Bab 7. Menepis rasa
Tidak ada hak aku untuk ikut campur dalam urusan kami di luar sana, Tuan Zain. Aku cukup tahu diri posisi aku di mana." Air mata itu seakan tertahan dengan kepedihan begitu dalam. Hati Alana menjerit. Apa lagi ketika Alana menyadari akan perasaannya pada Zain yang masih berharap.Alana merutuki takdirnya yang tidak pernah berhenti datang menerpa. Saat masih bersama Paman dan bibinya, Dirinya pun harus mengorbankan perasaannya, memilih mengalah untuk tidak berdebat dengan tante Berlin yang tidak pernah suka akan kehadiran dirinya di rumah pamannya.Tiba sekarang, kembali rasa sakit, kecewa atas perlakuan seorang suami yang tidak bersyukur menerima keberadaan dirinya. Alana terus merutuki dirinya yang medapat perlakuan terabaikan. Berharap menjadi istri yang diterima oleh Zain sangat jauh hal itu akan terjadi.'Kuatkan aku, Tuhan.' batin Alana yang bukan berarti dirinya begitu bodoh untuk bertahan sebagai istri tak dianggap. Namun, beberapa alasan membuat dirinya bertahan hingga tiba waktu akan menyerah.Alana melangkah kedepan Zain dengan wajah yang cukup dekat dan kembali berkata, "Tenang saja, Tuan Zain yang terhormat. Aku tidak akan pernah mencari tahu urusan tuan dengan gadis pujaan tuan. Sangat mendukung bila tuan bahagia."Zan diam terpaku kata demi kata yang keluar dari bibir Alana.Alana berbalik mengambil kopernya. Sebelum meninggalkan Zain menuju kamar yang dimaksud, Alana kembali menoleh sambil berkata, "Perhatikan res celana tuan sebelum pergi." Alana berlalu.Begitu malunya Zain medapat res celana yang dikenakan olehnya belum terpasang baik."Akh!" Zain merutuki dirinya menjadi peria bodoh dan sudah mempermalukan dirinya sendiri di hadapan istri separuh masanya.Zain terus mengikuti pandangan ke arah Alana hingga Alan tidak teliht lagi olehnya. Mengingat Alana, Zain tidak bisa fungkiri, jika Alana memang cantik. Walau tubuhnya tertutupi dengan busana yang tidak menampakkan auratnya."Akh, bagaimana bisa aku membayangkan tubuh wanita itu. Itu tidak mungkin. Aku tidak akan pernah menyentuhnya sedikit pun. Ya ... selamanya akan sepeti ini. Aku sudah berjanji pada Marina untuk tidak tidur bersama apa lagi meyentuhnya. Ya... selamanya."Hal itu Zain lakukan tidak lain sebagai pembuktian kesungguhannya pada Marina yang sudah mau bersabar terhadap dirinya selama ini. Ada begitu banyak kenangan indah saat bersama dengan pujaan hatinya.lagi pula, Alana tidaklah lain hanya wanita yang kebetulan saja hadir dalam kehidupannya. Jika bukan saja karena sang ayah, Zain mana mau berjodoh dengan Alana. Zain menghembuskan napas panjang memikirkan semua yang telah terjadi.Ponsel Zain berdering dan itu dari Marina yang sudah menunggu dirinya tak sabar. "Sayang."Panggilan Sayang itu terdengar oleh Alana yang kebetulan turun dari lantai atas dan masih menemukan Zain di ruang keluarga sedang bercakap asik lewat telepon."Iya, Sayang, Aku akan singgah di toko kue itu untuk membelikan kue. kesukaanmu." ucap Zain di ujung telpon tanpa sadar dengan keberadaan Alana yang tidak sengaja lewat di belakangnya menuju dapur.Kembali Alana menepis perasaannya. Menyakitkan memiliki perasaan tak terbalaskan. Hingga Alana memilih menuju dapur di mana Bibi Sumi melihat istri tuannya sedari tadi tampak seprti membisu. Entah kapan habis air di tangannya di minum olehnya."Nona, Nona baik-naik saja?" tanya Bibi Sumi yang sejatinya kasihan melihat istri separu masa tuannya."Bibi?" sapa Alana."Saya Bibi Sumi. Jika nona ada perlu, kami selalu siap, Nona," ujar Bibi Sumi tidak mengerti kondisi pernikahan tuannya. Bibi Sumi memperhatikan Alana. 