Detak jantung Mutia berdentum sangat cepat ketika Firheith semakin merapatkan duduk. Mungkin saking kerasnya, sampai Firheith dapat mendengar itu. "Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" jawab Mutia gugup seraya menepikan duduknya semakin ke pinggir ranjang. Bersiap kabur ke luar seandainya Firheith akan mencelakainya lagi. "Hmm, jangan berbelit-belit. Aku tidak suka!" sahut Firheith dingin. Dilema menelan Mutia, baru saja Mutia akan menjawab. Tiba-tiba sosok Glady muncul di ambang pintu setelah mengetuk dan dipersilakan Firheith masuk ke dalam kamar. "Mama tidak mengganggu kalian, bukan?" Bibir Glady tersenyum pada Mutia hanya saat Firheith melihat. Tetapi setelah Firheith menarik wajah, mata Glady langsung melotot pada Mutia dengan tatapan seolah mengulitinya hidup-hidup. Kalau begini, tak ada gunanya Mutia mengaku karena Firheith pasti tak percaya dan menganggap Mutia telah memfitnah ibu kandungnya. "Tidak, Ma. Duduk saja," kata Firheith tak terganggu kedatangan Glady, lain hal
Teringat ancaman Glady membuat Mutia ketakutan setiap saat, tak hanya kerap melamun tapi juga mulai tak betah tinggal di rumah mewah itu dan ingin kembali pulang ke Indonesia. Hidup Mutia tak ubahnya seperti di neraka, saat Glady sengaja mempekerjakannya secara rodi ketika Gabriel dan Firheith jarang berada di rumah belakangan ini. “MUTIA!”Bentakan sekeras alarm gempa bawah tanah seketika menjingkatkan tubuh kurus Mutia yang sedang mengelap kaca, sampai lap nya terpental ke lantai. Dengan langkah tergesa agak sempoyongan, Mutia hadir dihadapan Glady yang berkacak pinggang. “Ikut Espen belanja bulanan ke swalayan! Di rumah semua bahan makanan habis. Tapi ingat, setelah belanja langsung pulang dan serahkan nota pembeliannya!” perintah Glady dengan sarkas.“Ba-baik, Nyonya,” sahut Mutia patuh, tangannya gemetar menerima catatan belanja dan kartu debit beserta pinnya. Glady mendorong kening Mutia dengan jari. “Awas! Jika kamu ketahuan menguntit uang di kartu debit, aku tidak segan m
Tubuh Mutia sampai membentur dada pria itu. Dada kokoh saat jemari Mutia tidak sengaja terkait di antara kulit dan kancing kemeja Firheith yang terbuka. Rambut halus yang menyebar di dada Firheith membuatnya terlihat semakin macho. Seksi dan maskulin yang begitu menggoda. Tapi Mutia tidak sedang tergoda, hanya saja ia mengagumi pria itu yang ternyata tampan jika dilihat dari dekat. “Fir, lepaskan tanganmu dari pinggangku, tolong?” Tumben sekali Mutia memintanya dengan lembut, tidak seperti biasanya suka memberontak. Suaranya yang rendah, sungguh terdengar sensual hingga Firheith harus berdeham beberapa kali mengenyahkan pikiran liarnya tentang bibir mungil Mutia yang menggairahkan. “Apa kamu mau dihukum sekarang?” Selain manik tembaganya menjerat mata jernih Mutia, telapak tangan Firheith juga mencengkeram pinggang Mutia. Tubuh keduanya benar-benar sangat dekat. Mutia sampai bisa merasakan napas hangat Fiheith yang memburu di wajahnya yang dingin.Mutia menggerutu di dalam hati.
