"Arsen, jangan menguping tolong!" teriak Airina. Guyuran shower yang mulai membasahi rambutnya. Dingin yang mulai menjalari tubuhnya. Perasaan yang mengganjal kembali datang, tidak percaya diri. "Huh, hari ini waktunya aku membuktikan bahwa aku bisa dan mampu," Airina menggumam. Tidak lama dari itu ia keluar dari kamar mandi, hanya handuk yang melingkari tubuhnya. Tangannya yang sibuk membenarkan handuk pada rambutnya. Saat ia mendongakkan kepalanya, matanya membelalak lebar. Arsen masih ada di kamarnya dengan merebahkan tubuhnya. "A-Arsen, kenapa kamu masih di sini!" teriak Airina keras. Arsen yang terkejut dengan suara nyaring Airina, menolehkan kepalanya tepat pada tubuh ramping itu. "Ma-maafkan aku, Airina. Aku masih menunggu MUA yang aku sewa, kenapa kamu hanya memakai handuk!" jelas Arsen. "Keluarlah dulu!" teriak Airina. Arsen merasakan tubuhnya mulai menegang, kehilangan kendali akibat apa yang ia lihat. Lekuk tubuh yang sangat manis dan elok. Tajam tatapan mata Arse
"Kabarnya dia memang berbakat, bahkan dulu bisa kuliah di ESMOD karena dapat beasiswa," timpal seseorang di samping Arsen. "Tetapi, tetap saja kurang pantas," gerutu wanita itu. Arsen hanya diam dan mendengar setiap percakapan dua wanita itu. Penampilan yang mencolok, bisa saja dua orang ini pemilik salah satu yayasan ESMOD. "Maaf, Nyonya. Apa Anda berdua ini membahas istriku?" tanya Arsen dengan satu tatapan. "Ups, maaf, Tuan muda. Ka-kami tidak bermaksud menghina istri Anda," lirih wanita di sebelah Arsen. "Sebenarnya, siapa kalian ini? Apa salah satu dari pemilik yayasan ESMOD Internasionale?" todong tanya Arsen. Diam! Dua wanita itu terdiam pasi saat Arsen melemparkan tanya. Hanya saling menatap enggan memberi jawaban. "Jawab!" tegas Arsen dengan tatapan nyalang. "I-iya, Tuan. Kami istri pemilik yayasan," jawabnya tergagap. Arsen menganggukkan kepalanya, dengan mengulas senyum tipis kembali menatap panggung. "Cantik," Arsen menggumam. Sepanjang Airina menjelaskan setia
"Ma-maksdunya?" Airina tergagap. Gemma kini berdiri tepat di depan Airina, membawa bucket bunga lily putih yang sangat cantik. "Maksudmu apa?" desak Arsen. Dengan satu gerakan lelaki itu membawa Airina menjauh dari sosok Gemma. Diam dengan tangan gemetaran bukan hal yang bisa diterima Arsen. "Kita pergi dari sini, cari restoran lain, Aron!" titah Arsen. Airina masih terpaku dengan mengikuti langkah kaki Arsen. Dengan mata yang masih menatap ke arah Gemma berdiri, seperti mesin waktu yang kembali berputar. "Mengapa dia ada di sana?" tanya Airina. "Aku tidak tahu darimana dia, sudahlah kita cari restoran lain saja," jawab Arsen final. "Ya, Arsen." Sepasang suami istri itu sudah masuk ke dalam mobil, dengan detak jantung yang masih tidak beraturan. Airina menelaah apa yang terjadi. "Aku masih belum bisa mengendalikan diriku, emm jika aku bertemu dengan Nona Gemma. Tu-tubuhku masih merespon dengan rasa takut," jelas Airina. "Airina, tidak apa-apa. Kita akan menghindari pertemua
"Arsen!" teriak Airina keras. "Kenapa dapur kita menjadi berantakan seperti ini?" todong tanya Airina keras. Lelaki yang berulah hanya tersenyum tipis, dengan wajah tidak bersalah sama sekali. "Ini hasil aku masak tadi, aku kan sudah bilang kalau akan ada kejutan untukmu," jelas Arsen. "Berhubung kamu yang memasak, berarti kamu juga yang membersihkan semua ini, hahaha!" ujar Airina dengan terkekeh. "Tidak! kamu harus membantu aku membersihkan ini semua, Airina!" tegas Arsen. Airina yang hendak berlari itu tertahan, tubuhnya diraih Arsen dengan satu gerakan. Kini mata keduanya saling bertatapan dengan lembut. "Apa kamu mau kabur dariku?" tanya Arsen dengan mengulas senyum licik. "Tentu saja, aku tidak ingin membersihkan dapurmu yang kotor itu!" hardik Airina dengan bengis. "Apa kamu yakin?" tanya Arsen. Airina menggeliat saat suami kontraknya mulai memeluk tubuhnya. Dengan gerakannya yang sangat cepat, ia berhasil lari dari dekapan Arsen. "Wleee!" Airina kini berdiri di dek
"Untuk rasa sakit yang kuterima semalam! Kau benar-benar tidak tahu diri," pekik Airina keras. Ia beranjak meninggalkan kamar Arsen dengan tangis yang menderu. Air matanya mengalir bebas tidak bisa terbendung. "Airin, aku tidak bermaksud seperti itu. Dengarkan aku!" teriak Arsen dengan berlari. "Stop, memanggilku dengan nama itu. Hanya ibuku yang boleh memanggilku dengan nama itu, catat itu, Arsen Pinault!" hardik Airina. Dengan langkah tertatih, Airina berjalan semampu ia bisa. Hingga ia berada di depan kamarnya, dengan mata yang masih basah. Brak! Pintu itu tertutup rapat, ia terduduk bersandar pada pintu kamar. Ingatannya pada kejadian semalam membuatnya semakin merintih. 'Aku sakit, tapi kenapa rasaku tidak bisa marah padanya!' hardik Airina dalam batinnya. Ketukan keras pada pintu membuatnya tersadar, lamunannya buyar saat ketukan pintu semakin keras. "Airina, kali ini dengarkan aku sekali lagi. Maaf, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku," teriak Arsen keras.