'Jika dilihat, istri tuan sangat cantik.' batin Bibi Sumi memperhatikan Alana tiada bosan."Bibi, kenapa lihat aku seperti itu, bibi. Apa ada yang salah denganku?" Alana tersenyum."Tidak, nona. Nona sangat cantik." Bibi Sumi keceplosan hingga Bibi Sumi memukul bibirnya sendiri.Akan kembali tersenyum. "Bibi saja. Itu menurut bibi saja."Ada rasa ingin bertanya banyak tentang Alana, Namun sebagai asisten rumah tangga, Bibi Sumi cukup tahu diri."Ya sudah, Bibi... Aku istirahat dulu. permisi, Bibi," pamit Alana beranjak dari tempat duduknya.***di lain tempat, Zain tiba di sebuah tempat dengan kue kesukaan Marina yang di pesan Marina sebelumnya dan duduk menunggu seseorang. Sekitar setengah jam kemudian, sosok wanita yang ditunggu olehnya tiba. Dengan kacamata yang bertengger di atas kepalanya serta rambut lurus yang terurai. Zain yang sedang menelpon menoleh tidak percaya."Marina?" Zain terpesona melihat tubuh molek Marina makin menarik hatinya.Marina langsung memeluk Zain. Zain pun membalas pelukan sang pujaan yang sudah lama ia rindukan. Cukup lama keduanya saling melepas kerinduan yang sudah lama mereka nantikan. Tidak menghiraukan Ada banyak sepasang mata menyaksikan keduanya."Kenapa lama, sih Sayang. hampir tiga minggu kamu meninggalkan aku. Jangan-jangan kamu jatuh cinta pada istrimu?" Marina duduk di kursi yang ada."Mana mungkin aku mencintai wanita itu. Kamu tahu sendiri, kami menikah karena ayah. Aku tidak mencintai wanita itu, Sayang.""Tapi, kalian sudah pernah satu kamar. Mustahil jika kamu tidak tergoda degannya. Aku kenal siapa kamu, Sayang," Marina memasang wajah manjanya.Zain ikut duduk di samping Marina. Lalu, meraih tangan Marina dan berkata, "Bukankah aku sudah berjanji padamu, aku tidak akan menyentuhnya. Aku tidak mencintain, Sayang," jelas Zain meyakinkan Marina."Benarkah?" Marina menatap kedua bola mata Zain."Benar, Sayang. Aku hanya mencintai dirimu. Setelah satu tahun kami akan bercerai, setelah itu kita akan menikah. Percayalah.""Kau yakin akan berpisah dengannya?" Tanya Marina."Tentu. Kami sudah sepakat. Kami akan berpisah setelah Satun tahun. Tapi, aku punya perjanjian dengannya. Dia ingin kuliah," ujar Zain."Baiklah. Aku percaya." Marina tersenyum."Zain mengecup tangan Marina. Hingga mata keduanya kembali bertemu."Aku tidak bawah mobil. Aku ingin kau mengantar aku pulang. Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu," ujar Marina."Tentu. Aku akan mengantarmu pulang." Zain kembali mengecup tangan Marina. "Akan tetapi, maafkan aku, Sauang. Aku masih ada urusan.""Kau tidak bermalam? Pasti tidak, kan?" Marina berharap Zain mau menemaninya."Nanti kita bahas," ujar Zain.Hingga mereka pun menghabiskan waktu bersama siang itu. Setelahnya, Zain pun mengantar Marina pulang. Sepanjang perjalanan, keduanya terlihat bahagia. Zain seakan lupa jika dirinya sudah menikah. Namun, bagi Zain tetap saja pernikahannya dengan Alana bukanlah pernikahan."Sayang, kau tidak bermalam di rumah? Aku masih merindukanmu.""Untuk saat ini aku belum bisa, Sayang. Ayah masih terus memantauku. Aku takut, ayah mengetahui jika kita masih berhubungan. Bila sampai ayah tahu, aku bisa saja dikeluarakan dari daftar keluaraga," jelas Zain. "Kamu pasti tidak mau, kan? Kau tahu sendiri ayah bagaiamana."Marian terlihat kecewa. Spenjang perjalanan, Marina terus teringat nama Alana. Ada rasa cemburu dengan wanita tersebut. Ia tidak sanggup jika sampai Zain jatuh dalam pelukan istri separuh masanya."Tidakkah bisa kau menemaniku hingga sore?" Rengek Marina."Sayang, Hari ini aku harus langsung masuk kekantor.Marina diam, Melihat Marina diam, Zain pun kembali menyahut.