"Percayalah padaku, kali ini kamu akan berhasil dan sangat membanggakan. Berani bertaruh denganku?" tantang Arsen. "Hahaha, aku tidak mau!" tegas Airina. Arsen berdecih, "Belum mencoba sudah menyerah, mana sifat kamu yang pantang menyerah itu, Airina?" tanya Arsen dengan terkekeh. "Aku sudah malas, Arsen. Aku banyak cemas dan ragu sekarang," keluhnya. Tangan kanan Arsen merangkul pundak Airina, mengusapnya dengan pelan. "Aku akan membawamu berlibur selama 7 hari ke luar kota kalau kamu berhasil. Bahkan kamu bebas meminta apa pun dariku," bisik Arsen. "Tapi, jika aku gagal?" tanya Airina. "Emm, ya kamu tidak akan liburan dalam 1 Minggu. Tetapi, jika tebakanku benar aku meminta satu ciuman darimu ditambah paket liburan 1 Minggu," jelas Arsen. "Tidak mau!" pekik Airina. Arsen menyentuh pipi Airina lembut, mengusapnya perlahan dengan berbisik. "Yakin kamu tidak mau?" tanya Arsen berbisik. "Eh, aku benar-benar yakin!" hardik Airina. Airina beranjak dari duduknya, melangkahkan k
"Kenapa tidak ke kantor?" tanya Airina setelah duduk di samping Arsen. Arsen hanya diam, tidak memberikan jawaban pada wanita di sampingnya. "Arsen, jawab aku!" ia memohon. "Tidak apa-apa, lagian pekerjaan aku sudah selesai sejak aku ke butik,* jelasnya. "Oh, ya sudah." Airina memalingkan wajahnya, berulang kali ia meremas bajunya. "Aku tidak marah padamu, Airina. Maaf mengganggumu di jam kerja," tutur Arsen lembut. Deg! Berhenti saat itu juga, tidak ada kalimat yang bisa ia utarakan. Matanya mulai terasa panas! "Tuan, Nona. Apakah kita akan pergi dulu sebelum pulang ke apartemen?" tanya Aron memecahkan suasana. "Tidak!" jawab keduanya kompak. Reflek keduanya saling menatap, hanya ulasan senyum tipis yang tercetak diwajah sepasang kekasih itu. "Hehehe, bisa kompak ya!" ucap Aron dengan terkekeh. Mobil Bentley itu melaju ke apartemen di kawasan Aclairsmen. "Apa kamu masih gugup, Airina?" tanya Arsen. "Sudah lebih teratur daripada tadi," jawab Airina. Dengan upaya memeca
"Arsen, jangan menguping tolong!" teriak Airina. Guyuran shower yang mulai membasahi rambutnya. Dingin yang mulai menjalari tubuhnya. Perasaan yang mengganjal kembali datang, tidak percaya diri. "Huh, hari ini waktunya aku membuktikan bahwa aku bisa dan mampu," Airina menggumam. Tidak lama dari itu ia keluar dari kamar mandi, hanya handuk yang melingkari tubuhnya. Tangannya yang sibuk membenarkan handuk pada rambutnya. Saat ia mendongakkan kepalanya, matanya membelalak lebar. Arsen masih ada di kamarnya dengan merebahkan tubuhnya. "A-Arsen, kenapa kamu masih di sini!" teriak Airina keras. Arsen yang terkejut dengan suara nyaring Airina, menolehkan kepalanya tepat pada tubuh ramping itu. "Ma-maafkan aku, Airina. Aku masih menunggu MUA yang aku sewa, kenapa kamu hanya memakai handuk!" jelas Arsen. "Keluarlah dulu!" teriak Airina. Arsen merasakan tubuhnya mulai menegang, kehilangan kendali akibat apa yang ia lihat. Lekuk tubuh yang sangat manis dan elok. Tajam tatapan mata Arse
"Kabarnya dia memang berbakat, bahkan dulu bisa kuliah di ESMOD karena dapat beasiswa," timpal seseorang di samping Arsen. "Tetapi, tetap saja kurang pantas," gerutu wanita itu. Arsen hanya diam dan mendengar setiap percakapan dua wanita itu. Penampilan yang mencolok, bisa saja dua orang ini pemilik salah satu yayasan ESMOD. "Maaf, Nyonya. Apa Anda berdua ini membahas istriku?" tanya Arsen dengan satu tatapan. "Ups, maaf, Tuan muda. Ka-kami tidak bermaksud menghina istri Anda," lirih wanita di sebelah Arsen. "Sebenarnya, siapa kalian ini? Apa salah satu dari pemilik yayasan ESMOD Internasionale?" todong tanya Arsen. Diam! Dua wanita itu terdiam pasi saat Arsen melemparkan tanya. Hanya saling menatap enggan memberi jawaban. "Jawab!" tegas Arsen dengan tatapan nyalang. "I-iya, Tuan. Kami istri pemilik yayasan," jawabnya tergagap. Arsen menganggukkan kepalanya, dengan mengulas senyum tipis kembali menatap panggung. "Cantik," Arsen menggumam. Sepanjang Airina menjelaskan setia
