“Ada apa denganmu?” tanya Zale begitu masuk ke dalam mobil dan wajah Zesil dipenuhi sembab dan jejak basah yang masih menyelimuti wajah mungil gadis itu. “Kau menangisiku?”Zesil menggeleng, air matanya kembali merebak dan hanya menatap wajah Zale. Sementara di jok depan, Lucius dan Calia hanya saling pandang.“Lalu?” Nada bercanda yang awalnya sempat menyelimuti suara Zale seketika berubah serius. Menyadari ada yang janggal dengan Zesil pagi ini. “Ada masalah? Sesuatu terjadi denganmu? Atau si Roland …”Zesil terisak dan air matanya semakin membanjir, menghampiri pelukan Zale.*** “Kalian tidak naik?” Zayn yang sudah menginjak anak tangga pertama menoleh kea rah Zsazsa dan Zaiden yang berbelok ke ruang keluarga. Keduanya bersamaan membanting tubuh mereka di masing-masing sofa panjang dan menatap langit-langit ruangan. Embusan napas keras lolos dari mulut mereka dan diam.Zayn ikut terdiam, menatap kedua saudaranya dan ikut bergabung. Duduk di sofa tunggal. “Apakah menurut kalian ma
Gerakan tangan memutar tersebut membuat Zsazsa menggigit bibirnya. Luca menyingkap rambutnya yang terurai ke samping. Menampilkan pundaknya dan kemudian tangan pria itu bergerak menurunkan kerah jubahnya. Wajah pria itu bergerak turun, mengecup kulit di ujung pundak sebelum kemudian bergerak ke leher, dengan tatapan yang tak lepas dari kedua mata Zsazsa di cermin.“Kau menolak kesepakatan pernikahan yang kutawarkan untuk menikah dengan pria lain?”“Kau mendengar kabar terlalu cepat dari seharusnya, Alessio.”“Hmm, kau tahu aku mengawasimu.”Napas Zsazsa kembali tertahan. Mengawasi dalam bahasa seorang Luca Alessio adalah menguntit. Ia mencoba bernapas dalam hati, menepis pertanyaan seberapa banyak yang diketahui oleh pria itu tentangnya.“Kenapa papamu tidak melemparkan undangan lamaran ini padaku?”“Mungkin kau bukan bujangan paling dicari dikota ini.”Bibir Luca tersenyum, salah satu tangannya menelusup di antara belahan jubah Zsazsa. Menyentuh kulit telanjang wanita itu. “Tapi aku p
“K-kenapa kakak di sini?” Satu tangan Zesil bergerak memegang gagang pintu sementara tangannya yang lain berada di dada. Menggigit bibir bagian dalamnya ketika mengingat bagaimana dirinya yang tak berdaya di atas paksaan Zaiden yang begitu kuat.Zaiden terkekeh. “Kau ingin lari?”“A-apa yang kakak inginkan?” Bibir Zesil masih bergetar hebat.“Entahlah. Kau ingin apa yang kuinginkan darimu?”Zesil menelan ludahnya. Air mata mulai merebak di kedua matanya. “K-kenapa kakak lakukan ini pada Zesil?”Seringai di ujung bibir Zaiden semakin tinggi. Ia bangkit berdiri, yang membuat pegangan Zesil pada gagang pintu semakin menguat dan bergerak turun akan membuka pintu. “Jika kau lari, aku akan menangkapmu, Zesil. Jangan membuat keributan yang tak berarti.”Pegangan Zesil membeku, tak berani membuka tetapi ketakutan akan jarak yang semakin dipangkas oleh Zaiden membuat tubuhnya semakin beringsut. Zaiden berhenti tepat di depan Zesil. Salah satu tangannya terpaku di pintu sementara wajahnya berg