“Boleh kan?” ulang Mutia karena Firheith belum memberi jawaban, sedangkan ia butuh secepatnya. “Sebentar.” Firheith menyela, Mutia mengangguk sabar ketika pria itu meraih kopi yang baru saja ia buatkan atas permintaannya waktu lalu, sebagai imbalan telah berbuat baik yang entah Firheith tak paham maksudnya. Mutia tidak akan terang-terangan mengaku kalau terkait pembelaan Firheith padanya atau makanan yang diberi. Itu akan menghancurkan hubungan Firheith dan mamanya, Mutia tidak terlalu egois tentang itu. "Kopi buatanmu lumayan." Tentu Firheith juga tabu bicara jujur untuk memuji, bisa turun harga dirinya nanti. "Kenapa kamu bisa tahu selera kopiku? Padahal aku belum pernah mengatakan. Apakah mama atau Espen yang memberitahumu?" Mutia tak besar kepala, namun senyumannya yang sempat terlirik terlihat cukup manis. "Terima kasih, mungkin hanya kebetulan," sanggah Mutia dengan memperhatikan pria itu. Firheith menyeruput kopi hitam buatan Mutia yang terasa enak itu lagi, perpaduan gula
"Baiklah."Mutia bergegas menarik dirinya berpindah ke bagian depan. Pegangan pintu mobil dibukanya lalu duduk di samping Firheith yang mengemudi. Dengan buru-buru Mutia memasang sabuk pengamannya, karena tidak ingin membuat Firheith marah kalaua sampai pria itu terlambat ke kantor. Apalagi dirinya yang jangan sampai memberi kesan negatif di hari pertamanya mengajar. "Aku sudah memasang sabuk pengamanku. Kita bisa berangkat sekarang." Mutia memberitahu Firheith yang sedang mengutak-atik ponsel. Tanpa membalasnya, Firheith langsung mengemudikan mobilnya ke luar dari kediaman mewah Lander menuju jalanan. Keduanya saling diam tanpa ada yang bicara sepanjang perjalanan, Mutia memang tak tahu harus memulai topik apa. Begitupun Firheith yang sosoknya tiba-tiba berubah cool dan tak banyak bicara semenjak menikah. Padahal setahu Mutia, dulu saat Firheith bertemu Richard. Keduanya sangat konyol dan suka bercanda, apalagi membahas soal wanita. Firheith lah yang paling interaktif, tapi sekar
"Terima kasih banyak sudah repot-repot mengantar pulang, Mr. Janssen," ujar Mutia setelah Adam membukakan pintu mobil untuknya. Berkatnya, Mutia tidak perlu berjalan kaki dan kehujanan. "Sama-sama Miss Mutia. Tolong… Lain kali, jangan pernah sungkan." Adam menjeda napas pelan, lalu menatap Niel yang masih terlelap di bangku belakang kemudi. "Niel mau sekolah lagi itu saja sudah membuat saya sangat bahagia."Bagi Adam, Mutia seperti malaikat yang dikirim Tuhan di waktu yang tepat untuk menyelesaikan kesulitannya. "Itu sudah kewajiban saya sebagai guru, Sir," sahut Mutia merendah. "Anda benar. Namun, sepengetahuan saya. Anak kecil itu bisa membedakan mana orang yang benar-benar tulus dan tidak, Miss Mutia?" ungkap Adam kagum. Mutia tidak hanya cantik di luar namun juga cantik dari dalam. Mutia lagi-lagi hanya tersenyum menanggapi pujian Janssen. Sementara itu gurat Adam mendadak murung ketika terkenang mendiang istrinya, Tishya. "Anda bisa saja, Sir. Oia, saya—""Saya tidak menyangk
