“Anda yakin, Pak?” Ranum menatap ragu Windraya. “Buktinya pernikahan Anda dan Bu Mayla … Anda tidak sanggup menduakan dia. Itu yang saya dengar, saat memberikan penolakan di depan Bu Nindira.”
Windraya menggeleng pelan, lalu duduk di ujung tempat tidur dengan setengah mencondongkan tubuh ke depan. Dia menggosok-gosokkan telapak tangan, sebagai penghalau keresahan yang berusaha disembunyikan dari Ranum. “Aku harus meyakinkan mama,” ucapnya.
“Dari apa?” tanya Ranum, kian penasaran. Dia lupa akan pergi ke rumah Ainur. Selain itu, Windraya juga harus menghadiri pertemuan penting. Namun, perbincangan dengan sang suami membuatnya mengabaikan dua hal tadi. Bagi Ranum, ini merupakan kesempatan lebih mengenal sosok Windraya Sasmitha, yang dulu terlihat sangat misterius.
Hampir setengah jam lamanya, Mayla tak sadarkan diri. Namun, Windraya terus menemani, hingga wanita muda itu siuman.Akan tetapi, Mayla kembali menangis histeris, saat teringat akan sang ayah yang telah tiada.“Tenanglah.” Windraya berusaha menenangkan wanita muda itu. “Aku akan mengurus semuanya. Jangan khawatir.”“Aku tidak butuh uangmu! Aku hanya ingin papa kembali!” tolak Mayla histeris.“Aku harus bagaimana lagi?”Mayla terus menangis. Meratapi kepergian sang ayah yang begitu tiba-tiba.**********Pemakaman ayahanda Mayla telah sele
Sentuhan lembut di bibir Ranum, mengakhiri cerita yang dituturkan Windraya. Setelah itu, pria tampan tersebut berlalu ke kamarnya untuk bersiap-siap. Dia harus segera berangkat ke pertemuan penting dengan para kolega. Sepeninggal Windraya, Ranum termenung seorang diri di kamar. Dia memikirkan apa yang sudah sang suami ceritakan. “Apakah Pak Win memiliki perasaan lebih padaku, atau hanya sekadar nyaman?” Pertanyaan itu tentu saja tak mendapat jawaban. Seharusnya, Ranum mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya tadi, saat Windraya masih di sana. “Ah, biarlah,” ucap Ranum pelan, diiringi keluhan pendek. Dia memijat kepala yang terasa pusing. Sebenarnya, Ranum malas pergi ke manapun. Namun, dia harus bicara serius dengan Ainur. Wanita muda itu memaksakan diri berangkat. Akan tetapi, tak jadi bersama Windraya karena sang suami sedang terburu-buru. Bagi Ranum, itu jauh lebih baik. Demi menutupi fasilitas istimewa yang didapatnya dari pernikahan dengan Windraya, dia menyuruh sopir menur
“Ranum!” seru Windraya. Pria itu sigap merengkuh tubuh sang istri, lalu membopongnya ke dalam mobil. Tanpa memedulikan Dwiki yang kebingungan serta heran melihat sikapnya, Windraya langsung menyuruh Wawan meluncur ke rumah sakit ibu dan anak terdekat.Tak diduga, Dwiki pun turut melajukan sepeda motor, mengikuti mobil milik Windraya. Selama dalam perjalanan, Windraya terlihat begitu khawatir. Pasalnya, Ranum tak juga siuman.Untunglah karena jarak dari perumahan ke rumah sakit itu tidak terlalu jauh. Dalam waktu sekitar sepuluh menit saja, mereka telah tiba di tempat yang dituju. Setelah Wawan memarkirkan mobil, Windraya kembali membopong Ranum masuk. Dia langsung ditangani oleh beberapa perawat. Mereka membawanya ke ruang tindakan.Sementara itu, Windraya menunggu di luar. Berhubung terlalu khawatir, pengusaha tampan itu sampai menyadari kehadiran Dwiki di sana. Beberapa saat kemudian, pintu ruang tindakan terbuka. Dokter yang memeriksa Ranum muncul dari sana. Kehadirannya langsu
Dwiki tersenyum kelu, seraya menatap Windraya. Sesaat kemudian, pria itu mengalihkan perhatian pada Ranum yang masih terbaring. “Saya sudah mengatakan pada Ranum tadi. Dia tidak perlu mengembalikan uang itu,” ucapnya.“Kenapa begitu?” Windraya menautkan alis. “Uang tiga puluh juta tidak terlalu besar untukku. Pendapatan bersih per hari dari perusahaanku lebih dari itu.”Dwiki kembali tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Saya menganggap uang itu sebagai hadiah perkenalan dengan Ranum,” ucapnya, menanggapi Windraya yang langsung mengalihkan perhatian pada sang istri.Windraya tak pernah merasa cemburu. Namun, kali ini ada perasaan lain, mendengar ucapan Dwiki yang terdengar cukup dalam. Sebagai sesama pria, dia dapat menerka maksud pria itu.