***Terus berikan dukungannya buat Author ya... salam kenal darikuu...Bab 8. Pertemuan Zain dengan Pujaan HatiZain menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Lalu,. mematikan mesin mobilnya, "Marina sayang, dengarkan aku. Aku belum bisa sepenuhnya dulu menemani dirimu. Bukan aku tidak menginginkan dirimu. Akan tetapi, kau harus tahu keadaa aku sekarang. Ya...." Zain mengenggam tangan Marina. Marina melepaskan genggaman Zain dengan kasar. "Yasudah, aku mengerti." jawab Marina berharap Zain mai mengerti dirinya. "Kalau begitu aku ikut ke kantor." "Bukan tidak mau, Sayang. Tetapi, bim saatnya." "Kenapa. Sebelumnya juga aku sering kekantot. Harusnya hati itu, kamu tidak menikahi wanita itu, Zain. Harusnya hari itu, akulah yang kamu nikahi. Bukan Alana itu!" geram Marina. "Kan aku sudah ajak kamu menikah. Akan tetapi, kamu yang belum siap." ujar Zain. "Bgaimana bisa kita menikah hari itu, restu saja dari ayah dan ibumu tidak ada. Apa kita akan me ikah tanpa restu? Tidak, Zain. Aku ingin menikah dengan degan adanya restu." bela diri Marin sendiri yang ingat
Bab 9. Menyentuh Pertama KalinyaZain terkejut melihat air merembes masuk dalam kamar. Entah di mana sang pemilik kamar tidak terlihat. Zain mencari seseorang, akan tetapi tidak terlihat olehnya. "Di mana Alana, Bibi?" tanya Zain sambil menjinjit karena air di dalam kamar sudah merembes kemana-mana. "Bagaimana bisa air merembes seperti ini, Bibi?" Kembali Zain bertanya sambil menatap heran Bibi Sumi. Bibi Sumi yang berdiri di depan pintu kamar mandi hanya bisa mematung sambil melihat masuk ke dalam ruang kamar mandi, dimana Alana pulas dalam tidurnya sambil berendam. "Apa yang terjadi, Bibi? Apa Alana ada di dalam?" tanya Zain. "Nona berendam sambil tertidur, Tu.. Tuan," ujar Bibi Suami sambil gugup. "Apa!" Suara lantang Zain membuat Bibi Sumi ketakutan. Takut Tuan mudanya marah besar. "Jadi, asal air ini dari dalam kamar mandi?!" tanya Zain tegas. "Benar bikin repot saja wanita itu?!" geram Zain lagi dan masuk dalam kamar mandi. Terlihat jelaslah wajah Alana di sana. Hingga ma
Bab 1. Pertemuan Alana dan ZainBaru pulang dari tempat kuliah, Alana terkejut ketika masuk di ruang rawat paman Handoko. Alana mendapati sepasang suami istri dan seorang pemuda tengah menatapnya. Seluruh tubuh Alana gemetar dan terbayang perkataan paman Handoko yang merupakan pengganti orang tua Alana. Kedua Orang tua Alana sudah lama meninggal dunia akibat kecelakaan beruntung ketika Alana masih berusia 12 tahun. 'Apakah ini maksud paman?' batin Alana tidak percaya jika apa yang dikatakan beberapa hari yang lalu tentang perjodohan itu benar adanya. Tante berlin yang merupakan istri paman handoko beranjak dari tempat duduknya. "Alana, perkenalkan, ini Om Danu Hermawan dan Ini istrinya Tante Sinta. Dan di sampingnya merupakan putranya yang bernama Zain. "Nak Zain, ini Alana, " Ujar Tante Berlin dan berbisik pada Alana. "Alana senyum, ingat pamanmu." Bisik Tante Berlin. Zain beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Alana berkenalan. "Zain.""Alana," Jawab Alana dengan senyum. Pe
