"Iya, aku bersedia menemanimu di makan malam ini, Tuan Muda," jawab Airina dengan senyum simpul. Kini Airina dan Arsen berjalan berdampingan, menaiki mobil Bentley hitam menembus jalanan kota Macherie. "Aku gugup," lirih Airina. "Ada aku di sampingmu, nanti setibanya di Royal Palace jangan jauh-jauh," peringat Arsen. "Ya." Airina hanya menganggukkan kepalanya, ia yang berusaha menetralkan perasaannya. Tangannya yang sedikit meremas bajunya dengan kuat. "Kita sudah tiba, Tuan. Mari turun," ucap Aron. Aron membungkukkan badannya, mata Airina menggulir menatap ke sekeliling Royal Palace. Sebuah mansion yang terkenal dengan bunganya yang sangat cantik. "Mari, Nona Airina,"Dengan mengulurkan tangannya pada Airina, Arsen menggandeng tangan kanan istri kontraknya. Banyak pasang mata yang menatap keduanya dengan nyalang. "Oh itu yang sempat menjadi perbincangan berita itu," desis seorang Nona besar. "Iya, dia memang tidak tahu malu. Lihatlah penampilannya pasti dia mengeruk harta k
"Iya, kini ibu sangat menyesal telah menyetujui itu," keluhnya. "Sudahlah, ibu. Sekarang aku sudah bersama dengan wanita pujaan hatiku," ucap Arsen. Pipi Airina mendadak merona merah, tangannya menutup separuh dari wajahnya. "Airina, mari!" ajak Julie. Kini dua wanita yang Arsen sayang itu berjalan berdampingan, mulai membaur bersama beberapa wanita yang masih bekerja sama dengan keluarga Pinault. "Selamat malam, Nyonya Julie. Anda tidak pernah gagal dalam penampilan," puji seorang istri Antonio. "Terima kasih, Ini pilihan menantuku yang sangat cantik," elak Julie. Sembari berbisik, istri Antonio menatap Airina nyalang. "Wanita seperti jalang dan kampungan ini yang Anda kata cantik. Maaf nyonya kali ini saya tidak setuju," sergah Nyonya Antonio. "Jaga ucapanmu, atau pergi dari mansion ini!" pekik Julie. Airina mengusap pelan pundak Julie, membiarkan ibu mertuanya sedikit lebih tenang. "Berhenti menghina menantuku, jangan pernah kau mengatakan hal-hal buruk padanya!" pekik J
"Arsen, kamu kenapa?" tanya Airina. Matanya melihat laki-laki di hadapannya seperti menahan sesuatu. Raut wajahnya tidak dapat didefinisikan. "Tidak apa-apa, Airina. Seperti yang sudah aku bilang kalau aku akan selalu melindungimu," ucap Arsen. "Tetapi, memutuskan hubungan kerja sama dengan beberapa kolega pasti berdampak pada karyawan. Apa itu tidak apa-apa?" tanya Airina. Arsen menggelengkan kepalanya, ia kini mengusap pelan pipi Airina. Dua manik mata yang saling bertemu, seolah memberi kode untuk saling memberikan kenyamanan satu sama lain. "Airina," panggil Arsen lirih. Cup! Tepat saat Airina sedang mendongakkan kepalanya ke arah Arsen. Dua bibir yang saling bertemu satu sama lain, dengan tubuh Arsen yang sedikit mendorong bibirnya. "Eh, Arsen!" desis Airina. Lelaki yang baru saja melumat itu kini melepaskan bibirnya. Menatap Airina dengan lekat, mencari celah apa yang terjadi hingga wanita itu mendesis. "Ada apa?" tanya Arsen lirih. "Tidak ada apa-apa, emm aku ingin t
"Percayalah padaku, kali ini kamu akan berhasil dan sangat membanggakan. Berani bertaruh denganku?" tantang Arsen. "Hahaha, aku tidak mau!" tegas Airina. Arsen berdecih, "Belum mencoba sudah menyerah, mana sifat kamu yang pantang menyerah itu, Airina?" tanya Arsen dengan terkekeh. "Aku sudah malas, Arsen. Aku banyak cemas dan ragu sekarang," keluhnya. Tangan kanan Arsen merangkul pundak Airina, mengusapnya dengan pelan. "Aku akan membawamu berlibur selama 7 hari ke luar kota kalau kamu berhasil. Bahkan kamu bebas meminta apa pun dariku," bisik Arsen. "Tapi, jika aku gagal?" tanya Airina. "Emm, ya kamu tidak akan liburan dalam 1 Minggu. Tetapi, jika tebakanku benar aku meminta satu ciuman darimu ditambah paket liburan 1 Minggu," jelas Arsen. "Tidak mau!" pekik Airina. Arsen menyentuh pipi Airina lembut, mengusapnya perlahan dengan berbisik. "Yakin kamu tidak mau?" tanya Arsen berbisik. "Eh, aku benar-benar yakin!" hardik Airina. Airina beranjak dari duduknya, melangkahkan k