“A-apa? Rumah sakit?” Ranum terkejut bukan main. “Apakah Pak Win sudah diberitahu?”“Sudah, Bu. Bapak langsung menuju rumah sakit,” jawab sang ART.Ranum tak menanggapi lagi. Dia berbalik kembali ke kamar, lalu menghubungi Windraya.“Apa Anda sudah di rumah sakit, Pak?” tanya Ranum, saat panggilan sudah tersambung.“Sudah. Aku menunggu dokter yang sedang memeriksa mama.”“Saya ke sana, ya.”“Tidak boleh,” larang Windraya. “Kamu sedang hamil. Aroma rumah sakit tidak baik untukmu. Tunggu saja di rumah. Nanti kukabari lagi.” Setelah berkata demi
Ranum terbelalak tak percaya, mendengar penuturan Windraya. Wanita yang tengah mengandung empat bulan itu menggeleng kencang, menolak ucapan Windraya. "Tidak mungkin, Pak. Saya lihat sendiri Irma mempersiapkan semua bahan yang baru diambil dari lemari bumbu. Dia juga membuat minuman herbal itu atas arahan saya. Selain itu ...." Ranum menjeda kata-katanya."Apa?" tanya Windraya, dengan tatapan penuh selidik."Saya memang keluar lebih dulu dari dapur. Namun, setahu saya dia juga pergi dari sana ...." Ranum kembali terdiam."Kenapa?" tanya Windraya lagi."Saya sempat kembali ke dapur untuk mengambil botol minum yang ketinggalan di sana. Panci yang digunakan untuk membuat minuman itu tidak ditutup. Jadi, saya putuskan langsung menyaring dan membawanya ke kamar Bu Nindira," jelas Ranum.Windraya terdiam sejenak. "Aku belum memeriksa kamera pengawas yang dipasang di dapur," ujarnya."Itu akan mempermudah penyelidikan Anda, Pak. Kamera pengawas tidak mungkin berbohong."Windraya mengangguk.
