"Wanita berbisa?" tanya Airina ragu. "Iya, Gemma layak mendapatkan nama itu, bukan?" Arsen membalikkan tanya. Raut wajahnya kini seolah mengundang tawa, Airina di seberang hanya tertawa. "Semangat bekerja, Arsen. Aku akan istirahat setelah ini," ucap Airina lembut. "Ya, selamat istirahat, istriku," tutup Arsen dengan ulasan senyum tipis.Deg! Sambungan telepon itu terputus, Airina masih terkejut mendengar ucapan Arsen di akhir telepon. "Istriku?" tanya Airina menggantung. "Apa katanya? istriku?" tanya Airina mengulang. "Aaa ...." teriak Airina keras. Secara tiba-tiba Aron datang dengan terengah-engah, nafasnya seolah baru saja lari maraton. Tatapannya cemas dengan wajah berkeringat. "Nona, apa yang terjadi?" tanya Aron. Airina mendongak, menatap laki-laki yang tiba-tiba datang. "Tidak ada apa-apa, Aron. Aku tidak memanggilmu juga," ucap Airina lirih. "Aduh, saya kira nona kenapa. Suara Anda terdengar sampai luar kamar, panik saya dengarnya!" jelas Aron. Gelak tawa yang s
Manik mata itu memicing tepat ke arah ponsel Arsen. Sebuah nomor tanpa nama itu terlihat tidak asing bagi Airina. "Sebentar, aku seperti mengenal nomor telepon itu," ucap Airina ragu. Alih-alih teringat dengan pemilik nomor itu, ia salah fokus pada tatapan Arsen. Sendu dan ragu tercetak jelas dalam tatapannya. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Airina dengan mengusap pelan pipi lelaki itu. "Ya, memintaku mengembalikan kekasihnya, bodohnya dia juga mengatakan aku merebut pacarnya," jelas Arsen dengan kesal. Airina hanya diam dengan menimang, tangannya sibuk mencari ponsel genggamnya yang entah kemana. "Apa kamu lihat ponselku? Bahkan aku tidak ingat meletakkan di mana," Tangannya yang masih mengacak beberapa sudut kamar. Hingga Arsen berseru keras. "Ini bukan?" tanya Arsen. Lelaki itu mengangkat tangannya tinggi, sebuah ponsel genggam Airina kini sudah diraihnya. "Aku masih ragu, tapi akan aku cek dulu," tutur Airina dengan fokus. Matanya menjelajah beberapa daftar nomor terbl
"Airina!" panggil Arsen keras. Sepasang manik mata itu saling menatap dengan penuh cinta. Ragu Airina menatap mata lelaki yang kini membantunya bangkit. Jika, tangan kuat itu tidak membantunya mungkin ia sudah terjatuh ke lantai. "Arsen, terima kasih banyak, sekarang boleh turunkan aku?" tanya Airina. Alih-alih menuruti ucapan Airina, lelaki itu malah asik menatap netra Airina dengan tajam. Tidak beralih sedetik pun, hingga ia meraih tubuh Airina untuk di dekap. "Aku akan melindungimu, seburuk apa pun perlakuanmu padaku. Aku akan tetap mencintaimu sedalam itu dan tidak akan pernah berubah," bisik Arsen lirih. Dekapan Arsen serta bisikan yang ia dengar seolah mimpi. Ia mengerjapkan matanya berulang, memastikan dirinya memang berada di dunia nyata. "Apa yang kau katakan, Arsen!" pekik Airina bertanya-tanya. Dengan satu gerakan ia mendorong tubuh Arsen menjauh. "Stop! Jangan pernah melampaui batasmu, kita hanya menikah kontrak dan ..." ucapan itu terhenti. Airina seperti tidak ma
"Tapi-" "Tidak ada kata tapi dalam kamus ibu, Airina. Apa kamu ingin mengecewakan ibuku?" tanya Arsen mencekal ucapan Airina. "Tidak, tapi dalam kontrak tidak dijelaskan, Arsen," tutur Airina ragu. "Kontrak?" suara yang berhasil membuyarkan fokus keduanya. Yohan yang kini berdiri penuh tanda tanya, kini lelaki paruh baya itu memastikan pendengarannya. "Apa maksud kata kontrak itu, Arsen?" tanya Yohan menyelidik. Ia mendekati anak laki-lakinya itu. "Ah, itu kontrak kerja, Ayah. Kami sedang berdebat tentang itu." Arsen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, berbohong membuatnya merasa sangat malu. "Benar seperti itu, Airina?" tanya Yohan, matanya beralih menatap menantu satu-satunya itu. Hanya membalas dengan anggukan kepala yang Airina lakukan. Tidak ada jawaban yang tepat baginya selain itu. "Malam ini kalian menginap bukan?" tanya Yohan. Lelaki itu menatap sepasang yang terlihat masih sangat canggung. "Sepertinya tidak, Ayah. Besok pagi-pagi sekali kami akan pergi ke Mitleb
