"Iya, kini ibu sangat menyesal telah menyetujui itu," keluhnya. "Sudahlah, ibu. Sekarang aku sudah bersama dengan wanita pujaan hatiku," ucap Arsen. Pipi Airina mendadak merona merah, tangannya menutup separuh dari wajahnya. "Airina, mari!" ajak Julie. Kini dua wanita yang Arsen sayang itu berjalan berdampingan, mulai membaur bersama beberapa wanita yang masih bekerja sama dengan keluarga Pinault. "Selamat malam, Nyonya Julie. Anda tidak pernah gagal dalam penampilan," puji seorang istri Antonio. "Terima kasih, Ini pilihan menantuku yang sangat cantik," elak Julie. Sembari berbisik, istri Antonio menatap Airina nyalang. "Wanita seperti jalang dan kampungan ini yang Anda kata cantik. Maaf nyonya kali ini saya tidak setuju," sergah Nyonya Antonio. "Jaga ucapanmu, atau pergi dari mansion ini!" pekik Julie. Airina mengusap pelan pundak Julie, membiarkan ibu mertuanya sedikit lebih tenang. "Berhenti menghina menantuku, jangan pernah kau mengatakan hal-hal buruk padanya!" pekik J
"Arsen, kamu kenapa?" tanya Airina. Matanya melihat laki-laki di hadapannya seperti menahan sesuatu. Raut wajahnya tidak dapat didefinisikan. "Tidak apa-apa, Airina. Seperti yang sudah aku bilang kalau aku akan selalu melindungimu," ucap Arsen. "Tetapi, memutuskan hubungan kerja sama dengan beberapa kolega pasti berdampak pada karyawan. Apa itu tidak apa-apa?" tanya Airina. Arsen menggelengkan kepalanya, ia kini mengusap pelan pipi Airina. Dua manik mata yang saling bertemu, seolah memberi kode untuk saling memberikan kenyamanan satu sama lain. "Airina," panggil Arsen lirih. Cup! Tepat saat Airina sedang mendongakkan kepalanya ke arah Arsen. Dua bibir yang saling bertemu satu sama lain, dengan tubuh Arsen yang sedikit mendorong bibirnya. "Eh, Arsen!" desis Airina. Lelaki yang baru saja melumat itu kini melepaskan bibirnya. Menatap Airina dengan lekat, mencari celah apa yang terjadi hingga wanita itu mendesis. "Ada apa?" tanya Arsen lirih. "Tidak ada apa-apa, emm aku ingin t
"Percayalah padaku, kali ini kamu akan berhasil dan sangat membanggakan. Berani bertaruh denganku?" tantang Arsen. "Hahaha, aku tidak mau!" tegas Airina. Arsen berdecih, "Belum mencoba sudah menyerah, mana sifat kamu yang pantang menyerah itu, Airina?" tanya Arsen dengan terkekeh. "Aku sudah malas, Arsen. Aku banyak cemas dan ragu sekarang," keluhnya. Tangan kanan Arsen merangkul pundak Airina, mengusapnya dengan pelan. "Aku akan membawamu berlibur selama 7 hari ke luar kota kalau kamu berhasil. Bahkan kamu bebas meminta apa pun dariku," bisik Arsen. "Tapi, jika aku gagal?" tanya Airina. "Emm, ya kamu tidak akan liburan dalam 1 Minggu. Tetapi, jika tebakanku benar aku meminta satu ciuman darimu ditambah paket liburan 1 Minggu," jelas Arsen. "Tidak mau!" pekik Airina. Arsen menyentuh pipi Airina lembut, mengusapnya perlahan dengan berbisik. "Yakin kamu tidak mau?" tanya Arsen berbisik. "Eh, aku benar-benar yakin!" hardik Airina. Airina beranjak dari duduknya, melangkahkan k
"Kenapa tidak ke kantor?" tanya Airina setelah duduk di samping Arsen. Arsen hanya diam, tidak memberikan jawaban pada wanita di sampingnya. "Arsen, jawab aku!" ia memohon. "Tidak apa-apa, lagian pekerjaan aku sudah selesai sejak aku ke butik,* jelasnya. "Oh, ya sudah." Airina memalingkan wajahnya, berulang kali ia meremas bajunya. "Aku tidak marah padamu, Airina. Maaf mengganggumu di jam kerja," tutur Arsen lembut. Deg! Berhenti saat itu juga, tidak ada kalimat yang bisa ia utarakan. Matanya mulai terasa panas! "Tuan, Nona. Apakah kita akan pergi dulu sebelum pulang ke apartemen?" tanya Aron memecahkan suasana. "Tidak!" jawab keduanya kompak. Reflek keduanya saling menatap, hanya ulasan senyum tipis yang tercetak diwajah sepasang kekasih itu. "Hehehe, bisa kompak ya!" ucap Aron dengan terkekeh. Mobil Bentley itu melaju ke apartemen di kawasan Aclairsmen. "Apa kamu masih gugup, Airina?" tanya Arsen. "Sudah lebih teratur daripada tadi," jawab Airina. Dengan upaya memeca
