“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
"Stop di sana Fir! Jika kamu sampai berani mendekat! Aku tak segan mengubah rekaman ini menjadi live streaming dan mengumumkan kepada seluruh dunia supaya mereka semua tahu, kalau kamu... Telah memperkosaku!" Ancaman itu sukses mengerutkan nyali Firheith seketika, karena Mutia nekat mengarahkan kamera ponselnya saat Firheith dalam kondisi setengah polos. Mulanya Firheith pikir Mutia tak ubahnya seperti para wanita yang pernah ia tiduri sebelumnya. Mudah ia campakkan dan tidak akan berani menuntut apapun setelah pernah tidur dengannya karena yang dilakukannya hanya sekadar bersenang-senang. Tetapi prediksi Firheith salah besar. Semua terjadi di luar dugaan, ternyata Mutia sangatlah berbeda. Ia bukan wanita lemah dan mudah ditekan.Bahkan setelah percekcokan tadi setelah Mutia menyadari dirinya terbangun di sisi pria itu tanpa sehelai benang. Tak lama meratapi kemalangannya, Mutia yang tahu Firheith seperti apa. Cerdik membalik situasi, dengan berhasil merebut ponsel pria itu. Setela
“Menikahimu?” Firheith kaget sekali, matanya sampai melotot. Seumur hidupnya, Firheith tak pernah berpikir untuk menikah. Baginya pernikahan itu kutukan dan merepotkan.“Dengar Mutia, jangan gila! Aku tidak bisa menikahimu, semalam yang kita lakukan tidak sengaja! Sebutkan, berapapun nominal uang atau apapun yang kamu mau. Pasti aku berikan melebihi gajimu sebagai guru honorer yang hanya ratusan ribu!” Bujukan Firheith seperti linggis yang ditancapkan ke jantung Mutia. Ternyata bukan hanya tak sudi menikahinya, namun hinaannya itu membuat air mata yang mengering kembali menetes. Firheith tersenyum angkuh ketika Mutia mengambil uang yang ia sodorkan. ‘Uang berbicara’ pikirnya, Mutia sama saja dengan pelacur atau wanita gampangan yang rela menyerahkan kehormatannya demi uang. Tapi Firheith salah, Mutia malah melempar uang sekitar belasan juta itu balik ke wajahnya. “Kamu pikir aku pelacur yang tubuhnya dinilai dengan uang, huh?” Mutia menyalak dengan suara serak, seraya membuka pint
“Kenapa belum tidur Mutia?”Suara lembut dan hangat dari belakang, justru mengagetkan Mutia yang merenung sendiri di meja dapur malam itu. “Ibu juga belum tidur.” Mutia memeluk lengan Ida, menempelkan pipinya dengan mata terpejam. Menyembunyikan kegelisahannya serang diri. “Mau ambil minum, tapi malah melihat kamu di sini.” Samar-samar Ida melihat arah jam dinding yang menunjukkan angka sebelas malam, lalu mengelus puncak rambut Mutia. “Ibu tahu pernikahan ini berat buatmu. Tapi ibu yakin, suatu saat kalian berdua pasti saling mencintai.”Mutia menghela napas dalam, tersenyum kecut. Keyakinan Ida tak mungkin terjadi, ketika Mutia dan Firheith tak lama lagi akan bercerai. Tepatnya sebulan dan simbiosis mutualisme. Pernikahannya dengan Firheith demi menjaga nama baik keluarganya masing-masing. “Nak, kamu melamun?” Mutia tersenyum tipis dengan alasan, “Kangen ayah, Bu.”“Ayahmu sudah tenang di surga. Pasti ia merestui pernikahanmu dan bahagia melihat dari sana,” kata Ida menghalau se
Mutia akhirnya lega sampai di kediaman Firheith, walau kondisi tubuhnya lemas akibat mabuk perjalanan panjang. Mengudara lama dengan pesawat dari Indonesia ke Belgia. “Ck, kampungan! Kamu bisa jalan sendiri, kan? Aku tidak sudi menggendongmu!” cibir Firheith dengan sarkas.Teganya ia membiarkan Mutia menyeret kopernya sendiri, malah berlenggang kaki lebih dulu sampai di teras rumahnya. Sementara koper miliknya dibawakan sopir taksi. Mutia menahan kesalnya dalam hati, karena pria itu menunjukkan watak aslinya selama di pesawat. Saat ia muntah atau kelaparan, jangankan menolong. Firheith malah kegenitan menggoda pramugari atau wanita di sana. “Setan!”“Diam atau pulanglah sendiri ke Indonesia!” bentak Firheith melotot. Mutia terdiam lalu menghela napas. ‘Sabarkan aku, Tuhan.’ Jika tak ingat ibunya atau memiliki uang sendiri. Pasti Mutia akan kembali ke bandara dan meninggalkan pria itu. “Seperti suara Tuan Fir?” Pelayan di rumah mewah itu bergumam, melirik ke pintu luar ketika menge