"Dengan apa?" tanya Mutia begitu panik, menatap Firheith dengan mata terselimuti gairah. Pria itu tidak mabuk, tetapi rupanya kesadarannya mulai menipis hanya begitu ia melihat kedua mata Mutia yang sayu. Tatapan mata tembaga Firheith jatuh pada bibir Mutia yang basah, jarinya mengukir di antara gelombang bibir itu dengan gerakan posesif. Sekalipun tak peduli, jika Mutia terus menghindari jarinya dengan wajah menoleh ke kanan dan kiri. "Fir!" dengkus Mutia melotot, karena ia tak mampu bergerak ketika kedua tangannya dikunci begitu kuat di atas kepala. "Syuuut!" FIrheith menggelengkan kepala, dengan semakin menekan bibir Mutia yang mungil dengan sebelah tangan. "Jangan bicara lagi Mutia...," larangnya dengan suara teramat parau yang penuh dengan pancingan. Sialnya posisi ini membuat suhu tubuh Firheith naik. Panas dan terbakar, seiring di kepalanya yang terbesit bayangan antara interaksi Janssen dan Mutia yang menurutnya terlalu berlebihan sore itu. Apalagi ditambah Niel yang lengke
Setelah melakukan tes urine, Mutia harap-harap cemas menunggu hasilnya. Tidak mungkin gara-gara itu, Mutia menunda mandi. Sementara kini sudah pukul enam pagi."Kenapa dua menit rasanya lama sekali? Ayolah... Sesuai harapanku..." Mutia menatap test pack dengan jantung berdegup kencang. Saat garis akan muncul, tiba-tiba Mutia mendengar pintu kamarnya diketuk. Sepasang netranya terbeliak mengetahui siapa yang memanggil. Ia sampai gugup dan buru-buru meletakkan test pack lagi di pinggiran wastafel. Tidak ingin membuatnya marah, Mutia secepatnya keluar dari kamar mandi dan berlari membuka pintu. "Maaf, Nyonya. Tadi saya sedang berganti pakaian.""Alasan!" hardik Glady sinis. Glady ternyata tidak sendiri, tapi juga bersama Celine yang mengenakan pakaian ala kantor. Keduanya berdiri menatap penampilan Mutia dengan tajam. "Dasar kampungan! Style kemejamu norak!" desis Celine. Mutia segera membantah, "Ini... Bukan kemeja biasa Celine, tapi kemeja batik sekar jagad dari Bali. Waktu aku dat
Gabriel langsung keluar dari mobil pasca berhenti. Situasi jalanan yang ramai membuat Gabriel yang buru-buru harus berhati-hati menyebrang. "Pak, tunggu!" Gabriel memanggil seseorang yang dikenalinya dengan pakaian compang-camping. "Berhenti! Tolong berhenti sebentar saya ingin bicara!" Sayangnya orang itu sekalipun tak menggubris Gabriel. Sopir keheranan dengan yang dilakukan Gabriel lalu menahan senyum. "Dia pergi sejauh ini hanya ingin mencari orang gila? Pakai bahasa Inggris lagi? Mana dia mengerti? Ada-ada saja kelakuan bule zaman sekarang." Tanpa sopir itu tahu, sebenarnya orang yang dianggap tak waras itu mengerti perkataan Gabriel. Bahkan mengenalnya tapi berpura-pura sebaliknya. "Aku harus cepat pergi sebelum Gabriel menemuiku," kata orang itu berjalan dengan cepat saat Gabriel mengikutinya dari belakang. "Goddamn it! Dia memang Ekadanta, walau rambutnya menggimbal, wajah dan tubuhnya burik seperti pakaiannya itu? Ck, gila!" gumam Gabriel mengatainya, "Apa tujuan dia beg
Sejurus kemudian mobil telah sampai di rumah Mutia. Kedua jantung Ayah dan putranya itu berdebar kencang padahal hanya melihat depan rumah itu. "Kita turun, Fir!" suruh Gabriel duluan tanpa menunggu dibukakan sopir. Firheith menyusulnya. Gabriel berdiri di tepi jalan, mengatur napas dan nyalinya sebelum menemui istri dari mendiang temannya. Rumah itu tampak sepi dan pintunya tertutup rapat. Mungkinkah penghuninya keluar? Dan tak ada siapapun di dalam! "Pa."Gabriel menoleh pada Firheith. Seakan tahu arti tatapan putranya, Gabriel langsung menjawab, "Ketuklah pintunya."Firheith mengangguk. Hanya dengan sekali ketukan, seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya putih membuka pintu. "Siapa?" tanya Ida sebelum pintunya terbuka dengan lebar. Firheith dan Gabriel sesaat bertukar pandangan. "Saya, Bu." "Fi-Fir??"Tubuh Ida tersentak dan membeku melihat Firheith di hadapannya tiba-tiba. "Maafkan saya, Bu." Gegas Firheith merendahkan diri dengan memegangi tangan Ida. "Saya tidak be