Bab 2. PernikahanTampak ramai terlihat ruang yang akan di gunakan untuk melakukan ijab kabul. Hingga tiba waktu, Ijab qabul pun berlangsung dengan hikmat. SAHSeketika, Alana menjatuhkan air mata yang yang Alana tidak tahu air mata apa. Tapi Alana yakin, Zain adalah pilihan terbaik untuknya. "Nak, Ayo kita temui suamimu," Ajak Ibu Sinta membawa Alana menuju di mana Zain usai mengucapkan janji suci. Penampilan Alana hari itu sangat berbeda dari bisanya. Terlihat begitu anggun nan ayu. Siapa pun yang melihat akan terpesona. Namun ternyata berbeda dengan Zain, Di mata Zain, Alana tidak lain adalah perusak kebahagiaan dalam percintaannya dengan kekasih hati. Tatapan itu begitu tajam mengarah pada Alana yang kini sudah tiba di depan mata. "Zain?" tegur Ibu Santi melihat Zain tidak berkedip menatap Alana yang kini berdiri di depannya. Zain mengumbar senyum dan sedikit bergeser memberikan ruang untuk Alana duduk di sisinya. "Pasangkan cincinnya," pinta Ibu Santi lagi. Tuan Danu terus
Bab 3. KecewaAlana menatap dirinya di cermin sepeninggal Zain. Alana merasa sangat malu pada dirinya sendiri yang sudah begitu percaya diri jika Zain juga akan mencintainya. Air mata itu akhirnya keluar juga setelah melihat Zain sudah tidak ada di kamar. Isak tangis Alana terdengar memenuhi ruang kamar. Alana sekuat mungkin mencoba menjadi wanita yang kuat. "Kamu pikir, kamu siapa Zain?" isak tangis Alana dalam kesendiriannya. "oh Tuhan, kuatkan aku." Alana menatap dirinya lewat pantulan cermin. Hingga pada akhirnya, Alana selesai berganti, Alana pun bersiap untuk menemui keluarga besar Zain. ***"Zain, mana Alana, Nak?" tanya Ibu Sinta. "Sementara berganti, Bu." Senyum Zain. "Alana baik-baik saja, kan?" Tanya Ibu santi khawatir. "Ibu, apa Zain terlihat begitu menyeramkan?" tanya Zain begitu pintar menyembunyikan semuanya. Selang beberapa waktu, Alana pun tiba dengan gaun yang dikenakan begitu cocok dengan tubuh rampingnya yang sebelumnya diberikan oleh Zain. Terlihat Alana
Bab 4. Akan Pindah RumahPagi tiba, Alana ikut kembali bergabung dengan keluarga besar Zain. Zain menggandeng tangan Alana dengan mesra menuju meja makan bahkan memperlakukan Alana seakan mereka seperti pengantin baru pada umumnya. 'Jangan memperlakukan aku seperti ini, Mas. Aku akan semakin tersakiti,' batin Alana melihat tangan zain. 'Jangan baper Alana. Tahu diri. Kamu hanya istri separuh masa. Ingat itu.' batin Alana lagi. Alana hanya mampu berperan dengan batinnya. "Ayo, Sayang," Pinta Zain meminta Alana untuk duduk. "Iya," Jawab Alana menatap Zain. "Terimakasih." Alana duduk di kursi depan meja makan yang Zain siapkan. "Nah, gitu dong," ucap Ibu Sinta terlihat bahagia melihat Zain dan Alana bahagia di depan mata mereka. "Zain, teruslah bahagiakan istrimu. Jangan sia-siakan Alana," Ujar Tuan Danu pada putranya. "Alana istri yang tepat untukmu."Zain menggenggam tangan Alana dan berkata, "Pasti ayah." lalu, Zain mengecup tangan Alana di depan kedua orang tua Zain. Alana mak
Bab 5. PamitAlana mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku baik-baik saja paman." "Iya, Paman. Alana baik-baik saja. Jangan khawatirkan Alana." Zain melanjutkan ucapan Alana. Paman Handoko tersenyum dan berkata, "Nak Zain, aku titip ponakan paman padamu. Aku percaya padamu." Alana rasa ingin menumpahkan perasaannya mendengar hal tersebut. Namun, Alana tak kuasa. Alana memilih diam seribu bahasa dengan hati yang hancur, terluka. "Iya paman." Jawab Zain menatap Alana sebagai kode agar Alana segera pamit. Sejujurnya, Zain sedari tadi gelisah untuk segera pulang dan berangkat meninggalkan kota A menuju kota J. Zain sudah sangat merindukan pujaan hatinya. Alana menoleh dan kembali Zain memberi kode. Alana menoleh kearah paman Handoko juga pada Tante Berlin, lalu pamit. "Paman, Tante, Alana pamit. Hari ini Mas Zain akan membawa Alana pindah kota. Alana dan Mas Zain akan tinggal di sana. "Wah, bagus itu!" Sahut Tante Berlin spontan.Paman Handoko menoleh kearah istrinya. Tante Berlin la
