Airina sontak menoleh pada Arsen, ia menatap nyalang mata lelaki di sampingnya. "A ... itu, ibu memang tidak boleh kelelahan, karena kalau kelelahan suka kambuh asmanya," jelas Airina berbohong. "Oh begitu," singkat jawaban Arsen. Setelahnya, lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya paham, dalam benaknya masih banyak tanda tanya yang besar. "Ibu, silakan mengobrol dulu sama Arsen. Aku akan ke dapur membuat minum," pamit Airina, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. Langkahnya meninggalkan ruang tamu dengan penuh keraguan. "Apa aku bisa percaya keduanya mengobrol tanpa aku? Bagaimana kalau ibu jujur dengan penyakit yang ia derita?" tanya Airina berulang pada dirinya sendiri. "A, sudahlah! pasti ibu paham," finalnya. Tangannya berkutik menyiapkan jus jeruk, isi kepalanya ramai bertanya-tanya tentang apa yang dibicarakan ibu dan suami kontraknya. **** "Ibu, Arsen ke mana?" tanya Airina yang datang dengan nampan beserta jus jeruk. "Masih ke luar menerima telepon, sepertinya dari
Sebuah teriakan keras dari seseorang yang asing membuyarkan lamunan Arsen. Sontak ia menoleh pada sumber suara, gadis yang wajahnya mirip dengan dengan Airina. "Si-siapa kau?" tanya Arsen lirih. "Harusnya aku yang bertanya kau siapa, wajahmu asing bagiku. Siapa kau, Tuan?" tanya gadis itu dengan tatapan nyalang. "Aku Arsen Pinault, suami dari Airina Lyon. Siapa kau berani masuk ke kamar ini?" todong tanya Arsen keras. Terlihat dari raut wajahnya, gadis itu sangat terkejut. Menatap lekat ke arah Arsen yang masih berdiri dengan bingkai foto di tangannya. "Kakak!" teriak gadis itu keras. Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki mendekat, sosok Amelia dan Airina berlari ke arah kamar. "Ada apa, Aily? Mengapa kamu berteriak sangat keras?" tanya Airina menuding. "Tidak-tidak, benarkah pria ini suamimu, Kak?" tanya Aily dengan menunjuk Arsen. Tatapan mata Arsen membuat Airina bertanya-tanya, apa yang lelaki itu perbuat hingga adik perempuannya seperti ini?"Jujur aku tidak melakukan
"Meskipun apa, Ibu?" tanya Arsen secara tiba-tiba. Lelaki yang baru saja masuk ke dalam rumah itu menatap ke Airina dan Amelia. Dua wanita yang kini saling bertatapan mata. "Bukan apa-apa, Arsen. Apa kamu sudah siap untuk pergi ke festival?" tukas Airina, dengan mengalihkan perhatiannya. "Ya, aku akan mengambil sesuatu di kamarmu sebentar, apa kamu ingin menitip sesuatu?" tanya Arsen lembut. Airina hanya menggelengkan kepalanya, "Aku tunggu di ruang tamu," ucap Airina, yang dibalas anggukan oleh Arsen. Sepeninggalan Arsen yang berjalan ke kamar Airina, Amelia dan Aily ditarik ke ruang tamu. "Ibu, Aily, selama Arsen di sini jangan pernah membahas soal penyakit ibu ya. Aku belum cerita soal ini ke Arsen, aku takut dia khawatir dan berlaku sesukanya," jelas Airina berbisik. "Maafkan ibu ya, Airin. Ibu tidak tahu soal itu," ucap Amelia dengan sendu. "Tidak apa, Ibu. Mulai sekarang menghindari pembahasan itu saja," tutur Airina. "Tapi, kak ... bukannya lebih baik kalau kakak ipar
"Berhenti!" teriak Arsen dengan keras. Matanya mengamati Airina yang sedang mengobrol dengan lelaki asing. Setiap gerak-geriknya yang aneh membuat Arsen penasaran. "Siapa dia, Sayang?" tanya Arsen pada Airina. "Tidak tahu, aku tidak mengenalnya sama sekali. Dia berusaha menculikku, aku sudah mengatakan kalau aku memiliki suami. Dia tidak percaya pada apa yang aku katakan," jelas Airina dengan suara gemetar. "Tolong, pria ini berusaha menculik istri saya!" teriak Arsen keras. Dengan berbondong-bondong orang berdatangan mendekat. Tatapannya tertuju pada Arsen dan pria yang kini menjadi tersangka. "Siapa yang berani mengusik istri tuan muda Pinault?" "Beraninya dia mengusik ketenangan tuan muda Pinault?" "Apa dia sudah bosan hidup bebas hingga mengganggu ketenangan tuan muda?" Beberapa celotehan yang terdengar sampai telinga Arsen, pria itu sontak beranjak dari kursinya dengan buru-buru. "Hendak kemana kau, Tuan? Apa yang Anda lakukan pada atasanku?" tanya Aiden dengan mengangk
Airina tanpa sengaja menabrak tubuh seseorang pria, buku-buku yang ia bawa jatuh berhampur di jalan. Sigap Aily dan Airina membantu merapikan buku itu kembali. "Maafkan saya, Tuan," ucap Airina lirih. "Tidak apa, Nak. Wajahmu tidak asing," sergah pria itu. Airina mendongak dan memastikan siapa pria yang ia tabrak belum lama ini. Asing, ia tidak mengingat siapa pria paruh baya ini. "Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Airina. ia merasa kikuk saat pra di hadapannya menatap nanar ke arahnya. "Kita pernah bertemu, Nak. Em, aku lupa di mana, sebentar akan aku ingat," pria paruh baya di hadapan Airina itu diam. Raut wajahnya jelas ia sedang berpikir cukup keras. "Airina, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arsen yang bergegas mendekati istrinya. Airina bangkit dengan bantuan Arsen, buku-buku yang sempat berserakan itu kembali tertata rapi. "Apa kamu pernah mengisi seminar di ESMOD Internasionale?" tanya pria paruh baya itu tiba-tiba. "Maaf, Anda siapa?" todong tanya Arsen.
