Mutia akhirnya lega sampai di kediaman Firheith, walau kondisi tubuhnya lemas akibat mabuk perjalanan panjang. Mengudara lama dengan pesawat dari Indonesia ke Belgia.
“Ck, kampungan! Kamu bisa jalan sendiri, kan? Aku tidak sudi menggendongmu!” cibir Firheith dengan sarkas.Teganya ia membiarkan Mutia menyeret kopernya sendiri, malah berlenggang kaki lebih dulu sampai di teras rumahnya. Sementara koper miliknya dibawakan sopir taksi.Mutia menahan kesalnya dalam hati, karena pria itu menunjukkan watak aslinya selama di pesawat. Saat ia muntah atau kelaparan, jangankan menolong. Firheith malah kegenitan menggoda pramugari atau wanita di sana.“Setan!”“Diam atau pulanglah sendiri ke Indonesia!” bentak Firheith melotot.Mutia terdiam lalu menghela napas. ‘Sabarkan aku, Tuhan.’ Jika tak ingat ibunya atau memiliki uang sendiri. Pasti Mutia akan kembali ke bandara dan meninggalkan pria itu.“Seperti suara Tuan Fir?” Pelayan di rumah mewah itu bergumam, melirik ke pintu luar ketika mengelap meja.Bicaranya ini terdengar oleh sang tuan rumah yang duduk tak jauh darinya sedang membaca koran.“Espen, di luar ribut-ribut ada apa? Coba kamu cek!”Ting tong!“Ada tamu sepagi ini?” Sang tuan bersilang pandang dengan Espen, pelayan wanita itu. Tapi entah mengapa? Perasaannya mendadak bahagia.“Biar saya buka pintunya, Tuan.”Espen beranjak menuju pintu luar, membukanya dengan mata membola dan senyuman lebar.“Tuan Gabriel, Tuan Muda pulang!” seru Espen membuat Gabriel melipat tergesa korannya, pria tua itu segera bangkit menuju luar.“Fir, kamu akhirnya pulang.” Gabriel terharu, langsung memeluk sang putra dengan erat.“Papa apa kabar?” tanya Firheith senang, melihat Gabriel yang masih bugar dan awet muda di usia 60 tahun.Lima tahun sejak Firheith meninggalkan rumah, setelah bertengkar hebat dengan Glady, ibunya. Kini—tanpa disuruh, sang putra kembali pulang.Meskipun Gabriel terlihat seakan tidak peduli dan tidak mencarinya, tetapi diam-diam ia menyuruh anak buahnya untuk mengawasi Firheith.“Baik, Fir—” jawaban Gabriel terpotong sosok Mutia yang baru terlihat olehnya setelah tertutup perawakan tinggi Firheith. “Ia siapa?”Firheith langsung menggeser tubuhnya, hingga Mutia terpampang jelas. Wanita muda itu tersenyum hangat dan mencium tangan Gabriel.Entah mengapa? Gabriel merasa, wajah Mutia ini seperti mirip seseorang yang dikenalnya di masa lalu. Tetapi siapa? Gabriel lupa.“Ini istriku, Pa,” akui Firheith, mengejutkan Mutia karena tak hanya itu. Firheith tiba-tiba merengkuh pinggangnya dan bersikap sok mesra. Seolah mereka berdua pasangan harmonis.“Istri?”Gabriel dan Espen mengangkat alisnya ke atas.“Sejak kapan kamu menikah?!” Lengkingan suara tajam itu, datang dari wanita setengah baya yang berjalan menuruni tangga.Gabriel dan Espen yang belum menghilangkan keterkejutannya. Sontak menautkan pandangannya kepada sang Nyonya penguasa kediaman Lander, yang kini berdiri angkuh di depan Firheith dan Mutia.“Dua hari lalu, Ma. Apa kabar?” sapa Firheith dengan tampang datar. Tidak antusias, seperti bertemu dengan Gabriel.Mutia merasa ada yang tak beres di keluarga ini, apalagi sebelumnya Firheith tak pernah mengatakan apapun. Pria itu penuh misteri, Mutia jadi bingung sekaligus terlihat bodoh di depan mereka semua.“Kabarku semakin buruk setelah mendengarmu menikah tanpa restu dariku!” ujar Glady sarkas.Lirikannya sinis mengamati penampilan Mutia dari ujung rambut hingga ujung kaki, membuat Mutia kikuk dan insecure. Pakaian yang dikenakan Glady serba bermerek, dengan kilau berlian di telinga, leher dan tangan.Sementara Mutia hanya mengenakan trench coat warna caramel, dipadu celana jeans panjang navy yang dibelinya dari diskonan mall.“Jangan terlalu berlebihan, Mama. Sambutlah menantumu ini.”Firheith mendekatkan Mutia. Glady mundur dengan bahu bergidik dan terlihat mengabaikan tangan Mutia yang mengajaknya bersalaman.“Kamu pungut dari mana wanita udik ini, Fir? Jangan-jangan ... ini pelacurmu yang sengaja kamu bawa ke rumah untuk diakui sebagai istri!” ejek Glady dalam bahasa Belanda, pikirnya Mutia tak akan paham.Tapi Glady salah, Mutia ternyata dapat berbahasa Belanda karena dulunya sempat kursus. Ia tahu hinaan itu jelas ditujukan padanya.Jantung Mutia seakan ditusuk-tusuk paku. Dadanya terhimpit sesak air mata, yang berusaha dilaluinya dengan mengerjap ke atas ketika diperhatikan Firheith.“Mutia berasal dari keluarga baik-baik, Ma. Walau tidak sekaya kita, bahkan ia seorang guru!”Pembelaan Firheith membuat Mutia dan Gabriel tercengang. Putranya yang egois kini telah kembali berubah baik seperti dulu.Lantas, haruskah Mutia juga berterima kasih pada pria laknat itu yang sikapnya berubah-ubah seperti BMKG?Sulit diprediksi.Detik ini membela, nanti menghinanya lalu berubah lagi acuh tak acuh.“Glad, kendalikan dirimu! Mutia sekarang telah menjadi menantu kita, hormati ia?” peringat Gabriel lembut menarik tangan Glady menjauhi Mutia.“Tidak usah mengguruiku Gabriel! Dasar pria tidak berguna!” balas Glady seraya menyentak kasar tangan Gabriel.Gabriel terdiam menarik napas dengan sabar. Firheith kasihan melihat sang papa yang kerap ditindas oleh mamanya itu.Inilah yang menjadi salah satu penyebab, Firheith pergi dari rumah. Sehingga tidak pernah serius berhubungan dengan wanita, karena berpikir wanita itu menjengkelkan dan maunya menang sendiri.Bahkan ia sudah menebak, jika Glady pasti tidak setuju. Oleh karenanya, ia mengantisipasi dengan sengaja merahasiakan pernikahannya dan Mutia.“Mutia, ambilkan surat nikah kita di koper!” titah Firheith, tapi Mutia justru mematung dengan pandangan kosong. “Mutia!” sentaknya lebih keras hingga Mutia yang berjengit—tersadar.“I-iya, Fir.”Dengan tangan gemetar, Mutia menyerahkan surat nikahnya pada Gabriel atas suruhan Firheith.“Itu buktinya aku sudah menikah. Jadi, papa dan mama harus menyerahkan hotel crousant padaku,” ujar Firheith dengan menyapukan pandangannya pada Gabriel dan Glady yang sedang membaca surat nikahnya.Gabriel tersenyum lega melihat surat nikah itu, artinya; Firheith telah berhenti dari dunianya yang kelam dan serius menata masa depan seperti harapannya. Lain halnya Glady yang emosi, hampir merebut surat itu jika tidak dihalangi Gabriel.“Hotel Crousant tidak akan pernah kami serahkan padamu, selama kamu menikah bukan dengan pilihan mama, Fir!” pekik Glady menolak.Firheith menentang. “Pokoknya aku tidak mau tahu. Mama setuju atau tidak, hotel crousant harus jatuh ke tanganku karena mama sudah berjanji menyerahkannya setelah aku menikah!”“Kalau begitu, ceraikan wanita udik itu dan menikahlah dengan wanita pilihan mama!” suruh Glady seraya menuding Mutia dengan jijik.Rembesan bening seketika ambyar di pipi Mutia. Kakinya terhentak mundur, tidak menyangka jika Firheith tega memanfaatkannya demi kepentingannya sendiri.Dua jam lebih Mutia menangis seorang diri di kamar, menumpahkan segala rasa sakit yang ia rasakan atas hinaan dari ibu mertuanya yang bermulut tajam dan suami brengseknya itu. “Aku tak menyangka Firheith sangat licik! Setuju menikahiku demi mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, dengan menumbalkanku!” Mutia meremas dadanya kuat-kuat seraya merutuki pria itu dengan kasar. “Aku benar-benar bodoh!”Teringat Alda, biasanya ia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya itu. Jari Mutia hampir menekan nomornya untuk menelepon, tapi urung dilakukan karena sebelum pegi ia tak berpamitan padanya. Gara-gara Firheith yang beralibi tergesa ke bandara. Takut terlambat dan waktunya mepet. “Jangan! Alda pasti marah padaku.” Mutia menggeleng ragu, lalu meletakkan ponselnya lagi ke sisinya berjongkok dengan bersandar lesu di punggung pintu. Sementara Firheith meninggalkannya sendiri dan pergi setelah itu seperti pengecut. Tapi kemudian, Mutia tergesa menghapus air matanya ketika mendengar pintu
