"Untuk rasa sakit yang kuterima semalam! Kau benar-benar tidak tahu diri," pekik Airina keras. Ia beranjak meninggalkan kamar Arsen dengan tangis yang menderu. Air matanya mengalir bebas tidak bisa terbendung. "Airin, aku tidak bermaksud seperti itu. Dengarkan aku!" teriak Arsen dengan berlari. "Stop, memanggilku dengan nama itu. Hanya ibuku yang boleh memanggilku dengan nama itu, catat itu, Arsen Pinault!" hardik Airina. Dengan langkah tertatih, Airina berjalan semampu ia bisa. Hingga ia berada di depan kamarnya, dengan mata yang masih basah. Brak! Pintu itu tertutup rapat, ia terduduk bersandar pada pintu kamar. Ingatannya pada kejadian semalam membuatnya semakin merintih. 'Aku sakit, tapi kenapa rasaku tidak bisa marah padanya!' hardik Airina dalam batinnya. Ketukan keras pada pintu membuatnya tersadar, lamunannya buyar saat ketukan pintu semakin keras. "Airina, kali ini dengarkan aku sekali lagi. Maaf, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku," teriak Arsen keras.
Tok tok tok! "Nona, Nona," teriak Aron dari luar. "Ya, Aron. Ada apa?" tanya Airina. Ia membuka kenop pintu dengan perlahan. Matanya menatap lekat Aron yang terlihat cemas. "Ada apa, Aron?" tanya Airina. "Tu-tuan ... Tuan, anu ... Tuan kecelakaan," dengan tergagap Aron mengatakan kalimat itu. "Maksudmu?" tanya Airina ragu. Aron sudah terduduk lemas di lantai, di hadapan Airina bawahannya itu terlihat lemah. "Tuan kecelakaan di dekat pusat kota Macherie. Saya tidak paham kronologinya, karena Aiden hanya memberi tahu sampai di situ," jelas Aron dengan tertatih. "Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" todong tanya Airina keras. "Sa-saya tidak paham, Nona. Kita berangkat ke sana sekarang," ujar Aron dengan beranjak. Airina dan Aron terburu-buru, dengan mobil yang melaju kencang. Airina hanya meremas pakaiannya. "Aron, bagaimana nasib Arsen?" tanya Airina dengan cemas. "Sa-saya juga belum tau, Nona." Aron hanya fokus pada jalanan Kota Macherie, dengan perasaan yang sangat kalut
"Bermain?" tanya Airina singkat. Dengan mendongakkan kepalanya ke arah Arsen, wanita yang menjadi istri kontraknya itu bertanya-tanya. "Bermain apa maksudnya?" tanya Airina lagi. "Tidak, lupakan saja!" jawab Arsen singkat. "Ya sudah, ayo masuk," ajak Airina dengan langkah yang mendului Arsen. Terburu-buru Arsen mengejar Airina yang sudah melangkah lebih jauh darinya. "Airin," panggil Arsen. Secara tiba-tiba lengan besar itu sudah merangkul pundak Airina. Berjalan masuk ke dalam apartemen dengan senyum yang ada di pipinya. "Kamu tahu tidak kalau ...," ucap Arsen terhenti. "Apa? Apa ada sesuatu saat kamu datang ke butik?" todong tanya Airina. "Butik?"Alih-alih menjawab pertanyaan Airina, Arsen malah bingung sendiri dengan pertanyaan Airina. "Loh, bukannya tadi kamu ke butik? Kata Aron kamu ke butik sore tadi sepulang dari kantor," jelas Airina. Arsen terkekeh sebelum menjawab pertanyaan Arsen, " Aku tidak ke butikmu, Airina. Tadi aku mencari restoran bersama Aiden," jelas A
"Aku bisa gila!" pekik Airina keras. Kini ia sibuk menatap wajahnya di depan kaca, dengan memoles sedikit dengan riasan make up sederhana. Sapuan lembut kuas make up itu mempercantik dirinya. "Sederhana saja, memangnya akan ada apa di kantor?" tanya Airina lirih. "Aku sangat ingin tahu, tapi ya sudahlah," tukasnya sendiri. "Aku tidak ingin peduli," putus Airina. Dengan tas jinjing yang ada ditangannya, ia keluar dari kamarnya. Langkahnya pelan menuju dapur, matanya menelisik mencari sosok laki-laki yang katanya akan memasak pagi ini. "Hm, nyatanya hilang begitu saja. Aku kira dia masih memasak untukku, nyatanya dia sudah pergi entah ke mana," Airina menggumam. "Aku masih di sini, Airina. Baru saja aku selesai," ucap Arsen. Airina menoleh ke sumber suara, lelaki itu berdiri di dekat pintu dapur. "Ayo, makan!" ajak Arsen. "Ya, ayo!" Airina melangkah mendekati Arsen, dengan langkah yang terburu-buru dan sedikit berlari. "Aduh!" teriak Airina. Kakinya terpeleset sisa air yang
