Bug!
"Kenapa kau baru datang, sih? Kau tahu kan kalau aku pasti terlambat datang ke kantor?" Begitu membuka pintu kamar keponakannya, Alenta langsung dilempar dengan handuk yang agak basah oleh kakak perempuannya. Gadis yang beberapa hari lalu baru berusia 23 tahun itu tentu saja terkejut. Namun, segera dipaksakannya senyum. “Maaf, Kak,” ucap Alenta pelan. Handuk yang tadi dilemparkan ke wajahnya, gegas diletakkan di tempat untuk mengeringkan handuk. Setelah itu, Alenta bergegas mendekati tempat tidur yang biasanya digunakan oleh Elea, keponakannya yang baru berusia 1 tahun. "Selamat pagi, Elea?" sapanya lembut seperti biasanya. Balita itu sontak tersenyum manis, menghangatkan hati Alenta. Hanya saja itu tak berlangsung lama karena sang kakak masih menatapnya tajam. "Ck! Kerjamu di rumah hanyalah makan tidur saja, kenapa kau sering sekali terlambat?!" Mendengar itu, Alenta terdiam. Dia menegakkan tubuhnya yang sebelumnya menunduk karena melihat Elea yang saat itu tengah sibuk dengan mainannya di dalam boks tidurnya. "Aku benar-benar minta maaf karena terlambat hari ini, Kak. Tadi, ibu memintaku untuk membantunya menanam bibit tanaman yang baru Ibu beli,” jawab Alenta jujur, “Aku sudah bilang dengan Ibu kalau nanti aku bisa terlambat untuk datang ke rumah kakak. Tapi, Ibu tidak mau dengar, dan justru mengomel." Namun, Julia justru memutar bola matanya jengah. "Kalau kau butuh waktu untuk membantu Ayah atau Ibu, seharusnya kau juga bisa bangun lebih pagi, kan?" sinisnya. Alenta akhirnya memilih diam. Dia tidak lagi menanggapi apa yang diucapkan oleh Kakak perempuannya itu. Seperti inilah kehidupan yang Alenta jalani selama ini. Sejak kecil, Julia selalu menjadi nomor satu. Kakak Alenta itu cantik dan selalu mendapatkan juara kelas dan beasiswa. Tak hanya itu, dia pun akhirnya menikah dengan Edward, pria yang sangat tampan berkewarganegaraan asing dan memberikan seorang anak perempuan yang benar-benar cantik dan juga manis, seperti Elea. Hal ini jelas berbeda dengan Alenta. Bukan hanya tidak memiliki kecantikan atau kepintaran yang dimiliki oleh kakaknya, Alenta tidak beruntung. Salah satu tangannya memiliki 6 jari. Alenta pun sulit untuk menemukan pekerjaan, sehingga begitu Julia melahirkan, Alenta langsung diminta untuk menjadi babysitter Elea. "Ck! Sudahlah! Malas aku melihatmu lama-lama,” ucap Julia tiba-tiba. “Karena aku sudah memandikan Elea, sekarang kau bersihkan dulu lantai di sebelah tangga!" titahnya, "Tadi, aku menumpahkan jus kiwi karena terburu-buru saat mendengar suara tangis Elea." Alenta mengangguk dengan cepat. Dia pun bergegas mengambil alat untuk mengepel dan melakukan sesuai instruksi Julia. Ia memastikan sisa jus kiwi itu tak bersisa. “Oek! Oek!” Suara tangis Elea tiba-tiba terdengar. Alenta sontak berhenti dari pekerjaannya. Dia pikir Julia pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengenakan make-up, seperti biasa. Sangat berbahaya jika Elea sendiri. Julia pasti juga akan kesal bila mendengar tangis Elea. Jadi, Alenta pun meninggalkan tangga itu sedikit agak basah. Begitu sampai di kamar Elea, Alenta segera meraih tubuh kecil itu dan membawanya ke dalam gendongan. “Anak manis, jangan menangis, ya!” Alenta sibuk mencoba untuk menenangkan Elea. Hanya saja, Alenta tidak pernah menduga sama sekali jika niat baiknya itu justru akan berakhir celaka. Saat ini, Julia keluar dari kamarnya dengan terburu-buru–tidak sesuai dengan dugaannya. "Sudah tidak ada lagi waktu untuk menggunakan make-up, aku harus benar-benar segera sampai