“Biar saya saja yang bersihkan, Bu,” ucap Marcell lagi.Ranum mengangguk. “Kenapa Mas Marcell ada di dapur?” tanyanya heran.“Kebetulan lewat, Bu. Saya dari kamar kecil,” jawab Marcell bohong, sambil membersihkan pecahan botol tadi.“Biar saya suruh orang untuk mengepel lantai. Terima kasih, Mas.” Ranum merasa tak enak. Dia yang tadinya ingin melakukan sesuatu di dapur, memilih berlalu dari sana.Sementara Marcell masih di dapur. Dia mengambil sendok kecil, lalu menurunkan tubuh. Pria itu mengambil cairan yang tercecer di lantai, kemudian mengamatinya. Marcell bahkan sempat mengendus aroma dari cairan tersebut. “Seperti madu,” gumamnya.Sesaat
“Tunggu aku di ruang kerja,” titah Windraya, kemudian menutup sambungan telepon. Dia melangkah gagah menuju tempat yang disebutkan tadi.“Mas,” panggil Mayla, tidak terlalu nyaring.Windraya tertegun, lalu menoleh. Dia menatap istri pertama, yang tengah berjalan menghampiri.“Kudengar, mama sudah pulang,” ucap Mayla basa-basi.Windraya mengangguk, tanpa memberikan jawaban.“Aku ingin melihat keadaannya. Tapi, mama pasti tidak mau bertemu denganku,” ujar Mayla lagi. Seperti biasa, dia memposisikan diri sebagai pihak teraniaya.“Sebaiknya jangan temui mama dulu. Kondisi kesehatannya sedang kurang baik,” sa
Ranum terlihat ragu. Dia masih ingat betul seperti apa sikap Ainur, saat terakhir kali mereka bertemu. Terlebih, setelah wanita paruh baya itu membeberkan jati diri Ranum yang sebenarnya. “Kenapa? Ibumu pasti tak akan berpikir macam-macam lagi. Dia sudah mengetahui siapa suamimu. Aku pernah berbicara secara langsung dengannya,” ujar Windraya tenang. “Saya tidak yakin. Ini bukan hanya tentang status sebagai istri, tetapi juga sebagai anak,” ujar Ranum pelan, seraya menundukkan wajah. Melihat bahasa tubuh sang istri yang dirasa aneh, membuat Windraya menautkan alis. “Ada apa?” tanyanya lembut. Bukannya menjawab, Ranum justru terisak pelan. “Kenapa?” tanya pengusaha itu lagi kian penasaran. “Beliau bukan ibu kandung saya, Pak,” jawab Ranum lirih.“Apa?” Windraya menatap tak percaya.Ranum mengangguk. Tak lama, dia menceritakan semua yang Ainur katakan dulu secara terperinci. Membuat Windraya ternganga tak percaya. “Ibu saya seorang pelacur, Pak. Itulah kenyataannya,” ucap Ranum di
Ranum menatap sang suami. “Terserah Anda,” ucapnya sambil berbalik, kemudian melanjutkan langkah. “Tunggu, Ranum!” cegah Windraya. Ranum kembali tertegun. Namun, kali ini tak menoleh, meskipun mendengar langkah Windraya yang mendekat padanya. “Ayolah. Kumohon,” bisik Windraya, seraya menyentuh lembut lengan sang istri. “Saya sudah menjawab tadi,” ucap Ranum dingin. “Bukan itu maksudku,” bantah Windraya, seraya berpindah ke hadapan Ranum. Dia mengambil Elok, lalu menggendong sang putri yang ternyata sudah bangun. Windraya mengecup bayi itu penuh kasih. “Aku harus bagaimana lagi?” tanyanya.Ranum tidak menjawab. Dia justru memalingkan wajah. “Sayang,” ucap Windraya lagi, dengan raut setengah memohon. “Aku sudah menceraikan Mayla, yang dinikahi secara sah. Aku masih mempertahankanmu hingga saat ini karena berharap bisa memiliki ikatan yang lebih baik dan kuat.” “Semudah itu?” Ranum yang dalam beberapa waktu terakhir puasa bicara terhadap Windraya, kali ini bersedia menanggapi ucap
