"Kosong?" Ruangan itu terlihat kosong, mata Arsen menyibak ke beberapa sudut kamar Airina. "Airina, di mana kamu?" tanya Arsen keras. Nyaring suara Arsen tidak membuat Airina beranjak dari tempat sembunyinya. "Airina," panggil Arsen keras. "Di mana dia sebenarnya?" Dengan bertanya-tanya ia mengelilingi kamar Airina dengan ragu. Matanya menggulir ke beberapa sudut namun tidak kunjung menemukan Airina. "Airina aku tidak suka bercanda seperti ini ya, kamu di mana sebenarnya. Keluarlah!" tegas Arsen. 'Aku di sini, Arsen. hihihi,' batin Airina dengan tertawa lirih. "Airina keluarlah, aku mohon!" Semakin keras suara Arsen berteriak, namun Airina masih setia dengan posisi duduknya. "Airina Lyon!" pekik Arsen keras. Tanpa sengaja Airina terkekeh pelan, lelaki dengan pendengaran yang sangat tajam itu menoleh ke sumber suara. "Hai, Arsen. Em ... maaf," dengan menyengir Airina hanya bisa mengulas senyum. "Sejak kapan kamu di situ?" ketus tanya Arsen. Wanita yang kini duduk di bali
Deg! Detak jantungnya terhenti beberapa detik, kecupan yang melayang rapi tanpa cela di kening Airina. Membuat wanita itu terdiam sejenak. "Ayo makan," ajak Arsen. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan dirinya masih sadar sepenuhnya. "Airina, ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" todong tanya Arsen dengan cemas. Layaknya seorang suami pada istrinya. "Ya, aku baik-baik saja. Sepertinya aku barusan bermimpi," ucap Airina lirih. "Ayo, makan ini. Aaa ...." ucap Arsen dengan antusias. Satu, dua sendok mulai masuk ke dalam mulut Airina. Dengan lahap wanita yang menjadi istri kontraknya itu menurut. "Habis!" dengan senyum yang merekah pada bibirnya. "Terima kasih, Arsen. Padahal tadi aku sangat mual," keluhnya. Arsen terkekeh, "Tidak ada makanan yang hambar saat kamu makan bersamaku," ucap Arsen. "Dih!" Decih Airina, tangannya mendorong Arsen untuk pergi dari kamarnya. "Minum obat ini, nanti aku akan meninggalkanmu untuk istirahat. Aku masih ada sedikit urusan di kantor, apa
"Hust! Apa maksudmu, Arsen!" gertak Airina. Matanya membelalak dengan bibir yang mengatup rapat. Tubuhnya menegang! "Airina, aku bercanda," ucap Arsen lirih. "Aku tidak suka!" gerutu Airina tegas. Matanya menggulir ke beberapa arah, hanya tersisa senyum tipis pada bibirnya. Dengan perasaan ragu Airina menatap Arsen. "Arsen, aku mau istirahat dulu," pamitnya. "Tidurlah, aku akan menemanimu di sini. Boleh ya aku tidur di sampingmu," Mendengar ucapan Arsen, wanita yang kini terbaring lemas itu hanya mengangguk setuju. Netranya kini menatap lekat lelaki yang duduk di tepi ranjang. "Tidurlah, Airina. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian," bisik Arsen lirih. Kecupan lembut untuk menjadi penghantar mimpi Arsen layangkan pada kening Airina. "Sudah, sekarang tidur, Airina. Kalau besok sembuh, kita pergi ke Mitleburg lusa," ucap Arsen dengan menimbang. "Wah! Berarti aku akan sembuh besok," ucap Airina antusias. Matanya perlahan terpejam, raut ceria kembali terpancar pada wajah ca
"Wanita berbisa?" tanya Airina ragu. "Iya, Gemma layak mendapatkan nama itu, bukan?" Arsen membalikkan tanya. Raut wajahnya kini seolah mengundang tawa, Airina di seberang hanya tertawa. "Semangat bekerja, Arsen. Aku akan istirahat setelah ini," ucap Airina lembut. "Ya, selamat istirahat, istriku," tutup Arsen dengan ulasan senyum tipis.Deg! Sambungan telepon itu terputus, Airina masih terkejut mendengar ucapan Arsen di akhir telepon. "Istriku?" tanya Airina menggantung. "Apa katanya? istriku?" tanya Airina mengulang. "Aaa ...." teriak Airina keras. Secara tiba-tiba Aron datang dengan terengah-engah, nafasnya seolah baru saja lari maraton. Tatapannya cemas dengan wajah berkeringat. "Nona, apa yang terjadi?" tanya Aron. Airina mendongak, menatap laki-laki yang tiba-tiba datang. "Tidak ada apa-apa, Aron. Aku tidak memanggilmu juga," ucap Airina lirih. "Aduh, saya kira nona kenapa. Suara Anda terdengar sampai luar kamar, panik saya dengarnya!" jelas Aron. Gelak tawa yang s
