"Arsen!" teriak Airina keras. "Kenapa dapur kita menjadi berantakan seperti ini?" todong tanya Airina keras. Lelaki yang berulah hanya tersenyum tipis, dengan wajah tidak bersalah sama sekali. "Ini hasil aku masak tadi, aku kan sudah bilang kalau akan ada kejutan untukmu," jelas Arsen. "Berhubung kamu yang memasak, berarti kamu juga yang membersihkan semua ini, hahaha!" ujar Airina dengan terkekeh. "Tidak! kamu harus membantu aku membersihkan ini semua, Airina!" tegas Arsen. Airina yang hendak berlari itu tertahan, tubuhnya diraih Arsen dengan satu gerakan. Kini mata keduanya saling bertatapan dengan lembut. "Apa kamu mau kabur dariku?" tanya Arsen dengan mengulas senyum licik. "Tentu saja, aku tidak ingin membersihkan dapurmu yang kotor itu!" hardik Airina dengan bengis. "Apa kamu yakin?" tanya Arsen. Airina menggeliat saat suami kontraknya mulai memeluk tubuhnya. Dengan gerakannya yang sangat cepat, ia berhasil lari dari dekapan Arsen. "Wleee!" Airina kini berdiri di dek
"Untuk rasa sakit yang kuterima semalam! Kau benar-benar tidak tahu diri," pekik Airina keras. Ia beranjak meninggalkan kamar Arsen dengan tangis yang menderu. Air matanya mengalir bebas tidak bisa terbendung. "Airin, aku tidak bermaksud seperti itu. Dengarkan aku!" teriak Arsen dengan berlari. "Stop, memanggilku dengan nama itu. Hanya ibuku yang boleh memanggilku dengan nama itu, catat itu, Arsen Pinault!" hardik Airina. Dengan langkah tertatih, Airina berjalan semampu ia bisa. Hingga ia berada di depan kamarnya, dengan mata yang masih basah. Brak! Pintu itu tertutup rapat, ia terduduk bersandar pada pintu kamar. Ingatannya pada kejadian semalam membuatnya semakin merintih. 'Aku sakit, tapi kenapa rasaku tidak bisa marah padanya!' hardik Airina dalam batinnya. Ketukan keras pada pintu membuatnya tersadar, lamunannya buyar saat ketukan pintu semakin keras. "Airina, kali ini dengarkan aku sekali lagi. Maaf, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku," teriak Arsen keras.
Tok tok tok! "Nona, Nona," teriak Aron dari luar. "Ya, Aron. Ada apa?" tanya Airina. Ia membuka kenop pintu dengan perlahan. Matanya menatap lekat Aron yang terlihat cemas. "Ada apa, Aron?" tanya Airina. "Tu-tuan ... Tuan, anu ... Tuan kecelakaan," dengan tergagap Aron mengatakan kalimat itu. "Maksudmu?" tanya Airina ragu. Aron sudah terduduk lemas di lantai, di hadapan Airina bawahannya itu terlihat lemah. "Tuan kecelakaan di dekat pusat kota Macherie. Saya tidak paham kronologinya, karena Aiden hanya memberi tahu sampai di situ," jelas Aron dengan tertatih. "Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" todong tanya Airina keras. "Sa-saya tidak paham, Nona. Kita berangkat ke sana sekarang," ujar Aron dengan beranjak. Airina dan Aron terburu-buru, dengan mobil yang melaju kencang. Airina hanya meremas pakaiannya. "Aron, bagaimana nasib Arsen?" tanya Airina dengan cemas. "Sa-saya juga belum tau, Nona." Aron hanya fokus pada jalanan Kota Macherie, dengan perasaan yang sangat kalut
