“Pak ….”Windraya terus memeluk Ranum. Sesekali, dia mengecup pucuk kepala wanita muda itu penuh kasih.Tiba-tiba, segala keresahan yang menggelayuti sejak kemarin, sirna tak tersisa. Semua berganti rasa nyaman luar biasa. Windraya sangat menikmatinya. Dia memejamkan mata, meresapi getaran indah yang menjalar di seluruh tubuh.“Aku merindukanmu,” ucap Windraya pelan. “Aku sangat merindukanmu.” Dia sampai mengulangi kata itu hingga dua kali.“Pak, saya ….” Ranum tak tahu harus berkata apa. Lagi pula, Windraya tak memedulikan ucapannya. Pria itu terus memeluk, seakan tak ingin melepaskan walau sedetik pun.“Anda kenapa?” tanya Ranum hera
“Apa mungkin?” Ranum terdengar ragu. “Kenapa tidak?” Wanita muda itu menggeleng. “Saya tidak ingin selamanya jadi istri kedua. Rasanya tidak menyenangkan berbagi suami seperti ini.” Ranum terdiam beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Apakah Anda justru menikmati memiliki dua istri?” Windraya tak langsung menjawab. Dia tersenyum simpul, lalu meraba payudara sebelah kanan Ranum dan berpindah ke kiri. “Banyak yang berubah dari tubuhmu. Aku menyukainya,” ucap pria itu, seolah hendak mengalihkan topik pembicaraan. Namun, Ranum jelas tak suka. Dia tahu Windraya menghindari pembahasan tadi. Ranum menyingkirkan tangan sang suami dari dadanya. Wanita muda itu bermaksud keluar dari bathtub. “Mau ke mana?” cegah Windraya, seraya menahan tubuh polos Ranum agar tetap berendam air hangat bersamanya.“Saya ….”“Bukankah tadi sudah kukatakan? Aku ingin kamu tetap menemaniku.” “Bukankah tadi sudah saya jawab?” balas Ranum.Windraya mengembuskan napas berat, diiringi keluhan pendek. Dia tidak
“Ah, Ranum! Tunggu!” Mayla menyusul Ranum yang hampir masuk. “Aku ingin ikut ke dalam,” ujarnya, seraya melenggang tenang ke ruang periksa. Di dalam ruangan itu, sudah menunggu seorang dokter yang merupakan langganan Ranum selama ini. Setelah berbasa-basi sebentar, dia mempersilakan Ranum berbaring di ranjang periksa. “Kondisi bayi Anda baik dan sangat aktif,” jelas sang dokter, sambil memperhatikan layar monitor. Sementara itu, Mayla hanya terdiam. Sebagai seorang wanita, ada rasa sesal dan sakit teramat dalam menyaksikan pemeriksaan yang tengah dijalani Ranum. Pasalnya, dia tak akan pernah merasakan ada di posisi itu seumur hidup.“Bagaimana dengan jenis kelamin bayi itu, Dok?” tanya Mayla tak sabar. Ini merupakan berita besar, yang akan menentukan kelanjutan masa depannya. “Jenis kelamin ….” Sang dokter memperhatikan layar monitor dengan saksama. “Baiklah, Bu Ranum. Jenis kelamin bayi Anda adalah perempuan.”Seketika, detak jantung Ranum seperti berhenti berdetak. Dia menatap t
“Tolong!" jerit Ranum histeris. Dia keluar kamar, memanggil siapa pun yang ada di rumah itu.Tak berselang lama, Mayla menghampiri dengan wajah tegang. “Ada apa? Kenapa kamu berteriak-teriak seperti itu?” tanyanya sinis.“Bu Nindira … beliau ….” Ranum menunjuk ke dalam kamar dengan wajah teramat panik.Mayla yang sudah mengetahui kondisi Nindira, berpura-pura ikut panik ketika masuk ke kamar. Dia berteriak memanggil pelayan. Mayla bersikap seolah-olah khawatir, atas kondisi sang ibu mertua.Beberapa saat kemudian, Nindira sudah dibawa ke rumah sakit. Dia juga telah mendapat pertolongan secara medis. Namun, wanita paruh baya itu belum sadarkan diri.&ldq
