Bab 9. Menyentuh Pertama KalinyaZain terkejut melihat air merembes masuk dalam kamar. Entah di mana sang pemilik kamar tidak terlihat. Zain mencari seseorang, akan tetapi tidak terlihat olehnya. "Di mana Alana, Bibi?" tanya Zain sambil menjinjit karena air di dalam kamar sudah merembes kemana-mana. "Bagaimana bisa air merembes seperti ini, Bibi?" Kembali Zain bertanya sambil menatap heran Bibi Sumi. Bibi Sumi yang berdiri di depan pintu kamar mandi hanya bisa mematung sambil melihat masuk ke dalam ruang kamar mandi, dimana Alana pulas dalam tidurnya sambil berendam. "Apa yang terjadi, Bibi? Apa Alana ada di dalam?" tanya Zain. "Nona berendam sambil tertidur, Tu.. Tuan," ujar Bibi Suami sambil gugup. "Apa!" Suara lantang Zain membuat Bibi Sumi ketakutan. Takut Tuan mudanya marah besar. "Jadi, asal air ini dari dalam kamar mandi?!" tanya Zain tegas. "Benar bikin repot saja wanita itu?!" geram Zain lagi dan masuk dalam kamar mandi. Terlihat jelaslah wajah Alana di sana. Hingga ma
Bab 1. Pertemuan Alana dan ZainBaru pulang dari tempat kuliah, Alana terkejut ketika masuk di ruang rawat paman Handoko. Alana mendapati sepasang suami istri dan seorang pemuda tengah menatapnya. Seluruh tubuh Alana gemetar dan terbayang perkataan paman Handoko yang merupakan pengganti orang tua Alana. Kedua Orang tua Alana sudah lama meninggal dunia akibat kecelakaan beruntung ketika Alana masih berusia 12 tahun. 'Apakah ini maksud paman?' batin Alana tidak percaya jika apa yang dikatakan beberapa hari yang lalu tentang perjodohan itu benar adanya. Tante berlin yang merupakan istri paman handoko beranjak dari tempat duduknya. "Alana, perkenalkan, ini Om Danu Hermawan dan Ini istrinya Tante Sinta. Dan di sampingnya merupakan putranya yang bernama Zain. "Nak Zain, ini Alana, " Ujar Tante Berlin dan berbisik pada Alana. "Alana senyum, ingat pamanmu." Bisik Tante Berlin. Zain beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Alana berkenalan. "Zain.""Alana," Jawab Alana dengan senyum. Pe
Bab 2. PernikahanTampak ramai terlihat ruang yang akan di gunakan untuk melakukan ijab kabul. Hingga tiba waktu, Ijab qabul pun berlangsung dengan hikmat. SAHSeketika, Alana menjatuhkan air mata yang yang Alana tidak tahu air mata apa. Tapi Alana yakin, Zain adalah pilihan terbaik untuknya. "Nak, Ayo kita temui suamimu," Ajak Ibu Sinta membawa Alana menuju di mana Zain usai mengucapkan janji suci. Penampilan Alana hari itu sangat berbeda dari bisanya. Terlihat begitu anggun nan ayu. Siapa pun yang melihat akan terpesona. Namun ternyata berbeda dengan Zain, Di mata Zain, Alana tidak lain adalah perusak kebahagiaan dalam percintaannya dengan kekasih hati. Tatapan itu begitu tajam mengarah pada Alana yang kini sudah tiba di depan mata. "Zain?" tegur Ibu Santi melihat Zain tidak berkedip menatap Alana yang kini berdiri di depannya. Zain mengumbar senyum dan sedikit bergeser memberikan ruang untuk Alana duduk di sisinya. "Pasangkan cincinnya," pinta Ibu Santi lagi. Tuan Danu terus
