"Aku bisa gila!" pekik Airina keras. Kini ia sibuk menatap wajahnya di depan kaca, dengan memoles sedikit dengan riasan make up sederhana. Sapuan lembut kuas make up itu mempercantik dirinya. "Sederhana saja, memangnya akan ada apa di kantor?" tanya Airina lirih. "Aku sangat ingin tahu, tapi ya sudahlah," tukasnya sendiri. "Aku tidak ingin peduli," putus Airina. Dengan tas jinjing yang ada ditangannya, ia keluar dari kamarnya. Langkahnya pelan menuju dapur, matanya menelisik mencari sosok laki-laki yang katanya akan memasak pagi ini. "Hm, nyatanya hilang begitu saja. Aku kira dia masih memasak untukku, nyatanya dia sudah pergi entah ke mana," Airina menggumam. "Aku masih di sini, Airina. Baru saja aku selesai," ucap Arsen. Airina menoleh ke sumber suara, lelaki itu berdiri di dekat pintu dapur. "Ayo, makan!" ajak Arsen. "Ya, ayo!" Airina melangkah mendekati Arsen, dengan langkah yang terburu-buru dan sedikit berlari. "Aduh!" teriak Airina. Kakinya terpeleset sisa air yang
"Wah, ada pahlawan kesiangan rupanya," dengan jari mengangkat dagu Airina. Mata Adam Rush menatap tajam ke arah Arsen dan Aiden yang tiba. "Jangan sentuh istriku, Bajingan!" pekik Arsen keras. Dengan mata yang menatap lekat ke arah Adam, tangannya mengepal di samping paha. Deruan nafas yang lebih memburu. "Apa katamu, istri?" Rautnya dengan senyum licik di bibirnya, semakin terpancing emosi Arsen bersamaan dengan deruan nafasnya. Bruk! Satu pukulan yang melayang pada tubuh mantan kekasih Airina. Tubuhnya limbung ke lantai, ujung bibirnya berdarah! "Airina, apa kamu baik-baik saja?" tanya Arsen dengan cemas. "Ya, aku baik-baik saja. Ta-tapi apa kamu baik-baik saja, Arsen?" Berbalik melempar tanya, Airina menatap Arsen yang masih emosi. "Tuan muda!" teriak Aiden yang berdiri jauh dari Arsen dan Airina. Tangan Adam mulai mengepal yang sudah siap ia layangkan pada tubuh Arsen. Namun, semua itu gagal! "Hahaha, kalau ilmu beladirimu masih tingkat junior, belajar dulu!" pekik Ar
"Wanita kurang ajar!" pekik Gemma. Airina hanya berdiri dengan derdecak, "Lantas, apakah aku harus menghormatimu?" tanya Airina. "Aku datang menjadi seorang tamu, ternyata seperti ini caramu menjamu tamu, Nona muda." Gemma dengan menganggukkan kepalanya, seolah ia paham betul tentang sopan santun. "Sejauh mana kau paham tentang cara menjamu tamu, bahkan kau saja tidak layak diperlakukan baik seperti tamu," ucap Airina. Gemma terhenyak! Seperti dihandam kenyataan, kini ia mulai memutar otaknya. "Tidak sepantasnya seorang nona muda melakukan ini, aduh sepertinya akan ada berita baru hari ini," ucap Gemma dengan lirih. Wanita yang dibicarakan hanya diam, menatap nanar ke arah Gemma. Tangan kanannya memberi isyarat pada asistennya. "Baik, Nona." Dengan satu anggukan kepala, Tiwi menyeret Gemma keluar ruangan. Brak! Pintu itu tertutup dengan keras, Airina mulai kembali duduk dengan kepala yang sedikit pusing. "Ada apa lagi dengan wanita itu? Apa dia tidak puas sudah menyekapku
"Kosong?" Ruangan itu terlihat kosong, mata Arsen menyibak ke beberapa sudut kamar Airina. "Airina, di mana kamu?" tanya Arsen keras. Nyaring suara Arsen tidak membuat Airina beranjak dari tempat sembunyinya. "Airina," panggil Arsen keras. "Di mana dia sebenarnya?" Dengan bertanya-tanya ia mengelilingi kamar Airina dengan ragu. Matanya menggulir ke beberapa sudut namun tidak kunjung menemukan Airina. "Airina aku tidak suka bercanda seperti ini ya, kamu di mana sebenarnya. Keluarlah!" tegas Arsen. 'Aku di sini, Arsen. hihihi,' batin Airina dengan tertawa lirih. "Airina keluarlah, aku mohon!" Semakin keras suara Arsen berteriak, namun Airina masih setia dengan posisi duduknya. "Airina Lyon!" pekik Arsen keras. Tanpa sengaja Airina terkekeh pelan, lelaki dengan pendengaran yang sangat tajam itu menoleh ke sumber suara. "Hai, Arsen. Em ... maaf," dengan menyengir Airina hanya bisa mengulas senyum. "Sejak kapan kamu di situ?" ketus tanya Arsen. Wanita yang kini duduk di bali
