Sejak hari dimana Edward dan juga Alenta membicarakan tentang kesepakatan, Edward jadi sedikit lebih banyak meluangkan waktu untuk tinggal di rumah.
Bermain bersama Elea sesekali, meski tetap saja masih banyak waktu yang di habiskan dengan pekerjaannya.Alenta memilih untuk menyibukkan diri selama Elea bersama Ayahnya. Tapi, semua itu tidak pernah bertahan lama karena Elea sebentar-sebentar justru mencari keberadaan Alenta.Tak memiliki pilihan lain, pada akhirnya Alenta datang untuk menemui keponakan yang sudah bagaikan anak untuknya."Bibi!" Teriak Elea girang.Elea mengulurkan kedua tangannya, tak perduli saat itu dia sedang berada di gendongan Ayahnya.Edward tak menunjukkan ekspresi apapun. Dia membiarkan saja Elea terus seperti itu.Alenta tentu saja merasa tidak tega, dia segera mengambil Elea dari gendongan Edward."Bi, makan..." pintanya segera.Alenta tersenyum, dia mengangguk karena paham benar apa yang diinginkan oleh Elea."Camilanmu sudah Bibi siapkan, kita ambil sekarang ya?" Ajak Alenta.Alenta sebentar menatap Edward, namun Edward justru dengan cepat mengalihkan pandangan.Alenta memaksakan senyumnya, hatinya sakit namun dia tahu dia tidak berhak untuk marah dan juga tersinggung.Edward menatap kepergian Alenta bersama dengan Elea dengan segala pemikirannya. Sebenarnya, dia ingin membicarakan sesuatu dengan Alenta, tapi tiba-tiba saja dia merasa ragu dan memutuskan untuk tidak jadi mengatakan apa yang ingin dia katakan.Begitu sampai di dapur, Alenta dengan segera mengeluarkan camilan buatannya. Camilan itu dibuat Alenta semalam karena dia tidur bisa tidur.Alenta mengeluarkan sewadah camilan yang mirip seperti kentang goreng. Padahal, camilan itu terbuat dari tepung terigu yang dicampur dengan tepung tapioka, telur, ayam yang sudah di haluskan dan sedikit garam.Elea bertepuk tangan menyambut makanan yang datang padanya dengan ekspresi wajah yang bahagia.Alenta terkekeh melihat ekspresi wajah Elea, dia sangat bahagia karenanya. "Makan yang lahap, Sayang!"Alenta membantu Elea untuk memakan camilan buatannya. Dia bahkan sampai lupa kalau dia sendiri belum makan.Kruk...Alenta mengerutkan dahinya, mengusap perutnya yang berbunyi karena rasa lapar.Tidak ingin membuat tubuhnya kekurangan gizi yang berakibat sakit sehingga tidak bisa menjaga Elea, Alenta bergegas mengambil peralatan untuk makan. Seadanya saja yang dia ambil, yang penting dia kenyang.Alenta menikmati makan siangnya, tapi sepertinya itu tidak bisa bertahan lama.Elea terus saja tidak bisa tenang, tangannya terus terulur meminta Alenta untuk membawanya ke dalam pangkuannya.Alenta mencoba untuk mengacuhkan saja, Ia benar-benar terlalu lapar saat itu.Elea masih saja merengek, dan semakin menjadi.Alenta tidak tega melihat hal itu, dia meletakkan piringnya sebentar untuk bangkit dan membawa tubuh Elea di dalam gendongannya. Alenta juga mengambil camilan Elea yang masih belum habis meskipun dia sangat kesulitan menggunakan satu tangannya."Makanlah camilanmu dengan nyaman, oke? Bibi juga harus makan," pinta Alenta penuh harap.Meskipun Elea menjawab, "oke," nyatanya Elea hanyalah balita yang tidak memahami benar apa arti kata itu sehingga dia terus bergerak dan tidak tenang.Alenta mengabaikan hal itu, dia harus menghabiskan makanannya sesegera mungkin.Tanpa disadari oleh Alenta, ternyata sejak tadi Edward melihat hal itu dari kejauhan.Edward sebenarnya masihlah memiliki perasaan kesal luar biasa terhadap adik iparnya, tapi melihat bagaimana adik iparnya memperlakukan putrinya, Edward hanya bisa terdiam.Sama sekali