini ada perasaan lain, mendengar ucapan Dwiki yang terdengar cukup dalam. Sebagai sesama pria, dia dapat menerka maksud pria itu.
“A-apa? Rumah sakit?” Ranum terkejut bukan main. “Apakah Pak Win sudah diberitahu?”“Sudah, Bu. Bapak langsung menuju rumah sakit,” jawab sang ART.Ranum tak menanggapi lagi. Dia berbalik kembali ke kamar, lalu menghubungi Windraya.“Apa Anda sudah di rumah sakit, Pak?” tanya Ranum, saat panggilan sudah tersambung.“Sudah. Aku menunggu dokter yang sedang memeriksa mama.”“Saya ke sana, ya.”“Tidak boleh,” larang Windraya. “Kamu sedang hamil. Aroma rumah sakit tidak baik untukmu. Tunggu saja di rumah. Nanti kukabari lagi.” Setelah berkata demi
Ranum terbelalak tak percaya, mendengar penuturan Windraya. Wanita yang tengah mengandung empat bulan itu menggeleng kencang, menolak ucapan Windraya. "Tidak mungkin, Pak. Saya lihat sendiri Irma mempersiapkan semua bahan yang baru diambil dari lemari bumbu. Dia juga membuat minuman herbal itu atas arahan saya. Selain itu ...." Ranum menjeda kata-katanya."Apa?" tanya Windraya, dengan tatapan penuh selidik."Saya memang keluar lebih dulu dari dapur. Namun, setahu saya dia juga pergi dari sana ...." Ranum kembali terdiam."Kenapa?" tanya Windraya lagi."Saya sempat kembali ke dapur untuk mengambil botol minum yang ketinggalan di sana. Panci yang digunakan untuk membuat minuman itu tidak ditutup. Jadi, saya putuskan langsung menyaring dan membawanya ke kamar Bu Nindira," jelas Ranum.Windraya terdiam sejenak. "Aku belum memeriksa kamera pengawas yang dipasang di dapur," ujarnya."Itu akan mempermudah penyelidikan Anda, Pak. Kamera pengawas tidak mungkin berbohong."Windraya mengangguk.
“Biar saya saja yang bersihkan, Bu,” ucap Marcell lagi.Ranum mengangguk. “Kenapa Mas Marcell ada di dapur?” tanyanya heran.“Kebetulan lewat, Bu. Saya dari kamar kecil,” jawab Marcell bohong, sambil membersihkan pecahan botol tadi.“Biar saya suruh orang untuk mengepel lantai. Terima kasih, Mas.” Ranum merasa tak enak. Dia yang tadinya ingin melakukan sesuatu di dapur, memilih berlalu dari sana.Sementara Marcell masih di dapur. Dia mengambil sendok kecil, lalu menurunkan tubuh. Pria itu mengambil cairan yang tercecer di lantai, kemudian mengamatinya. Marcell bahkan sempat mengendus aroma dari cairan tersebut. “Seperti madu,” gumamnya.Sesaat
“Tunggu aku di ruang kerja,” titah Windraya, kemudian menutup sambungan telepon. Dia melangkah gagah menuju tempat yang disebutkan tadi.“Mas,” panggil Mayla, tidak terlalu nyaring.Windraya tertegun, lalu menoleh. Dia menatap istri pertama, yang tengah berjalan menghampiri.“Kudengar, mama sudah pulang,” ucap Mayla basa-basi.Windraya mengangguk, tanpa memberikan jawaban.“Aku ingin melihat keadaannya. Tapi, mama pasti tidak mau bertemu denganku,” ujar Mayla lagi. Seperti biasa, dia memposisikan diri sebagai pihak teraniaya.“Sebaiknya jangan temui mama dulu. Kondisi kesehatannya sedang kurang baik,” sa