Bab 3. KecewaAlana menatap dirinya di cermin sepeninggal Zain. Alana merasa sangat malu pada dirinya sendiri yang sudah begitu percaya diri jika Zain juga akan mencintainya. Air mata itu akhirnya keluar juga setelah melihat Zain sudah tidak ada di kamar. Isak tangis Alana terdengar memenuhi ruang kamar. Alana sekuat mungkin mencoba menjadi wanita yang kuat. "Kamu pikir, kamu siapa Zain?" isak tangis Alana dalam kesendiriannya. "oh Tuhan, kuatkan aku." Alana menatap dirinya lewat pantulan cermin. Hingga pada akhirnya, Alana selesai berganti, Alana pun bersiap untuk menemui keluarga besar Zain. ***"Zain, mana Alana, Nak?" tanya Ibu Sinta. "Sementara berganti, Bu." Senyum Zain. "Alana baik-baik saja, kan?" Tanya Ibu santi khawatir. "Ibu, apa Zain terlihat begitu menyeramkan?" tanya Zain begitu pintar menyembunyikan semuanya. Selang beberapa waktu, Alana pun tiba dengan gaun yang dikenakan begitu cocok dengan tubuh rampingnya yang sebelumnya diberikan oleh Zain. Terlihat Alana
Bab 4. Akan Pindah RumahPagi tiba, Alana ikut kembali bergabung dengan keluarga besar Zain. Zain menggandeng tangan Alana dengan mesra menuju meja makan bahkan memperlakukan Alana seakan mereka seperti pengantin baru pada umumnya. 'Jangan memperlakukan aku seperti ini, Mas. Aku akan semakin tersakiti,' batin Alana melihat tangan zain. 'Jangan baper Alana. Tahu diri. Kamu hanya istri separuh masa. Ingat itu.' batin Alana lagi. Alana hanya mampu berperan dengan batinnya. "Ayo, Sayang," Pinta Zain meminta Alana untuk duduk. "Iya," Jawab Alana menatap Zain. "Terimakasih." Alana duduk di kursi depan meja makan yang Zain siapkan. "Nah, gitu dong," ucap Ibu Sinta terlihat bahagia melihat Zain dan Alana bahagia di depan mata mereka. "Zain, teruslah bahagiakan istrimu. Jangan sia-siakan Alana," Ujar Tuan Danu pada putranya. "Alana istri yang tepat untukmu."Zain menggenggam tangan Alana dan berkata, "Pasti ayah." lalu, Zain mengecup tangan Alana di depan kedua orang tua Zain. Alana mak
Bab 5. PamitAlana mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku baik-baik saja paman." "Iya, Paman. Alana baik-baik saja. Jangan khawatirkan Alana." Zain melanjutkan ucapan Alana. Paman Handoko tersenyum dan berkata, "Nak Zain, aku titip ponakan paman padamu. Aku percaya padamu." Alana rasa ingin menumpahkan perasaannya mendengar hal tersebut. Namun, Alana tak kuasa. Alana memilih diam seribu bahasa dengan hati yang hancur, terluka. "Iya paman." Jawab Zain menatap Alana sebagai kode agar Alana segera pamit. Sejujurnya, Zain sedari tadi gelisah untuk segera pulang dan berangkat meninggalkan kota A menuju kota J. Zain sudah sangat merindukan pujaan hatinya. Alana menoleh dan kembali Zain memberi kode. Alana menoleh kearah paman Handoko juga pada Tante Berlin, lalu pamit. "Paman, Tante, Alana pamit. Hari ini Mas Zain akan membawa Alana pindah kota. Alana dan Mas Zain akan tinggal di sana. "Wah, bagus itu!" Sahut Tante Berlin spontan.Paman Handoko menoleh kearah istrinya. Tante Berlin la
Bab 6. Pindah Rumah"Alana?" Panggil nenek Fatimah melihat Alana tengah mengusap air matanya. "Kenapa Sayang?" Alana terlihat gugup. Apakah nenek Fatimah mendengar keluhan sebelumnya? "Alana baik-baik saja, Nak?" Kembali Nenek Fatimah bertanya dan duduk di samping Alana yang duduk di atas kasur empuk tersebut. Alana tersenyum dan berkata, "Iya nenek. Alana hanya teringat sama almarhum ayah dan Ibu." "Oh sayang, kami adalah org tuamu, Nak. Jangan bersedih. Semua akan baik saja. Seiring berjalannya waktu, kau dak Zain akan hidup bahagia," ucap Nenek Fatimah yang tujuannya datang memang ingin berbincang-bincang banyak dengan Alana juga untuk memberikan nasehat. "Terimakasih, Nenek. Alana sayang Nenek." Alana terlihat bahagia. Nenek Fatimah pun memeluk Alana. "Teruslah berbahagia, Nak. jika ada perlakuan Zain yang tidak berkenan di hatimu suatu hari nanti, jangan segan-segan memberitahu pada kami. Kamu sabar ya sayang. Zain itu orang sibuk, jadi jangan lupa selalu ingatkan dia."'Ne