Hari berganti. Namun, sikap Ranum tak juga berubah. Dia masih irit bicara terhadap Windraya. Padahal, sikapnya di hadapan orang lain terlihat biasa.Windraya sendiri akhirnya terbiasa dengan hal itu. Namun, dia tak membiarkan Ranum begitu saja. Windraya tetap mengajaknya berbincang, meskipun seperti tengah berbicara dengan tembok.Walaupun begitu, Windraya tak peduli. Pengusaha tampan tersebut bahkan kerap bercerita tentang masa kecil, remaja, hingga segala hal yang sebelumnya tidak Ranum ketahui. “Aku tahu itu gila. Tapi, teman-temanku jauh lebih gila. Jika ingat mereka, rasanya ingin kembali ke masa di mana tak ada hal lain yang kupikirkan selain pelajaran sekolah,” tutur Windraya, sambil duduk bersandar. Dia menoleh beberapa saat pada sang istri, yang berbaring dalam posisi menyamping dan tentu saja membelakanginya.“Banyak hal yang sudah berubah,” ucap Windraya lagi, seraya mengalihkan perhatian ke arah lain. “Jangankan dari masa sekolah. Dalam tahun ini saja, banyak hal terjadi
Windraya menatap Ranum dengan sorot tak suka. Namun, dia memilih tak banyak bicara. Pria itu mengalihkan perhatian pada Marcell. Sang ajudan berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Pengusaha tampan yang kini menyandang status ayah tersebut mengembuskan napas pelan. Dia tersenyum kecil, saat dua orang pelayan datang membawa serta menyajikan makanan yang telah dipesan. “Makan dulu,” ucap Windraya entah ditujukan pada siapa. Ranum yang tengah asyik berbincang dengan Annchi, tak menanggapi. Dia terus berbicara pada gadis kecil itu. Sesekali, suara Bastian terdengar menimpali. Mendengar suara pengusaha yang telah menampung Ranum selama pelariannya, membuat darah dalam tubuh Windraya berdesir lebih kencang dari biasanya. Degub jantung pun jadi tak beraturan. Jika tak sedang menggendong Elok, Windraya mungkin akan langsung merebut telepon genggam yang tengah digunakan video call oleh sang istri. Namun, dalam situasi seperti saat ini, Windraya tak bisa berbuat apa-apa. Dia harus pa
Sontak, ketiga pria di ruang tamu langsung menoleh ke sumber suara. Sosok Ranum muncul sambil menggendong Elok. Dia datang ditemani Celia. Ibu muda itu memandang Windraya, dengan tatapan tak dapat diartikan."Ranum?" Windraya menatap tak percaya. Sebenarnya, dia ingin langsung menghambur dan memeluk wanita itu. Namun, Windraya berusaha menahan diri.Ranum melangkah tenang ke dekat Bastian. "Maafkan saya, Pak. Padahal, saya sudah mengatakan akan bekerja di sini sebagai tanda terima kasih. Namun, saya justru ...." Ranum tak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa tak enak yang menyelimuti hati wanita muda itu."Tidak usah dipikirkan, Mbak. Saya memberikan bantuan tanpa mengharap imbalan apa pun. Saya senang karena Mbak Ranum dan Elok sehat," balas Bastian tulus."Bagaimanapun juga, Mbak Ranum harus kembali kepada suami. Apalagi, Elok sudah terlahir ke dunia. Dia membutuhkan sosok orang tua, yang nantinya akan membimbing dan memberikan segala yang terbaik," ujar Celia menimpali."Terima kasih,
“Apa maksudmu berpisah?” Tatapan Windraya menyiratkan rasa tak mengerti. Dia juga tak suka mendengar ucapan Ranum. “Meskipun pernikahan kita tidak diakui secara hukum negara, tetapi Anda tetap harus menceraikan saya —”“Tidak!” tolak Windraya tegas. “Aku tidak akan pernah melakukan itu!”“Saya ingin berpisah, Pak,” desak Ranum tak kalah tegas. Menghadapi sang istri yang keras kepala, membuat Windraya kembali kehilangan kesabaran. Dia meraih lengan sebelah kanan Ranum, mencengkramnya cukup erat. “Sudah kukatan agar jangan bermain-main denganku, Ranum. Kamu tidak akan menyukainya!”“Saya tidak peduli lagi, Pak,” balas Ranum. “Lebih baik Anda pergi dari sini sekarang juga,” usirnya penuh penekanan.“Tidak tanpamu dan Elok,” tolak Windraya tegas.“Tapi, saya tidak bersedia. Saya akan tetap berada di sini.” “Jangan keras kepala, Ranum. Jangan sampai aku memaksamu —”“Itulah yang biasa Keluarga Sasmitha lakukan. Memaksakan kehendak mereka pada orang lain,” sela Ranum. Dia melepaskan ceng