Deg! Detak jantungnya terhenti beberapa detik, kecupan yang melayang rapi tanpa cela di kening Airina. Membuat wanita itu terdiam sejenak. "Ayo makan," ajak Arsen. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan dirinya masih sadar sepenuhnya. "Airina, ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" todong tanya Arsen dengan cemas. Layaknya seorang suami pada istrinya. "Ya, aku baik-baik saja. Sepertinya aku barusan bermimpi," ucap Airina lirih. "Ayo, makan ini. Aaa ...." ucap Arsen dengan antusias. Satu, dua sendok mulai masuk ke dalam mulut Airina. Dengan lahap wanita yang menjadi istri kontraknya itu menurut. "Habis!" dengan senyum yang merekah pada bibirnya. "Terima kasih, Arsen. Padahal tadi aku sangat mual," keluhnya. Arsen terkekeh, "Tidak ada makanan yang hambar saat kamu makan bersamaku," ucap Arsen. "Dih!" Decih Airina, tangannya mendorong Arsen untuk pergi dari kamarnya. "Minum obat ini, nanti aku akan meninggalkanmu untuk istirahat. Aku masih ada sedikit urusan di kantor, apa
"Hust! Apa maksudmu, Arsen!" gertak Airina. Matanya membelalak dengan bibir yang mengatup rapat. Tubuhnya menegang! "Airina, aku bercanda," ucap Arsen lirih. "Aku tidak suka!" gerutu Airina tegas. Matanya menggulir ke beberapa arah, hanya tersisa senyum tipis pada bibirnya. Dengan perasaan ragu Airina menatap Arsen. "Arsen, aku mau istirahat dulu," pamitnya. "Tidurlah, aku akan menemanimu di sini. Boleh ya aku tidur di sampingmu," Mendengar ucapan Arsen, wanita yang kini terbaring lemas itu hanya mengangguk setuju. Netranya kini menatap lekat lelaki yang duduk di tepi ranjang. "Tidurlah, Airina. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian," bisik Arsen lirih. Kecupan lembut untuk menjadi penghantar mimpi Arsen layangkan pada kening Airina. "Sudah, sekarang tidur, Airina. Kalau besok sembuh, kita pergi ke Mitleburg lusa," ucap Arsen dengan menimbang. "Wah! Berarti aku akan sembuh besok," ucap Airina antusias. Matanya perlahan terpejam, raut ceria kembali terpancar pada wajah ca
"Wanita berbisa?" tanya Airina ragu. "Iya, Gemma layak mendapatkan nama itu, bukan?" Arsen membalikkan tanya. Raut wajahnya kini seolah mengundang tawa, Airina di seberang hanya tertawa. "Semangat bekerja, Arsen. Aku akan istirahat setelah ini," ucap Airina lembut. "Ya, selamat istirahat, istriku," tutup Arsen dengan ulasan senyum tipis.Deg! Sambungan telepon itu terputus, Airina masih terkejut mendengar ucapan Arsen di akhir telepon. "Istriku?" tanya Airina menggantung. "Apa katanya? istriku?" tanya Airina mengulang. "Aaa ...." teriak Airina keras. Secara tiba-tiba Aron datang dengan terengah-engah, nafasnya seolah baru saja lari maraton. Tatapannya cemas dengan wajah berkeringat. "Nona, apa yang terjadi?" tanya Aron. Airina mendongak, menatap laki-laki yang tiba-tiba datang. "Tidak ada apa-apa, Aron. Aku tidak memanggilmu juga," ucap Airina lirih. "Aduh, saya kira nona kenapa. Suara Anda terdengar sampai luar kamar, panik saya dengarnya!" jelas Aron. Gelak tawa yang s
Manik mata itu memicing tepat ke arah ponsel Arsen. Sebuah nomor tanpa nama itu terlihat tidak asing bagi Airina. "Sebentar, aku seperti mengenal nomor telepon itu," ucap Airina ragu. Alih-alih teringat dengan pemilik nomor itu, ia salah fokus pada tatapan Arsen. Sendu dan ragu tercetak jelas dalam tatapannya. "Apa kamu baik-baik saja?" tanya Airina dengan mengusap pelan pipi lelaki itu. "Ya, memintaku mengembalikan kekasihnya, bodohnya dia juga mengatakan aku merebut pacarnya," jelas Arsen dengan kesal. Airina hanya diam dengan menimang, tangannya sibuk mencari ponsel genggamnya yang entah kemana. "Apa kamu lihat ponselku? Bahkan aku tidak ingat meletakkan di mana," Tangannya yang masih mengacak beberapa sudut kamar. Hingga Arsen berseru keras. "Ini bukan?" tanya Arsen. Lelaki itu mengangkat tangannya tinggi, sebuah ponsel genggam Airina kini sudah diraihnya. "Aku masih ragu, tapi akan aku cek dulu," tutur Airina dengan fokus. Matanya menjelajah beberapa daftar nomor terbl