"Kau yakin dengan keputusanmu bercerai dari Fir, Muti?" tanya Ida pada putrinya yang beranjak ke ruang tamu menemui Jerome siang itu. Ida sengaja menemui Mutia di kamar dan membahas topik itu sebelum Mutia keluar. Tapi Mutia tetap kukuh bercerai, bahkan kedatangan Jerome bermaksud untuk menemani putrinya ke kantor polisi membuka kembali laporan kematian Ekadanta yang sudah ditutup sejak lama. "Keputusan Mutia sudah benar, Bu Ida." Jerome menyahut ketika Mutia terlihat berjalan ke arah ruang tamu. Pandangan Ida dan Mutia tersapu ke Jerome yang bangkit dari duduk. Menyapa Ida dengan anggukan dan senyuman. Tapi entah kenapa dari awal bertemu Jerome, Ida tak begitu menyukainya walau pria itu bersikap ramah? "Maaf Nak Jerome, ini urusan keluarga kami. Tolong jangan ikut campur," ucap Ida sopan.Tapi Mutia yang tak enak dengan Jerome, karena ibunya yang terlalu sarkas. Lalu membisikkan sesuatu pada ibunya, "Bu, jangan begitu. Jerome ke sini niatnya baik.""Iya, Bu. Tolong maafkan saya
Firheith teralihkan suara Celine yang begitu geger. Kini ia sendiri pun dapat melihat Glady berdiri tegak di depannya setelah lama lumpuh, sehingga pria itu refleks menjatuhkan ponselnya ke lantai. “Ma.”Sepasang mata Glady basah memandangi putranya, tangannya menggapai wajah Firheith yang bergeming sebelum ia peluk. “Tolong dengarkan mama kali ini, Sayang. Percaya mama, kalau papamu tidak membunuh ayahnya Mutia? Tolong jangan salah paham, ya?” bisik Glady coba membujuk. Sontak Firheith melepas tangan Glady dari tubuhnya. Dan tanpa berkata apapun Firheith sedikit menjauhi ibunya itu, hingga Glady merasa cemas karena ia melihat ketidak percayaan Firheith dari tatapannya yang lesu. “Jika papa terbukti membunuh Tuan Ekadanta, silakan kau bunuh papa,” ucap Gabriel tiba-tiba mengejutkan keluarganya.Celine syok dan hampir terhuyung lalu Adam merangkulnya. “Kau baik-baik saja, Celine?” tanya Adam khawatir. Hubungan keduanya kini membaik lantaran Celine berhasil memenangkan hati duda
Sebelumnya….“Mutia, tolong dengarkan aku sebentar?”Wanita itu tampak menghela napas, mulanya dia tak ingin mengangkat ponselnya yang terus berdering jika bukan Ida—ibunya. Sayangnya yang malah dia dengar pertama kali adalah suara Jerome, pria yang masih kerabatnya dan menyukai Mutia namun dia tolak. “Kenapa kau masih menggangguku Jer? Sudah kukatakan, lupakan aku karena aku sudah menikah.”Takut Mutia memutus telepon, Jerome yang berstatus pengacara itu pun mengatakan sesuatu yang membuat Mutia syok. “Aku tahu siapa yang membunuh Paman Ekadanta.”Hening, Mutia coba mengatur napasnya dan jantungnya yang berubah cepat.“Siapa?”Dengan suara lirih Jerome mengatakan sesuatu yang mengejutkan. “Pembunuh ayahmu adalah Tuan Gabriel!”Kedua bola mata Mutia Aurora terbelalak, tubuhnya bahkan sedikit terdorong ke dinding mendengar itu. Lalu dengan logikanya Mutia berusaha mencerna ketegangan yang menguasainya, dia tersenyum kaku sambil menggeleng.“Tidak mungkin, Papa Gabriel itu orang