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?” Lucius memecahkan keheningan di ruangan tersebut setelah beberapa saat Luca Alessio meninggalkan ruangan ini. Bersama omong kosong tentang pertanggung jawaban dan lamaran yang akan menyusul setelah keadaan Zsazsa membaik.Lucius sendiri tak punya pilihan untuk mengelak, keseriusan seorang Luca Alessio memang tak bisa ia remehkan. Ia mengenal pria itu dalam dunia bisnis dan cukup berpengaruh. Itulah membuat pria itu tetap dikagumi, pun dengan semua gosip yang menyebar di kalangan mereka.Zsazsa menggeleng dengan pilu. Darimana Luca tahu pun, rasanya bukan pertanyaan yang penting. Pria itu tahu dan tak akan membiarkannya melenggang pergi dari hidup pria itu begitu saja.“Apakah kau begitu tidak menyukainya?” Suara lembut Calia mencoba meredakan kesunyian yang begitu mengkhawatirkan tersebut. Tangannya menggenggam telapak tangan Zsazsa. “Ini bukan soal Zsazsa menyukainya atau tidak, Calia. Alessio memang bukan orang yang tepat untuk menjadi anak menant
"A-apa maksud kakak?" Suara Zesil mulai diselimuti getaran. Kedua kakinya bergerak turun, dan ia sangat sadar kedua mata sang kakak mengamati setiap gerakannya."Kau yakin bisa kabur dariku?"Zesil menelan ludahnya. Ialah yang berada paling jauh dari pintu. Saat ia berlari memutari tempat tidur, Zaiden bisa menangkapnya dengan mudah. Membantingnya ke tempat tidur, melucuti pakaiannya dan melakukan seperti yang dilakukan sang kakak pada malam itu."Kenapa kakak lakukan ini? Tidak cukupkah dengan pernikahan ini? Juga kehamilan ini? Kakak sudah menghancurkan hidup Zesil. Kakak juga sudah melenyapkan impian Zesil untuk …""Menikah dengan pujaan hatimu?" sambar Zaiden dengan kesengitan. Wajahnya yang berkilat oleh kelicikan, kini diselimuti kegelapan ketika Zesil mengungkit tentang Roland. Bahkan sebelum namanya disebut saja, dadanya sudah dipenuhi oleh gemuruh. "Aku sudah bilang, kan? Sebulan yang lalu kalau kau lupa. Lupakan apa pun itu tentang menjalin hubungan apalagi menikah dengannya
“Sungguh?” Zsazsa mengulang, dengan ketidak percayaan yang memekat seluruh permukaan wajahnya. Luca mengangguk. “Apakah itu menjadi masalah untukmu?”Zsazsa mengerjap. Terkejut dengan keterkejutannya sendiri. “Jadi dia mantanmu, begitu?”Senyum di wajah Luca membeku, menelengkan wajahnya ke arah Zsazsa dengan kerutan di antara kedua alis. “Begitukah?”Zsazsa terdiam, ada ejekan di kedua mata Luca yang seolah mempermainkannya. “Aku ingin istirahat,” ucapnya sinis. Melangkah masuk ke dalam rumah Luca. Ini pertama kalinya ia masuk ke dalam tempat ini. Tak tahu harus berjalan ke arah mana. Ada dua tangga yang menyatu ke lantai dua, lampu hias yang begitu besar, foto Luca dan Ken yang begitu besar. Satu di dinding ruang tamu dan entah ini ruang tengah atau ruang apa. “Nyonya?” Seorang pelayan mendekati Zsazsa. “Bisakah kau tunjukkan di mana kamar … tamu, mungkin?”Kening pelayan tersebut tampak menyatu dengan keheranan. “T-tuan mengatakan Anda adalah istri …”“Lantai dua, pintu pertama
Suara ketukan di pintu memaksa mata Zesil yang rasanya baru saja terpejam untuk terbuka. Sejenak terkejut dengan lengan yang menelusup di balik selimut, tetapi ingatannya dengan cepat memenuhi kepalanya apa yang telah terjadi tadi malam. Lengan yang masih melingkar di perutnya adalah milik Zaiden.“Zesil?” Suara memanggil dari arah pintu sekali lagi menyentakkan Zesil. Menoleh ke arah pintu yang sudah didorong terbuka dan sang mama melangkah masuk.Calia sempat terkejut menemukan Zesil dan Zaiden yang masih berbaring di tempat tidur. Menunggu sejenak untuk meminimalisir keterkejutannya. “Setidaknya ingatkan Zaiden untuk mengunci pintunya, Zesil,” ucapnya kemudian mendekati ranjang. Menepuk punggung telanjang Zaiden yang setengah tertutup selimut.“Bangun, Zaiden. Kau harus ke kantor.” Calia menggoyang pundak sang putra lebih keras, Zaiden menggeliat. Matanya perlahan terbuka. “Pergilah ke kamarmu. Kau harus bersiap untuk ke kantor. Papamu bilang kalian kau harus ikut di pertemuan.”Za