Edward belum pernah melihat Julia makan sembari menggendong atau memangku Elea dan menenangkan Elea.Edward merasa, Alenta justru seperti Ibu kandungan Elea saja.Tidak ingin terus melihat Alenta meskipun dia merasa kasihan, nyatanya Elea juga pasti akan menolak Jika dia menggendongnya.Edward melangkahkan kakinya, segera meninggalkan tempat ia berdiri untuk melihat Alenta dan juga Elea beberapa saat tadi.Edward masuk ke dalam ruang kerja pribadinya, ruangan itu berada di ujung lorong melewati kamarnya dan juga kamar Julia.Di dalam sana, Edward mulai membuka laptop yang berada di atas meja. Dia menatap laptopnya. "Masih berfungsi juga ya?" Gumam Edward. Sebenarnya, tidak ada hal yang harus dikerjakan oleh Edward mengenai perusahaan. Namun, karena tiba-tiba saja dia terlintas di kepalanya untuk melihat rekaman kamera pengawas yang ada di kamar Elea, dan di sekitaran tangga di hari istrinya terjatuh, Edward jadi ingin memeriksa rekaman kamera pengawas secara rinci. Maklum saja, sejak kajadian itu meski sudah berlalu 2 bulan lebih nyatanya Edward juga tidak terpikirkan sebelumnya untuk melihat rekaman kamera pengawas. Setelah mencari beberapa saat, akhirnya Edward bisa mengakses rekaman video dari kamera pengawas di tanggal tersebut. Edward mengerutkan dahinya, dia benar-benar menonton rekaman video dengan sangat detail. "Mau bagaimanapun memikirkannya, Alenta memang tidak sengaja. Tapi, tetap saja semua karena Alenta mengepel tumpahan jus kiwinya Julia, kan?" Tanya Edward frustasi. Edward menutup laptopnya. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi yang dia duduki saat itu. Wajahnya mengadah menatap langit-langit ruangan sembari berpikir, Kenapa dia jadi merasa ragu untuk menyalahkan Alenta? Andai saja Julia tidak menumpahkan jus kiwi, andai saja Elea tidak menangis, andai saja Julia lebih berhati-hati Saat berjalan dengan heels tingginya. Edward menegakkan tubuhnya lalu mengusap wajahnya dengan kasar, Ia benar-benar sangat frustasi semakin memikirkan tentang hal itu. "Tapi sekarang, bahkan Alenta juga sudah menjadi istriku juga, kan?" Gumamnya pusing sendiri. Edward menghela nafasnya, dia tidak ingin lagi memikirkan itu. Satu Minggu ini dia sudah menghabiskan waktunya sedikit lebih banyak untuk berada di rumah, sesuai dengan permintaan ibunya. Edward bangkit dari duduknya, dia berjalan menuju ke pintu ruangan kerja pribadinya. "Alenta?" Begitu Edward membuka pintu ruangan kerja pribadinya, ternyata Alenta ada di depan pintu. Alenta berdiri dengan ekspresi yang tidak dapat diartikan oleh Edward."Ada apa?" Tanya Edward. Matanya menatap Alenta dengan tatapan penuh tanya. Mendengar pertanyaan dari Edward, Alenta bergegas mengatakan maksud kedatangannya ke sana. "Boleh aku membawa Elea ikut ke pusat belanja, kak?"Alenta menatap Edward dengan tatapan memohon, dia tidak mungkin meninggalkan Elea di rumah untuk tinggal bersama dengan Ayahnya dan juga pelayan rumah. Elea pasti akan menangis mencarinya nanti. Edward berpikir sebentar, tentu lah dia dia tidak bisa menolak karena tahu benar bagaimana Elea yang tidak bisa jauh dari Alenta. Edward membuang nafasnya. "Aku akan mengantar kalian," ucap Edward. Mengingat Julia celaka karena sebuah kecerobohan, Edward tengah mencoba meminimalisir bahaya baru datang. Elea adalah anaknya, tidak mungkin dia tidak perduli. Alenta memaksakan senyumnya. Padahal, dia hanya ingin pergi berdua saja dengan Elea, pasti canggung sekali kalau Edward ikut bersama mereka. "Kalau begitu, aku pergi dulu ke kamar Elea. Aku harus mengganti pakaian Ele