"Kenapa tidak ke kantor?" tanya Airina setelah duduk di samping Arsen. Arsen hanya diam, tidak memberikan jawaban pada wanita di sampingnya. "Arsen, jawab aku!" ia memohon. "Tidak apa-apa, lagian pekerjaan aku sudah selesai sejak aku ke butik,* jelasnya. "Oh, ya sudah." Airina memalingkan wajahnya, berulang kali ia meremas bajunya. "Aku tidak marah padamu, Airina. Maaf mengganggumu di jam kerja," tutur Arsen lembut. Deg! Berhenti saat itu juga, tidak ada kalimat yang bisa ia utarakan. Matanya mulai terasa panas! "Tuan, Nona. Apakah kita akan pergi dulu sebelum pulang ke apartemen?" tanya Aron memecahkan suasana. "Tidak!" jawab keduanya kompak. Reflek keduanya saling menatap, hanya ulasan senyum tipis yang tercetak diwajah sepasang kekasih itu. "Hehehe, bisa kompak ya!" ucap Aron dengan terkekeh. Mobil Bentley itu melaju ke apartemen di kawasan Aclairsmen. "Apa kamu masih gugup, Airina?" tanya Arsen. "Sudah lebih teratur daripada tadi," jawab Airina. Dengan upaya memeca
"Arsen, jangan menguping tolong!" teriak Airina. Guyuran shower yang mulai membasahi rambutnya. Dingin yang mulai menjalari tubuhnya. Perasaan yang mengganjal kembali datang, tidak percaya diri. "Huh, hari ini waktunya aku membuktikan bahwa aku bisa dan mampu," Airina menggumam. Tidak lama dari itu ia keluar dari kamar mandi, hanya handuk yang melingkari tubuhnya. Tangannya yang sibuk membenarkan handuk pada rambutnya. Saat ia mendongakkan kepalanya, matanya membelalak lebar. Arsen masih ada di kamarnya dengan merebahkan tubuhnya. "A-Arsen, kenapa kamu masih di sini!" teriak Airina keras. Arsen yang terkejut dengan suara nyaring Airina, menolehkan kepalanya tepat pada tubuh ramping itu. "Ma-maafkan aku, Airina. Aku masih menunggu MUA yang aku sewa, kenapa kamu hanya memakai handuk!" jelas Arsen. "Keluarlah dulu!" teriak Airina. Arsen merasakan tubuhnya mulai menegang, kehilangan kendali akibat apa yang ia lihat. Lekuk tubuh yang sangat manis dan elok. Tajam tatapan mata Arse
"Kabarnya dia memang berbakat, bahkan dulu bisa kuliah di ESMOD karena dapat beasiswa," timpal seseorang di samping Arsen. "Tetapi, tetap saja kurang pantas," gerutu wanita itu. Arsen hanya diam dan mendengar setiap percakapan dua wanita itu. Penampilan yang mencolok, bisa saja dua orang ini pemilik salah satu yayasan ESMOD. "Maaf, Nyonya. Apa Anda berdua ini membahas istriku?" tanya Arsen dengan satu tatapan. "Ups, maaf, Tuan muda. Ka-kami tidak bermaksud menghina istri Anda," lirih wanita di sebelah Arsen. "Sebenarnya, siapa kalian ini? Apa salah satu dari pemilik yayasan ESMOD Internasionale?" todong tanya Arsen. Diam! Dua wanita itu terdiam pasi saat Arsen melemparkan tanya. Hanya saling menatap enggan memberi jawaban. "Jawab!" tegas Arsen dengan tatapan nyalang. "I-iya, Tuan. Kami istri pemilik yayasan," jawabnya tergagap. Arsen menganggukkan kepalanya, dengan mengulas senyum tipis kembali menatap panggung. "Cantik," Arsen menggumam. Sepanjang Airina menjelaskan setia
"Ma-maksdunya?" Airina tergagap. Gemma kini berdiri tepat di depan Airina, membawa bucket bunga lily putih yang sangat cantik. "Maksudmu apa?" desak Arsen. Dengan satu gerakan lelaki itu membawa Airina menjauh dari sosok Gemma. Diam dengan tangan gemetaran bukan hal yang bisa diterima Arsen. "Kita pergi dari sini, cari restoran lain, Aron!" titah Arsen. Airina masih terpaku dengan mengikuti langkah kaki Arsen. Dengan mata yang masih menatap ke arah Gemma berdiri, seperti mesin waktu yang kembali berputar. "Mengapa dia ada di sana?" tanya Airina. "Aku tidak tahu darimana dia, sudahlah kita cari restoran lain saja," jawab Arsen final. "Ya, Arsen." Sepasang suami istri itu sudah masuk ke dalam mobil, dengan detak jantung yang masih tidak beraturan. Airina menelaah apa yang terjadi. "Aku masih belum bisa mengendalikan diriku, emm jika aku bertemu dengan Nona Gemma. Tu-tubuhku masih merespon dengan rasa takut," jelas Airina. "Airina, tidak apa-apa. Kita akan menghindari pertemua