"Arsen, jangan menguping tolong!" teriak Airina. Guyuran shower yang mulai membasahi rambutnya. Dingin yang mulai menjalari tubuhnya. Perasaan yang mengganjal kembali datang, tidak percaya diri. "Huh, hari ini waktunya aku membuktikan bahwa aku bisa dan mampu," Airina menggumam. Tidak lama dari itu ia keluar dari kamar mandi, hanya handuk yang melingkari tubuhnya. Tangannya yang sibuk membenarkan handuk pada rambutnya. Saat ia mendongakkan kepalanya, matanya membelalak lebar. Arsen masih ada di kamarnya dengan merebahkan tubuhnya. "A-Arsen, kenapa kamu masih di sini!" teriak Airina keras. Arsen yang terkejut dengan suara nyaring Airina, menolehkan kepalanya tepat pada tubuh ramping itu. "Ma-maafkan aku, Airina. Aku masih menunggu MUA yang aku sewa, kenapa kamu hanya memakai handuk!" jelas Arsen. "Keluarlah dulu!" teriak Airina. Arsen merasakan tubuhnya mulai menegang, kehilangan kendali akibat apa yang ia lihat. Lekuk tubuh yang sangat manis dan elok. Tajam tatapan mata Arse
"Kabarnya dia memang berbakat, bahkan dulu bisa kuliah di ESMOD karena dapat beasiswa," timpal seseorang di samping Arsen. "Tetapi, tetap saja kurang pantas," gerutu wanita itu. Arsen hanya diam dan mendengar setiap percakapan dua wanita itu. Penampilan yang mencolok, bisa saja dua orang ini pemilik salah satu yayasan ESMOD. "Maaf, Nyonya. Apa Anda berdua ini membahas istriku?" tanya Arsen dengan satu tatapan. "Ups, maaf, Tuan muda. Ka-kami tidak bermaksud menghina istri Anda," lirih wanita di sebelah Arsen. "Sebenarnya, siapa kalian ini? Apa salah satu dari pemilik yayasan ESMOD Internasionale?" todong tanya Arsen. Diam! Dua wanita itu terdiam pasi saat Arsen melemparkan tanya. Hanya saling menatap enggan memberi jawaban. "Jawab!" tegas Arsen dengan tatapan nyalang. "I-iya, Tuan. Kami istri pemilik yayasan," jawabnya tergagap. Arsen menganggukkan kepalanya, dengan mengulas senyum tipis kembali menatap panggung. "Cantik," Arsen menggumam. Sepanjang Airina menjelaskan setia
"Ma-maksdunya?" Airina tergagap. Gemma kini berdiri tepat di depan Airina, membawa bucket bunga lily putih yang sangat cantik. "Maksudmu apa?" desak Arsen. Dengan satu gerakan lelaki itu membawa Airina menjauh dari sosok Gemma. Diam dengan tangan gemetaran bukan hal yang bisa diterima Arsen. "Kita pergi dari sini, cari restoran lain, Aron!" titah Arsen. Airina masih terpaku dengan mengikuti langkah kaki Arsen. Dengan mata yang masih menatap ke arah Gemma berdiri, seperti mesin waktu yang kembali berputar. "Mengapa dia ada di sana?" tanya Airina. "Aku tidak tahu darimana dia, sudahlah kita cari restoran lain saja," jawab Arsen final. "Ya, Arsen." Sepasang suami istri itu sudah masuk ke dalam mobil, dengan detak jantung yang masih tidak beraturan. Airina menelaah apa yang terjadi. "Aku masih belum bisa mengendalikan diriku, emm jika aku bertemu dengan Nona Gemma. Tu-tubuhku masih merespon dengan rasa takut," jelas Airina. "Airina, tidak apa-apa. Kita akan menghindari pertemua
"Arsen!" teriak Airina keras. "Kenapa dapur kita menjadi berantakan seperti ini?" todong tanya Airina keras. Lelaki yang berulah hanya tersenyum tipis, dengan wajah tidak bersalah sama sekali. "Ini hasil aku masak tadi, aku kan sudah bilang kalau akan ada kejutan untukmu," jelas Arsen. "Berhubung kamu yang memasak, berarti kamu juga yang membersihkan semua ini, hahaha!" ujar Airina dengan terkekeh. "Tidak! kamu harus membantu aku membersihkan ini semua, Airina!" tegas Arsen. Airina yang hendak berlari itu tertahan, tubuhnya diraih Arsen dengan satu gerakan. Kini mata keduanya saling bertatapan dengan lembut. "Apa kamu mau kabur dariku?" tanya Arsen dengan mengulas senyum licik. "Tentu saja, aku tidak ingin membersihkan dapurmu yang kotor itu!" hardik Airina dengan bengis. "Apa kamu yakin?" tanya Arsen. Airina menggeliat saat suami kontraknya mulai memeluk tubuhnya. Dengan gerakannya yang sangat cepat, ia berhasil lari dari dekapan Arsen. "Wleee!" Airina kini berdiri di dek
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya