Derap langkah terdengar begitu nyaring ketika Naura dan Lala berlari bersama di koridor menuju ke kelas mereka."Naura, pelan-pelan. Inget kamu kan lagi ha—" Belum sempat Lala melanjutkan ucapannya Naura sudah lebih dulu membekap mulutnya. Dengan napas terengah-engah Naura berucap, "Tutup mulutmu, jangan sampai orang di sini tahu kalau aku hamil." Lala mengangguk cepat, keduanya kembali berlari ke kelas. Untungnya dosen yang mengajar tidak datang, jadi Naura dan Lala bisa leluasa masuk ke dalam kelas dan beristirahat beberapa saat sebelum kelas di mulai."Aku dengar kalau saat skripsi kita hamil akan di permudah proses sidangnya.""Benarkah?" Lala mengangguk. "Makanya, untuk apa kamu merahasiakan kehamilanmu kalau itu bisa menguntungkan masa depanmu. Lagi pula kamu kan sudah nikah, jadi orang juga enggak berpikir yang bukan-bukan."Jika di pikir lagi apa yang di katakan Lala benar, namun tetap saja menuju skripsi masih membutuhkan beberapa bulan lagi. Notif pesan masuk di ponsel N
Semalaman Naura memikirkan penawaran Teddi. Meski dia memberikan penawaran yang begitu menggiurkan, namun dia harus menyelesaikan kuliahnya dan tak ingin terus menerus membebani mantan mertuanya itu."Aku enggak boleh menerima bantuan Papah lagi, apa lagi sekarang aku sudah bukan menantunya lagi," gumam Naura. Dia pun mengambil ponselnya berniat mengirimkan pesan ke Teddi. Namun, saat ingat kebaikannya, Naura pun berniat menemui Teddi secara langsung."Naura, ini ada surat," ucap Lala."Surat apa?""Di sini sih tulisannya dari pengadilan," tutur Lala memberikan surat yang dia ambil di kotak surat.Naura membuka surat tersebut, di bacanya setiap kalimat yang tertera di atas kertas. "Surat panggilan ternyata," tutur Naura."Surat panggilan apa?" Lala merebut kertas yang ada di tangan Naura. "Panggilan sidang. Kamu mau datang?"Entah pikiran Naura masih kacau, apa lagi sebelumnya pengacara Arkan meminta Naura untuk tidak datang ke pengadilan. "Bukannya ini hanya mediasi, kenapa kamu en
Naura tertunduk lesu, hati dan perasaannya masih tak karuan. Suara alunan musik di kafe pun tak mampu membuatnya tenang sama sekali.Tok ... tok.Seketika Naura mendongak melihat ke arah seseorang yang mengetuk mejanya. "Papah.""Maaf, Papah telat. Kamu enggak makan?" tanya Teddi menurunkan bokongnya di atas kursi."Aku pesan kopi," jawab Naura mengetuk gelasnya.Teddi menarik gelas milik Naura lalu memanggil waiter untuk datang ke meja mereka. "Enggak baik minum kopi, minuman yang lain aja gimana?""Ada yang bisa saya bantu, Pak.""Aku pesan capuccino dan— Naura kamu suka jus alpukat kan?" Naura hanya mengangguk. "Baiklah capuccino dan jus alpukat. Aku juga pesan french toast, salad buah dan cheesecake.""Baik, ada tambahan?""Untuk sementara hanya itu.""Baik, Pak ditunggu pesanannya. Permisi."Hanya mereka berdua yang duduk di meja yang paling ujung. Naura sengaja memilih meja yang berada di pojok agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka berdua. Sejenak dia masih bungkam seo
3 Tahun Berlalu .....Bisnis Arkan maju pesat, dia bahkan membangun hotel di beberapa kota yang membuatnya semakin kaya. Meski begitu, kehidupan percintaannya selalu gagal karena dia sulit membuka hati untuk wanita lain.Tok ... Tok."Masuk," ujar Arkan mendengar suara ketukan pintu."Permisi, Pak." Seorang wanita cantik bertubuh semampai masuk ke dalam ruangan Arkan sambil membawa berkas yang ada di tangannya."Ini dokumen yang bapak minta. Oh iya, bagian finance yang baru menanyakan soal uang kontrak setiap bulannya senilai lima belas juta itu untuk perusahaan mana?"Arkan yang tengah sibuk dengan pekerjaannya pun mengangkat kepalanya menatap tajam ke arah sekretarisnya bernama Diana. "Sudah aku katakan berkali-kali, tulis saja untuk kontrak," jelasnya."Ba-baik Pak." Arkan mengibas tangannya, tanda jika dia tak ingin mendengar apa-apa lagi dari sekretarisnya itu.Sepeninggal Diana, Arkan menyandarkan punggungnya di kursi. Sudah tiga tahun lamanya dia masih mentransfer uang ke reken