“Lepaskan!” sentak Zsazsa pada cekalan Luca yang berhasil mencegahnya membuka pintu darurat.Luca meraih tas di pundak Zsazsa. “Sopirku yang akan membawa mobilmu.”“Aku mau pulang sendiri, Luca.”Cekalan Luca semakin menguat. Setengah menyeret membawa Zsazsa kembali ke dalam lift, tepat ketika Joanna muncul. Zsazsa yang tak ingin mempermalukan diri dengan keributan tersebut, terpaksa bersikap patuh. “Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Zsazsa. Memasang sabuknya sendiri.“Jam berapa hari ini Ken pulang?” tanya Joanna begitu duduk di dalam mobil. Sementara Luca hendak memasangkan sabuk pengaman Zsazsa. Menarik perhatian Luca yang menatap sisi wajah Zsazsa yang berpaling.“Setelah makan siang. Dua jam lagi.” Luca memperbaiki duduknya, menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.Joanna hanya mengangguk singkat. Matanya tak berhenti mengamati gelagat Zsazsa dan Luca yang tampaknya terlibat dalam perdebatan yang cukup serius. Meski ada rasa tak suka ketika Luca mengulurkan tangan ke arah
Jangan lupa dibaca, ya. Baru muncul di web goodnovel. yang belum nemu bisa tunggu besokPelayang Sang Tuan ***Davina menyingkirkan selimut yang menutupi ketelanjangannya. Sesuatu bergejolak di perutnya, membuatnya melompat turun sambil menyambar kain apa pun yang ada di lantai. Menggunakannya untuk menutupi tubuhnya dalam perjalanan ke kamar mandi.Suara pintu yang dibanting terbuka membangunkan Dirga dari tidurnya yang lelap. Kepalanya pusing karena dibangunkan dengan tiba-tiba. Tetapi ia tetap memaksa bangun terduduk dan menatap pintu kamar mandi yang terjemblak terbuka. Mendengar suara muntahan yang begitu hebat.Dirga mengambil celana karetnya yang ada di ujung tempat tidur, mengenakannya sebelum beranjak menujuk kamar mandi. Ia berhenti di ambang pintu, menyandarkan pundaknya di pinggiran pintu dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamati Davina yang berjongkok di depan lubang toilet. Mengusap sisa muntahan dengan punggung tangan.“Kau membangunkanku.” Suara Dirga datar dan tan
“Jadi dia keponakanmu?” Lucius bertanya dari balik bibir gelasnya. Menatap Luca yang duduk di seberang, tak berhenti mengarahkan pandangan ke arah kolam renang. Pada Zsazsa dan Ken yang bermain-main di tepi kolam. Suara canda tawa keduanya terdengar nyaring. Begitu merdu di kedua pasang telinga pria itu.Luca memutar kepala, menatap sang mertua dengan alis yang melengkung ke bawah. “Apakah itu membuat perbedaan?”Lucius meletakkan gelasnya yang sudah berkurang setengah. Kembali bersandar dengan kedua kaki bersilang. “Sejak awal kau mengincar putriku.”Luca tersenyum. Tak ada penyangkalan dalam tatapannya yang mengarah lurus pada sang mertua. “Dan kau menggunakan cara licik untuk mendapatkannya.”“Anda pernah muda, tuan Cayson. Jika dihadapkan dengan godaan yang begitu besar seperti putri Anda, saya yakin Anda pun akan mengabaikan akal sehat dan akan melakukan cara apa pun untuk memilikinya.”Lucius mendengus mengejek.Senyum Luca melengkung lebih tinggi, kepalanya berputar kembali ke