Bab 6. Pindah Rumah"Alana?" Panggil nenek Fatimah melihat Alana tengah mengusap air matanya. "Kenapa Sayang?" Alana terlihat gugup. Apakah nenek Fatimah mendengar keluhan sebelumnya? "Alana baik-baik saja, Nak?" Kembali Nenek Fatimah bertanya dan duduk di samping Alana yang duduk di atas kasur empuk tersebut. Alana tersenyum dan berkata, "Iya nenek. Alana hanya teringat sama almarhum ayah dan Ibu." "Oh sayang, kami adalah org tuamu, Nak. Jangan bersedih. Semua akan baik saja. Seiring berjalannya waktu, kau dak Zain akan hidup bahagia," ucap Nenek Fatimah yang tujuannya datang memang ingin berbincang-bincang banyak dengan Alana juga untuk memberikan nasehat. "Terimakasih, Nenek. Alana sayang Nenek." Alana terlihat bahagia. Nenek Fatimah pun memeluk Alana. "Teruslah berbahagia, Nak. jika ada perlakuan Zain yang tidak berkenan di hatimu suatu hari nanti, jangan segan-segan memberitahu pada kami. Kamu sabar ya sayang. Zain itu orang sibuk, jadi jangan lupa selalu ingatkan dia."'Ne
Bab 9. Menyentuh Pertama KalinyaZain terkejut melihat air merembes masuk dalam kamar. Entah di mana sang pemilik kamar tidak terlihat. Zain mencari seseorang, akan tetapi tidak terlihat olehnya. "Di mana Alana, Bibi?" tanya Zain sambil menjinjit karena air di dalam kamar sudah merembes kemana-mana. "Bagaimana bisa air merembes seperti ini, Bibi?" Kembali Zain bertanya sambil menatap heran Bibi Sumi. Bibi Sumi yang berdiri di depan pintu kamar mandi hanya bisa mematung sambil melihat masuk ke dalam ruang kamar mandi, dimana Alana pulas dalam tidurnya sambil berendam. "Apa yang terjadi, Bibi? Apa Alana ada di dalam?" tanya Zain. "Nona berendam sambil tertidur, Tu.. Tuan," ujar Bibi Suami sambil gugup. "Apa!" Suara lantang Zain membuat Bibi Sumi ketakutan. Takut Tuan mudanya marah besar. "Jadi, asal air ini dari dalam kamar mandi?!" tanya Zain tegas. "Benar bikin repot saja wanita itu?!" geram Zain lagi dan masuk dalam kamar mandi. Terlihat jelaslah wajah Alana di sana. Hingga ma
Bab 8. Pertemuan Zain dengan Pujaan HatiZain menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Lalu,. mematikan mesin mobilnya, "Marina sayang, dengarkan aku. Aku belum bisa sepenuhnya dulu menemani dirimu. Bukan aku tidak menginginkan dirimu. Akan tetapi, kau harus tahu keadaa aku sekarang. Ya...." Zain mengenggam tangan Marina. Marina melepaskan genggaman Zain dengan kasar. "Yasudah, aku mengerti." jawab Marina berharap Zain mai mengerti dirinya. "Kalau begitu aku ikut ke kantor." "Bukan tidak mau, Sayang. Tetapi, bim saatnya." "Kenapa. Sebelumnya juga aku sering kekantot. Harusnya hati itu, kamu tidak menikahi wanita itu, Zain. Harusnya hari itu, akulah yang kamu nikahi. Bukan Alana itu!" geram Marina. "Kan aku sudah ajak kamu menikah. Akan tetapi, kamu yang belum siap." ujar Zain. "Bgaimana bisa kita menikah hari itu, restu saja dari ayah dan ibumu tidak ada. Apa kita akan me ikah tanpa restu? Tidak, Zain. Aku ingin menikah dengan degan adanya restu." bela diri Marin sendiri yang ingat