"Bermain?" tanya Airina singkat. Dengan mendongakkan kepalanya ke arah Arsen, wanita yang menjadi istri kontraknya itu bertanya-tanya. "Bermain apa maksudnya?" tanya Airina lagi. "Tidak, lupakan saja!" jawab Arsen singkat. "Ya sudah, ayo masuk," ajak Airina dengan langkah yang mendului Arsen. Terburu-buru Arsen mengejar Airina yang sudah melangkah lebih jauh darinya. "Airin," panggil Arsen. Secara tiba-tiba lengan besar itu sudah merangkul pundak Airina. Berjalan masuk ke dalam apartemen dengan senyum yang ada di pipinya. "Kamu tahu tidak kalau ...," ucap Arsen terhenti. "Apa? Apa ada sesuatu saat kamu datang ke butik?" todong tanya Airina. "Butik?"Alih-alih menjawab pertanyaan Airina, Arsen malah bingung sendiri dengan pertanyaan Airina. "Loh, bukannya tadi kamu ke butik? Kata Aron kamu ke butik sore tadi sepulang dari kantor," jelas Airina. Arsen terkekeh sebelum menjawab pertanyaan Arsen, " Aku tidak ke butikmu, Airina. Tadi aku mencari restoran bersama Aiden," jelas A
"Aku bisa gila!" pekik Airina keras. Kini ia sibuk menatap wajahnya di depan kaca, dengan memoles sedikit dengan riasan make up sederhana. Sapuan lembut kuas make up itu mempercantik dirinya. "Sederhana saja, memangnya akan ada apa di kantor?" tanya Airina lirih. "Aku sangat ingin tahu, tapi ya sudahlah," tukasnya sendiri. "Aku tidak ingin peduli," putus Airina. Dengan tas jinjing yang ada ditangannya, ia keluar dari kamarnya. Langkahnya pelan menuju dapur, matanya menelisik mencari sosok laki-laki yang katanya akan memasak pagi ini. "Hm, nyatanya hilang begitu saja. Aku kira dia masih memasak untukku, nyatanya dia sudah pergi entah ke mana," Airina menggumam. "Aku masih di sini, Airina. Baru saja aku selesai," ucap Arsen. Airina menoleh ke sumber suara, lelaki itu berdiri di dekat pintu dapur. "Ayo, makan!" ajak Arsen. "Ya, ayo!" Airina melangkah mendekati Arsen, dengan langkah yang terburu-buru dan sedikit berlari. "Aduh!" teriak Airina. Kakinya terpeleset sisa air yang
"Wah, ada pahlawan kesiangan rupanya," dengan jari mengangkat dagu Airina. Mata Adam Rush menatap tajam ke arah Arsen dan Aiden yang tiba. "Jangan sentuh istriku, Bajingan!" pekik Arsen keras. Dengan mata yang menatap lekat ke arah Adam, tangannya mengepal di samping paha. Deruan nafas yang lebih memburu. "Apa katamu, istri?" Rautnya dengan senyum licik di bibirnya, semakin terpancing emosi Arsen bersamaan dengan deruan nafasnya. Bruk! Satu pukulan yang melayang pada tubuh mantan kekasih Airina. Tubuhnya limbung ke lantai, ujung bibirnya berdarah! "Airina, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arsen dengan cemas. "Ya, aku baik-baik saja. Ta-tapi apa kamu baik-baik saja, Arsen?" Berbalik melempar tanya, Airina menatap Arsen yang masih emosi. "Tuan muda!" teriak Aiden yang berdiri jauh dari Arsen dan Airina. Tangan Adam mulai mengepal yang sudah siap ia layangkan pada tubuh Arsen. Namun, semua itu gagal! "Hahaha, kalau ilmu beladirimu masih tingkat junior, belajar dulu!" pekik Ar
"Wanita kurang ajar!" pekik Gemma. Airina hanya berdiri dengan derdecak, "Lantas, apakah aku harus menghormatimu?" tanya Airina. "Aku datang menjadi seorang tamu, ternyata seperti ini caramu menjamu tamu, Nona muda." Gemma dengan menganggukkan kepalanya, seolah ia paham betul tentang sopan santun. "Sejauh mana kau paham tentang cara menjamu tamu, bahkan kau saja tidak layak diperlakukan baik seperti tamu," ucap Airina. Gemma terhenyak! Seperti dihandam kenyataan, kini ia mulai memutar otaknya. "Tidak sepantasnya seorang nona muda melakukan ini, aduh sepertinya akan ada berita baru hari ini," ucap Gemma dengan lirih. Wanita yang dibicarakan hanya diam, menatap nanar ke arah Gemma. Tangan kanannya memberi isyarat pada asistennya. "Baik, Nona." Dengan satu anggukan kepala, Tiwi menyeret Gemma keluar ruangan. Brak! Pintu itu tertutup dengan keras, Airina mulai kembali duduk dengan kepala yang sedikit pusing. "Ada apa lagi dengan wanita itu? Apa dia tidak puas sudah menyekapku