Manik mata itu memicing tepat ke arah ponsel Arsen. Sebuah nomor tanpa nama itu terlihat tidak asing bagi Airina. "Sebentar, aku seperti mengenal nomor telepon itu," ucap Airina ragu. Alih-alih teringat dengan pemilik nomor itu, ia salah fokus pada tatapan Arsen. Sendu dan ragu tercetak jelas dalam tatapannya. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Airina dengan mengusap pelan pipi lelaki itu. "Ya, memintaku mengembalikan kekasihnya, bodohnya dia juga mengatakan aku merebut pacarnya," jelas Arsen dengan kesal. Airina hanya diam dengan menimang, tangannya sibuk mencari ponsel genggamnya yang entah kemana. "Apa kamu lihat ponselku? Bahkan aku tidak ingat meletakkan di mana," Tangannya yang masih mengacak beberapa sudut kamar. Hingga Arsen berseru keras. "Ini bukan?" tanya Arsen. Lelaki itu mengangkat tangannya tinggi, sebuah ponsel genggam Airina kini sudah diraihnya. "Aku masih ragu, tapi akan aku cek dulu," tutur Airina dengan fokus. Matanya menjelajah beberapa daftar nomor terbl
"Airina!" panggil Arsen keras. Sepasang manik mata itu saling menatap dengan penuh cinta. Ragu Airina menatap mata lelaki yang kini membantunya bangkit. Jika, tangan kuat itu tidak membantunya mungkin ia sudah terjatuh ke lantai. "Arsen, terima kasih banyak, sekarang boleh turunkan aku?" tanya Airina. Alih-alih menuruti ucapan Airina, lelaki itu malah asik menatap netra Airina dengan tajam. Tidak beralih sedetik pun, hingga ia meraih tubuh Airina untuk di dekap. "Aku akan melindungimu, seburuk apa pun perlakuanmu padaku. Aku akan tetap mencintaimu sedalam itu dan tidak akan pernah berubah," bisik Arsen lirih. Dekapan Arsen serta bisikan yang ia dengar seolah mimpi. Ia mengerjapkan matanya berulang, memastikan dirinya memang berada di dunia nyata. "Apa yang kau katakan, Arsen!" pekik Airina bertanya-tanya. Dengan satu gerakan ia mendorong tubuh Arsen menjauh. "Stop! Jangan pernah melampaui batasmu, kita hanya menikah kontrak dan ..." ucapan itu terhenti. Airina seperti tidak ma
"Tapi-" "Tidak ada kata tapi dalam kamus ibu, Airina. Apa kamu ingin mengecewakan ibuku?" tanya Arsen mencekal ucapan Airina. "Tidak, tapi dalam kontrak tidak dijelaskan, Arsen," tutur Airina ragu. "Kontrak?" suara yang berhasil membuyarkan fokus keduanya. Yohan yang kini berdiri penuh tanda tanya, kini lelaki paruh baya itu memastikan pendengarannya. "Apa maksud kata kontrak itu, Arsen?" tanya Yohan menyelidik. Ia mendekati anak laki-lakinya itu. "Ah, itu kontrak kerja, Ayah. Kami sedang berdebat tentang itu." Arsen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, berbohong membuatnya merasa sangat malu. "Benar seperti itu, Airina?" tanya Yohan, matanya beralih menatap menantu satu-satunya itu. Hanya membalas dengan anggukan kepala yang Airina lakukan. Tidak ada jawaban yang tepat baginya selain itu. "Malam ini kalian menginap bukan?" tanya Yohan. Lelaki itu menatap sepasang yang terlihat masih sangat canggung. "Sepertinya tidak, Ayah. Besok pagi-pagi sekali kami akan pergi ke Mitleb
"Tapi ... seharusnya tidak begitu, aku terlalu terbawa emosi sampai menamparmu," tutur Airina. Raut wajahnya menampakkan rasa bersalah yang cukup besar. "Tidak apa, aku juga bersalah sejauh ini, kalimat itu begitu menyakitkan. Seharusnya aku tidak mengatakannya," ucap Arsen. Lelaki itu meringis, saat air dingin itu menyentuh pipinya. Dengan sangat lembut Airina mengompres memar Arsen. Tanpa ia sadari, lelaki yang kini di sampingnya itu selalu menatapnya dalam. "Apakah terasa sakit?" tanya Airina lirih. "Tidak, hanya sedikit perih," jawab Arsen dengan meringis beberapa kali. "Maaf ya, Arsen. Aku terlalu emosional," ucap Airina lirih. "Tidak apa-apa, Airina. Terima kasih sudah membantu meredakan sakitnya," ujar Arsen mengusap kepala istri kontraknya. Arsen beranjak dari duduknya, Airina yang sontak kaget hanya mendongakkan kepalanya. "Aku ke kamarku ya, malam ini tidurlah sendiri. Aku tahu kamu butuh waktu untuk menikmati malammu. Pagi aku akan membangunkanmu," tutur Arsen denga