ke kantor. Nanti, make-up di kantor saja deh!" ujarnya sembari membuka tasnya dan memastikan benar semua barang-barang yang dia butuhkan sudah masuk ke dalam sana. Lantai di dekat tangga yang basah itu juga tak diperhatikan oleh Kakak Alenta itu. Jadi, begitu heels tinggi Julia menapak di lantai yang basah, tubuhnya terpelanting. Sialnya lagi, dia tak bisa meraih pegangan tangga karena heels yang dia gunakan membuat kakinya tak seimbang. "Arrggh!" teriak Julia kesakitan. Namun jelas, teriakannya itu tak bisa menghentikan laju tubuhnya yang mulai menggelinding menuruni anak tangga. Mendengar kakaknya berteriak, Alenta tersentak. Dia bergegas melihat apa yang terjadi dengan meletakkan Elea di boks bayi. "Kak?" panggil Alenta mencari keberadaan kakaknya. Hanya saja, mata Alenta membulat sempurna saat teringat bahwa dia mengepel lantai di dekat tangga dan membiarkan agak basah. Segera, gadis itu berlari cepat untuk melihat ke arah tangga. Benar saja! Kakaknya sudah tergeletak penuh darah di sana….. "Kakak!!!" teriak Alenta panik. Suaranya begitu keras, hingga membuat seisi rumah melihat apa yang terjadi. **** Kini, Alenta duduk di ruang tunggu ruangan di mana kakaknya sedang mendapatkan perawatan saat ini. Tubuhnya benar-benar sangat gemetar. Dia terlalu takut membayangkan kemungkinan terburuk yang terjadi dengan kakaknya. "Alenta!" panggil kedua orang tua Alenta yang baru saja datang. Mereka menghampiri dan menatapnya dengan ekspresi khawatir. "Bagaimana keadaan kakakmu?" Alenta menyeka air matanya sembari menggelengkan kepala. Dia memang tidak tahu bagaimana keadaan kakaknya. Dokter yang memeriksa kakaknya di dalam juga masih belum keluar sejak tadi dia menunggu. Melihat respons Alenta, kedua orang tuanya itu terlihat sangat frustasi. "Sebenarnya, apa yang terjadi? Bagaimana bisa kakakmu jatuh dari tangga?!" tanya sang ibu menahan marah. Hal ini membuat Alenta tertunduk. Dia hanya bisa terus menangis. Rasanya, benar-benar berat sekali mengakui bahwa dia adalah orang yang bersalah dan membuat kakaknya celaka. Sungguh, dia terlalu takut untuk mendapatkan kebencian yang lebih lagi dari kedua orang tuanya. Tapi, entah mengapa, ikatan batin ibu dan anak begitu kuat. Ibu Alenta dan Julia itu seolah bisa mengerti apa yang terjadi meski tanpa mendapatkan jawaban dari putri keduanya. Tatapan marah dan kecewa terpancar dari wajahnya. Wanita paruh baya itu langsung mencengkram kedua lengan Alenta. "Apa kau yang membuat kakakmu celaka? Cepat katakan sesuatu, jangan diam saja!" cecarnya. “Ibu, maafkan aku–” Plak!Plak!Satu tamparan mendarat di wajah Alenta. Sang ibu masih mencengkram kedua lengan tangan Alenta dengan marah, "Bagaimana bisa kau membuat kakakmu celaka, Alenta?!" bentaknya frustasi, "apa kau tahu seberapa sulitnya Julia selama ini?” “Kakakmu itu tidak pernah menyusahkan kami selaku orang tuanya! Berbeda dengan kau yang hanya tahu menghabiskan uang untuk sekolah dan lainnya! Baru saja diminta untuk menjaga anaknya, kau justru mencelakai kakakmu sendiri! Dasar, kau benar-benar anak yang tidak berguna!"Cercaan ibu yang tak henti membuat Alenta hanya bisa menangis. Dia tak melakukan perlawanan apapun saat Ibunya terus memukulinya berkali-kali."Maaf, aku benar-benar tidak sengaja...." lirih Alenta, tak kalah frustasi. Dia hanya ingin Ibunya mendengarkan apa yang dia bicarakan.Sayangnya, itu sebatas angan saja. Bagi Ibunya, Alenta adalah anak yang selalu merugikan dan membuat ulah meski sebenarnya Alenta sendiri tak pernah melakukan apapun.Jadi, ditatapnya tajam Alenta. "Kala