"Wah, ada pahlawan kesiangan rupanya," dengan jari mengangkat dagu Airina. Mata Adam Rush menatap tajam ke arah Arsen dan Aiden yang tiba. "Jangan sentuh istriku, Bajingan!" pekik Arsen keras. Dengan mata yang menatap lekat ke arah Adam, tangannya mengepal di samping paha. Deruan nafas yang lebih memburu. "Apa katamu, istri?" Rautnya dengan senyum licik di bibirnya, semakin terpancing emosi Arsen bersamaan dengan deruan nafasnya. Bruk! Satu pukulan yang melayang pada tubuh mantan kekasih Airina. Tubuhnya limbung ke lantai, ujung bibirnya berdarah! "Airina, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arsen dengan cemas. "Ya, aku baik-baik saja. Ta-tapi apa kamu baik-baik saja, Arsen?" Berbalik melempar tanya, Airina menatap Arsen yang masih emosi. "Tuan muda!" teriak Aiden yang berdiri jauh dari Arsen dan Airina. Tangan Adam mulai mengepal yang sudah siap ia layangkan pada tubuh Arsen. Namun, semua itu gagal! "Hahaha, kalau ilmu beladirimu masih tingkat junior, belajar dulu!" pekik Ar
"Wanita kurang ajar!" pekik Gemma. Airina hanya berdiri dengan derdecak, "Lantas, apakah aku harus menghormatimu?" tanya Airina. "Aku datang menjadi seorang tamu, ternyata seperti ini caramu menjamu tamu, Nona muda." Gemma dengan menganggukkan kepalanya, seolah ia paham betul tentang sopan santun. "Sejauh mana kau paham tentang cara menjamu tamu, bahkan kau saja tidak layak diperlakukan baik seperti tamu," ucap Airina. Gemma terhenyak! Seperti dihandam kenyataan, kini ia mulai memutar otaknya. "Tidak sepantasnya seorang nona muda melakukan ini, aduh sepertinya akan ada berita baru hari ini," ucap Gemma dengan lirih. Wanita yang dibicarakan hanya diam, menatap nanar ke arah Gemma. Tangan kanannya memberi isyarat pada asistennya. "Baik, Nona." Dengan satu anggukan kepala, Tiwi menyeret Gemma keluar ruangan. Brak! Pintu itu tertutup dengan keras, Airina mulai kembali duduk dengan kepala yang sedikit pusing. "Ada apa lagi dengan wanita itu? Apa dia tidak puas sudah menyekapku
"Kosong?" Ruangan itu terlihat kosong, mata Arsen menyibak ke beberapa sudut kamar Airina. "Airina, di mana kamu?" tanya Arsen keras. Nyaring suara Arsen tidak membuat Airina beranjak dari tempat sembunyinya. "Airina," panggil Arsen keras. "Di mana dia sebenarnya?" Dengan bertanya-tanya ia mengelilingi kamar Airina dengan ragu. Matanya menggulir ke beberapa sudut namun tidak kunjung menemukan Airina. "Airina aku tidak suka bercanda seperti ini ya, kamu di mana sebenarnya. Keluarlah!" tegas Arsen. 'Aku di sini, Arsen. hihihi,' batin Airina dengan tertawa lirih. "Airina keluarlah, aku mohon!" Semakin keras suara Arsen berteriak, namun Airina masih setia dengan posisi duduknya. "Airina Lyon!" pekik Arsen keras. Tanpa sengaja Airina terkekeh pelan, lelaki dengan pendengaran yang sangat tajam itu menoleh ke sumber suara. "Hai, Arsen. Em ... maaf," dengan menyengir Airina hanya bisa mengulas senyum. "Sejak kapan kamu di situ?" ketus tanya Arsen. Wanita yang kini duduk di bali
Deg! Detak jantungnya terhenti beberapa detik, kecupan yang melayang rapi tanpa cela di kening Airina. Membuat wanita itu terdiam sejenak. "Ayo makan," ajak Arsen. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan dirinya masih sadar sepenuhnya. "Airina, ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" todong tanya Arsen dengan cemas. Layaknya seorang suami pada istrinya. "Ya, aku baik-baik saja. Sepertinya aku barusan bermimpi," ucap Airina lirih. "Ayo, makan ini. Aaa ...." ucap Arsen dengan antusias. Satu, dua sendok mulai masuk ke dalam mulut Airina. Dengan lahap wanita yang menjadi istri kontraknya itu menurut. "Habis!" dengan senyum yang merekah pada bibirnya. "Terima kasih, Arsen. Padahal tadi aku sangat mual," keluhnya. Arsen terkekeh, "Tidak ada makanan yang hambar saat kamu makan bersamaku," ucap Arsen. "Dih!" Decih Airina, tangannya mendorong Arsen untuk pergi dari kamarnya. "Minum obat ini, nanti aku akan meninggalkanmu untuk istirahat. Aku masih ada sedikit urusan di kantor, apa