Segala perasaan indah yang Ranum katakan tadi tentang Windraya, seketika menguap ke angkasa. Meninggalkan rasa kecewa, atas apa yang disaksikan di dalam sana. Ranum menggerutu dalam hati, mengapa ruangan itu harus berdinding kaca sehingga dia dapat melihat adegan manis antara sang suami dengan istri sahnya. Ranum segera membalikkan badan. Dia tak ingin menjadi penonton, meskipun sadar akan posisinya. Ya. Ranum tak harus marah. Walaupun Windraya mengatakan tak pernah memiliki rasa cinta untuk Mayla, kenyataan mengatakan mereka telah hidup bersama selama dua tahun. Lagi pula, Mayla sangat cantik dan memiliki tubuh indah. Itu merupakan godaan berat bagi pria manapun. Termasuk Windraya.“Kamu tidak harus cemburu, Ranum. Setelah melahirkan anak untuk pria itu, pernikahan kalian akan berakhir. Seperti itulah peraturannya.” Bisik kecil di hati Ranum, mengingatkan wanita muda tersebut. Namun, Ranum tak bisa menerima. Dia terlanjur jatuh dan terbuai dalam pesona Windraya Sasmitha. Pria yang
“Pak ….”Windraya terus memeluk Ranum. Sesekali, dia mengecup pucuk kepala wanita muda itu penuh kasih.Tiba-tiba, segala keresahan yang menggelayuti sejak kemarin, sirna tak tersisa. Semua berganti rasa nyaman luar biasa. Windraya sangat menikmatinya. Dia memejamkan mata, meresapi getaran indah yang menjalar di seluruh tubuh.“Aku merindukanmu,” ucap Windraya pelan. “Aku sangat merindukanmu.” Dia sampai mengulangi kata itu hingga dua kali.“Pak, saya ….” Ranum tak tahu harus berkata apa. Lagi pula, Windraya tak memedulikan ucapannya. Pria itu terus memeluk, seakan tak ingin melepaskan walau sedetik pun.“Anda kenapa?” tanya Ranum hera
“Apa mungkin?” Ranum terdengar ragu. “Kenapa tidak?” Wanita muda itu menggeleng. “Saya tidak ingin selamanya jadi istri kedua. Rasanya tidak menyenangkan berbagi suami seperti ini.” Ranum terdiam beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Apakah Anda justru menikmati memiliki dua istri?” Windraya tak langsung menjawab. Dia tersenyum simpul, lalu meraba payudara sebelah kanan Ranum dan berpindah ke kiri. “Banyak yang berubah dari tubuhmu. Aku menyukainya,” ucap pria itu, seolah hendak mengalihkan topik pembicaraan. Namun, Ranum jelas tak suka. Dia tahu Windraya menghindari pembahasan tadi. Ranum menyingkirkan tangan sang suami dari dadanya. Wanita muda itu bermaksud keluar dari bathtub. “Mau ke mana?” cegah Windraya, seraya menahan tubuh polos Ranum agar tetap berendam air hangat bersamanya.“Saya ….”“Bukankah tadi sudah kukatakan? Aku ingin kamu tetap menemaniku.” “Bukankah tadi sudah saya jawab?” balas Ranum.Windraya mengembuskan napas berat, diiringi keluhan pendek. Dia tidak
“Ah, Ranum! Tunggu!” Mayla menyusul Ranum yang hampir masuk. “Aku ingin ikut ke dalam,” ujarnya, seraya melenggang tenang ke ruang periksa. Di dalam ruangan itu, sudah menunggu seorang dokter yang merupakan langganan Ranum selama ini. Setelah berbasa-basi sebentar, dia mempersilakan Ranum berbaring di ranjang periksa. “Kondisi bayi Anda baik dan sangat aktif,” jelas sang dokter, sambil memperhatikan layar monitor. Sementara itu, Mayla hanya terdiam. Sebagai seorang wanita, ada rasa sesal dan sakit teramat dalam menyaksikan pemeriksaan yang tengah dijalani Ranum. Pasalnya, dia tak akan pernah merasakan ada di posisi itu seumur hidup.“Bagaimana dengan jenis kelamin bayi itu, Dok?” tanya Mayla tak sabar. Ini merupakan berita besar, yang akan menentukan kelanjutan masa depannya. “Jenis kelamin ….” Sang dokter memperhatikan layar monitor dengan saksama. “Baiklah, Bu Ranum. Jenis kelamin bayi Anda adalah perempuan.”Seketika, detak jantung Ranum seperti berhenti berdetak. Dia menatap t