Kini Alenta kembali ke rumah milik Julia dan Edward, sesuai yang diperintahkan oleh kedua orang tuanya. Sejak tadi, Elea terus menangis mencari keberadaan Alenta. Memang dibanding memanggil Ibu yang biasanya akan sering dilakukan oleh para bayi saat pertama kali bisa mengucapkan sebuah kata, Elea justru mengucapkan kata Bibi. Alenta pun langsung memeluk Elea erat setelah mengambilnya dari gendongan pelayan di rumah itu."Maafkan saya yang tidak bisa menenangkannya, Nona Alenta. Saya benar-benar sudah mencobanya dengan sebisa saya, tetapi Nona Elea benar-benar terus mencari keberadaan Anda." Dia tentu saja tahu bahwa saat ini seluruh anggota keluarga sedang pusing karena Nyonya rumahnya sedang berada di dalam rumah sakit. Tapi, Elea terus menangis, hingga dia terpaksa menghubungi Edward dan menyampaikan tentang kondisi bayi satu tahun itu.Sementara itu, Alenta memaksakan senyumnya. “Tidak apa, Bi.”Tentu saja, dia tahu benar bahwa keponakannya itu memang tidak terbiasa dengan si
Entah bagaimana ceritanya, Herin berhasil membujuk Edward dan kedua orangtuanya terkait pernikahan sementara antara pria itu dan Alenta.Sebuah surat perjanjian pun dibuat untuk mengamankan posisi Julia.Intinya adalah Alenta harus menurut pada Edward dan tidak boleh menuntut apapun dari pria itu. Elea juga tak boleh memanggilnya ibu. Selain itu, Alenta tidak boleh menghamburkan uang Edward ataupun mengenalkan diri sebagai istrinya Edward dengan orang luar. Perjanjian ini benar-benar hanya menguntungkan Edward dan sangat merugikan Alenta!Saat dua bulan Julia terbaring di rumah sakit, pernikahan itu pun digelar dengan amat tertutup dan tidak tercatat secara sah pada catatan sipil. Hanya para orang tua dan juga saksi dari luar sebanyak dua orang yang menghadirinya.Sepanjang acara, Alenta benar-benar tak berekspresi sama sekali. Dia sudah lelah untuk menangis. Berat badannya bahkan turun drastis! Dari 48 kg kini menjadi 40 kg saja. Padahal, tinggi gadis itu 163 cm.Setelah acara per
"Cobalah untuk menggunakan perawatan wajah, pakailah pakaian yang lebih baik! Kalau begini, apa gunanya kau memposisikan dirimu sebagai kakakmu untuk sementara waktu kalau adanya kau juga tidak mengubah apapun?" Lagi, Nyonya Karina berbicara sesuka hati.Alenta hanya bisa memaksakan senyumnya. Dia sendiri tentu saja menginginkan pakaian-pakaian yang bagus dan juga cocok untuk dirinya. Tapi, bagaimana bisa dia membeli pakaian yang bagus dan membeli perawatan wajah jika dia tidak bekerja sama sekali? Padahal, dia ingin menggunakan ijazahnya sebagai sarjana ekonomi. Tapi, kakaknya memaksa dirinya untuk mengurus Elea satu tahun ini.Kakaknya itu juga tak memberikan uang padanya karena menganggap apa yang sedang dilakukan oleh Alenta adalah bentuk balas budi setelah dibiayai kuliahnya."Baik, saya akan mengingat saran Nyonya dengan baik," ujar Alenta patuh. Nyonya Karina berdecih kesal, malas sekali melihat Alenta, sunguh. "Sudahlah, kau pergi saja sana! Aku malas melihatmu," usir N
Sejak hari dimana Edward dan juga Alenta membicarakan tentang kesepakatan, Edward jadi sedikit lebih banyak meluangkan waktu untuk tinggal di rumah.Bermain bersama Elea sesekali, meski tetap saja masih banyak waktu yang di habiskan dengan pekerjaannya.Alenta memilih untuk menyibukkan diri selama Elea bersama Ayahnya. Tapi, semua itu tidak pernah bertahan lama karena Elea sebentar-sebentar justru mencari keberadaan Alenta.Tak memiliki pilihan lain, pada akhirnya Alenta datang untuk menemui keponakan yang sudah bagaikan anak untuknya."Bibi!" Teriak Elea girang.Elea mengulurkan kedua tangannya, tak perduli saat itu dia sedang berada di gendongan Ayahnya.Edward tak menunjukkan ekspresi apapun. Dia membiarkan saja Elea terus seperti itu.Alenta tentu saja merasa tidak tega, dia segera mengambil Elea dari gendongan Edward."Bi, makan..." pintanya segera.Alenta tersenyum, dia mengangguk karena paham benar apa yang diinginkan oleh Elea."Camilanmu sudah Bibi siapkan, kita ambil sekaran