"Kelihatannya ada yang senang dengan keputusan papa? Tanpa perlu susah payah bekerja, sudah bisa menikmati hasilnya! Hebat sekali!" sindir Firheith sewaktu ia mengambil pakaian di wardrobe kamarnya. Mutia yang mulanya melamun, terduduk membelakangi Firheith di ranjang itu pun segera menoleh dan memasang senyum terbaiknya pada Firheith. "Oh, terima kasih suamiku ter-brengsek. Tentu aku senang sekali. Memang ini yang aku mau, jadi kita impas, bukan? Setelah kamu membohongiku dengan mengambil keuntungan dari pernikahan ini.""Dasar munafik! Wanita culas!" Firheith memelototi Mutia, terlihat sangat marah hingga kedua tangan di bawahnya praktis terkepal kuat. "Culas? Haha!" Bukannya takut, Mutia justru semakin menghampiri Firheith. "Sialan! Dasar pelacur! Sekarang terbukti kalau kamu itu materialistis!""Bukan materialistis, Fir. Tapi realistis!" sambar Mutia dengan mendongakkan dagunya ke atas, mensejajarkan pandangannya dengan Firheith. "Kurang ajar!!" Firheith yang tak suka dibantah
Dada Mutia diringkus sesaknya buih bening menandai kedua netranya, hatinya pias. Tidak menyangka jika ibu mertuanya tega mengatakan itu.Tetapi Mutia tidak punya pilihan, selain menyetujui Glady untuk menjadi pembantu di rumah mewah itu daripada ia mati kelaparan. Lagi pula tugasnya sebagai menantu keluarga Lander memang harus berbakti, bukan? Meski statusnya hanya istri sebatas kontrak selama sebulan—lalu bercerai dari Firheith jika terbukti tidak hamil. Semoga saja begitu. Masalah hotel crousant berbalik menjadi miliknya nanti setelah bercerai, Mutia tidak terlalu berharap yang penting ia terbebas dari Firheith yang ternyata sangat berbahaya, kejam dan licik. “Di mana Mutia? Kenapa ia tidak ikut sarapan bersama kita, pagi ini?”Pertanyaan itu ditujukan Gabriel pada Firheith yang sibuk sendiri, karena ia tak melihat Mutia sejak tadi hingga selesai makan. “Mutia di dapur membantu Espen beberes. Padahal aku sudah melarangnya dan menyuruhnya beristirahat, tapi dasar kampungan yang t
Bagian dari Mutia yang empuk, sulit untuk Firheith abaikan. Jari Firheith mengusapnya lembut, dengan kedua bola matanya ikut mengintip pada gundukan Mutia yang terhimpit di balik handuk. Glek! Firheith berjuang keras menyeret ludahnya, di saat tubuhnya mendadak panas dingin. Tidak berbeda jauh dari Mutia yang merasa wangi sabun di tubuhnya berubah lain.“Aku seperti mencium parfum pria? Tunggu... Ini mirip parfum si...,” gumamnya di sela kepalanya yang pening. Demi menepis dugaan, Mutia perlahan membuka mata. Dan alangkah terkejutnya Mutia, wajah Firheith berada tepat di depannya. Memandanginya begitu lekat. Bahkan baru sadar jika tubuhnya menjadi ringan, Firheith menggendongnya. “Tu-turunkan aku, Fir!” Mutia panik, sialnya tak sanggup memberontak karena tubuhnya begitu lemas. Mengusir anggapan Mutia yang bukan-bukan. Firheith seketika mengubah sikapnya menjadi galak. “Jangan cerewet! Kamu kira aku bakal memperkosamu lagi? Sorry, kalau mimpi jangan ketinggian! Karena aku tidak ak