"Kosong?" Ruangan itu terlihat kosong, mata Arsen menyibak ke beberapa sudut kamar Airina. "Airina, di mana kamu?" tanya Arsen keras. Nyaring suara Arsen tidak membuat Airina beranjak dari tempat sembunyinya. "Airina," panggil Arsen keras. "Di mana dia sebenarnya?" Dengan bertanya-tanya ia mengelilingi kamar Airina dengan ragu. Matanya menggulir ke beberapa sudut namun tidak kunjung menemukan Airina. "Airina aku tidak suka bercanda seperti ini ya, kamu di mana sebenarnya. Keluarlah!" tegas Arsen. 'Aku di sini, Arsen. hihihi,' batin Airina dengan tertawa lirih. "Airina keluarlah, aku mohon!" Semakin keras suara Arsen berteriak, namun Airina masih setia dengan posisi duduknya. "Airina Lyon!" pekik Arsen keras. Tanpa sengaja Airina terkekeh pelan, lelaki dengan pendengaran yang sangat tajam itu menoleh ke sumber suara. "Hai, Arsen. Em ... maaf," dengan menyengir Airina hanya bisa mengulas senyum. "Sejak kapan kamu di situ?" ketus tanya Arsen. Wanita yang kini duduk di bali
"Tera Fillmoore Pinault!" seru seorang pria dengan tubuh tinggi dengan jas yang melekat pada tubuhnya. "Om Yoshi!" seru Tera. "Happy wedding ya, Om, Aunty!" ucap Tera dengan senyum ramah. Pagi itu, Tera dan Tora diminta menjadi Bridesmaids dan Groomsmen di acara pernikahan Aily dan Yoshi. Di tepi pantai Medoza, ke duanya resmi menikah. Airina dan Arsen hanya mengulas senyum tipis, tatkala sepasang pengantin itu terlihat bahagia di atas pelaminan. "Cie, udah nggak jomblo nih!" ledek Airina. "Diam!" seru Yoshi. Gelak tawa terdengar nyaring, acara pernikahan yang diadakan dengan sederhana. Membuat suasana intimade wedding itu kian kental terasa. "Curang sekali kamu, Yosh. Bisa-bisanya menikahi adikku sendiri," ucap Airina. Ia yang sedari tadi menahan air mata, kini ia benar-benar menumpahkannya di dada Arsen. Usapan pelan pada pundak Airina, membuat ia air matanya semakin pecah. "Aku hanya ingin melindungi adik sekaligus istriku ini, Airin. Lagi pula, kamu sudah mengenal aku c
Aily dan Yoshi saling melempar senyuman tipis. "Aku ingin melamar adikmu, Airin," ucap Yoshi lembut. DegJantung Airina seperti berhenti berdetak sepersekian detik, kaget dan campur aduk. Di hadapan keluarga Arsen, Yoshi dengan entengnya mengatakan kalimat itu tanpa ragu. "Yosh ...? Kamu serius?" tanya Arsen lirih. Yoshi menganggukkan kepalanya membenarkan ucapannya. Membuat Airina dan Arsen semakin terdiam kaku. "Entah restu seperti apa yang harus aku berikan padamu, Yosh. Tapi ... Aku tidak bisa memaksa adikku untuk mengikuti jejakku, aku membiarkan adikku memilih jalannya sendiri. Jadi, apa pun yang diinginkan Aily, aku setuju," tutur Airina lembut. Aily berseru dengan bahagia, setelah selesai pendidikannya. Ia berniat melanjutkan kuliah terlebih dahulu. "Terima kasih, Kak!" Aily memeluk erat tubuh Airina. Malam tahun baru itu membawa rona bahagia pada semuanya. Airina dan Arsen yang cintanya semakin kuat, dalam dekapannya Tora dan Tera tersenyum menggelitik. **** 5 tahu