Bab 7. Menepis rasaTidak ada hak aku untuk ikut campur dalam urusan kami di luar sana, Tuan Zain. Aku cukup tahu diri posisi aku di mana." Air mata itu seakan tertahan dengan kepedihan begitu dalam. Hati Alana menjerit. Apa lagi ketika Alana menyadari akan perasaannya pada Zain yang masih berharap. Alana merutuki takdirnya yang tidak pernah berhenti datang menerpa. Saat masih bersama Paman dan bibinya, Dirinya pun harus mengorbankan perasaannya, memilih mengalah untuk tidak berdebat dengan tante Berlin yang tidak pernah suka akan kehadiran dirinya di rumah pamannya. Tiba sekarang, kembali rasa sakit, kecewa atas perlakuan seorang suami yang tidak bersyukur menerima keberadaan dirinya. Alana terus merutuki dirinya yang medapat perlakuan terabaikan. Berharap menjadi istri yang diterima oleh Zain sangat jauh hal itu akan terjadi. 'Kuatkan aku, Tuhan.' batin Alana yang bukan berarti dirinya begitu bodoh untuk bertahan sebagai istri tak dianggap. Namun, beberapa alasan membuat dirinya b
Bab 9. Menyentuh Pertama KalinyaZain terkejut melihat air merembes masuk dalam kamar. Entah di mana sang pemilik kamar tidak terlihat. Zain mencari seseorang, akan tetapi tidak terlihat olehnya. "Di mana Alana, Bibi?" tanya Zain sambil menjinjit karena air di dalam kamar sudah merembes kemana-mana. "Bagaimana bisa air merembes seperti ini, Bibi?" Kembali Zain bertanya sambil menatap heran Bibi Sumi. Bibi Sumi yang berdiri di depan pintu kamar mandi hanya bisa mematung sambil melihat masuk ke dalam ruang kamar mandi, dimana Alana pulas dalam tidurnya sambil berendam. "Apa yang terjadi, Bibi? Apa Alana ada di dalam?" tanya Zain. "Nona berendam sambil tertidur, Tu.. Tuan," ujar Bibi Suami sambil gugup. "Apa!" Suara lantang Zain membuat Bibi Sumi ketakutan. Takut Tuan mudanya marah besar. "Jadi, asal air ini dari dalam kamar mandi?!" tanya Zain tegas. "Benar bikin repot saja wanita itu?!" geram Zain lagi dan masuk dalam kamar mandi. Terlihat jelaslah wajah Alana di sana. Hingga ma
Bab 8. Pertemuan Zain dengan Pujaan HatiZain menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Lalu,. mematikan mesin mobilnya, "Marina sayang, dengarkan aku. Aku belum bisa sepenuhnya dulu menemani dirimu. Bukan aku tidak menginginkan dirimu. Akan tetapi, kau harus tahu keadaa aku sekarang. Ya...." Zain mengenggam tangan Marina. Marina melepaskan genggaman Zain dengan kasar. "Yasudah, aku mengerti." jawab Marina berharap Zain mai mengerti dirinya. "Kalau begitu aku ikut ke kantor." "Bukan tidak mau, Sayang. Tetapi, bim saatnya." "Kenapa. Sebelumnya juga aku sering kekantot. Harusnya hati itu, kamu tidak menikahi wanita itu, Zain. Harusnya hari itu, akulah yang kamu nikahi. Bukan Alana itu!" geram Marina. "Kan aku sudah ajak kamu menikah. Akan tetapi, kamu yang belum siap." ujar Zain. "Bgaimana bisa kita menikah hari itu, restu saja dari ayah dan ibumu tidak ada. Apa kita akan me ikah tanpa restu? Tidak, Zain. Aku ingin menikah dengan degan adanya restu." bela diri Marin sendiri yang ingat