Bab 7. Menepis rasaTidak ada hak aku untuk ikut campur dalam urusan kami di luar sana, Tuan Zain. Aku cukup tahu diri posisi aku di mana." Air mata itu seakan tertahan dengan kepedihan begitu dalam. Hati Alana menjerit. Apa lagi ketika Alana menyadari akan perasaannya pada Zain yang masih berharap. Alana merutuki takdirnya yang tidak pernah berhenti datang menerpa. Saat masih bersama Paman dan bibinya, Dirinya pun harus mengorbankan perasaannya, memilih mengalah untuk tidak berdebat dengan tante Berlin yang tidak pernah suka akan kehadiran dirinya di rumah pamannya. Tiba sekarang, kembali rasa sakit, kecewa atas perlakuan seorang suami yang tidak bersyukur menerima keberadaan dirinya. Alana terus merutuki dirinya yang medapat perlakuan terabaikan. Berharap menjadi istri yang diterima oleh Zain sangat jauh hal itu akan terjadi. 'Kuatkan aku, Tuhan.' batin Alana yang bukan berarti dirinya begitu bodoh untuk bertahan sebagai istri tak dianggap. Namun, beberapa alasan membuat dirinya b
Bab 6. Pindah Rumah"Alana?" Panggil nenek Fatimah melihat Alana tengah mengusap air matanya. "Kenapa Sayang?" Alana terlihat gugup. Apakah nenek Fatimah mendengar keluhan sebelumnya? "Alana baik-baik saja, Nak?" Kembali Nenek Fatimah bertanya dan duduk di samping Alana yang duduk di atas kasur empuk tersebut. Alana tersenyum dan berkata, "Iya nenek. Alana hanya teringat sama almarhum ayah dan Ibu." "Oh sayang, kami adalah org tuamu, Nak. Jangan bersedih. Semua akan baik saja. Seiring berjalannya waktu, kau dak Zain akan hidup bahagia," ucap Nenek Fatimah yang tujuannya datang memang ingin berbincang-bincang banyak dengan Alana juga untuk memberikan nasehat. "Terimakasih, Nenek. Alana sayang Nenek." Alana terlihat bahagia. Nenek Fatimah pun memeluk Alana. "Teruslah berbahagia, Nak. jika ada perlakuan Zain yang tidak berkenan di hatimu suatu hari nanti, jangan segan-segan memberitahu pada kami. Kamu sabar ya sayang. Zain itu orang sibuk, jadi jangan lupa selalu ingatkan dia."'Ne
Bab 5. PamitAlana mengangkat wajahnya dan berkata, "Aku baik-baik saja paman." "Iya, Paman. Alana baik-baik saja. Jangan khawatirkan Alana." Zain melanjutkan ucapan Alana. Paman Handoko tersenyum dan berkata, "Nak Zain, aku titip ponakan paman padamu. Aku percaya padamu." Alana rasa ingin menumpahkan perasaannya mendengar hal tersebut. Namun, Alana tak kuasa. Alana memilih diam seribu bahasa dengan hati yang hancur, terluka. "Iya paman." Jawab Zain menatap Alana sebagai kode agar Alana segera pamit. Sejujurnya, Zain sedari tadi gelisah untuk segera pulang dan berangkat meninggalkan kota A menuju kota J. Zain sudah sangat merindukan pujaan hatinya. Alana menoleh dan kembali Zain memberi kode. Alana menoleh kearah paman Handoko juga pada Tante Berlin, lalu pamit. "Paman, Tante, Alana pamit. Hari ini Mas Zain akan membawa Alana pindah kota. Alana dan Mas Zain akan tinggal di sana. "Wah, bagus itu!" Sahut Tante Berlin spontan.Paman Handoko menoleh kearah istrinya. Tante Berlin la
Bab 4. Akan Pindah RumahPagi tiba, Alana ikut kembali bergabung dengan keluarga besar Zain. Zain menggandeng tangan Alana dengan mesra menuju meja makan bahkan memperlakukan Alana seakan mereka seperti pengantin baru pada umumnya. 'Jangan memperlakukan aku seperti ini, Mas. Aku akan semakin tersakiti,' batin Alana melihat tangan zain. 'Jangan baper Alana. Tahu diri. Kamu hanya istri separuh masa. Ingat itu.' batin Alana lagi. Alana hanya mampu berperan dengan batinnya. "Ayo, Sayang," Pinta Zain meminta Alana untuk duduk. "Iya," Jawab Alana menatap Zain. "Terimakasih." Alana duduk di kursi depan meja makan yang Zain siapkan. "Nah, gitu dong," ucap Ibu Sinta terlihat bahagia melihat Zain dan Alana bahagia di depan mata mereka. "Zain, teruslah bahagiakan istrimu. Jangan sia-siakan Alana," Ujar Tuan Danu pada putranya. "Alana istri yang tepat untukmu."Zain menggenggam tangan Alana dan berkata, "Pasti ayah." lalu, Zain mengecup tangan Alana di depan kedua orang tua Zain. Alana mak