Firheith mendorong tubuh tak berbusana Mutia di bawahnya. Setiap lekuk tubuhnya tak luput menjadi sasaran pria itu memanjakan lidahnya. "Ough, Fir. Hati-hati di bagian perut!" Mutia menahan dada bidang suaminya ketika Firheith tampak agresif. "Sayang, anggap ini babymoon kita? Ayolah, aku sudah tidak tahan! Berdekatan denganmu selalu membuat pusat diriku tegang." Firheith menggoda Mutia dengan meraba bagian dalam wanita itu. Mutia menggeliat resah dan menggigit bibir, kenikmatan akibat Firheit membuatnya basah. "Kau suka, humm?" "Ahh, iya...," sahut Mutia dengan wajah yang sayu. Firheith memang ahli meningkatkan gairahnya. Melihat ketergantungan Mutia. Suaminya mengulum senyum, perut buncit Mutia lalu diusapnya. Namun bukan dengan tangan melainkan kecupannya yang hangat. "Baby imut, biarkan kedua orang tuamu bersenang-senang ya. Tolong pengertian dan kerjasamanya?" bisik Firheith dengan lembut di perut Mutia, karena jambang Firheith romantisme itu
“Kita sudah sampai, Baby.” Firheith berujar setelah menggandeng tangan Mutia keluar dari mobil hingga ke tempat tujuan. Sebelumnya Firheith juga mengatakan, jika mereka telah tiba. Namun untuk sampai, butuh menaiki mobil terlebih dulu. “Tapi penutup mataku—”Perkataan Mutia terhenti, saat perlahan-lahan Mutia dapat merasakan kain penutup matanya ditarik oleh Firheith dan terlepas. Bibir Mutia membuncahkan senyum, Firheith pun mendekatkan bibirnya ke daun telinga Mutia. “Coba buka matamu sekarang, Baby.”Mutia mengangguk, kelopak matanya dibuka hati-hati. Agak buram karena terlalu lama tertutup. Akan tetapi saat matanya terbuka sepenuhnya. Mimiknya yang masam berubah ceria. “Kremlin Moskow?” “Yeap.” Firheith yang berdiri di belakang Mutia, lalu melingkatkan kedua tangan di perut istrinya tersebut. “Apa kau suka?”Tak disangka, Mutia menoleh dan menghadiahi Firheith sebuah ciuman yang menggetarkan. “Oh, Honey. Ternyata… Ini kejutan yang kau rahasiakan dariku sejak di Brussel. A
Setelah sarapan bersama di restoran Hotel Crousant pagi itu dengan mesra saling menyuapi dan bersenda gurau, Firheith berniat memberi kejutan untuk Mutia yang baru diangkatnya ke atas pangkuan."Kejutan apa honey?" tanya Mutia menatap Firheith, kali ini suaminya tampak segar dan seksi. Dalam balutan kemeja hitam, membentuk tubuhnya yang proporsional dengan dua kancing terbuka—memperlihatkan dada bidangnya.“Tapi kau harus menutup matamu dengan kain ini.” Firheith mengeluarkan kain warna hitam yang baru saja dimintanya dari Toni.Mutia terperangah. “A-aku harus menutup mataku?” ulangnya lagi dengan nada tak percaya, “Kejutan seperti apa yang akan kau berikan? Wow! Ini pasti sangat menakjubkan.”Firheith tak menjawabnya namun tersenyum. Menunjukkan kain hitam panjang yang berada di telapak tangannya itu, sebagai isyarat permohonan dan Mutia pun mengangguk pertanda setuju.“Baiklah…” Firheith lalu memasangkan kain itu menutupi mata istrinya dan menali nya di belakang kepala, “Selesai.”K
“Honey, kau dari mana saja?” tanya Mutia yang duduk di atas ranjang, menoleh ke arah pintu saat Firheith masuk ke dalam kamar dan menutupnya.Firheith melempar senyumnya pada Mutia lalu berkata, “Tadi aku hanya berbincang dengan Rich, Baby.”“Oh, jadi dia belum pulang? Lalu ke mana Noah? Apa masih di sini juga?” tanya Mutia beruntun yang pertanyaanya terhenti sewaktu Firheith memeluknya dari belakang.Memeluk istri di saat kalut adalah obat mujarab yang membuat hati gelisah menjadi tentram. Nyatanya hal itu yang belakangan inis sering Firheith lakukan.“Kenapa malah diam?” Mutia menoleh, Firheith menaikkan wajahnya yang semula terbenam di ceruk Mutia dan mencium bibir istrinya dengan lumatan lembut.Ciuman Firheith memang memabukkan, Mutia mengimbanginya dengan lidah yang bertali di mulut suaminya itu dan hanya berakhir ketika Mutia kehabisan napas.“Ahh, kau menciumku sangat brutal, Honey,” keluh Mutia napasnya terengah-engah saat Firheith merebahkannya di atas ranjang dan menarik ta