Pagi-pagi sekali, Ranum sudah bangun. Sebelum Windraya membuka mata, dia bergegas pergi ke dapur. Wanita muda itu mengembuskan napas lega karena susu di meja sudah tidak ada. Dia yakin pasti pelayan telah membuangnya.
Tenang. Ranum membalikkan badan. Dia sempat terkejut, saat di belakangnya sudah berdiri seseorang yang tak lain adalah Kinasih. “Asih.” Ranum mengelus dada perlahan.
“Ada yang bisa dibantu?” tanya Kinasih. Dia agak canggung, saat berhadapan dengan Ranum. Mungkin karena dulu mereka teman sesama pekerja di rumah itu. Namun, kini Ranum sudah menjadi istri Windraya, meskipun hanya sebagai yang kedua.
“Ah, tidak.” Ranum menggeleng, disertai senyum hangat. Dia menyentuh lengan Kinasih, sebelum berlalu dari hadapan wanita yang memiliki usia sama dengannya.
“Anda yakin, Pak?” Ranum menatap ragu Windraya. “Buktinya pernikahan Anda dan Bu Mayla … Anda tidak sanggup menduakan dia. Itu yang saya dengar, saat memberikan penolakan di depan Bu Nindira.”Windraya menggeleng pelan, lalu duduk di ujung tempat tidur dengan setengah mencondongkan tubuh ke depan. Dia menggosok-gosokkan telapak tangan, sebagai penghalau keresahan yang berusaha disembunyikan dari Ranum. “Aku harus meyakinkan mama,” ucapnya.“Dari apa?” tanya Ranum, kian penasaran. Dia lupa akan pergi ke rumah Ainur. Selain itu, Windraya juga harus menghadiri pertemuan penting. Namun, perbincangan dengan sang suami membuatnya mengabaikan dua hal tadi. Bagi Ranum, ini merupakan kesempatan lebih mengenal sosok Windraya Sasmitha, yang dulu terlihat sangat misterius.
Hampir setengah jam lamanya, Mayla tak sadarkan diri. Namun, Windraya terus menemani, hingga wanita muda itu siuman.Akan tetapi, Mayla kembali menangis histeris, saat teringat akan sang ayah yang telah tiada.“Tenanglah.” Windraya berusaha menenangkan wanita muda itu. “Aku akan mengurus semuanya. Jangan khawatir.”“Aku tidak butuh uangmu! Aku hanya ingin papa kembali!” tolak Mayla histeris.“Aku harus bagaimana lagi?”Mayla terus menangis. Meratapi kepergian sang ayah yang begitu tiba-tiba.**********Pemakaman ayahanda Mayla telah sele
Sentuhan lembut di bibir Ranum, mengakhiri cerita yang dituturkan Windraya. Setelah itu, pria tampan tersebut berlalu ke kamarnya untuk bersiap-siap. Dia harus segera berangkat ke pertemuan penting dengan para kolega. Sepeninggal Windraya, Ranum termenung seorang diri di kamar. Dia memikirkan apa yang sudah sang suami ceritakan. “Apakah Pak Win memiliki perasaan lebih padaku, atau hanya sekadar nyaman?” Pertanyaan itu tentu saja tak mendapat jawaban. Seharusnya, Ranum mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya tadi, saat Windraya masih di sana. “Ah, biarlah,” ucap Ranum pelan, diiringi keluhan pendek. Dia memijat kepala yang terasa pusing. Sebenarnya, Ranum malas pergi ke manapun. Namun, dia harus bicara serius dengan Ainur. Wanita muda itu memaksakan diri berangkat. Akan tetapi, tak jadi bersama Windraya karena sang suami sedang terburu-buru. Bagi Ranum, itu jauh lebih baik. Demi menutupi fasilitas istimewa yang didapatnya dari pernikahan dengan Windraya, dia menyuruh sopir menur
