“Tunggu aku di ruang kerja,” titah Windraya, kemudian menutup sambungan telepon. Dia melangkah gagah menuju tempat yang disebutkan tadi.
“Mas,” panggil Mayla, tidak terlalu nyaring.
Windraya tertegun, lalu menoleh. Dia menatap istri pertama, yang tengah berjalan menghampiri.
“Kudengar, mama sudah pulang,” ucap Mayla basa-basi.
Windraya mengangguk, tanpa memberikan jawaban.
“Aku ingin melihat keadaannya. Tapi, mama pasti tidak mau bertemu denganku,” ujar Mayla lagi. Seperti biasa, dia memposisikan diri sebagai pihak teraniaya.
“Sebaiknya jangan temui mama dulu. Kondisi kesehatannya sedang kurang baik,” sa
Segala perasaan indah yang Ranum katakan tadi tentang Windraya, seketika menguap ke angkasa. Meninggalkan rasa kecewa, atas apa yang disaksikan di dalam sana. Ranum menggerutu dalam hati, mengapa ruangan itu harus berdinding kaca sehingga dia dapat melihat adegan manis antara sang suami dengan istri sahnya. Ranum segera membalikkan badan. Dia tak ingin menjadi penonton, meskipun sadar akan posisinya. Ya. Ranum tak harus marah. Walaupun Windraya mengatakan tak pernah memiliki rasa cinta untuk Mayla, kenyataan mengatakan mereka telah hidup bersama selama dua tahun. Lagi pula, Mayla sangat cantik dan memiliki tubuh indah. Itu merupakan godaan berat bagi pria manapun. Termasuk Windraya.“Kamu tidak harus cemburu, Ranum. Setelah melahirkan anak untuk pria itu, pernikahan kalian akan berakhir. Seperti itulah peraturannya.” Bisik kecil di hati Ranum, mengingatkan wanita muda tersebut. Namun, Ranum tak bisa menerima. Dia terlanjur jatuh dan terbuai dalam pesona Windraya Sasmitha. Pria yang
“Pak ….”Windraya terus memeluk Ranum. Sesekali, dia mengecup pucuk kepala wanita muda itu penuh kasih.Tiba-tiba, segala keresahan yang menggelayuti sejak kemarin, sirna tak tersisa. Semua berganti rasa nyaman luar biasa. Windraya sangat menikmatinya. Dia memejamkan mata, meresapi getaran indah yang menjalar di seluruh tubuh.“Aku merindukanmu,” ucap Windraya pelan. “Aku sangat merindukanmu.” Dia sampai mengulangi kata itu hingga dua kali.“Pak, saya ….” Ranum tak tahu harus berkata apa. Lagi pula, Windraya tak memedulikan ucapannya. Pria itu terus memeluk, seakan tak ingin melepaskan walau sedetik pun.“Anda kenapa?” tanya Ranum hera
“Apa mungkin?” Ranum terdengar ragu. “Kenapa tidak?” Wanita muda itu menggeleng. “Saya tidak ingin selamanya jadi istri kedua. Rasanya tidak menyenangkan berbagi suami seperti ini.” Ranum terdiam beberapa saat, sebelum kembali bicara. “Apakah Anda justru menikmati memiliki dua istri?” Windraya tak langsung menjawab. Dia tersenyum simpul, lalu meraba payudara sebelah kanan Ranum dan berpindah ke kiri. “Banyak yang berubah dari tubuhmu. Aku menyukainya,” ucap pria itu, seolah hendak mengalihkan topik pembicaraan. Namun, Ranum jelas tak suka. Dia tahu Windraya menghindari pembahasan tadi. Ranum menyingkirkan tangan sang suami dari dadanya. Wanita muda itu bermaksud keluar dari bathtub. “Mau ke mana?” cegah Windraya, seraya menahan tubuh polos Ranum agar tetap berendam air hangat bersamanya.“Saya ….”“Bukankah tadi sudah kukatakan? Aku ingin kamu tetap menemaniku.” “Bukankah tadi sudah saya jawab?” balas Ranum.Windraya mengembuskan napas berat, diiringi keluhan pendek. Dia tidak