“Kabar buruknya, dia ehm … “ Zale memasang raut sedih yang begitu dalam di kedua mata. Duduk di samping Zesil lalu menggenggam tangan sang adik. “Papa sudah menemukan di mana makamnya.”“M-makam?” lirih Zesil dalam keterkejutan. Setengah jiwanya terasa ditarik paksa dari dalam dadanya. Rasa kehilangan yang lebih besar ketimbang kedua orang tua angkatnya mengatakan bahwa dia telah diadopsi 19 tahun yang lalu. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Meleleh di sudut mata ketika Zale merangkul pundaknya, membawa tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.Sudut bibir Zaiden mengeras, merasa disisihkan melihat kedua adiknya yang saling berpelukan. Saling berbagi kesedihan. Kecemburuan merayapi dadanya, dan beruntung setidaknya ia masih memiliki nurani juga sedikit pikiran waras bahwa memang hanya Zale yang dibutuhkan Zesil di situasi ini.“Dan kabar baiknya, dia tidak membuangmu. Selama bertahun-tahun ini, dia juga mencarimu. Detailnya, papa akan memberitahumu,” tambah Zale. Berharap sedikit in
“Kau pikir aku tak tahu? Kau menghindarinya bukan karena butuh waktu yang tak perlu dibutuhkan untuk memberitahu pernikahan kita. Tapi karena kau tahu dia menyukaimu. Dan kau merasa sungkan padaku?” Zayn memungkasi kalimatnya dengan ejekan yang begitu kental.Cailey mengedipkan matanya dua kali, terpaku menatap wajah Zayn yang mulai diselimuti kegelapan.“Jangan menguji kesabaranku lebih dari ini, Cailey. Kau tahu aku sudah cukup sabar menghadapimu sejak kemarin siang. Simpan kecemburuanmu untuk dirimu sendiri. Kau tahu aku yang lebih berhak melakukan semua sikap kekanakan ini.”“Jangan menatapku seperti itu, Zayn,” desis Cailey tak kalah dinginnya. Berusaha menggeliatkan tubuhnya tetapi Zayn malah menekannya ke dalam kasur. Sama sekali tak memberinya kesempatan untuk membebaskan diri. “Aku tidak berbohong,” tandasnya penuh penekanan. “Dan bukan aku yang menciumnya, Jaren yang tiba-tiba melakukannya.”“Kau pikir aku yang mencium Adira?”Cailey terdiam.“Jangan jadikan itu alasan untuk
Butuh beberapa detik bagi Zesil untuk menelaah kalimat Roland. Setelah ia melahirkan, apakah Roland masih akan menerima dirinya? Harapan yang tak pernah ia bayangkan akan diucapkan oleh Roland. Akan tetapi, harapan itu seketika raib. Detik itu juga. Mata Zesil melebar, pandangannya melewati pundak Rolanda dan melihat Zaiden berdiri di depan pintu. Tatapan pria itu menyipit tajam, dengan kedua rahang yang mengeras, mengarah pada tangannya yang berada dalam genggaman Roland.Zesil pun melepaskan pegangannya dari kedua tangan Roland. Lalu menggeleng pelan. “Maafkan aku, Roland. Aku tidak bisa,” lirihnya. Memaksa melepaskan harapan yang sempat singgah. Kekecewaan kembali merebak di wajah Roland. Menatap tak percaya pada Zesil. “Kenapa?”Zesil menggeleng. “Aku tidak ingin bercerai dengan kak Zaiden dan meninggalkan anak ini demi kebahagiaan, yang mungkin tak akan sempurna tanpanya, Roland. Bagaimana pun dia anakku.” Kalimat terakhir Zesil terdengar seperti sebuah kebohongan. Ia bahkan ma
Wajah Zsazsa tak bisa lebih pucat lagi. “A-aapa?”“Aku yang meminta tuan Janson membatalkan kontrakmu. Dan aku juga sudah membayar semua ….”“K-kau?” Sekali lagi Zsazsa butuh afirmasi. Masih tak cukup percaya bahwa Lucalah pelakunya. “Tega sekali kau melakukannya, Luca? Kupikir aku sudah menegaskan padamu bahwa pernikahan kita tak berhak membuatmu ikut campur pekerjaanku.”“Cepat atau lambat kerjasama itu memang harus dibatalkan, Zsazsa. Kandunganmu …”“Itu bukan urusanmu!” teriak Zsazsa tepat di depan wajah Luca.“Anak itu anakku,” desis Luca tajam.“Dan itu tak membuatmu berhak merampas hidupku! Menghancurkan hidupku sesuka hatimu!”Luca terdiam. Kemarahan yang menguasai Zsazsa lebih besar dari yang ia perkirakan. “Aku juga akan membatalkan kerjasama perusahaanku denganmu.”“Ya, lakukan saja! Aku tak peduli!” Zsazsa menyambar ponsel di tangan Luca dan berbalik keluar menuju pintu utama.“Kau baik-baik saja?” Joanna mendekat, menyentuh lengan Luca dengan hati-hati.Mata Luca terpejam
