Suara gemercik air hujan membuat suasana haru menyelimuti hati Naura yang sedang memandangi ayahnya. Ya, semenjak pulang dari kantornya, Naura menyempatkan diri untuk datang menemui Toni. Namun, sayangnya dia sama sekali tak berani menunjukkan batang hidungnya. "Apa aku harus memberitahu Papah kalau Adelia menghubungiku?" batin Naura. Sebenarnya Naura masih kesal pada kakaknya itu, tapi saat dai bertanya soal Liona hati Naura pun mulai menerka-nerka tentang hubungan Adelia dan Liona. Drttt .... "Astaga, mengagetkan saja!" kesal Naura saat ponselnya bergetar. "Mas Arkan ... halo, Mas!" "Kamu di mana?" "Aku lagi di depan toko." "Hah, memangnya kamu habis beli apa?" Naura melipat bibirnya, bagaimana pun juga dia tak boleh membohongi suaminya itu. "Eee ... Toko Bangunan Papah." "Benarkah. kenapa kamu enggak bilang. Kan aku bisa ikut ke sana!" "Maaf." "Tunggu di sana, aku berangkat sekarang." "Enggak usah, Mas gak perlu ke si-" Belum selesai Naura berucap Arkan sudah mengakhiri
Naura mengetuk sepatunya ke meja yang ada di depannya. Sudah dua jam lebih dia menunggu kedatangan Dosen pembimbing. "Naura." Mendengar namanya di panggil Naura pun menoleh kesumber suara. "Devan, kamu mau ambil surat juga?" "Iya. Kamu sendiri ajaa, Lala ke mana?" "Lala lagi sibuk kerja jadi aku yang mewakili," jelasnya. Devan hanya mengangguk. "Oh ya, maaf waktu itu aku enggak bisa datang untuk makan siang bersama. Padahal aku yang mengajak kalian, tapi aku sendiri yang enggak datang." "Enggak apa-apa. Memangnya kamu kerja di mana?" "Gedung C. Aku kerja di perusahaan ayahku." "Benarkah, keren dong." "Biasa aja," ucapnya. Seketika suasana pun menjadi canggung. Naura bingung mencari topik pembicaraan begitu pun Devan yang diam seolah sedang menunggunya bicara. "Setelah kuliah kita selesai, kamu mau kerja atau menjadi ibu rumah tangga?" "Hah?" Sontak Naura menoleh ke arah Devan yang berada di sampingnya. "Ak-aku jelas mau kerja dulu. Aku ingin mewujudkan mimpiku sebagai sekr
Alunan musik yang berganti dengan cepat mengiringi perjalanan Naura dan Arkan kembali ke rumah. Arkan sebenarnya kesal karena lagu favoritnya terus di ganti oleh Naura."Kamu kenapa sih dari tadi ganti lagu terus?" tanya Arkan."Lagi nyari lagu sedih," jawab Naura dengan nada ketus.Arkan melirik ke arah Naura sebentar kemudian kembali fokus dengan kemudinya. "Kamu sedih kenapa?""Pakai nanya lagi.""Ya jelas aku tanya karena aku enggak tahu kamu sedih karena apa!" Arkan mulai terpancing emosi karena Naura yang terus berputar-putar."Karena Mas ketemu sama Liona.""Ya ampun, hanya karena itu kamu sedih. Dengar Sayang, aku sama Liona itu enggak ada hubungan. Lagi pula kita ini rekan bisnis pasti sering ketemu. Lagi pula suruh siapa kamu enggak angkat teleponku.""Apa hubungannya sih?""Jelas ada hubungannya karena aku ingin ngasih tahu kami kalau Liona akan datang ke kantor."Seketika Naura diam membisu tak berani lagi memancing emosi Arkan. "Ini kita langsung ke rumah Mamah kan?""Pin
Tubuh Naura mematung saat melihat Liona menatapnya dengan senyuman. Sejak kapan dia berbincang dengan Sinta?Mataku melihat ke sekeliling memastikan keberadaan Arkan. "Liona, kapan kamu datang?""Belum lama, senang bisa ketemu kamu di sini," ucapnya bersemangat.Namun, entah mengapa di balik senyumnya Naura merasa jika wanita itu sedang mencari perhatian mertuanya. "Ih, Mamah senang deh liat mantan istri dan istri Arkan akur begini. Jadi enggak ada cemburu-cemburuan," ungkapnya.Jelas cemburu, hanya saja Naura menunjukkan hal itu jika Liona kepergok berdua saja dengan Arkan."Hubungan aku dan Naura baik kok Mah. Makanya aku juga datang ke sini ingin memperbaiki semuanya," jelasnya."Maksud kamu?" tanya Sinta."Eee, maksudnya hubungan aku dan Mamah serta Papah kembali seperti dulu seperti saat aku masih menjadi menantu kalian meski sekarang sudah berpisah."Naura memalingkan wajahnya, entah mengapa dia merasa jijik mendengar niatan Liona untuk kembali dekat dengan keluarga mantan suam