"Arsen ...," Julie mengoyak tubuh anak laki-lakinya, teriakannya cukup keras. Membuat ia yang duduk di ruang tunggu mampu mendengar suaranya. Lama Arsen hanya mengubah posisi tidurnya, entah apa yang ia rasakan di alam mimpi. "Arsen!" gertak Julie. "Arghhh!" Matanya menyipit sebelum benar-benar sadar dari tidur singkatnya. Matanya mengerjap perlahan. "Ibu ... bagaimana bisa ibu ada di sini?" tanya Arsen dengan tergagap. "Kamu mimpi apa? Sangat berisik, ibu takut Airina terganggu," tanya Julie. "Rasanya aku tidak bermimpi, namun ada sesuatu yang mengganjal dalam tubuhku. Maaf ibu," Arsen mengacak rambutnya kasar. "Sudah tidak apa-apa, tenangkan dirimu sebelum kembali tidur. Kasihan Airina jika terganggu," peringat Julie. Arsen akhirnya melangkahkan kakinya ke luar ruang inap, sekilas ia melihat anak kembarnya di ruang bayi. Ia hampir lengah dengan penjagaan di sana. "Aron, panggilkan beberapa orang untuk menjaga ruang bayi!" titahnya. Setelahnya, Arsen hanya duduk di kursi
Mata itu perlahan mengerjap hingga sepenuhnya ia mampu menatap sekeliling ruangan. Dengan nuansa biru lautnya, ruangan yang terlihat luas hanya menyisakan dirinya dan Arsen. Dengan perlahan matanya terbuka dengan lebar, ia mengerjapkan matanya berulang. Pukul 10 malam, setelah pagi hari ia berjuang untuk nyawa dua bayi. Kini, ia kembali siuman setelah tertidur entah berapa lama. "A-Arsen," lirih suaranya samar memanggil nama Arsen di sampingnya. Pria itu menundukkan kepalanya dalam, seolah tidak memiliki harapan besar atas istrinya. Setelah mendengar suara tangisan ke dua kalinya, ia tidak lagi ingat apa yang terjadi padanya. "Airin, kamu sudah siuman? A-aku akan memanggil dokter segera!" ucapnya terbata. Arsen berusaha berlari menuju pintu, namun tangannya tercekal. Airina menahan pergelangan tangan Arsen dengan kuat. "Jangan pergi dulu, bagaimana kabar anak kita?" tanya Airina lirih. "Anak kita sehat, Airina. Dia ada di ruang bayi, kalau kamu sudah sepenuhnya pulih. Kita ak
"Hah?" beo Airina kebingungan. "Kamu tahu dari mana?" tanya Airina pada adik bungsunya. Tatapan mata yang lekat pada adiknya itu menyelidik. Bahkan ia terlihat sudah tahu bagaimana ceritanya kejadian itu terjadi pada kakaknya. "Bu Julie cerita ke aku, Kak. Awalnya aku juga tidak percaya, tapi setahuku memang Nona Gemma tidak pernah menyukaimu 'kan?" tutur Aily lirih. "Aily, kamu tidak perlu sampai seperti itu. Tidak perlu membenci orang lain seperti itu, Aily. Lihatlah kakak baik-baik saja loh," ucap Airina dengan menatap lembut adik bungsunya. "Kakak memang baik-baik saja, jika Kakak tidak baik setelah kejadian itu. Apa kakak bisa mengatakan kalimat barusan?" tanya Aily dengan menekan kalimat demi kalimatnya. Deg! Sifat ke duanya sangat bertolak belakang. Aily membiarkan Airina sibuk dengan pikirannya, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. "Aku mau istirahat dulu, Kak. Lelah sekali perjalanan hari ini," keluhnya. Airina hanya bisa melihat adiknya melenggang begitu saja. Hanya
Arsen terperanjat, ia dengan sigap menopang tubuh Airina agar tidak terjatuh. Sayup-sayup Anne berlari dari lawan arah. Membantu Arsen menopang tubuh Airina, tanpa sadar itu adalah salah Anne. Akhirnya, dengan degup jantung yang tidak beraturan, Airina masih selamat. "Terima kasih, Arsen, Anne," lirih ucap Airina. Dengan perasaan penuh kekalutan, Airina memilih duduk di sofa. Membiarkan jantungnya berdegup normal kembali. Dengan segelas air putih ia berusaha menetralkan dirinya sendiri meski cukup sulit. Ada ketakutan dalam dirinya yang cukup kuat. "Anne, bagaimana bisa kamu mengepel dan masih sangat basah seperti itu?" tanya Arsen dengan nada yang cukup keras. Sedangkan pembantunya hanya bisa diam dengan menatap lantai di hadapannya. "Maafkan saya, Tuan. Saya tadi sempat mengambil air bersih, karena mema-" ucapannya terhenti. Arsen tidak lagi mengomel, ia berjalan mendekati Airina. Ia memastikan keadaan istrinya baik-baik saja. "Jangan marah pada Anne, itu akan membuatnya t