Bab 7. Menepis rasaTidak ada hak aku untuk ikut campur dalam urusan kami di luar sana, Tuan Zain. Aku cukup tahu diri posisi aku di mana." Air mata itu seakan tertahan dengan kepedihan begitu dalam. Hati Alana menjerit. Apa lagi ketika Alana menyadari akan perasaannya pada Zain yang masih berharap. Alana merutuki takdirnya yang tidak pernah berhenti datang menerpa. Saat masih bersama Paman dan bibinya, Dirinya pun harus mengorbankan perasaannya, memilih mengalah untuk tidak berdebat dengan tante Berlin yang tidak pernah suka akan kehadiran dirinya di rumah pamannya. Tiba sekarang, kembali rasa sakit, kecewa atas perlakuan seorang suami yang tidak bersyukur menerima keberadaan dirinya. Alana terus merutuki dirinya yang medapat perlakuan terabaikan. Berharap menjadi istri yang diterima oleh Zain sangat jauh hal itu akan terjadi. 'Kuatkan aku, Tuhan.' batin Alana yang bukan berarti dirinya begitu bodoh untuk bertahan sebagai istri tak dianggap. Namun, beberapa alasan membuat dirinya b
Bab 6. Pindah Rumah"Alana?" Panggil nenek Fatimah melihat Alana tengah mengusap air matanya. "Kenapa Sayang?" Alana terlihat gugup. Apakah nenek Fatimah mendengar keluhan sebelumnya? "Alana baik-baik saja, Nak?" Kembali Nenek Fatimah bertanya dan duduk di samping Alana yang duduk di atas kasur empuk tersebut. Alana tersenyum dan berkata, "Iya nenek. Alana hanya teringat sama almarhum ayah dan Ibu." "Oh sayang, kami adalah org tuamu, Nak. Jangan bersedih. Semua akan baik saja. Seiring berjalannya waktu, kau dak Zain akan hidup bahagia," ucap Nenek Fatimah yang tujuannya datang memang ingin berbincang-bincang banyak dengan Alana juga untuk memberikan nasehat. "Terimakasih, Nenek. Alana sayang Nenek." Alana terlihat bahagia. Nenek Fatimah pun memeluk Alana. "Teruslah berbahagia, Nak. jika ada perlakuan Zain yang tidak berkenan di hatimu suatu hari nanti, jangan segan-segan memberitahu pada kami. Kamu sabar ya sayang. Zain itu orang sibuk, jadi jangan lupa selalu ingatkan dia."'Ne
Bab 5. PamitAlana mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku baik-baik saja paman." "Iya, Paman. Alana baik-baik saja. Jangan khawatirkan Alana." Zain melanjutkan ucapan Alana. Paman Handoko tersenyum dan berkata, "Nak Zain, aku titip ponakan paman padamu. Aku percaya padamu." Alana rasa ingin menumpahkan perasaannya mendengar hal tersebut. Namun, Alana tak kuasa. Alana memilih diam seribu bahasa dengan hati yang hancur, terluka. "Iya paman." Jawab Zain menatap Alana sebagai kode agar Alana segera pamit. Sejujurnya, Zain sedari tadi gelisah untuk segera pulang dan berangkat meninggalkan kota A menuju kota J. Zain sudah sangat merindukan pujaan hatinya. Alana menoleh dan kembali Zain memberi kode. Alana menoleh kearah paman Handoko juga pada Tante Berlin, lalu pamit. "Paman, Tante, Alana pamit. Hari ini Mas Zain akan membawa Alana pindah kota. Alana dan Mas Zain akan tinggal di sana. "Wah, bagus itu!" Sahut Tante Berlin spontan.Paman Handoko menoleh kearah istrinya. Tante Berlin la
Bab 4. Akan Pindah RumahPagi tiba, Alana ikut kembali bergabung dengan keluarga besar Zain. Zain menggandeng tangan Alana dengan mesra menuju meja makan bahkan memperlakukan Alana seakan mereka seperti pengantin baru pada umumnya. 'Jangan memperlakukan aku seperti ini, Mas. Aku akan semakin tersakiti,' batin Alana melihat tangan zain. 'Jangan baper Alana. Tahu diri. Kamu hanya istri separuh masa. Ingat itu.' batin Alana lagi. Alana hanya mampu berperan dengan batinnya. "Ayo, Sayang," Pinta Zain meminta Alana untuk duduk. "Iya," Jawab Alana menatap Zain. "Terimakasih." Alana duduk di kursi depan meja makan yang Zain siapkan. "Nah, gitu dong," ucap Ibu Sinta terlihat bahagia melihat Zain dan Alana bahagia di depan mata mereka. "Zain, teruslah bahagiakan istrimu. Jangan sia-siakan Alana," Ujar Tuan Danu pada putranya. "Alana istri yang tepat untukmu."Zain menggenggam tangan Alana dan berkata, "Pasti ayah." lalu, Zain mengecup tangan Alana di depan kedua orang tua Zain. Alana mak