Zaiden melangkah ke depan Lauren. “Kau benar-benar membuatku muak, Lauren. Sekali lagi jika kau menyentuh seujung rambut istriku, kupastikan kau akan menyesal telah muncul di hidupku.”Lauren terhuyung ke belakang. Keterkejutannya seketika berubah menjadi ketakutan yang begitu pekat merambati dadanya. Tatapan Zaiden begitu mengerikan, hingga membuat bulu kuduknya meremang.Zaiden berbalik, berhadap-hadapan dengan Roland yang tak kalah pucatnya dengan Lauren. “Bisakah aku mendapatkan istriku kembali?”“I-istri?” Suara Roland nyaris tertelan suara mesin mobil yang melintasi jalan.“Ya, sesuatu terjadi dan membuat kami harus berakhir sebagai suami istri. Juga hubunganmu dengannya yang harus diakhiri sesegera mungkin.”Roland menggeleng. Kepalanya berputar menatap Zesil yang tak mengatakan apa pun di sampingnya. “A-apakah itu benar, Zesil?”Zaiden mendengus tipis. Meraih tangan Zesil, menunjukkan kedua cincin yang melingkari jari manis mereka. “Apakah ini sudah cukup menjawab pertanyaanmu
Zesil memindahkan tubuhnya dari pangkuan sang kakak dan duduk di sofa. Lekas memperbaiki pakaiannya begitu napas keduanya sudah kembali normal. Dengan wajah yang merah padam, panas sekaligus terasa lembab di seluruh tubuh, kepalanya tertunduk dalam oleh rasa malu. Memasang kembali pengait branya dan menarik tertutup resleting di punggung. Dengan pikiran yang kacau akan apa yang baru saja keduanya lakukan di sofa ini.Zaiden terkekeh, tangannya terjulur ke wajah Zesil. Menyentuh ujung dagu gadis itu dan membawa perhatian Zesil kepadanya. “Aku tak pernah mengira seks di ruang kerja akan terasa sememuaskan ini.”Rasanya wajah Zesil tak bisa lebih merah padam lagi.“Lain kali aku akan memanggilmu untuk makan siang bersama.”Tentu saja Zesil itu tak hanya akan menjadi sekedar makan siang. “Zesil ingin ke kamar mandi,” lirihnya. Melepaskan wajahnya dari tangan Zaiden dan beranjak menuju pintu yang ada di sudut ruangan. Nyaris tersamar dengan dinding yang dilapisi kayu, tapi ia tahu kamar ma
Satu jam kemudian, pesan yang masuk ke ponsel Luca membuat keduanya harus lekas turun dari tempat tidur. “Ken mencariku,” gumam Luca menatap Zsazsa yang sedang mengenakan pakaiannya kembali dengan posisi memunggunginya.“Ya, pergilah.”“Kita pergi bersama.”Zsazsa yang baru saja memasukkan lengan bajunya langsung menoleh. “Kita? Kenapa?”Luca beranjak berdiri, mengenakan celananya. “Karena kau istriku dan Ken anakku, Zsazsa. Apakah kau tidak ingin berusaha mendekatinya?”Zsazsa kembali membelakangi Luca. “Di sana sudah ada ibunya, Luca. Aku sama sekali tidak …”Luca berjalan memutari ranjang, berhenti tepat di depan sang istri. membawa pandangan Zsazsa ke arahnya. “Aku tidak memintamu berada di sana sebagai ibunya. Kau tahu posisi Joanna tak akan pernah terganti oleh siapa pun di hati Ken, Zsazsa. Tapi aku ingin kau berada di sana sebagai istriku.”Zsazsa menelan kembali bantahan yang sudah nyaris terlepas. Sungguh, ia tak suka setiap kali berinteraksi dengan Joanna meski cukup denga