Tok tok tok! "Nona, Nona," teriak Aron dari luar. "Ya, Aron. Ada apa?" tanya Airina. Ia membuka kenop pintu dengan perlahan. Matanya menatap lekat Aron yang terlihat cemas. "Ada apa, Aron?" tanya Airina. "Tu-tuan ... Tuan, anu ... Tuan kecelakaan," dengan tergagap Aron mengatakan kalimat itu. "Maksudmu?" tanya Airina ragu. Aron sudah terduduk lemas di lantai, di hadapan Airina bawahannya itu terlihat lemah. "Tuan kecelakaan di dekat pusat kota Macherie. Saya tidak paham kronologinya, karena Aiden hanya memberi tahu sampai di situ," jelas Aron dengan tertatih. "Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" todong tanya Airina keras. "Sa-saya tidak paham, Nona. Kita berangkat ke sana sekarang," ujar Aron dengan beranjak. Airina dan Aron terburu-buru, dengan mobil yang melaju kencang. Airina hanya meremas pakaiannya. "Aron, bagaimana nasib Arsen?" tanya Airina dengan cemas. "Sa-saya juga belum tau, Nona." Aron hanya fokus pada jalanan Kota Macherie, dengan perasaan yang sangat kalut
"Bermain?" tanya Airina singkat. Dengan mendongakkan kepalanya ke arah Arsen, wanita yang menjadi istri kontraknya itu bertanya-tanya. "Bermain apa maksudnya?" tanya Airina lagi. "Tidak, lupakan saja!" jawab Arsen singkat. "Ya sudah, ayo masuk," ajak Airina dengan langkah yang mendului Arsen. Terburu-buru Arsen mengejar Airina yang sudah melangkah lebih jauh darinya. "Airin," panggil Arsen. Secara tiba-tiba lengan besar itu sudah merangkul pundak Airina. Berjalan masuk ke dalam apartemen dengan senyum yang ada di pipinya. "Kamu tahu tidak kalau ...," ucap Arsen terhenti. "Apa? Apa ada sesuatu saat kamu datang ke butik?" todong tanya Airina. "Butik?"Alih-alih menjawab pertanyaan Airina, Arsen malah bingung sendiri dengan pertanyaan Airina. "Loh, bukannya tadi kamu ke butik? Kata Aron kamu ke butik sore tadi sepulang dari kantor," jelas Airina. Arsen terkekeh sebelum menjawab pertanyaan Arsen, " Aku tidak ke butikmu, Airina. Tadi aku mencari restoran bersama Aiden," jelas A
"Aku bisa gila!" pekik Airina keras. Kini ia sibuk menatap wajahnya di depan kaca, dengan memoles sedikit dengan riasan make up sederhana. Sapuan lembut kuas make up itu mempercantik dirinya. "Sederhana saja, memangnya akan ada apa di kantor?" tanya Airina lirih. "Aku sangat ingin tahu, tapi ya sudahlah," tukasnya sendiri. "Aku tidak ingin peduli," putus Airina. Dengan tas jinjing yang ada ditangannya, ia keluar dari kamarnya. Langkahnya pelan menuju dapur, matanya menelisik mencari sosok laki-laki yang katanya akan memasak pagi ini. "Hm, nyatanya hilang begitu saja. Aku kira dia masih memasak untukku, nyatanya dia sudah pergi entah ke mana," Airina menggumam. "Aku masih di sini, Airina. Baru saja aku selesai," ucap Arsen. Airina menoleh ke sumber suara, lelaki itu berdiri di dekat pintu dapur. "Ayo, makan!" ajak Arsen. "Ya, ayo!" Airina melangkah mendekati Arsen, dengan langkah yang terburu-buru dan sedikit berlari. "Aduh!" teriak Airina. Kakinya terpeleset sisa air yang