"Tapi ... seharusnya tidak begitu, aku terlalu terbawa emosi sampai menamparmu," tutur Airina. Raut wajahnya menampakkan rasa bersalah yang cukup besar. "Tidak apa, aku juga bersalah sejauh ini, kalimat itu begitu menyakitkan. Seharusnya aku tidak mengatakannya," ucap Arsen. Lelaki itu meringis, saat air dingin itu menyentuh pipinya. Dengan sangat lembut Airina mengompres memar Arsen. Tanpa ia sadari, lelaki yang kini di sampingnya itu selalu menatapnya dalam. "Apakah terasa sakit?" tanya Airina lirih. "Tidak, hanya sedikit perih," jawab Arsen dengan meringis beberapa kali. "Maaf ya, Arsen. Aku terlalu emosional," ucap Airina lirih. "Tidak apa-apa, Airina. Terima kasih sudah membantu meredakan sakitnya," ujar Arsen mengusap kepala istri kontraknya. Arsen beranjak dari duduknya, Airina yang sontak kaget hanya mendongakkan kepalanya. "Aku ke kamarku ya, malam ini tidurlah sendiri. Aku tahu kamu butuh waktu untuk menikmati malammu. Pagi aku akan membangunkanmu," tutur Arsen denga
Airina sontak menoleh pada Arsen, ia menatap nyalang mata lelaki di sampingnya. "A ... itu, ibu memang tidak boleh kelelahan, karena kalau kelelahan suka kambuh asmanya," jelas Airina berbohong. "Oh begitu," singkat jawaban Arsen. Setelahnya, lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya paham, dalam benaknya masih banyak tanda tanya yang besar. "Ibu, silakan mengobrol dulu sama Arsen. Aku akan ke dapur membuat minum," pamit Airina, ia beranjak meninggalkan ruang tamu. Langkahnya meninggalkan ruang tamu dengan penuh keraguan. "Apa aku bisa percaya keduanya mengobrol tanpa aku? Bagaimana kalau ibu jujur dengan penyakit yang ia derita?" tanya Airina berulang pada dirinya sendiri. "A, sudahlah! pasti ibu paham," finalnya. Tangannya berkutik menyiapkan jus jeruk, isi kepalanya ramai bertanya-tanya tentang apa yang dibicarakan ibu dan suami kontraknya. **** "Ibu, Arsen ke mana?" tanya Airina yang datang dengan nampan beserta jus jeruk. "Masih ke luar menerima telepon, sepertinya dari
Sebuah teriakan keras dari seseorang yang asing membuyarkan lamunan Arsen. Sontak ia menoleh pada sumber suara, gadis yang wajahnya mirip dengan dengan Airina. "Si-siapa kau?" tanya Arsen lirih. "Harusnya aku yang bertanya kau siapa, wajahmu asing bagiku. Siapa kau, Tuan?" tanya gadis itu dengan tatapan nyalang. "Aku Arsen Pinault, suami dari Airina Lyon. Siapa kau berani masuk ke kamar ini?" todong tanya Arsen keras. Terlihat dari raut wajahnya, gadis itu sangat terkejut. Menatap lekat ke arah Arsen yang masih berdiri dengan bingkai foto di tangannya. "Kakak!" teriak gadis itu keras. Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki mendekat, sosok Amelia dan Airina berlari ke arah kamar. "Ada apa, Aily? Mengapa kamu berteriak sangat keras?" tanya Airina menuding. "Tidak-tidak, benarkah pria ini suamimu, Kak?" tanya Aily dengan menunjuk Arsen. Tatapan mata Arsen membuat Airina bertanya-tanya, apa yang lelaki itu perbuat hingga adik perempuannya seperti ini?"Jujur aku tidak melakukan
"Meskipun apa, Ibu?" tanya Arsen secara tiba-tiba. Lelaki yang baru saja masuk ke dalam rumah itu menatap ke Airina dan Amelia. Dua wanita yang kini saling bertatapan mata. "Bukan apa-apa, Arsen. Apa kamu sudah siap untuk pergi ke festival?" tukas Airina, dengan mengalihkan perhatiannya. "Ya, aku akan mengambil sesuatu di kamarmu sebentar, apa kamu ingin menitip sesuatu?" tanya Arsen lembut. Airina hanya menggelengkan kepalanya, "Aku tunggu di ruang tamu," ucap Airina, yang dibalas anggukan oleh Arsen. Sepeninggalan Arsen yang berjalan ke kamar Airina, Amelia dan Aily ditarik ke ruang tamu. "Ibu, Aily, selama Arsen di sini jangan pernah membahas soal penyakit ibu ya. Aku belum cerita soal ini ke Arsen, aku takut dia khawatir dan berlaku sesukanya," jelas Airina berbisik. "Maafkan ibu ya, Airin. Ibu tidak tahu soal itu," ucap Amelia dengan sendu. "Tidak apa, Ibu. Mulai sekarang menghindari pembahasan itu saja," tutur Airina. "Tapi, kak ... bukannya lebih baik kalau kakak ipar