"Ada apa?" Tanya Edward. Matanya menatap Alenta dengan tatapan penuh tanya. Mendengar pertanyaan dari Edward, Alenta bergegas mengatakan maksud kedatangannya ke sana. "Boleh aku membawa Elea ikut ke pusat belanja, kak?"Alenta menatap Edward dengan tatapan memohon, dia tidak mungkin meninggalkan Elea di rumah untuk tinggal bersama dengan Ayahnya dan juga pelayan rumah. Elea pasti akan menangis mencarinya nanti. Edward berpikir sebentar, tentu lah dia dia tidak bisa menolak karena tahu benar bagaimana Elea yang tidak bisa jauh dari Alenta. Edward membuang nafasnya. "Aku akan mengantar kalian," ucap Edward. Mengingat Julia celaka karena sebuah kecerobohan, Edward tengah mencoba meminimalisir bahaya baru datang. Elea adalah anaknya, tidak mungkin dia tidak perduli. Alenta memaksakan senyumnya. Padahal, dia hanya ingin pergi berdua saja dengan Elea, pasti canggung sekali kalau Edward ikut bersama mereka. "Kalau begitu, aku pergi dulu ke kamar Elea. Aku harus mengganti pakaian Ele
Sekembalinya mereka ke rumah, Edward langsung meninggalkan rumah dengan alasan adanya pekerjaan di luar.Saat ini, Elea sedang tidur. Alenta mengeluarkan satu persatu pakaian yang dia beli di pusat belanja tadi, dia menatap semua pakaian yang ia beli itu dengan kikuk.Alenta jarang sekali menggunakan dress, dia merasa benar-benar tidak pantas dan tidak nyaman. Tapi, ucapan Karina selaku Ibu mertuanya sekarang begitu membekas di kepalanya.Alenta menelan salivanya sendiri, pikirannya rancu dan gelisah.Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, mencoba melihat apakah ada notifikasi pesan dari ibunya atau tidak."Kenapa ibu sama sekali tidak pernah membalas pesan dariku?" gumam Alenta sedih.Sebenarnya, Alenta hanya ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya saat ini, tapi dia tidak pernah mendapatkan balasan pesan yang diinginkan dari Ibu ataupun Ayahnya.Sampai saat ini, Alenta juga masih tidak diberikan izin untuk bertemu dengan kakaknya. Ibunya bilang, dia takut kalau nanti Alen
Mendengar ucapan Edward, Alenta sontak membeku.Dia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah, tubuhnya juga mulai gemetar takut."Kak, apa yang akan kakak ipar lakukan?" tanya Alenta gugup.Edward membuang kemejanya ke sembarang arah begitu saja, kembali menatap Alenta sebentar sebelum pada akhirnya dia kembali menahan tangan Alenta, berakhir dengan mencium bibir Alenta secara kasar dan paksa."Ugh!" Pekik Alenta.Alenta pasrah, dia sedih dan tidak rela. Dia ingin melakukan hal semacam itu dengan suami yang sesungguhnya kelak, bukan dengan kakak iparnya.Memang, kakak iparnya juga adalah suaminya sekarang. Tapi, bayangan Julia jelas saja menghantui dirinya.Edward tak perduli, dia hanya ingin mendapatkan apa yang dia inginkan saat itu. Dia menyentuh tubuh Alenta semaunya, tak melihat sama sekali Alenta yang diam namun terlihat tidak rela.Malam itu, Edward benar-benar melakukannya.Suara lenguhan yang keluar dari mulut Edward terdengar memenuhi ruangan.Sementara Alenta, dia me
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y