Arsen dengan segera memeluk erat tubuh Airina, meredakan setiap kepanikan dan ketakutan dalam dirinya. Tidak ingin membiarkan istrinya begitu kalut dalam rasa takutnya. "Hust, sudah, itu tidak akan terjadi, Airina. Aku ada di sini menemanimu," ucap Arsen. Ia mengecup beberapa kali kening Airina tanpa ragu. Membiarkan istrinya itu lebih tenang dengan adanya dirinya. Tidak berselang lama, Julie masuk dalam ruang inap. Raut wajah paniknya sesaat sudah berubah dengan rasa lega. "Sayang, kamu sudah siuman. Bagaiaman keadaan tubuhmu?" tanya Julie lirih. "Aku baik, Ibu. Rasanya juga sudah lebih baik daripada tadi saat aku jatuh. Ibu ... Maaf sekali aku lalai," ucap Airina lirih. Rasa bersalah dalam dirinya seolah membuat Airina tertekan. Tidak nyaman dengan apa yang terjadi dengan dirinya sendiri. "Airina, kamu selamat saja ibu sudah senang. Tidak perlu mengatakan itu, kamu mau minta maaf atas apa? Gara-gara ada seseorang menabrakmu sampai jatuh? Tidak-tidak, kamu tidak salah dalam ha
Dokter terlihat kalut dengan keadaan pasiennya, Arsen sudah pasrah. Mulutnya hanya bisa merapal doa agar istrinya baik-baik saja. "Dokter, katakan bagaiaman keadaan menantu saya?" tanya Julie dengan tatapan tajam. Dengan berat hati dokter membuka suara, dengan bergetar suara itu terdengar. Setiap kalimat yang ia utarakan seolah akan membuat semua anggota keluarga tercengang. "Sebelumnya saya meminta maaf, awalnya saya tidak yakin Nona Airina akan melalui masa kritis ini. Sempat terjadi pendarahan yang cukup menegangkan," jelasnya. Arsen dan Julie saling menatap, wajahnya mulai pucat tidak siap dengan apa yang akan di utarakan dokter. "Lalu, Dok?" Arsen menggantungkan tanyanya. Helaan nafas cukup panjang diambil begitu saja oleh dokter, "Saya sempat terkejut saat Nona Airina dan bayi dalam kandungannya berhasil melewati masa kritisnya. Sekarang biarkan ia istirahat terlebih dahulu," tambah dokter. Julie memeluk erat tubuh Arsen, dengan perasaan campur aduk. Akhirnya ia dan anak
Namun, bagi Airina itu masih kurang sedikit. Ya, selera ke duanya memang cukup berbeda, maka dari itu rasanya Airina ingin menambahkan sedikit diantara kata itu. Masih diam dengan isi kepalanya, Arsen mulai menatapnya lekat tanpa celah. "Apa kamu tidak suka dengan nama itu?" tanya Arsen dengan tatapan penuh tanya. "Bu-bukan tidak suka, bagiku itu masih kurang sedikit. Nanti bisa kita pikirkan ya," elak Airina dengan senyum manis di bibirnya. Kini mereka sudah kembali sibuk dengan urusannya masing-masing. Bergelut dengan isi kepalanya yang mulai bersahutan, salah dengan banyaknya ide dan nama yang harus diberikan. Ini anak pertama Airina dan Arsen, jadi akan menjadi sebuah hal baru bagi ke duanya. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Nanti bisa kita diskusikan lagi, Airina." Arsen kini menatap istrinya lekat, menunjukkan padanya bahwa mereka sudah tiba di mall terbesar di Macherie. Agatto Mall yang ada di pusat kota Macherie. Langkah ke duanya pelan memasuki mall. Dengan tangan ya