Windraya menatap Ranum, yang tertunduk. “Pulanglah. Kita bicarakan ini di rumah saja,” suruhnya pelan. Windraya belum bisa berpikir jernih untuk saat ini.“Aku sudah menyuruh Wawan menjemputmu kemari,” ucap Windraya lagi, kemudian duduk di kursi tunggu. Dengan setengah membungkukkan badan, pengusaha yang makin terlihat matang di usia menuju kepala empat tersebut menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.“Maafkan saya, Pak,” ucap Ranum penuh sesal, seraya duduk di sebelah Windraya yang tampak galau.“Kenapa harus meminta maaf?” Windraya menoleh sekilas.“Saya ….” Ranum tak melanjutkan kata-katanya. Dia memilih diam, dengan wajah tertunduk. Ranum tak bisa berbuat banyak untuk kehamilannya.&
Ranum terpaku mendengar ancaman yang dilayangkan Mayla. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian, wanita yang tengah mengandung tujuh bulan tersebut menyunggingkan senyum tipis. “Lakukan apa pun yang ingin Anda mau, Bu Mayla. Saya tidak peduli. Namun, jangan berharap saya mengakui kejahatan yang tidak pernah dilakukan. Apalagi terhadap Bu Nindira. Ini konyol.”Mendengar ucapan Ranum yang tak terpengaruh dengan ancaman tadi, membuat Mayla cukup terkejut. Wanita cantik itu menatap tajam, sambil terus memutar otak. Dia harus mencari cara lain, untuk menggertak istri kedua sang suami. Mayla tersenyum kecut. Namun, raut wajahnya telah kembali tenang dan menyiratkan sesuatu. “Baiklah, Ranum,” ucap Mayla kemudian. “Kamu tidak peduli pada adik yang berandalan itu? Tak masalah. Namun, coba kita lihat seberapa besar perhatianmu pada wanita ini.” Mayla memperlihatkan rekaman lain pada Ranum, yang membuat wanita muda itu kembali terpaku. “Ibu …,” ucap Ranum teramat lirih.“Wanita
“Apa maksud anda, Pak?” Ranum tak mengerti, atas apa yang Windraya katakan tadi.“Jangan berpura-pura tidak paham, Ranum,” balas Windraya penuh penekanan.“Saya memang tidak mengerti maksud anda —”“Kamu tidak perlu memahami apa pun. Cukup diriku yang begitu!” sergah Windraya, dengan nada bicara tak bersahabat.Ranum terdiam. Dia merasakan kemarahan luar biasa dalam setiap penekanan kata yang dilontarkan sang suami. Wanita itu mencoba memahami, dengan tetap bersikap setenang mungkin. Padahal, dalam dada ada gemuruh kencang yang sulit sekali dikendalikan.“Pak …,” ucap Ranum lirih, mencoba menenangkan Windraya dengan ke
“Bu ….” Ranum menatap sayu Ainur, yang tak terenyuh oleh kondisi putrinya. “Aku tidak akan meminta apa-apa. Aku hanya membutuhkan tempat untuk bernaung, sampai melahirkan bayi ini.”“Tidak bisa! Ibu tidak mau mendengar ocehan tetangga, yang pasti akan menggunjingkanmu. Ibu ingin hidup tenang!” tolak Ainur tegas. “Ibu bisa menerima segala hal yang Ridwan lakukan, meskipun salah. Namun, kenapa tak bersedia melakukan itu padaku?” protes Ranum tak mengerti. “Kalian berbeda!” tegas Ainur. “Apanya yang beda ….” Ranum tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Ridwan muncul lebih dulu di sana. Remaja yang tengah mengalami masa transisi itu berdiri sesaat, mendapati Ranum ada di rumahnya. “Mbak? Kenapa ada di sini?” Pertanyaan yang kurang pantas, dilontarkan Ridwan terhadap Ranum. “Mbak juga sedang hamil. Memangnya, Mbak Ranum sudah menikah?” Ranum yang sejak dulu ingin bicara langsung dengan sang adik, beranjak dari duduk. Dia menghampiri Ridwan yang masih berdiri dekat pintu. “Mbak jadi