Detak jantung Mutia berdentum sangat cepat ketika Firheith semakin merapatkan duduk. Mungkin saking kerasnya, sampai Firheith dapat mendengar itu. "Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" jawab Mutia gugup seraya menepikan duduknya semakin ke pinggir ranjang. Bersiap kabur ke luar seandainya Firheith akan mencelakainya lagi. "Hmm, jangan berbelit-belit. Aku tidak suka!" sahut Firheith dingin. Dilema menelan Mutia, baru saja Mutia akan menjawab. Tiba-tiba sosok Glady muncul di ambang pintu setelah mengetuk dan dipersilakan Firheith masuk ke dalam kamar. "Mama tidak mengganggu kalian, bukan?" Bibir Glady tersenyum pada Mutia hanya saat Firheith melihat. Tetapi setelah Firheith menarik wajah, mata Glady langsung melotot pada Mutia dengan tatapan seolah mengulitinya hidup-hidup. Kalau begini, tak ada gunanya Mutia mengaku karena Firheith pasti tak percaya dan menganggap Mutia telah memfitnah ibu kandungnya. "Tidak, Ma. Duduk saja," kata Firheith tak terganggu kedatangan Glady, lain hal
Teringat ancaman Glady membuat Mutia ketakutan setiap saat, tak hanya kerap melamun tapi juga mulai tak betah tinggal di rumah mewah itu dan ingin kembali pulang ke Indonesia. Hidup Mutia tak ubahnya seperti di neraka, saat Glady sengaja mempekerjakannya secara rodi ketika Gabriel dan Firheith jarang berada di rumah belakangan ini. “MUTIA!”Bentakan sekeras alarm gempa bawah tanah seketika menjingkatkan tubuh kurus Mutia yang sedang mengelap kaca, sampai lap nya terpental ke lantai. Dengan langkah tergesa agak sempoyongan, Mutia hadir dihadapan Glady yang berkacak pinggang. “Ikut Espen belanja bulanan ke swalayan! Di rumah semua bahan makanan habis. Tapi ingat, setelah belanja langsung pulang dan serahkan nota pembeliannya!” perintah Glady dengan sarkas.“Ba-baik, Nyonya,” sahut Mutia patuh, tangannya gemetar menerima catatan belanja dan kartu debit beserta pinnya. Glady mendorong kening Mutia dengan jari. “Awas! Jika kamu ketahuan menguntit uang di kartu debit, aku tidak segan m
Tubuh Mutia sampai membentur dada pria itu. Dada kokoh saat jemari Mutia tidak sengaja terkait di antara kulit dan kancing kemeja Firheith yang terbuka. Rambut halus yang menyebar di dada Firheith membuatnya terlihat semakin macho. Seksi dan maskulin yang begitu menggoda. Tapi Mutia tidak sedang tergoda, hanya saja ia mengagumi pria itu yang ternyata tampan jika dilihat dari dekat. “Fir, lepaskan tanganmu dari pinggangku, tolong?” Tumben sekali Mutia memintanya dengan lembut, tidak seperti biasanya suka memberontak. Suaranya yang rendah, sungguh terdengar sensual hingga Firheith harus berdeham beberapa kali mengenyahkan pikiran liarnya tentang bibir mungil Mutia yang menggairahkan. “Apa kamu mau dihukum sekarang?” Selain manik tembaganya menjerat mata jernih Mutia, telapak tangan Firheith juga mencengkeram pinggang Mutia. Tubuh keduanya benar-benar sangat dekat. Mutia sampai bisa merasakan napas hangat Fiheith yang memburu di wajahnya yang dingin.Mutia menggerutu di dalam hati.
“Boleh kan?” ulang Mutia karena Firheith belum memberi jawaban, sedangkan ia butuh secepatnya. “Sebentar.” Firheith menyela, Mutia mengangguk sabar ketika pria itu meraih kopi yang baru saja ia buatkan atas permintaannya waktu lalu, sebagai imbalan telah berbuat baik yang entah Firheith tak paham maksudnya. Mutia tidak akan terang-terangan mengaku kalau terkait pembelaan Firheith padanya atau makanan yang diberi. Itu akan menghancurkan hubungan Firheith dan mamanya, Mutia tidak terlalu egois tentang itu. "Kopi buatanmu lumayan." Tentu Firheith juga tabu bicara jujur untuk memuji, bisa turun harga dirinya nanti. "Kenapa kamu bisa tahu selera kopiku? Padahal aku belum pernah mengatakan. Apakah mama atau Espen yang memberitahumu?" Mutia tak besar kepala, namun senyumannya yang sempat terlirik terlihat cukup manis. "Terima kasih, mungkin hanya kebetulan," sanggah Mutia dengan memperhatikan pria itu. Firheith menyeruput kopi hitam buatan Mutia yang terasa enak itu lagi, perpaduan gula
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta
"Mama!" Noah berteriak sambil berlari menghampiri Mutia yang seketika melihat ke arah bocah berusia tujuh tahunan tersebut. Firheith tak bisa mencegah Noah yang langsung memeluk tubuh Mutia dengan erat. Ketika Firheith melihat kerinduan di mata Noah. Apalagi sejak Noah kecil, Mutia juga turut andil merawatnya ketika di masa lalu Alda sempat mengalami masalah dengan Rich. Sehingga wajar saja, jika Noah tetap memanggil Mutia "Mama" hingga sekarang. "Sayang, kau sekarang sudah tinggi sekali?" Mutia menyanjung Noah, sedikit membungkuk agar bisa mencium pipinya. "Mama, aku rindu sekali padamu," kata Noah yang sudah menganggap Mutia selayaknya Ibu kandung sendiri. Mutia menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu melihat ke bawah Noah berada. Kepergiannya ke Belgia tanpa berpamitan pada Noah dan Mutia sempat mendengar dari Ida. Jika setelah itu, Noah yang sakit terus mencari Mutia. "Oh, Noah sayang. Mama juga merindukanmu," balas Mutia dengan kali ini menci
“Nenek sayang. Aku hanya makan tiga bungkus pepes ikan saja. Iya kan, Baby?” Tatapan Firheith terjatuh pada Mutia, seperti anak kecil mengadu pada ibunya. “Ah, iya.” Mutia mengangguk karena Firheith memang benar. “Kurasa nenek yang membesar-besarkan? Nah! Makanlah pepes ikan mas itu, aku cukup ini saja,” kata Firheith mengalah tak ingin menambah lagi. Tetapi dalam otaknya menginginkan hal lain. Carla tersenyum senang menguasai pepes itu, sampai Gabriel dan Gabby menggelengkan kepala. Sementara Glady di hatinya mencibirnya kekanak-kanakan. “Bagus! Kau memang cucu nenek yang pengertian,” sambung Carla sambil memakannya dengan lahap. Jika Carla, dirasa wajar karena sudah tua renta yang pada akhirnya akan kembali ke siklus awal seperti bayi. Namun untuk Firheith? Bagi Mutia terlihat aneh! Ia tidak biasanya begitu dan kini sangat manja sekali dengan Mutia. Apakah karena pengaruh kehamilan Mutia? Memang, setelah mual-mual dan pingsan pertama kali saat diketahuinya Mutia hamil. Wanit
Tanpa melepas tautan bibir, Adam berhasil menurunkan handuk yang membungkus tubuh seksi Celine ke bawah. Menindihnya ke atas ranjang. Tanpa satu jengkal kulit Celine pun lalai dari cumbuan Adam yang liar. Sebelum menyatukan dirinya mengisi wanita muda itu setelah tak mampu lagi menahan gairah dalam tubuhnya yang terbakar. “Adam…,” desah Celine rendah, kedua tangannya meremas rambut pria itu yang tengah mengecapi bulatan kenyalnya dan menanamkan kerucut mengeras Celine ke dalam basah mulutnya.Telah lama menduda membuat Adam haus akan kehangatan. Seperti kini, sambil memejamkan mata. Adam membayangkan wajah Mutia. Seolah tengah bercinta dengan wanita seksi itu. Tepukan kulit menyapa, karena kerasnya Adam mendorong pinggulnya semakin ganas di area pribadi Celine yang sempit. Walau telah sekali Adam pernah merasakan liang cinta wanita muda itu. Rasanya luar biasa sama nikmatnya, Adam enggan berhenti dan semakin cepat saat klimaks itu datang. “A… Adam, ugh! Aku tidak tahan lagi!” C
“Apa maksudmu menyuruhku tidak boleh berhenti, Mr. Janssen?” Mutia bertanya dengan galak, juga waspada menepis semua sentuhan tangan Adam di tubuhnya. “Hey, kenapa kau marah? Aku hanya berkata kalau tidak bisa berhenti karena musiknya belum selesai? Lihatlah mereka semua! Menari juga, bukan?” Adam menunjuk semua anggota keluarga Lander yang bergembira menari dengan pasangan masing-masing. Dada Mutia kembang-kempis. Sekarang Mutia merasa bahwa apa yang dikatakan Firheith itu benar! Adam menyukainya. Tarian salsa ini hanya dimanfaatkan pria itu untuk bisa mendekatinya. “Biarkan mereka menari, karena tujuan mereka jelas. Sementara kau, tidak!” Mutia menekankan dengan tegas dan berlalu meninggalkan Adam tanpa pamit. “Tunggu, Mutia. Kau hanya salah paham?” panggil Adam diabaikan wanita ayu itu. Masa bodoh! Lagi pula Adam bukan siapa-siapanya? Gelagatnya juga membuat Mutia muak dan kini wanita itu tengah berjalan tergesa menuju meja minuman. Firheith mengawasi istrinya dari jauh, t