Suara bel serta dering ponsel terus bersahutan, membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur. "Siapa sih!" gerutu Naura. Tangannya terus meraba kasurnya untuk mencari ponselnya yang berdering."Halo."[Buka pintunya, ini aku!]"23765."[Sebentar.]Klik, suara pintu terbuka terdengar jelas di telinganya. Tak lama teriakan Lala pun menggema di seluruh ruangan. "Naura ... Naura, kamu di mana?"Ceklek."Kenapa masih tidur sih!" protes Lala berjalan mendekati Naura.Bukannya bangun Naura malah menarik selimutnya hingga menutupi kepalanya. "Hei, bangun ada Ada Devan, Doni dan Mega di luar.""Apa, ngapain mereka ke sini?" Naura terduduk sekaligus terkejut mendengar penuturan Lala."Tadi pas mereka ngajak kumpul aku bilang mau ke rumah kamu. Eh mereka juga ikutan."Naura menghela napasnya lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya."Dasar, aneh," gerutunyaLala lalu kembali menyambut teman-temannya yang masih berdiri di ruang tamu. "Ayo, silahkan duduk," ucapnya seperti pemili
Hening, semua mata tertuju pada Arkan. Seketika tubuhnya mematung saat melihat wajah-wajah yang tiba-tiba saja muncul dari arah dapur."Mas udah pulang," ucap Naura mendekati Arkan. Dia tahu akan ada kecanggungan saat Arkan tiba-tiba saja berteriak. "Ini teman-temanku," ujar Naura. "Sapa mereka," desak Naura sembari bergumam."Hai, semua. Maaf mengejutkan kalian, bersantailah."Arkan tersenyum menyapa teman-teman Naura kecuali Devan. Entah mengapa raut wajahnya berubah seketika saat menatap pria itu."Mas ganti baju dulu ya."Naura mengangguk lalu mengikuti Arkan dari belakang. Kini hanya mereka berdua di dalam kamar."Apa yang kamu lakukan sama Devan!" hardik Arkan."Suuttt, pelan-pelan. Aku sama dia sedang bicara.""Bicara apa, tentang masa lalu kalian?""Hah, maksud Mas?"Arkan meremas rambutnya dengan kasar, cemburu lebih tepatnya menggambarkan susana hatinya saat ini."Jangan terlalu dekat dengan Devan kalau sama yang lain enggak masalah," jelasnya. "Kenapa memangnya?""Karena
Tangan Naura terasa nyeri saat Arkan menggenggamnya dengan erat. Sedangkan mata Naura terpaku pada sosok wanita yang berdiri di depannya. Dengan santainya dia masuk— berada di lift yang sama dengan Naura dan Arkan. "Ehm, marketingku sudah mengirimkan email harga furniture. Mohon untuk di tindak lanjuti," ujar Liona mengawali percakapan.Sudut mata Naura melirik ke arah Arkan yang seolah tak bereaksi dengan apa yang di katakan Liona. Apa dia hanya pura-pura?"Bagian purchasingku mungkin sedang memeriksa," jawab Arkan tak terduga.Naura seketika menoleh ke arah suaminya dan Liona bergantian. Tak lama pintu lift terbuka Naura keluar lebih dulu di susul Arkan mengikutinya dari belakang. "Bagian purchasingku mungkin sedang memeriksa," ucap Naura seolah mengejek ucapan Arkan sebelumnya. "Nanti kita bicara di kantor saja ya, soalnya ada istriku. Harusnya jawab aja seperti itu."Arkan berdecak, dia sadar betul jika saat ini Naura sedang terbakar cemburu. "Tunggu, kenapa Mas enggak bilang
Wajah tampan dengan setelan jas berwarna hitam membuat Naura terus mengagumi wajah pria yang ada di hadapannya. "Kenapa aku baru sadar kalau suamiku ganteng?"Sudut bibir Arkan terangkat mendengar ucapan istrinya itu. Dia pun berbalik— berdiri tepat di depan Naura.Seolah mengerti Naura memasangkan dasi di kemeja Arkan. "Mas bisa kan jangan pakai jas?"Arkan mengerutkan dahinya. "Kenapa?""Di mataku saja Mas terlihat ganteng apa lagi di mata cewek lain," gerutu Naura dengan mencebikkan bibirnya.Pletak!Naura memegangi dahinya yang terkena sentil. "Dengar, hati Mas cuma buat kamu.""Iya, tapi cewek sekarang itu pada nggak tau diri. Mereka nggak peduli cowok yang dia dekati itu udah punya istri apa nggak, di Pepet terus."Tangan Arkan menangkup kedua pipinya istrinya. "Angkat telepon serta balas dengan cepat pesan dari Mas, 24/7. Oke?""Emangnya Mas nggak kerja sampe 24 jam?" Arkan menghela napasnya, lalu berpaling. Namun, Naura menahan tangan Arkan. "Iya, Sayang."Ting-tong!Semua ma