Sekembalinya mereka ke rumah, Edward langsung meninggalkan rumah dengan alasan adanya pekerjaan di luar.Saat ini, Elea sedang tidur. Alenta mengeluarkan satu persatu pakaian yang dia beli di pusat belanja tadi, dia menatap semua pakaian yang ia beli itu dengan kikuk.Alenta jarang sekali menggunakan dress, dia merasa benar-benar tidak pantas dan tidak nyaman. Tapi, ucapan Karina selaku Ibu mertuanya sekarang begitu membekas di kepalanya.Alenta menelan salivanya sendiri, pikirannya rancu dan gelisah.Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, mencoba melihat apakah ada notifikasi pesan dari ibunya atau tidak."Kenapa ibu sama sekali tidak pernah membalas pesan dariku?" gumam Alenta sedih.Sebenarnya, Alenta hanya ingin tahu bagaimana keadaan kakaknya saat ini, tapi dia tidak pernah mendapatkan balasan pesan yang diinginkan dari Ibu ataupun Ayahnya.Sampai saat ini, Alenta juga masih tidak diberikan izin untuk bertemu dengan kakaknya. Ibunya bilang, dia takut kalau nanti Alen
Mendengar ucapan Edward, Alenta sontak membeku.Dia menggigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah, tubuhnya juga mulai gemetar takut."Kak, apa yang akan kakak ipar lakukan?" tanya Alenta gugup.Edward membuang kemejanya ke sembarang arah begitu saja, kembali menatap Alenta sebentar sebelum pada akhirnya dia kembali menahan tangan Alenta, berakhir dengan mencium bibir Alenta secara kasar dan paksa."Ugh!" Pekik Alenta.Alenta pasrah, dia sedih dan tidak rela. Dia ingin melakukan hal semacam itu dengan suami yang sesungguhnya kelak, bukan dengan kakak iparnya.Memang, kakak iparnya juga adalah suaminya sekarang. Tapi, bayangan Julia jelas saja menghantui dirinya.Edward tak perduli, dia hanya ingin mendapatkan apa yang dia inginkan saat itu. Dia menyentuh tubuh Alenta semaunya, tak melihat sama sekali Alenta yang diam namun terlihat tidak rela.Malam itu, Edward benar-benar melakukannya.Suara lenguhan yang keluar dari mulut Edward terdengar memenuhi ruangan.Sementara Alenta, dia me
Sayangnya, Alenta hanya bisa mengangguk untuk merespons Edward, sehingga sarapan itu bisa berakhir tanpa perdebatan.Akan tetapi, Alenta tak bisa mengontrol dirinya, begitu tiba di kamar Elea.Dia tiba-tiba saja menangis.Hanya saja, begitu melihat Elea, Alenta gegas mengusapnya. Memang benar Elea belum memahami masalahnya, tapi dia tak ingin menggangu psikis keponakan kesayangannya itu.Jadi, satu-satunya yang Alenta bisa lakukan adalah mencoba untuk menghubungi Ibunya. Dia penasaran sekali dengan bagaimana keadaan kakaknya. Tapi, Ibunya justru membentaknya dengan kasar. "Tidak usah sok perduli, Alenta! Lakukan saja tugasmu dengan benar dan jangan mencoba untuk menemui Julia!" Seperti itulah ucapan Ibunya dari seberang telepon tadi. Alenta sedih sekali, tapi dia bisa apa?Sudah, dia tidak ingin terus saja menangis. Alenta bergegas berjalan mendekati Elea yang sudah mulai bangun dari tidur siangnya. Alenta menepuk wajahnya, dia mencoba tersenyum sebaik mungkin saat Elea mulai m
Edward menyerahkan tas kantornya kepada Alenta begitu juga dengan jas yang ia gunakan. Dia membiarkan Alenta mengurus barang-barangnya seperti kebiasaan mereka beberapa waktu terakhir ini. Edward bergegas masuk ke dalam kamar mandi, sementara Alenta sudah bersiap untuk menyiapkan pakaian ganti untuk Edward. Setelah semuanya selesai, Alenta bergegas meninggalkan kamar untuk menuju ke dapur. Makanan sudah tidak lagi hangat, jadi dia perlu menghangatkan sebentar untuk Edward makan nanti. Edward keluar dari kamar mandi, dia langsung menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Alenta. "Kak," panggil Alenta pelan. "Makanannya sudah siap," ucap Alenta memberitahu. "Hem...." jawab Edward singkat. Alenta juga belum makan, jadi dia berniat untuk makan dengan Edward. Tapi, niatnya itu sedikit terganggu saat Elea terbangun dari tidurnya. Edward keluar dari kamarnya, bergegas dia berjalan menuju meja makan. Dia sempat mendengar Elea yang menangis tapi dia tidak melakukan apapun karena dia