"Hai, bagaimana kabarmu, Yosh?" tanya Airina dengan akrab. "Baik, bagaimana kabarmu? Wah sekarang sudah menjadi desainer terkenal kalau kamu, hahaha," ucap Yoshi dengan kekehan ringan. "Baik, aku lama tidak berkunjung ke sini. Ternyata masih sama saja," ujar Airina. ia terlalu asik mengobrol dengan teman lelakinya. Arsen dan Aily sudah sibuk memesan ice cream, memilih duduk di sudut kedai. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Manik mata Arsen yang masih mengamati pria yang diajak bicara Airina. Sangat akrab bahkan tanpa celah. "Dia siapa, Aily?" tanya Arsen pada akhirnya. Aily menoleh pada laki-laki yang ditunjuk kakak iparnya, ia hanya mengulas senyum tipis. "Dia sahabat kecil kakak, namanya Yoshi Almahera. Mereka memang sangat akrab," jelas Aily dengan lembut. Tatap matanya kini tertuju pada Arsen, seolah ia bertanya-tanya. "Kakak ipar cemburu?" tanya Aily singkat. Airina yang baru saja bergabung itu bertanya-tanya. Saat ia mengambik duduk di samping Arsen, matanya men
Arsen membelai lembut kepala Airina, sentuhan pada rambut Airina dengan sangat pelan. Tubuh lelaki itu kembali hidup. "Arsen, aku tidak bermaksud menggodamu sungguh! Karena di sini gerah jadi aku memakai pakaian yang lebih tip-" ucapan Airina terhenti. Arsen menggendong Airina ke ranjang dengan perlahan, ia hanya membaringkan tubuh Airina dengan lembut. Usapan pelan pada kening Airina membuat wanita itu menegang. Takut! "A-Arsen, aku mohon," ucapnya lirih. Arsen hanya menatap singkat manik mata Airina, sebelum mengecup kening Airina dengan lembut. Mata itu terpejam rapat, dalam dekapan Arsen. Detak jantungnya tidak lagi beraturan, ia seperti sedang berpacu dengan waktu. Helaan nafas panjang tatkala Arsen tidak melahapnya malam itu. "Akhirnya dia terlelap, aku sudah sangat cemas jika ia ...." tanpa melanjutkan menggumam, Airina kini mengambil tempat di samping Arsen. Merebahkan tubuhnya yang kini terasa sangat lelah, baginya hari ini cukup melelahkan. "Selamat tidur, Arsen," u
"Siapa yang mengejarmu, Arsen?" tanya Airina lirih. Manik mata Arsen terlihat fokus pada penampilannya pagi ini. Sebuah dres midi dengan rambut yang sengaja dikuncir seperti ekor kuda. "Arsen," panggil Airina lirih. "Hei, Arsen!" seru Airina keras. Arsen terlihat terperanjat, ia melamun sepagi itu. Entah apa yang ada di kepalanya saat itu, ia hanya terlihat kikuk. "Ada wanita paruh baya mengejarku, katanya dia sangat ngefans dengan ayah. Tapi, kenapa dia mengejarku sih?" jelas Arsen dengan bergidik ngeri. Sontak, Airina dan Amelia tertawa keras. Bukannya prihatin dengan nasib sial Arsen di pagi hari, dua wanita itu malah asyik menertawakannya. "Aku tadi sudah bilang 'kan, hati-hati. Lalu, bagaimana dengan ibu-ibu itu?" tanya Airina masih dengan tawanya. "Aku sempat bersembunyi di balik pagar tetangga sampai dia pergi, untungnya dia cepat pergi dan aku cepat-cepat pulang saja. Aku sangat lelah," keluh Arsen, ia menyeka keringat yang ada di keningnya. "Duduklah, tunggu di meja