Dua jam lebih Mutia menangis seorang diri di kamar, menumpahkan segala rasa sakit yang ia rasakan atas hinaan dari ibu mertuanya yang bermulut tajam dan suami brengseknya itu. “Aku tak menyangka Firheith sangat licik! Setuju menikahiku demi mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, dengan menumbalkanku!” Mutia meremas dadanya kuat-kuat seraya merutuki pria itu dengan kasar. “Aku benar-benar bodoh!”Teringat Alda, biasanya ia mencurahkan isi hatinya kepada sahabatnya itu. Jari Mutia hampir menekan nomornya untuk menelepon, tapi urung dilakukan karena sebelum pegi ia tak berpamitan padanya. Gara-gara Firheith yang beralibi tergesa ke bandara. Takut terlambat dan waktunya mepet. “Jangan! Alda pasti marah padaku.” Mutia menggeleng ragu, lalu meletakkan ponselnya lagi ke sisinya berjongkok dengan bersandar lesu di punggung pintu. Sementara Firheith meninggalkannya sendiri dan pergi setelah itu seperti pengecut. Tapi kemudian, Mutia tergesa menghapus air matanya ketika mendengar pintu
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta
"Mama!" Noah berteriak sambil berlari menghampiri Mutia yang seketika melihat ke arah bocah berusia tujuh tahunan tersebut. Firheith tak bisa mencegah Noah yang langsung memeluk tubuh Mutia dengan erat. Ketika Firheith melihat kerinduan di mata Noah. Apalagi sejak Noah kecil, Mutia juga turut andil merawatnya ketika di masa lalu Alda sempat mengalami masalah dengan Rich. Sehingga wajar saja, jika Noah tetap memanggil Mutia "Mama" hingga sekarang. "Sayang, kau sekarang sudah tinggi sekali?" Mutia menyanjung Noah, sedikit membungkuk agar bisa mencium pipinya. "Mama, aku rindu sekali padamu," kata Noah yang sudah menganggap Mutia selayaknya Ibu kandung sendiri. Mutia menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu melihat ke bawah Noah berada. Kepergiannya ke Belgia tanpa berpamitan pada Noah dan Mutia sempat mendengar dari Ida. Jika setelah itu, Noah yang sakit terus mencari Mutia. "Oh, Noah sayang. Mama juga merindukanmu," balas Mutia dengan kali ini menci
“Nenek sayang. Aku hanya makan tiga bungkus pepes ikan saja. Iya kan, Baby?” Tatapan Firheith terjatuh pada Mutia, seperti anak kecil mengadu pada ibunya. “Ah, iya.” Mutia mengangguk karena Firheith memang benar. “Kurasa nenek yang membesar-besarkan? Nah! Makanlah pepes ikan mas itu, aku cukup ini saja,” kata Firheith mengalah tak ingin menambah lagi. Tetapi dalam otaknya menginginkan hal lain. Carla tersenyum senang menguasai pepes itu, sampai Gabriel dan Gabby menggelengkan kepala. Sementara Glady di hatinya mencibirnya kekanak-kanakan. “Bagus! Kau memang cucu nenek yang pengertian,” sambung Carla sambil memakannya dengan lahap. Jika Carla, dirasa wajar karena sudah tua renta yang pada akhirnya akan kembali ke siklus awal seperti bayi. Namun untuk Firheith? Bagi Mutia terlihat aneh! Ia tidak biasanya begitu dan kini sangat manja sekali dengan Mutia. Apakah karena pengaruh kehamilan Mutia? Memang, setelah mual-mual dan pingsan pertama kali saat diketahuinya Mutia hamil. Wanit
Tanpa melepas tautan bibir, Adam berhasil menurunkan handuk yang membungkus tubuh seksi Celine ke bawah. Menindihnya ke atas ranjang. Tanpa satu jengkal kulit Celine pun lalai dari cumbuan Adam yang liar. Sebelum menyatukan dirinya mengisi wanita muda itu setelah tak mampu lagi menahan gairah dalam tubuhnya yang terbakar. “Adam…,” desah Celine rendah, kedua tangannya meremas rambut pria itu yang tengah mengecapi bulatan kenyalnya dan menanamkan kerucut mengeras Celine ke dalam basah mulutnya.Telah lama menduda membuat Adam haus akan kehangatan. Seperti kini, sambil memejamkan mata. Adam membayangkan wajah Mutia. Seolah tengah bercinta dengan wanita seksi itu. Tepukan kulit menyapa, karena kerasnya Adam mendorong pinggulnya semakin ganas di area pribadi Celine yang sempit. Walau telah sekali Adam pernah merasakan liang cinta wanita muda itu. Rasanya luar biasa sama nikmatnya, Adam enggan berhenti dan semakin cepat saat klimaks itu datang. “A… Adam, ugh! Aku tidak tahan lagi!” C
“Apa maksudmu menyuruhku tidak boleh berhenti, Mr. Janssen?” Mutia bertanya dengan galak, juga waspada menepis semua sentuhan tangan Adam di tubuhnya. “Hey, kenapa kau marah? Aku hanya berkata kalau tidak bisa berhenti karena musiknya belum selesai? Lihatlah mereka semua! Menari juga, bukan?” Adam menunjuk semua anggota keluarga Lander yang bergembira menari dengan pasangan masing-masing. Dada Mutia kembang-kempis. Sekarang Mutia merasa bahwa apa yang dikatakan Firheith itu benar! Adam menyukainya. Tarian salsa ini hanya dimanfaatkan pria itu untuk bisa mendekatinya. “Biarkan mereka menari, karena tujuan mereka jelas. Sementara kau, tidak!” Mutia menekankan dengan tegas dan berlalu meninggalkan Adam tanpa pamit. “Tunggu, Mutia. Kau hanya salah paham?” panggil Adam diabaikan wanita ayu itu. Masa bodoh! Lagi pula Adam bukan siapa-siapanya? Gelagatnya juga membuat Mutia muak dan kini wanita itu tengah berjalan tergesa menuju meja minuman. Firheith mengawasi istrinya dari jauh, t