Sepersekian detik Arkan memalingkan wajahnya saat melihat Adelia berdiri di depannya. Sungguh dunia begitu sempit, saat wanita itu kabur dari Jakarta dan malah di pertemukan di Bali."Sepertinya wajahmu tak asing," sela Rendi menatap wajah Adelia."Benarkah, apa kalian pernah bertemu?" Kini Reza yang penasaran karena dia tahu pria seperti apa Rendi. "Entahlah sepertinya aku pernah melihat dia tapi aku lupa di mana," jawab Rendi melirik ke arah Arkan.Sedangkan Arkan hanya diam tak ingin menyapa kakak dari istrinya sendiri. "Aku pesan latte.""Aku bir.""Baik, ada yang lain?" tanya Adelia memastikan. "Dua bir," ujar Reza.Setelah mencatat pesanannya Adelia pun berlalu meninggalkan meja mereka. Sesekali dia melirik ke arah Arkan yang seolah tak peduli kepadanya. "Sial, dia mengacuhkan aku," desisnya. "Hei, kamu sedang buat apa?" Gina tiba-tiba saja muncul dari dapur. Adelia hanya mengacung gelas tanpa menjawab ucapan rekan kerjanya itu. "Wah, temen-temennya Pak Reza ya.""Kamu kenal
Hening Reza hanya tersenyum melihat wajah Liona yang begitu kusut setelah bertengkar dengan Adelia."Kenapa kamu malah senyum sih, seneng lihat aku seperti ini!" kesal Liona.Reza menggeser botol air mineral ke hadapan Liona. "Aku tak menyangka Adelia akan sekasar itu sama kamu. Apa lagi Naura. Aku tak bisa membayangkan kalau sampai dia tahu suaminya kembali di dekati mantan istrinya."Liona memutar bola matanya, jengah mendengar ocehan Reza. "Sebenarnya kamu itu di pihakku atau wanita itu?"Reza menyandarkan punggungnya ke kursi. "Jelas aku mendukung dia. Aku enggak mau pernikahan sahabatku gagal untuk ke sekian kalinya.""Apa kamu pikir hanya dia yang menderita. Aku juga!"Reza berdecak. "Sadarlah, nikmati kesendirianmu dan hiduplah dengan damai. Mulai sekarang aku nggak akan membantumu lagi karena wanitaku pasti marah. Kamu tau sendirikan seperti apa kekasihku kalau marah."Liona beranjak dari kursi. "Aku akan menuntut wanita itu dengan kasus penganiayaan.""Jangan seperti itu, dia
Riuh suara para mahasiswa yang sedang berkumpul di aula. Hanya Naura yang diam, tak memperhatikan orang-orang di sekitarnya.Entah mengapa kepalanya terlalu berisik memikirkan tentang suaminya yang saat ini sedang bersama mantan istrinya di Bali."Na, diem aja. Ayo, kita jalan!"Lala menarik tangan Naura membawanya pergi dari aula. "Kita mau kemana?""Jalan-jalanlah." Naura mengerutkan dahinya. "Kamu nggak denger tadi di bubarin?""Oh ya. Aku nggak dengar."Lala menghentikan langkahnya. "Telinganya jalan-jalan terus sih!""Hai, Naura, Lala," sapa Devan dan Doni yang tiba-tiba saja muncul di hadapan keduanya."Hai," jawab mereka berdua kompak. Devan melirik ke arah Naura. "Kalau kalian sedang senggang, mau enggak ikut ke apartemen baruku?""Wah, kamu beli apartemen?" tanya Lala bersemangat. Devan mengangguk, "Aku ikut, Naura juga pasti mau ikut kan!"Naura menyunggingkan senyum palsunya. Seolah dia setuju dengan ucapan sahabatnya itu.Devan pun tersenyum, "Kalian bawa mobil?""Naura b
Mata Naura tak lepas dari Devan yang juga menatapnya. Seketika atmosfer di sekitar menjadi dingin"Nggak."Devan tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Naura. "Aku hanya bercanda kenapa kamu jadi seserius itu," ucapnya. Wajah pucat Mega pun sesaat berubah menjadi tersenyum melihat Devan tertawa. Padahal awalnya dia pikir Devan benar-benar menyukai temannya itu ternyata hanya candaan. "Astaga Sayang, aku pikir kalian berdua memang memiliki hubungan ternyata hanya bercanda," ungkap Mega. Berbeda dengan Naura, dia yakin jika ucapan Devan begitu serius. Hanya saja Naura memberinya jawaban yang mungkin membuatnya malu."Apa kamu serius menyukai Devan?" tanya Naura saat Mega berhenti tertawa.Mega pun mengangguk lalu menjawab, "Iya, aku mencintainya. Bukannya kita sangat cocok?""Hm, kalian sangat cocok yang satu humoris yang satu garing," jawab Naura.Tak lama terdengar bel berbunyi. Devan beranjak dari kursi menghampiri tamu yang datang. "Kenapa kalian berdua lama sekali?""Beli piz