Bab 3. KecewaAlana menatap dirinya di cermin sepeninggal Zain. Alana merasa sangat malu pada dirinya sendiri yang sudah begitu percaya diri jika Zain juga akan mencintainya. Air mata itu akhirnya keluar juga setelah melihat Zain sudah tidak ada di kamar. Isak tangis Alana terdengar memenuhi ruang kamar. Alana sekuat mungkin mencoba menjadi wanita yang kuat. "Kamu pikir, kamu siapa Zain?" isak tangis Alana dalam kesendiriannya. "oh Tuhan, kuatkan aku." Alana menatap dirinya lewat pantulan cermin. Hingga pada akhirnya, Alana selesai berganti, Alana pun bersiap untuk menemui keluarga besar Zain. ***"Zain, mana Alana, Nak?" tanya Ibu Sinta. "Sementara berganti, Bu." Senyum Zain. "Alana baik-baik saja, kan?" Tanya Ibu santi khawatir. "Ibu, apa Zain terlihat begitu menyeramkan?" tanya Zain begitu pintar menyembunyikan semuanya. Selang beberapa waktu, Alana pun tiba dengan gaun yang dikenakan begitu cocok dengan tubuh rampingnya yang sebelumnya diberikan oleh Zain. Terlihat Alana
Bab 2. PernikahanTampak ramai terlihat ruang yang akan di gunakan untuk melakukan ijab kabul. Hingga tiba waktu, Ijab qabul pun berlangsung dengan hikmat. SAHSeketika, Alana menjatuhkan air mata yang yang Alana tidak tahu air mata apa. Tapi Alana yakin, Zain adalah pilihan terbaik untuknya. "Nak, Ayo kita temui suamimu," Ajak Ibu Sinta membawa Alana menuju di mana Zain usai mengucapkan janji suci. Penampilan Alana hari itu sangat berbeda dari bisanya. Terlihat begitu anggun nan ayu. Siapa pun yang melihat akan terpesona. Namun ternyata berbeda dengan Zain, Di mata Zain, Alana tidak lain adalah perusak kebahagiaan dalam percintaannya dengan kekasih hati. Tatapan itu begitu tajam mengarah pada Alana yang kini sudah tiba di depan mata. "Zain?" tegur Ibu Santi melihat Zain tidak berkedip menatap Alana yang kini berdiri di depannya. Zain mengumbar senyum dan sedikit bergeser memberikan ruang untuk Alana duduk di sisinya. "Pasangkan cincinnya," pinta Ibu Santi lagi. Tuan Danu terus
Bab 1. Pertemuan Alana dan ZainBaru pulang dari tempat kuliah, Alana terkejut ketika masuk di ruang rawat paman Handoko. Alana mendapati sepasang suami istri dan seorang pemuda tengah menatapnya. Seluruh tubuh Alana gemetar dan terbayang perkataan paman Handoko yang merupakan pengganti orang tua Alana. Kedua Orang tua Alana sudah lama meninggal dunia akibat kecelakaan beruntung ketika Alana masih berusia 12 tahun. 'Apakah ini maksud paman?' batin Alana tidak percaya jika apa yang dikatakan beberapa hari yang lalu tentang perjodohan itu benar adanya. Tante berlin yang merupakan istri paman handoko beranjak dari tempat duduknya. "Alana, perkenalkan, ini Om Danu Hermawan dan Ini istrinya Tante Sinta. Dan di sampingnya merupakan putranya yang bernama Zain. "Nak Zain, ini Alana, " Ujar Tante Berlin dan berbisik pada Alana. "Alana senyum, ingat pamanmu." Bisik Tante Berlin. Zain beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Alana berkenalan. "Zain.""Alana," Jawab Alana dengan senyum. Pe