“Apa maksudmu” Windraya menatap aneh sang istri, yang makin menjaga jarak darinya. “Elok adalah putriku juga. Dia tidak akan ada jika bukan karena —”“Seperti yang Anda dengar tadi, Pak,” sela Ranum cukup tegas, meskipun suaranya tidak terlalu nyaring. “Semua sudah tertera dalam dokumen kelahiran Elok. Dia hanya putri saya. Elok tidak memiliki ayah —”“Ranum!” sergah Windraya, tak kuasa menahan amarah. Ekspresi serta tatapannya teramat tajam, menandakan kemarahan yang tak sepenuhnya terlampiaskan. Dia hanya bisa mengepalkan tangan di samping tubuh. “Kendalikan diri Anda, Pak Windraya,” tegur Celia. “Posisi Anda saat ini tidak menguntungkan, meskipun berhak atas diri Elok.”Windraya mengembuskan napas berat, demi menanggulangi perasaan yang bergejolak dan hampir tak terbendung. Namun, pria itu sadar. Apa yang Celia katakan benar adanya. “Saya ingin bicara berdua dengan Ranum?” Windraya menoleh sekilas pada Celia. “Apa Anda bisa menjamin tidak akan —”“Jangan khawatir. Saya suaminya.
Ranum dan Titin saling pandang, seakan bertanya siapa yang Bastian tugaskan untuk menunjukkan arah toilet khusus tamu. Namun, berhubung tangan Titin dipenuhi busa sabun, artinya Ranum lah yang harus mengambil tugas itu. Ranum mengangguk sopan. “Mari, Pak,” ajaknya, seraya mengarahkan Windraya agar mengikuti. “Permisi, Pak Bas,” ucap Windraya, sebelum mengikuti langkah Ranum menuju salah satu koridor tak jauh dari dapur. Windraya berjalan gagah penuh wibawa. Tatapan pria itu tertuju lurus pada wanita di depannya. Windraya masih bingung. Tak tahu harus mengatakan apa pada sang istri. Akhirnya dia meraih pergelangan Ranum, lalu menarik wanita itu hingga berbalik. Windraya bergerak cepat menyandarkan Ranum ke dinding. “Sejauh inikah kamu melarikan diri?” Tatapan sang pemilik Win’s Aerospace System itu teramat tajam. Menghujam langsung ke jantung Ranum. “Kenapa bersikap begini?” “Toilet ada di ujung koridor, Pak,” ucap Ranum. Dia tak menanggapi apa yang Windraya katakan tadi. “Aku ti
Suara roda troli berderit makin mendekat ke meja makan. Arahnya berasal dari bagian belakang Windraya dan Marcell, yang duduk bersebelahan. “Makanan penutup sudah datang,” ucap Bastian, saat suara troli berhenti di dekatnya. Windraya dan Marcell langsung mengarahkan perhatian secara bersamaan. Seketika, keduanya diam terpaku menatap wanita yang tengah menyediakan makanan untuk Bastian. “Terima kasih, Mbak,” ucap Bastian lagi. Wanita yang tak lain adalah Ranum, mengangguk sopan. Dia tersenyum, lalu berpindah ke dekat Windraya yang terus menatapnya. Namun, Ranum tak peduli. Dia menyajikan makanan tanpa menoleh sedikit pun. Begitu pula saat menyajikan makanan untuk Marcell. Setelah itu, Ranum kembali ke dekat troli yang berada tak jauh dari Bastian. “Permisi, Pak,” ucapnya pelan, seraya kembali mengangguk sopan. Dia berbalik mendorong troli itu keluar dari ruang makan. Ranum menguatkan diri melangkah sambil mendorong troli. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata agar tidak men