"Ibuku menghubungiku, dia mengatakan bahwa Kau membiarkan Elea makan sendiri. Makanan berantakan ke mana-mana, Apa itu benar?" tanya Edward, menatap Alenta dengan tatapan yang terlihat serius. Alenta terdiam sebentar, Sebenarnya dia tidak ingin menanggapi pertanyaan itu dan meminta maaf saja agar semuanya selesai dengan cepat. Akan tetapi, jika Alenta terus seperti itu, maka Karina dan juga Edward akan terus berpikir seenaknya saja tanpa pernah mau mencari tahu lebih dulu apa maksud tindakan Alenta. Alenta menghembuskan nafas panjangnya, dia menatap Edward sedikit berani lalu berkata, "membiarkan Elea makan sendiri sedini mungkin adalah hal yang harus diajarkan para orang tua. Walaupun Aku memang bukan ibunya Elea, tapi aku berusaha memenuhi semua itu."Alenta mulai merasakan suaranya yang gemetar menahan tangis, ini adalah kali pertama dia membantah ucapan Edward sehingga dia merasa sangat ketakutan sendiri. "Mengajarkan Elea untuk bersikap mandiri, mengembangkan keterampilan moto
Alenta terdiam membeku, Ia benar-benar sedang berpikir keras apa maksud Edward dengan menyibakkan selimut dan menunjukkan kedua kakinya? "Kenapa masih diam saja?" tanya Edward terlihat sedikit kesal. Alenta agak ragu untuk balik bertanya, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk bertanya kepada Edward karena dia benar-benar tidak mengerti harus melakukan apa."Aku harus bagaimana, kak?" tanya Alenta gugup. Edward menghela nafasnya, menatap Alenta dengan tatapan yang sedikit sebal lalu berkata, "tentu saja, pijat kakiku!" Titahnya tegas. Alenta terdiam sebentar, dia menganggukkan kepalanya dengan cepat. Setelah itu, Alenta berjalan mendekati Edward. Alenta naik ke atas tempat tidur, dengan posisi bersimpuh dia mulai menyentuh kaki Edward dengan kedua tangannya. Alenta sebenarnya memang terbiasa memijat, hanya saja memijat Ibunya dan memijat Edward tentu saja tidak bisa disamakan kekuatan tangannya. Edward berdecak, ekspresi yang terlihat tidak nyaman itu membuat Alenta semakin ter
Alenta merasa lelah sendiri menyingkirkan tangan Edward dari tubuhnya, jadi dia membiarkan saja Edward meletakan tangannya di sana sampai dia sendiri hanyut oleh rasa kantuk. Pagi harinya. Begitu Edward terbangun, dia sudah tidak mendapati Alenta lagi di tempat tidurnya. Bergegas, Edward bangkit dari posisinya, lalu turun dari tempat tidur. Alarmnya sudah berbunyi, itu tundanya tak ada banyak waktu yang tersisa untuk Edward bersiap. Edward menghela nafas lega. Untungnya, Alenta sudah menyiapkan pakaian kerja, bahkan barang-barang kantornya juga sudah siap seperti, laptop, ponsel, juga dokumen yang Edward bawa ke rumah kemarin. Edward tersenyum, ternyata memiliki Alenta memang benar-benar hal yang bagus!Edward meninggalkan tempatnya, menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah selesai, Edward menggunakan pakaian yang sudah disiapkan oleh Alenta. Dia tidak komplain tentang perpaduan dasi, karena warna Dongker dipadukan dengan silver cukup keren juga. Yah, padahal Ed
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y