"Ma-maksdunya?" Airina tergagap. Gemma kini berdiri tepat di depan Airina, membawa bucket bunga lily putih yang sangat cantik. "Maksudmu apa?" desak Arsen. Dengan satu gerakan lelaki itu membawa Airina menjauh dari sosok Gemma. Diam dengan tangan gemetaran bukan hal yang bisa diterima Arsen. "Kita pergi dari sini, cari restoran lain, Aron!" titah Arsen. Airina masih terpaku dengan mengikuti langkah kaki Arsen. Dengan mata yang masih menatap ke arah Gemma berdiri, seperti mesin waktu yang kembali berputar. "Mengapa dia ada di sana?" tanya Airina. "Aku tidak tahu darimana dia, sudahlah kita cari restoran lain saja," jawab Arsen final. "Ya, Arsen." Sepasang suami istri itu sudah masuk ke dalam mobil, dengan detak jantung yang masih tidak beraturan. Airina menelaah apa yang terjadi. "Aku masih belum bisa mengendalikan diriku, emm jika aku bertemu dengan Nona Gemma. Tu-tubuhku masih merespon dengan rasa takut," jelas Airina. "Airina, tidak apa-apa. Kita akan menghindari pertemua
"Arsen!" teriak Airina keras. "Kenapa dapur kita menjadi berantakan seperti ini?" todong tanya Airina keras. Lelaki yang berulah hanya tersenyum tipis, dengan wajah tidak bersalah sama sekali. "Ini hasil aku masak tadi, aku kan sudah bilang kalau akan ada kejutan untukmu," jelas Arsen. "Berhubung kamu yang memasak, berarti kamu juga yang membersihkan semua ini, hahaha!" ujar Airina dengan terkekeh. "Tidak! kamu harus membantu aku membersihkan ini semua, Airina!" tegas Arsen. Airina yang hendak berlari itu tertahan, tubuhnya diraih Arsen dengan satu gerakan. Kini mata keduanya saling bertatapan dengan lembut. "Apa kamu mau kabur dariku?" tanya Arsen dengan mengulas senyum licik. "Tentu saja, aku tidak ingin membersihkan dapurmu yang kotor itu!" hardik Airina dengan bengis. "Apa kamu yakin?" tanya Arsen. Airina menggeliat saat suami kontraknya mulai memeluk tubuhnya. Dengan gerakannya yang sangat cepat, ia berhasil lari dari dekapan Arsen. "Wleee!" Airina kini berdiri di dek
"Untuk rasa sakit yang kuterima semalam! Kau benar-benar tidak tahu diri," pekik Airina keras. Ia beranjak meninggalkan kamar Arsen dengan tangis yang menderu. Air matanya mengalir bebas tidak bisa terbendung. "Airin, aku tidak bermaksud seperti itu. Dengarkan aku!" teriak Arsen dengan berlari. "Stop, memanggilku dengan nama itu. Hanya ibuku yang boleh memanggilku dengan nama itu, catat itu, Arsen Pinault!" hardik Airina. Dengan langkah tertatih, Airina berjalan semampu ia bisa. Hingga ia berada di depan kamarnya, dengan mata yang masih basah. Brak! Pintu itu tertutup rapat, ia terduduk bersandar pada pintu kamar. Ingatannya pada kejadian semalam membuatnya semakin merintih. 'Aku sakit, tapi kenapa rasaku tidak bisa marah padanya!' hardik Airina dalam batinnya. Ketukan keras pada pintu membuatnya tersadar, lamunannya buyar saat ketukan pintu semakin keras. "Airina, kali ini dengarkan aku sekali lagi. Maaf, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku," teriak Arsen keras.
Tok tok tok! "Nona, Nona," teriak Aron dari luar. "Ya, Aron. Ada apa?" tanya Airina. Ia membuka kenop pintu dengan perlahan. Matanya menatap lekat Aron yang terlihat cemas. "Ada apa, Aron?" tanya Airina. "Tu-tuan ... Tuan, anu ... Tuan kecelakaan," dengan tergagap Aron mengatakan kalimat itu. "Maksudmu?" tanya Airina ragu. Aron sudah terduduk lemas di lantai, di hadapan Airina bawahannya itu terlihat lemah. "Tuan kecelakaan di dekat pusat kota Macherie. Saya tidak paham kronologinya, karena Aiden hanya memberi tahu sampai di situ," jelas Aron dengan tertatih. "Lalu sekarang bagaimana keadaannya?" todong tanya Airina keras. "Sa-saya tidak paham, Nona. Kita berangkat ke sana sekarang," ujar Aron dengan beranjak. Airina dan Aron terburu-buru, dengan mobil yang melaju kencang. Airina hanya meremas pakaiannya. "Aron, bagaimana nasib Arsen?" tanya Airina dengan cemas. "Sa-saya juga belum tau, Nona." Aron hanya fokus pada jalanan Kota Macherie, dengan perasaan yang sangat kalut