“Ah, Ranum! Tunggu!” Mayla menyusul Ranum yang hampir masuk. “Aku ingin ikut ke dalam,” ujarnya, seraya melenggang tenang ke ruang periksa. Di dalam ruangan itu, sudah menunggu seorang dokter yang merupakan langganan Ranum selama ini. Setelah berbasa-basi sebentar, dia mempersilakan Ranum berbaring di ranjang periksa. “Kondisi bayi Anda baik dan sangat aktif,” jelas sang dokter, sambil memperhatikan layar monitor. Sementara itu, Mayla hanya terdiam. Sebagai seorang wanita, ada rasa sesal dan sakit teramat dalam menyaksikan pemeriksaan yang tengah dijalani Ranum. Pasalnya, dia tak akan pernah merasakan ada di posisi itu seumur hidup.“Bagaimana dengan jenis kelamin bayi itu, Dok?” tanya Mayla tak sabar. Ini merupakan berita besar, yang akan menentukan kelanjutan masa depannya. “Jenis kelamin ….” Sang dokter memperhatikan layar monitor dengan saksama. “Baiklah, Bu Ranum. Jenis kelamin bayi Anda adalah perempuan.”Seketika, detak jantung Ranum seperti berhenti berdetak. Dia menatap t
“Tolong!" jerit Ranum histeris. Dia keluar kamar, memanggil siapa pun yang ada di rumah itu.Tak berselang lama, Mayla menghampiri dengan wajah tegang. “Ada apa? Kenapa kamu berteriak-teriak seperti itu?” tanyanya sinis.“Bu Nindira … beliau ….” Ranum menunjuk ke dalam kamar dengan wajah teramat panik.Mayla yang sudah mengetahui kondisi Nindira, berpura-pura ikut panik ketika masuk ke kamar. Dia berteriak memanggil pelayan. Mayla bersikap seolah-olah khawatir, atas kondisi sang ibu mertua.Beberapa saat kemudian, Nindira sudah dibawa ke rumah sakit. Dia juga telah mendapat pertolongan secara medis. Namun, wanita paruh baya itu belum sadarkan diri.&ldq
Windraya menatap Ranum, yang tertunduk. “Pulanglah. Kita bicarakan ini di rumah saja,” suruhnya pelan. Windraya belum bisa berpikir jernih untuk saat ini.“Aku sudah menyuruh Wawan menjemputmu kemari,” ucap Windraya lagi, kemudian duduk di kursi tunggu. Dengan setengah membungkukkan badan, pengusaha yang makin terlihat matang di usia menuju kepala empat tersebut menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.“Maafkan saya, Pak,” ucap Ranum penuh sesal, seraya duduk di sebelah Windraya yang tampak galau.“Kenapa harus meminta maaf?” Windraya menoleh sekilas.“Saya ….” Ranum tak melanjutkan kata-katanya. Dia memilih diam, dengan wajah tertunduk. Ranum tak bisa berbuat banyak untuk kehamilannya.&
Ranum terpaku mendengar ancaman yang dilayangkan Mayla. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian, wanita yang tengah mengandung tujuh bulan tersebut menyunggingkan senyum tipis. “Lakukan apa pun yang ingin Anda mau, Bu Mayla. Saya tidak peduli. Namun, jangan berharap saya mengakui kejahatan yang tidak pernah dilakukan. Apalagi terhadap Bu Nindira. Ini konyol.”Mendengar ucapan Ranum yang tak terpengaruh dengan ancaman tadi, membuat Mayla cukup terkejut. Wanita cantik itu menatap tajam, sambil terus memutar otak. Dia harus mencari cara lain, untuk menggertak istri kedua sang suami. Mayla tersenyum kecut. Namun, raut wajahnya telah kembali tenang dan menyiratkan sesuatu. “Baiklah, Ranum,” ucap Mayla kemudian. “Kamu tidak peduli pada adik yang berandalan itu? Tak masalah. Namun, coba kita lihat seberapa besar perhatianmu pada wanita ini.” Mayla memperlihatkan rekaman lain pada Ranum, yang membuat wanita muda itu kembali terpaku. “Ibu …,” ucap Ranum teramat lirih.“Wanita
“Apa maksud anda, Pak?” Ranum tak mengerti, atas apa yang Windraya katakan tadi.“Jangan berpura-pura tidak paham, Ranum,” balas Windraya penuh penekanan.“Saya memang tidak mengerti maksud anda —”“Kamu tidak perlu memahami apa pun. Cukup diriku yang begitu!” sergah Windraya, dengan nada bicara tak bersahabat.Ranum terdiam. Dia merasakan kemarahan luar biasa dalam setiap penekanan kata yang dilontarkan sang suami. Wanita itu mencoba memahami, dengan tetap bersikap setenang mungkin. Padahal, dalam dada ada gemuruh kencang yang sulit sekali dikendalikan.“Pak …,” ucap Ranum lirih, mencoba menenangkan Windraya dengan ke