Brak!Dengan sengaja Naura melempar pintu lemari dengan kesal. Hal itu rupanya membuat Arkan bangun dari tidurnya."Pelan-pelan dong!" ucapnya lalu berbalik menarik selimutnya.Tangan Naura terkepal lalu menarik baju Arkan hingga dia terduduk. "Apa yang Mas lakukan sama Liona? Tega kamu Mas, berduaan sama dia sementara aku di tinggalkan di jalan begitu saja!""Apa sih, kamu ngomong apa aku enggak ngerti?!""Semalam Mas jalan sama Liona, pelukan, ciuman dan ninggalin aku gitu aja. Bahkan Mas bilang ingin menceraikan aku."Arkan mengerutkan dahinya. "Semalam kita kan pulang duluan dari rumah Mamah. Lagi pula gimana aku bisa pergi sama Liona bicara aja enggak?""DI MIMPIKU!""Ap-apa ... tunggu, jadi kamu marah seperti ini karena mimpi, konyol sekali?!"Pletak!Arkan menyentil dahi Naura dengan kasar hingga dia mengaduh kesakitan. "Bangun, jangan mimpi terus!""Sakit Mas."Arkan berlalu meninggalkan Naura yang masih memegangi dahinya. "Mas, ih ...."Meski hanya mimpi tapi kesalnya sampai
Suara bel serta dering ponsel terus bersahutan, membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur. "Siapa sih!" gerutu Naura. Tangannya terus meraba kasurnya untuk mencari ponselnya yang berdering."Halo."[Buka pintunya, ini aku!]"23765."[Sebentar.]Klik, suara pintu terbuka terdengar jelas di telinganya. Tak lama teriakan Lala pun menggema di seluruh ruangan. "Naura ... Naura, kamu di mana?"Ceklek."Kenapa masih tidur sih!" protes Lala berjalan mendekati Naura.Bukannya bangun Naura malah menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. "Hei, bangun ada Ada Devan, Doni dan Mega di luar.""Apa, ngapain mereka ke sini?" Naura terduduk sekaligus terkejut mendengar penuturan Lala."Tadi pas mereka ngajak kumpul aku bilang mau ke rumah kamu. Eh mereka juga ikutan."Naura menghela napasnya lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya."Dasar, aneh," gerutunyaLala lalu kembali menyambut teman-temannya yang masih berdiri di ruang tamu. "Ayo, silahkan duduk," ucapnya seperti pemili
Hening, semua mata tertuju pada Arkan. Seketika tubuhnya mematung saat melihat wajah-wajah yang tiba-tiba saja muncul dari arah dapur."Mas udah pulang," ucap Naura mendekati Arkan. Dia tahu akan ada kecanggungan saat Arkan tiba-tiba saja berteriak. "Ini teman-temanku," ujar Naura. "Sapa mereka," desak Naura sembari bergumam."Hai, semua. Maaf mengejutkan kalian, bersantailah."Arkan tersenyum menyapa teman-teman Naura kecuali Devan. Entah mengapa raut wajahnya berubah seketika saat menatap pria itu."Mas ganti baju dulu ya."Naura mengangguk lalu mengikuti Arkan dari belakang. Kini hanya mereka berdua di dalam kamar."Apa yang kamu lakukan sama Devan!" hardik Arkan."Suuttt, pelan-pelan. Aku sama dia sedang bicara.""Bicara apa, tentang masa lalu kalian?""Hah, maksud Mas?"Arkan meremas rambutnya dengan kasar, cemburu lebih tepatnya menggambarkan susana hatinya saat ini."Jangan terlalu dekat dengan Devan kalau sama yang lain enggak masalah," jelasnya. "Kenapa memangnya?""Karena
Tangan Naura terasa nyeri saat Arkan menggenggamnya dengan erat. Sedangkan mata Naura terpaku pada sosok wanita yang berdiri di depannya. Dengan santainya dia masuk— berada di lift yang sama dengan Naura dan Arkan. "Ehm, marketingku sudah mengirimkan email harga furniture. Mohon untuk di tindak lanjuti," ujar Liona mengawali percakapan.Sudut mata Naura melirik ke arah Arkan yang seolah tak bereaksi dengan apa yang di katakan Liona. Apa dia hanya pura-pura?"Bagian purchasingku mungkin sedang memeriksa," jawab Arkan tak terduga.Naura seketika menoleh ke arah suaminya dan Liona bergantian. Tak lama pintu lift terbuka Naura keluar lebih dulu di susul Arkan mengikutinya dari belakang. "Bagian purchasingku mungkin sedang memeriksa," ucap Naura seolah mengejek ucapan Arkan sebelumnya. "Nanti kita bicara di kantor saja ya, soalnya ada istriku. Harusnya jawab aja seperti itu."Arkan berdecak, dia sadar betul jika saat ini Naura sedang terbakar cemburu. "Tunggu, kenapa Mas enggak bilang