Bab 3. KecewaAlana menatap dirinya di cermin sepeninggal Zain. Alana merasa sangat malu pada dirinya sendiri yang sudah begitu percaya diri jika Zain juga akan mencintainya. Air mata itu akhirnya keluar juga setelah melihat Zain sudah tidak ada di kamar. Isak tangis Alana terdengar memenuhi ruang kamar. Alana sekuat mungkin mencoba menjadi wanita yang kuat. "Kamu pikir, kamu siapa Zain?" isak tangis Alana dalam kesendiriannya. "oh Tuhan, kuatkan aku." Alana menatap dirinya lewat pantulan cermin. Hingga pada akhirnya, Alana selesai berganti, Alana pun bersiap untuk menemui keluarga besar Zain. ***"Zain, mana Alana, Nak?" tanya Ibu Sinta. "Sementara berganti, Bu." Senyum Zain. "Alana baik-baik saja, kan?" Tanya Ibu santi khawatir. "Ibu, apa Zain terlihat begitu menyeramkan?" tanya Zain begitu pintar menyembunyikan semuanya. Selang beberapa waktu, Alana pun tiba dengan gaun yang dikenakan begitu cocok dengan tubuh rampingnya yang sebelumnya diberikan oleh Zain. Terlihat Alana
Bab 2. PernikahanTampak ramai terlihat ruang yang akan di gunakan untuk melakukan ijab kabul. Hingga tiba waktu, Ijab qabul pun berlangsung dengan hikmat. SAHSeketika, Alana menjatuhkan air mata yang yang Alana tidak tahu air mata apa. Tapi Alana yakin, Zain adalah pilihan terbaik untuknya. "Nak, Ayo kita temui suamimu," Ajak Ibu Sinta membawa Alana menuju di mana Zain usai mengucapkan janji suci. Penampilan Alana hari itu sangat berbeda dari bisanya. Terlihat begitu anggun nan ayu. Siapa pun yang melihat akan terpesona. Namun ternyata berbeda dengan Zain, Di mata Zain, Alana tidak lain adalah perusak kebahagiaan dalam percintaannya dengan kekasih hati. Tatapan itu begitu tajam mengarah pada Alana yang kini sudah tiba di depan mata. "Zain?" tegur Ibu Santi melihat Zain tidak berkedip menatap Alana yang kini berdiri di depannya. Zain mengumbar senyum dan sedikit bergeser memberikan ruang untuk Alana duduk di sisinya. "Pasangkan cincinnya," pinta Ibu Santi lagi. Tuan Danu terus
Bab 1. Pertemuan Alana dan ZainBaru pulang dari tempat kuliah, Alana terkejut ketika masuk di ruang rawat paman Handoko. Alana mendapati sepasang suami istri dan seorang pemuda tengah menatapnya. Seluruh tubuh Alana gemetar dan terbayang perkataan paman Handoko yang merupakan pengganti orang tua Alana. Kedua Orang tua Alana sudah lama meninggal dunia akibat kecelakaan beruntung ketika Alana masih berusia 12 tahun. 'Apakah ini maksud paman?' batin Alana tidak percaya jika apa yang dikatakan beberapa hari yang lalu tentang perjodohan itu benar adanya. Tante berlin yang merupakan istri paman handoko beranjak dari tempat duduknya. "Alana, perkenalkan, ini Om Danu Hermawan dan Ini istrinya Tante Sinta. Dan di sampingnya merupakan putranya yang bernama Zain. "Nak Zain, ini Alana, " Ujar Tante Berlin dan berbisik pada Alana. "Alana senyum, ingat pamanmu." Bisik Tante Berlin. Zain beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Alana berkenalan. "Zain.""Alana," Jawab Alana dengan senyum. Pe