“Ranum!” seru Windraya. Pria itu sigap merengkuh tubuh sang istri, lalu membopongnya ke dalam mobil. Tanpa memedulikan Dwiki yang kebingungan serta heran melihat sikapnya, Windraya langsung menyuruh Wawan meluncur ke rumah sakit ibu dan anak terdekat.Tak diduga, Dwiki pun turut melajukan sepeda motor, mengikuti mobil milik Windraya. Selama dalam perjalanan, Windraya terlihat begitu khawatir. Pasalnya, Ranum tak juga siuman.Untunglah karena jarak dari perumahan ke rumah sakit itu tidak terlalu jauh. Dalam waktu sekitar sepuluh menit saja, mereka telah tiba di tempat yang dituju. Setelah Wawan memarkirkan mobil, Windraya kembali membopong Ranum masuk. Dia langsung ditangani oleh beberapa perawat. Mereka membawanya ke ruang tindakan.Sementara itu, Windraya menunggu di luar. Berhubung terlalu khawatir, pengusaha tampan itu sampai menyadari kehadiran Dwiki di sana. Beberapa saat kemudian, pintu ruang tindakan terbuka. Dokter yang memeriksa Ranum muncul dari sana. Kehadirannya langsu
Dwiki tersenyum kelu, seraya menatap Windraya. Sesaat kemudian, pria itu mengalihkan perhatian pada Ranum yang masih terbaring. “Saya sudah mengatakan pada Ranum tadi. Dia tidak perlu mengembalikan uang itu,” ucapnya.“Kenapa begitu?” Windraya menautkan alis. “Uang tiga puluh juta tidak terlalu besar untukku. Pendapatan bersih per hari dari perusahaanku lebih dari itu.”Dwiki kembali tersenyum, lalu menggeleng pelan. “Saya menganggap uang itu sebagai hadiah perkenalan dengan Ranum,” ucapnya, menanggapi Windraya yang langsung mengalihkan perhatian pada sang istri.Windraya tak pernah merasa cemburu. Namun, kali ini ada perasaan lain, mendengar ucapan Dwiki yang terdengar cukup dalam. Sebagai sesama pria, dia dapat menerka maksud pria itu.
“A-apa? Rumah sakit?” Ranum terkejut bukan main. “Apakah Pak Win sudah diberitahu?”“Sudah, Bu. Bapak langsung menuju rumah sakit,” jawab sang ART.Ranum tak menanggapi lagi. Dia berbalik kembali ke kamar, lalu menghubungi Windraya.“Apa Anda sudah di rumah sakit, Pak?” tanya Ranum, saat panggilan sudah tersambung.“Sudah. Aku menunggu dokter yang sedang memeriksa mama.”“Saya ke sana, ya.”“Tidak boleh,” larang Windraya. “Kamu sedang hamil. Aroma rumah sakit tidak baik untukmu. Tunggu saja di rumah. Nanti kukabari lagi.” Setelah berkata demi
Ranum terbelalak tak percaya, mendengar penuturan Windraya. Wanita yang tengah mengandung empat bulan itu menggeleng kencang, menolak ucapan Windraya. "Tidak mungkin, Pak. Saya lihat sendiri Irma mempersiapkan semua bahan yang baru diambil dari lemari bumbu. Dia juga membuat minuman herbal itu atas arahan saya. Selain itu ...." Ranum menjeda kata-katanya."Apa?" tanya Windraya, dengan tatapan penuh selidik."Saya memang keluar lebih dulu dari dapur. Namun, setahu saya dia juga pergi dari sana ...." Ranum kembali terdiam."Kenapa?" tanya Windraya lagi."Saya sempat kembali ke dapur untuk mengambil botol minum yang ketinggalan di sana. Panci yang digunakan untuk membuat minuman itu tidak ditutup. Jadi, saya putuskan langsung menyaring dan membawanya ke kamar Bu Nindira," jelas Ranum.Windraya terdiam sejenak. "Aku belum memeriksa kamera pengawas yang dipasang di dapur," ujarnya."Itu akan mempermudah penyelidikan Anda, Pak. Kamera pengawas tidak mungkin berbohong."Windraya mengangguk.
“Biar saya saja yang bersihkan, Bu,” ucap Marcell lagi.Ranum mengangguk. “Kenapa Mas Marcell ada di dapur?” tanyanya heran.“Kebetulan lewat, Bu. Saya dari kamar kecil,” jawab Marcell bohong, sambil membersihkan pecahan botol tadi.“Biar saya suruh orang untuk mengepel lantai. Terima kasih, Mas.” Ranum merasa tak enak. Dia yang tadinya ingin melakukan sesuatu di dapur, memilih berlalu dari sana.Sementara Marcell masih di dapur. Dia mengambil sendok kecil, lalu menurunkan tubuh. Pria itu mengambil cairan yang tercecer di lantai, kemudian mengamatinya. Marcell bahkan sempat mengendus aroma dari cairan tersebut. “Seperti madu,” gumamnya.Sesaat