Suara tangisan bayi menjadi irama terbaik setiap paginya. Dengan mata yang masih terpejam Naura menggeser tubuh bayinya lalu menepuk pelan pahanya agar bayinya kembali tidur. Namun, bukannya berhenti menangis putranya itu malah menangis begitu kencang. "Sayang, cup-cup-cup. Mau nenen ya, Mamah bikin dulu susunya."Naura mengikat rambutnya kemudian menggendong bayinya, membawanya ke dapur. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa Naura sudah menjadi seorang ibu di usianya yang memasuki 25 tahun. Meski menjadi single mom itu tidak mudah, tetapi Naura begitu menikmati pekerjaannya sembari mengurus bayi. "Selamat pagi," sapa wanita paruh baya yang tiba-tiba saja muncul di depan Naura. "Ah cucuku sudah bangun. Ayo, Nenek gendong."Naura membiarkan wanita itu mengambil putranya yang berada di gendongannya. "Tumben Ibu pagi-pagi udah di sini?" Wanita itu tersenyum sembari menimang bayi yang mereka panggil Axel. "Kamu hari ini jadi me
Rendi terus mengetuk jemarinya ke atas meja, selain harus bekerja sebagai penanggung jawab hotel baru di Surabaya, dia juga masih harus menyelidiki tentang anak kecil yang berfoto dengan Teddi.Namun, yang tak Rendi sangka, dia juga bertemu dengan Naura di tempat yang tak terduga. "Setelah 3 tahun menghilang ternyata dia ada di Surabaya. Arkan pasti tidak tahu jika aku mendapatkan jackpot di sini. Haruskah aku memberikan kejutan untuknya?"Rendi terus mengetik di layar ponsel kemudian menghapusnya lagi seolah menuliskan kata mutiara untuk sang kekasih.Tok ... Tok, "Permisi Pak.""Hm, masuklah," ucap Rendi dengan mata yang masih fokus dengan layar ponselnya. "Ada apa?""Begini Pak, untuk furniture kita akan menggunakan supplier biasa atau supplier baru?" tanya Rudi yang tak lain asisten Rendi. Rendi lalu menyimpan ponselnya di atas meja, memikirkan sejenak apa yang harus dia putuskan karena semua sudah di serahkan Arkan kepadany
Mulut Rendi sedikit menganga mendengar penuturan Naura. Dia bisa memiliki anak dengan pria lain sedangkan saat menikah dengan Arkan dia sama sekali tidak hamil. Apa Arkan benar-benar mandul?"Be-benarkah?"Naura mengangguk. "Aku hidup bahagia dengan keluarga kecilku. Bagaimana dengan Om, apa Om sudah menikah atau masih menjajah wanita di luar sana."Rendi tertawa mendengar penuturan Naura. "Menjajah yang benar saja. Yang masih menjajah itu Arkan, dia menjadi duda tua mencari cinta sejati.""Duda, jadi dia masih sendiri lalu bagaimana dengan Liona?" batin Naura."Apa kamu enggak penasaran dengan kehidupan Arkan?"Sudut bibir Naura terangkat. "Enggak, dia hanya masa lalu dan aku tak peduli dengan kehidupannya. Bukannya dia sudah bahagia dengan mantan istrinya dulu?""Siapa, Liona maksudmu? Wanita itu hanya parasit yang terus menempel kepada pohon yang sama sekali tak menginginkannya," cetus Rendi. "Ma-maaf sepertinya aku b
Dering ponsel terus menggema, tetapi sang pemilik hanya diam tak menghiraukan panggilan masuk."Kenapa enggak di angkat?" tanya Rendi.Arkan membalikan ke atas meja lalu kembali fokus dengan proposal yang ada di tangannya. "Jadi kamu sudah bertemu dengan Naura?""Hah, i-itu ... Em, aku salah orang," kilah Rendi."Aku sudah bertemu dengan dia.""SERIUS?!"Rendi begitu terkejut mendengarnya hingga dia refleks berdiri menatap Arkan. "Enggak usah berlebihan seperti itu.""Apa kamu datang ke sini karena foto yang aku kirim?"Arkan berdecak lalu menjawab, "Yang benar saja, untuk apa aku jauh-jauh datang ke sini hanya untuk ketemu sama dia."Rendi kembali duduk. "Baguslah, karena sekarang Naura sudah menikah dan memiliki anak."Arkan tersentak, namun dia berpura-pura tetap tenang agar Rendi tak menangkap keterkejutannya."Kamu tenang saja, aku enggak tertarik dengan Naura. Di luar sana banyak wanita yang jauh lebih cantik, seksi yang bisa dengan mudahnya aku dapatkan."Rendi berdesis, dia ta